Diriwayatkan Dari Ibnu Abdil Bar, dari Nabi SAW, beliau bersabda, "Seorang muslim yang melewati makam saudara yang dikenalnya saat di dunia lalu ia mengucapkan salam kepadanya maka Allah akan mengembalikan ruh kepada orang yang sudah meninggal dunia itu hingga ia menjawab salam (saudara)nya." Hadis ini merupakan dalil yang menunjukkan bahwa orang yang sudah meninggal dunia bisa mengetahui orang yang menziarahi makamnya dan menjawab salam yang ditujukan kepadanya.
Rasulullah SAW melalui beberapa jalur periwayatan bahwa beliau pernah memerintahkan jenazah-jenazah kaum musyrikin yang terbunuh dalam Perang Badar lalu memasukkannya ke dalam sebuah sumur tua. Selanjutnya, beliau mendekati sumur itu seraya memanggil nama-nama mereka, "Wahai fulan bin fulan, wahai fulan bin fulan, apakah kalian sudah mendapatkan bahwa apa yang dijanjikan Tuhan kalian adalah benar? Sesungguhnya, aku sudah mendapatkan bahwa apa yang dijanjikan Tuhanku kepadaku adalah benar." Umar bin Khattab bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah engkau bisa berbicara dengan orang yang sudah meninggal?" Beliau menjawab, "Demi Yang mengutusku dengan kebenaran, kalian tidak lebih mendengar daripada mereka atas apa yang aku katakan, hanya saja mereka tidak bisa menjawab." Bahkan, Rasulullah SAW juga mengabarkan bahwa orang yang sudah meninggal dunia dapat mendengar suara sandal orang-orang yang mengiringi jenazahnya saat mereka pergi meninggalkan makam.
Nabi SAW mensyariatkan kepada umatnya bahwa jika mengucapkan salam kepada penghuni makam, ucapkanlah: "Assaliimu 'alaikum diira qaumin mu'minin (semoga kesejahteraan terlimpah atas kalian, tempat tinggal kaum Mukminin)." Ucapan salam seperti ini hanya ditujukan kepada orang yang dapat mendengar dan berakal (mengerti). Jika tidak dimaksudkan untuk itu, ucapan ini seperti halnya ucapan yang ditujukan kepada orang yang ma'dum (tidak ada) atau jamiid (benda mati).
Para ulama salaf (salaful shalih) telah menyepakati hal ini. Demikian juga halnya banyak atsar yang meriwayatkan bahwa orang yang sudah meninggal dapat mengetahui ziarah orang yang masih hidup dan merasa gembira.
Abu Bakar Abdullah bin Muhammad
bin Ubaid bin Abid Dunya mengatakan di dalam kitab Al-Qubur bab "Ma'rifah
al-mauta bi ziyarah al-a"flya' (Orang yang Sudah Meninggal Dunia
Mengetahui Ziarah Orang-Orang yang Masih Hidup)", "Muhammad bin Aun
berkata bahwa Yahya bin Yaman menceritakan, dari Abdullah bin Sam'an, dari Zaid
bin Aslam, dari Aisyah .,, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda: 'Ketika
seseorang menziarahi makam saudaranya dan ia duduk di sisi pusaranya, saudara
yang sudah meninggal itu mendengar dan menjawab perkataannya hingga seseorang
itu pergi (meninggalkan makam)'."
Diriwayatkan dari Abu Hurairah,
Muhammad bin Qudamah al-Jauhari berkata, "Jika seseorang melewati makam
orang yang dikenalnya lalu ia mengucapkan salam, orang yang sudah meninggal itu
akan membalas salamnya dan mengenalinya. Jika seseorang melewati makam orang
yang tidak dikenalnya lalu mengucapkan salam, orang yang sudah meninggal itu
hanya membalas salamnya."
Muhammad bin Husain berkata bahwa
salah seorang kerabat Ashim al-Jahdari menceritakan kepadanya, ia berkata,
"Aku mimpi bertemu al-Jahdari dua tahun setelah ia meninggal dunia. Dalam
mimpi itu aku bertanya: 'Bukankah engkau sudah meninggal dunia?' Ia menjawab:
'Ya, benar.' Aku bertanya: 'Engkau berada di mana?' Ia menjawab: 'Demi Allah,
aku berada di salah satu taman surga. Aku dan beberapa sahabatku berkumpul pada
setiap malam Jumat dan pagi harinya lalu kami bersama-sama menemui Bakar bin
Abdullah al-Muzani untuk mencari kabar tentang kalian.' Aku bertanya: 'Apakah
yang berkumpul itu jasad kalian ataukah ruh kalian?" Ia menjawab: 'Sangat
tidak mungkin jasad kami yang berkumpul. Jasad kami telah hancur. Hanya ruh-ruh
yang saling bertemu.' Aku bertanya lagi: 'Apakah kalian tahu kedatangan kami ke
makam kalian?' Ia menjawab: 'Ya, kami tahu 'asyiyyah al-Jum'ah sepanjang
Jumat pagi hingga petang), dan pada hari Sabtu hingga terbit matahari.' Aku
bertanya: "Mengapa hal itu hanya berlaku untuk hari Jumat dan tidak pada
hari-hari yang lain?' Ia menjawab: 'Karena keutamaan dan keagungan hari Jumat.'
Muhammad bin Husain berkata bahwa
Hasan al-Qashab menceritakan kepadanya, ia berkata, "Setiap hari Sabtu
pagi, aku pergi bersama Muhammad bin Wasi' ke makam. Kami mengucapkan salam
kepada para penghuni yang ada di sana dan mendoakan mereka. Setelah itu, kami
pun pulang. Pada suatu hari aku berkata kepada Muhammad bin Wasi': 'Bagaimana
jika waktu ziarah kita ubah menjadi hari Senin?' Muhammad bin Wasi' menjawab:
'Aku pemah mendengar riwayat bahwa orang-orang yang sudah meninggal dunia dapat
mengetahui orang-orang yang menziarahi makamnya pada hari Jumat serta sehari
sebelum dan sesudahnya'."
Salaf adalah sahabat, tabi'in,
dan tabi'it tabi'in. Ada juga yang mengatakan, mereka adalah tiga generasi
utama, yang dimulai sejak periode Nabi. Muhammad berkata bahwa Sufyan
ats-Tsauri menceritakan kepadanya, ia berkata, "Aku pernah mendengar
Dhahhak berkata: 'Siapa yang berziarah pada hari Sabtu sebelum matahari terbit
maka penghuni makam mengetahui kedatangannya.' Lantas, ada yang bertanya
kepadanya: 'Mengapa hal itu bisa terjadi?' Ia menjawab: 'Karena keutamaan dan
keagungan hari Jumat'."
Khalid bin Khidas berkata bahwa
Abu Tayyah menceritakan kepadanya, ia berkata, "Mutharrif pergi pada malam
hari dan pada malam itu bertepatan malam Jumat." (Khalid) berkata,
"Aku mendengar Abu Tayyah berkata: 'Telah sampai kabar kepadaku bahwa
Mutharrif diterangi dengan cahaya yang ada pada cemetinya. Ia berjalan hingga
larut malam. Ketika tiba di area makam sambil tetap menunggu kudanya, ia tidak
kuasa menahan rasa kantuk. (Dalam tidurnya), Mutharrif bermimpi melihat
orang-orang yang sudah meninggal duduk di atas pusaranya masing masing. Mereka
berkata: 'Ini adalah Mutharrif yang datang pada hari Jumat.'
Mutharrif pun bertanya kepada
mereka: 'Apakah kalian tahu saat kami berziarah pada hari Jumat?' Mereka
menjawab: 'Ya, kami tahu dan kami juga bisa mendengar apa yang dikatakan burung
pada hari itu.' Mutharrif kembali bertanya: 'Apa yang dikatakan burung itu?'
Mereka menjawab: 'Burung itu
berkata, salam, salam (selamat sejahtera)'." Muhammad bin Husain berkata
bahwa Fadhl bin Muwaffaq, anak paman Sufyan bin Uyainah, menceritakan kepada,
ia berkata, "Ketika ayahku meninggal, aku sangat sedih dan terpukul.
Karena itu, setiap hari aku menziarahi makamnya. Namun, kemudian aku mulai
jarang menziarahi makamnya. Pada suatu hari ketika aku menziarahi makam ayahku
dan duduk di sisi pusaranya, tiba-tiba aku mengantuk hingga akhimya aku pun
tertidur. Dalam tidurku, aku bermimpi seolah-olah makam ayahku terbuka dan
tampak ayahku duduk dengan tetap mengenakan kain kafan serta dalam kondisi dan
raut muka seperti orang yang sudah meninggal. Aku menangis tatkala melihatnya.'
Ayahku berkata: 'Wahai anakku,
apa yang membuatmu jarang menziarahi makamku?'
Aku bertanya: 'Wahai ayahku,
apakah engkau mengetahui kedatanganku.'
Ayahku menjawab: 'Setiap kali
kamu datang ke sini, pasti aku tahu. Aku senang dan gembira saat kamu datang, begitu
juga orang-orang yang ada di sekelilingku, mereka mendapatkan kemudahan berkat
doamu.' Alhasil, sejak saat itu aku selalu menziarahi makam ayahku."
Muhammad berkata bahwa Utsman bin
Saudah ath-Thufawi-ibunya adalah seorang ahli ibadah dan dijuluki Rahibah
(Wanita Rahib)-menceritakan kepadanya, ia berkata, "Ketika ajal menjemput,
ibuku mendongakkan kepalanya ke langit seraya berkata: 'Wahai harta dan pusakaku
yang menjadi sandaran dalam hidup dan matiku. Janganlah Engkau telantarkan aku
ketika aku mati dan janganlah Engkau telantarkan aku ketika aku berada di dalam
liang lahat.' Akhimya, ibuku pun meninggal dunia. Setiap hari Jumat aku
menziarahi makamnya, mendoakannya, serta memohonkan ampun untuknya dan untuk
para penghuni makam lainnya. Pada suatu hari aku mimpi bertemu ibuku, aku pun
bertanya, 'Wahai Thu, bagaimana keadaanmu sekarang?'
lbu menjawab: 'Wahai anakku,
sesungguhya kematian itu adalah kesulitan yang sangat berat. Alhamdulillah aku
sekarang berada di alam barzakh yang penuh dengan keberkahan Allah. Di dalamnya
kami beralaskan raihan (bunga-bunga yang harum aromanya) dan bertelekan pada
bantal yang terbuat dari sutra tebal dan tipis hingga kelak datang hari
Kiamat."
Aku bertanya: Adakah pesan yang
ingin Thu sampaikan kepadaku?' Thu menjawab: 'Ya.'
Aku kembali bertanya: 'Apakah
itu?'
Thu menjawab: 'Janganlah engkau
berhenti berziarah dan mendoakan kami. Sesungguhnya, lbu gembira dengan kedatanganmu
pada hari Jumat. Pada saat engkau datang, dikatakan kepadaku: 'Wahai wanita
rahib, ini anakmu datang.' Aku pun gembira, begitu juga para penghuni lain yang
ada di sekitarku, mereka merasa gembira dengan kedatanganmu'."
Muhammad bin Abdul Aziz bin Sulaiman
berkata bahwa Bisyr bin Manshur menceritakan kepadanya, ia berkata,
"Sewaktu terjadi wabah penyakit taun (penyakit menular, epidemi), ada
seorang laki-laki zuhud yang pergi ke makam untuk ikut shalat jenazah. Ketika
menjelang sore hari, ia berdiri di pintu pemakaman seraya berkata: 'Semoga
Allah mendengar ketakutan kalian, merahmati keterasingan kalian, mengampuni
kesalahan kalian, dan menerima kebaikan kalian.' Kalimat ini kerap ia ucapkan.
Pada suatu hari orang itu
berkata: 'Pada suatu sore aku langsung pulang ke rumah dan tidak mampir ke
pemakaman. Namun, aku tetap berdoa seperti biasa. Saat tidur, aku mimpi ada
sekelompok orang mendatangiku. Aku pun bertanya: 'Siapakah kalian dan apa
keperluan kalian'?'
Mereka menjawab: 'Kami adalah
para penghuni makam.' Aku bertanya: 'Apa keperluan kalian?'
Mereka menjawab: 'Engkau sudah
terbiasa memberikan hadiah kepada kami sebelum pulang ke rumahmu.'
Aku kembali bertanya: 'Hadiah apa
yang kalian maksudkan?' Mereka menjawab: 'Doa yang biasa engkau panjatkan untuk
kami.'
Alhasil, sejak itu aku kembali
merutinkan berziarah dan berdoa untuk para penghuni pemakaman, dan aku tidak
pernah meninggalkan kebiasaan itu'."
Muhammad berkata bahwa bahwa
Sulaim bin Umair pernah melewati sebuah area pemakaman, saat itu ia ingin buang
air kecil. Seorang temannya berkata, "Bagaimana jika engkau turun ke
pemakaman itu lalu buang air kecil di sana?"
Sulaim pun menangis mendengar
saran temannya tersebut lalu berkata, "Mahasuci Allah. Demi Allah, aku
benar-benar malu terhadap orang-orang yang sudah meninggal dunia sebagaimana
aku malu terhadap orang-orang yang masih hidup. Sekiranya orang yang sudah
meninggal dunia itu tidak mengetahui apa yang aku lakukan, tentu aku tidak akan
malu."
Disebutkan bahwa orang yang sudah
meninggal dunia bisa mengetahui amal yang dilakukan para kerabat atau
teman-temannya yang masih hidup. Abdullah bin Mubarak berkata, Tsaur bin Yazid
menceritakan kepadaku, dari Ibrahim, dari Abu Ayyub, ia berkata, "Amal
orang-orang yang masih hidup diperlihatkan kepada orang-orang yang sudah
meninggal. Jika mereka melihat amal yang baik, mereka senang dan gembira.
Namun, jika melihat amal yang buruk, mereka berkata: 'Ya Allah, singkirkanlah
perbuatan itu'."
lbnu Abi Dunya berkata bahwa
Abbad bin Abbad menemui Ibrahim bin Shaleh yang berada di Palestina. Ibrahim
bin Shaleh berkata, "Berilah aku nasihat." Abbad bin Abbad menjawab,
"Nasihat seperti apa yang bisa aku sampaikan kepadamu sementara Allah It
telah membaguskan keadaanmu? Telah sampai kabar kepadaku bahwa amal orang-orang
yang masih hidup diperlihatkan kepada kerabat mereka yang sudah meninggal. Maka
lihatlah, amalan apa yang dapat kamu perlihatkan kepada Rasulullah?"
Mendengar hal itu, Ibrahim bin Shaleh langsung menangis hingga janggutnya basah
bersimbah air mata.
lbnu Abid Dunya berkata bahwa
Shadaqah bin Sulaiman al-Ja'fari menceritakan kepadanya, ia berkata, "Aku
mempunyai perilaku dan kebiasaan yang tidak baik. Ketika ayahku meninggal, aku
bertobat dan menyesal atas sikap dan perilaku selama ini. Aku pun dirundung
kesedihan. Dalam tidurku, aku mimpi bertemu ayah, ia berkata, "Wahai
anakku, aku senang jika amal-amalmu diperlihatkan kepada kami, amal yang
menyerupai amal orang-orang yang saleh. Namun, saat ini, aku sangat malu karena
hal itu. Karena itu, janganlah kamu membuat aku sedih dan malu di hadapan
orang-orang yang sudah meninggal di sekitarku."
lbnu Abid Dunya berkata,
"Setelah kejadian itu, aku selalu mendengarnya mengucapkan doa pada setiap
malam (waktu sahur)-sewaktu di Kufah, ia adalah tetanggaku: 'Ya Allah, aku
memohon kepada-Mu tobat yang sungguh-sungguh. Wahai Yang membaguskan
orang-orang saleh, Yang memberi petunjuk kepada orang-orang yang sesat, dan
Yang Maha Pengasih dari segala yang pengasih'."
Banyak sekali atsar dari sahabat
berkenaan dengan perkara ini. Ada orang Anshar dari kerabat Abdullah bin
Rawahah yang berkata, "Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari amal yang
membuatku malu di hadapanAbdullah bin Rawahah." Kerabatnya mengucapkan hal
itu setelah Abdullah bin Rawahah meninggal sebagai syahid.
Cukuplah dalam hal ini, orang
yang mengucapkan salam kepada penghuni makam disebut dengan za'iran (peziarah).
Sekiranya ahli kubur tidak mengerti (tidak mendengar) salam itu, orang yang
mengucapkannya tidak pantas disebut dengan peziarah. Karena orang yang
diziarahi, jika tidak mengerti atas kunjungan orang yang datang kepadanya,
tidak tepat disebut dengan ungkapan menziarahinya. Inilah yang dipahami dengan
makna ziarah kubur oleh semua umat manusia.
Begitu pula dengan mengucapkan
salam kepada mereka. Pasalnya, salam yang diucapkan kepada orang yang tidak
melihat dan tidak mendengamya adalah sesuatu yang mustahil. Yang pasti, Nabi
mengajarkan umatnya jika berziarah kubur hendaklah mengucapkan salam sebagai
berikut.
Salamun 'alaikum ahla ad-diyar
min al-mu'minfn wa al-muslimfn, wa inna insya allah bikum lah.iqun,
yarh.amullahu al-mustaqdimfna minna wa minkum wa al-musta'khirun, nas'alullaha
Zana wa lakum al-'afiyah
Salam sejahtera atas kalian wahai
para penghuni kubur dari kaum Mukminin dan Muslimin. Sesungguhnya, atas
kehendakAllah kami akan bertemu kalian. SemogaAllah merahmati orang-orang yang
lebih dahulu meninggal daripada kami dan kalian, serta yang lebih akhir. Kami
memohon keselamatan kepada Allah bagi kami dan kalian.
Oleh karena itu, salam, seruan,
dan panggilan ini menandakan adanya orang yang dapat mendengar, melihat, dan
dapat membalas salam walaupun orang yang mengucapkan salam itu tidak dapat
mendengar jawaban salamnya.
Sekiranya seseorang melaksanakan
shalat dekat dengan orang-orang yang sudah meninggal, tentu mereka bisa
melihatnya, mengetahui shalatnya, dan mereka berandai-andaibisa mendapatkan
nikmat melaksanakan shalat seperti itu. Yazid bin Harun berkata, "Sulaiman
at-Taimi telah mengabarkan kepada kami, dari Abu Utsman an-Nahdi bahwa suatu
hari Ibnu Sas keluar untuk mengiring jenazah sambil mengenakan pakaian
sederhana. Ketika sampai di pemakaman, ia berkata: 'Aku melaksanakan shalat dua
rakaat di sana lalu duduk bersandar di dekat makamnya. Demi Allah, tiba-tiba
hatiku bergetar karena aku mendengar suara dari dalam makam: 'Pergilah engkau
dari sisiku, janganlah engkau menggangguku! Sesungguhnya, kalian adalah
orang-orang yang bisa beramal, tetapi tidak mengetahuinya. Adapun kami adalah
orang-orang yang mengetahui, tetapi tidak bisa beramal. Sekiranya aku bisa
melaksanakan shalat dua rakaat seperti yang engkau kerjakan, tentu hal itu
lebih aku sukai daripada ini dan itu'."
lbnu Abid Dunya berkata bahwa Abu
Qilabah menceritakan kepada kami, "Aku datang dari Syam menuju Basrah.
Ketika malam tiba, aku singgah di suatu tempat. Aku lalu berwudhu dan
melaksanakan shalat dua rakaat kemudian aku baringkan kepalaku di atas sebuah
makam dan aku tertidur. Aku pun terbangun ketika penghuni makam itu mengadu
kepadaku seraya berkata: 'Engkau telah mengusikku sejak semalam. Kalian adalah
orang-orang yang bisa beramal, tetapi tidak mengetahuinya. Adapun kami
mengetahui, tetapi tidak bisa beramal.' Selanjutnya, penghuni makam itu
berkata: 'Shalat dua rakaat yang engkau kerjakan, lebih baik daripada dunia dan
seisinya. Semoga Allah memberikan balasan kepada penghuni dunia. Sampaikanlah
salam kami kepada mereka. Sesungguhnya, doa yang mereka panjatkan sampai kepada
kami berupa cahaya sebesar gunung'."
Husain al-ljli berkata bahwa
Malik bin Mighwal telah menceritakan kepadanya, ia berkata, "Suatu ketika,
aku pergi ke pemakaman dan duduk di area pemakaman itu. Tiba-tiba ada seseorang
datang mendekati sebuah makam lalu meratakan tanahnya.
Setelah itu, orang itu menoleh ke
arahku lalu duduk. Aku bertanya: 'Makam siapakah itu?' Ia menjawab:
'Saudaraku.' Aku bertanya: 'Saudara kandungmu?' Ia menjawab: 'Saudaraku karena
Allah. Aku mimpi bertemu dengannya maka aku pun bertanya kepadanya: 'Hai fulan,
apakah engkau masih hidup? Segala puji bagi Allah.' Ia menjawab: 'Engkau telah
mengatakannya. Sekiranya aku dapat mengucapkan tasbih, itu lebih aku sukai
daripada dunia dan seisinya.' Ia menuturkan: 'Apakah engkau tidak melihat ketika
orang-orang memakamkanku? Sesungguhnya, si fulan berdiri lalu melaksanakan
shalat dua rakaat. Sekiranya aku mampu untuk melaksanakan shalat dua rakaat
seperti itu, tentu lebih aku sukai daripada dunia dan seisinya'."
Abu Bakar at-Taimi berkata bahwa
Humaid ath-Thawil telah menceritakan kepadanya, ia berkata, "Kami pergi ke
tempat ar-Rabi' pada masanya. Kami berangkat pada malam Jumat agar bisa
melaksanakan shalat Jumat pada pagi harinya. Selanjutnya, kami melewati
pemakaman. Kami pun masuk ke dalam dan pada saat itu kami melihat ada jenazah
yang sedang akan dimasukkan ke liang lahat. Aku berpikir untuk mencari pahala
dengan menshalati jenazah itu. Aku pun segera mendekati makam itu dan shalat
dua rakaat dengan ringan tanpa memanjangkannya. Setelah itu, aku mengantuk
hingga tertidur di atas makam. Dalam tidurku, aku bermimpi bertemu dengan
penghuni makam itu. Ia berkata kepadaku: 'Bukankah engkau telah shalat dua
rakaat tanpa ingin memanjangkannya?'
Aku jawab: 'Ya, memang begitu.'
Ia berkata: 'Kalian bisa beramal,
sedangkan kami tidak bisa beramal. Seandainya aku bisa melakukan shalat dua
rakaat seperti shalat yang engkau lakukan, hal itu lebih aku sukai daripada
dunia dengan segala isinya.'
Aku bertanya: 'Siapakah
orang-orang yang ada di dalam makam itu?'
Ia menjawab: 'Mereka adalah
orang-orang muslim dan mereka semua mendapatkan kebaikan.'
Aku bertanya: 'Siapakah di antara
mereka yang paling mulia?'
Ia menunjukkan satu makam lalu
aku berkata dalam hati, 'Ya Allah, keluarkanlah orang yang ada di makam itu
agar aku dapat berbicara dengannya.' Temyata, orang yang ada di dalam makam itu
benar-benar keluar, orangnya masih muda. Aku bertanya: 'Benarkah engkau orang
yang paling mulia di tempat ini?'
Ia menjawab: 'Mereka yang berkata
seperti itu.'
Aku bertanya: 'Mengapa engkau
mendapatkan kemuliaan itu? Demi Allah, jika dilihat dari usiamu tidak
memungkinkan untuk mendapatkan kemuliaan itu. Apakah engkau mendapatkannya
karena sering menunaikan ibadah haji dan umrah, jihad di jalan Allah, dan
banyak beramal?'
Ia menjawab: 'Aku sering mendapat
musibah lalu aku dianugerahi kesabaran untuk menghadapi berbagai musibah itu.
Karena itulah, aku dapat mengungguli mereka'." Meskipun di antara
riwayat-riwayat ini ada yang tidak sahih jika ditinjau dari derajat hadisnya,
tetapi dengan banyaknya riwayat tentang masalah ini sudah menunjukkan
kesepakatan maknanya.
Nabi pemah bersabda, "Aku
melihat mimpi-mimpi kalian adalah sama bahwa lailatul qadar itu pada sepuluh
hari terakhir dari bulan Ramadhan." Maksudnya, datangnya lailatul qadar.
Jika mimpi kaum Mukminin sama dalam satu hal, itu seperti kesamaan mereka dalam
riwayat sebagaimana kesamaan mereka dalam hal melihat baik buruknya sesuatu.
Oleh karena itu, apa yang dilihat orang-orang muslim sebagai suatu kebaikan, ia
pun baik di sisi Allah. Demikian juga apa yang dilihat oleh orang-orang muslim
sebagai suatu keburukan maka ia buruk di sisi Allah. Dalam hal ini, kami tidak
menetapkannya semata-mata berdasarkan mimpi, tetapi juga dari sisi dalil dan
yang lainnya.
Disebutkan dalam kitab Ash-Shah.ih
bahwa orang yang sudah meninggal dunia merasa senang kepada orang-orang yang
mengiringi jenazahnya setelah ia dimakamkan. Muslim meriwayatkan dalam
Shah.fh.-nya, dari hadis Abdurrahman bin Syimasah al-Mahri, ia berkata,
"Kami mengunjungi Amr bin Ash pada saat menjelang ajalnya. Tiba-tiba Amr
menangis lama sekali sambil menghadapkan wajahnya ke arah dinding. Anaknya
bertanya: 'Mengapa engkau menangis, wahai ayah? Apakah Rasulullah tidak
memberikan kabar gembira kepada ayah?'
Amr bin Ash menghadapkan wajahnya
ke arah karni seraya berkata: 'Sesungguhnya, perkara yang paling utama bagi
kami adalah syahadah (persaksian) bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah,
kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Dahulu, aku berada dalam tiga
fase manusia. Seperti yang engkau ketahui, tidak ada seorang pun yang lebih
bend kepada Rasulullah selain diriku.
Tidak ada yang lebih aku sukai selain dapat menangkap beliau lalu membunuhnya.
Sekiranya aku mati dalam keadaan seperti itu, tentu aku termasuk penghuni neraka.
Ketika Allah 6 memberikan cahaya Islam ke dalam hatiku, aku datang menemui
Rasulullah. Pada saat itu aku berkata kepada beliau: 'Ulurkan tanganmu wahai Rasulullah,
agar aku dapat bersumpah setia (bai'at) kepadamu.' Rasulullah pun mengulurkan
tangan kanannya, tetapi aku tidak menyambut uluran tangan beliau. Beliau pun
bertanya: 'Ada apa denganmu, wahai Amr?'
Aku menjawab: 'Aku akan meminta
syarat.'
Beliau kembali bertanya: 'Syarat
apa yang engkau minta?'
Aku menjawab: 'Engkau mengampuni
aku.'
Beliau bersabda: 'Bukankah engkau
sudah tahu bahwa Islam menghapus kesalahan sebelumnya, hijrah menghapus
kesalahan sebelumnya, dan haji menghapus kesalahan sebelumnya?'
Sejak saat itu tidak ada orang
yang lebih aku cintai daripada Rasulullah. Tidak ada orang yang lebih agung di
mataku selain beliau hingga aku tidak kuasa memandang beliau sebagai bentuk
pengagungan kepada beliau. Sekiranya aku diminta seseorang untuk menyebutkan
sifat-sifat beliau, aku tidak dapat mengatakannya. Pasalnya, mataku tidak
sanggup memandang diri beliau. Sekiranya aku mati dalam keadaan seperti itu,
aku berharap semoga aku termasuk golongan para penghuni surga. Selanjutnya,
kami diberi kewenangan untuk mengurus banyak hal dan aku tidak tahu apa yang
ada di sekitarku. Oleh karena itu, jika aku mati, jangan ada wanita yang
meratap sedih atas jenazahku dan jangan ada api yang mengiringi jenazahku.
Jika kalian memakamkan jenazahku,
taburkanlah tanah di jasadku kemudian buatlah di sekitar makamku tanda seperti
binatang yang akan dijadikan kurban dan dagingnya dibagi-bagikan agar aku
merasa senang terhadap kalian dan aku dapat melihat apa yang aku kembalikan
kepada para utusan Rabbku'."
Semua keterangan ini menunjukkan
bahwa orang yang sudah meninggal dunia merasa senang dengan kedatangan
orang-orang yang menziarahi makamnya.
Beberapa ulama salaf mengatakan
bahwa mereka pernah berwasiat agar dibacakan al-Qur'an di atas makam mereka
sesaat setelah proses pemakaman. Abdulhaq berkata, "Diriwayatkan dari
Abdullah bin Umar bahwa ia berwasiat agar dibacakan surah al-Baqarah di atas
makamnya." Ma1a bin Abdurrahman juga berpendapat seperti ini.
Pada awalnya, Imam Ahmad
mengingkari riwayat ini. Menurutnya, hal itu tidak ada pengaruhnya kepada orang
yang telah meninggal. Akan tetapi, kemudian ia menarik kembali pendapatnya,
artinya tidak mengingkarinya.
Al-Khallal menyebutkan dalam
kitab Al-Jami' bab "Kitab al-Qira'ah 'Inda al Qubur (Bacaan untuk Orang
yang Sudah Mmeninggal di Atas Makamnya)", "Abbas bin Muhammad ad-Duri
mengabarkan kepada kami bahwa Abdurrahman bin Ala' bin Lajlaj menceritakan
kepadanya, dari ayahnya, ia berkata: 'Ayahku berpesan, jika aku mati,
letakkanlah jasadku di liang lahat sambil mengucapkan: 'Bismillahi wa 'ala
sunnati Rasulillah (dengan asma Allah dan menurut sunnah Rasulullah).' Setelah
itu, taburkanlah tanah pada jasadku dan bacakanlah permulaan surah al Baqarah
di dekat kepalaku. Sungguh aku pernah mendengar Abdullah bin Umar mengatakan
seperti itu.'
Abbas bin ad-Duri bertanya kepada
Ahmad bin Hanbal tentang hal ini: 'Apakah engkau membaca sesuatu di atas
makam?' Ia menjawab: 'Tidak.' Setelah itu, aku bertanya kepada Yahya bin Ma'in
maka ia menceritakan riwayat ini kepadaku."
Al-Khallal berkata, Hasan bin
Ahmad al-Warraq menceritakan kepadaku, Ali bin Musa al-Haddad-ia adalah orang
yang shaduq (sangat jujur)-berkata, "Aku bersama Ahmad bin Hanbal dan
Muhammad bin Qudamah al-Jauhari menghadiri prosesi pemakaman jenazah. Ketika
jenazah sudah dimakamkan, ada seorang buta yang duduk di sisi makam dan membaca
al-Qur'an. Lantas Imam Ahmad berkata: 'Bacaan semacam ini di atas makam adalah
bid'ah.'
Ketika kami sudah meninggalkan
pemakaman, Muhammad bin Qudamah bertanya kepada Imam Ahmad: 'Wahai Abu
Abdullah, apa pendapatmu tentang Mubasysyir al-Halabi?'
Imam Ahmad menjawab: 'Ia adalah
orang yang dapat dipercaya.'
Muhammad bin Qudamah bertanya:
'Apakah engkau pernah menulis hadis darinya?'
Imam Ahmad menjawab: 'Pemah,
Mubasysyir telah mengabarkan kepadaku dari Abdurrahman bin Ala' bin Lajlaj dari
ayahnya bahwa ia berpesan saat dimakam kan nanti agar dibacakan permulaan dan
akhir dari surah al-Baqarah di dekat kepalanya.'
Muhammad bin Qudamah berkata:
'Aku pemah mendengar lbnu Umar juga berwasiat seperti itu.'
Imam Ahmad pun lantas berkata:
'Kalau begitu kembalilah! Katakanlah kepada orang buta itu bahwa ia boleh
membacanya' ." Hasan bin Shabah az-Za'farani berkata, "Aku pernah
bertanya kepada asy Syafi'i tentang hukum membaca al-Qur'an dekat makam maka
ia mengatakan bahwa hal itu tidak apa."
Al-Khallal menyebutkan dari
asy-Sya'bi, ia berkata, "Jika ada seseorang yang meninggal dunia dari
kalangan Anshar, mereka saling berebut pergi ke pemakaman untuk membaca
al-Qur'an di dekat makamnya." Ia juga berkata, "Abu Yahya an Naqid mengabarkan
kepadaku, ia berkata: 'Aku mendengar Hasan bin al-Jarawi berkata: 'Aku melawati
makam saudara perempuanku lalu aku membaca surah al-Mulk karena aku teringat
keutamaan surah tersebut. Selanjutnya, ada seseorang yang datang kepadaku
seraya berkata bahwa ia mimpi bertemu dengan saudara perempuanku. Dalam
mimpinya, saudara perempuanku berkata: 'Semoga Allah menganugerahkan pahala
kebaikan kepada Abu Ali karena aku bisa memperoleh manfaat dari apa yang ia
baca'."
Hasan bin Haitsam mengabarkan
kepadaku, ia berkata, aku mendengar Abu Bakr bin al-Athrusy, putra dari anak
perempuan Abu Nashr bin Tamar berkata, "Ada seseorang yang datang ke makam
ibunya pada hari Jumat dan membaca surah Yasm. Pada hari yang lain, ia juga
membaca surah Yasm. Selanjutnya, ia berdoa: 'Ya Allah, jika Engkau berikan
pahala atas bacaan ini, berikanlah kepada para penghuni makam ini.' Pada hari
Jumat berikutnya datanglah seorang perempuan seraya berkata: 'Apakah engkau
fulan bin fulanah?' Ia menjawab: 'Ya.' Perempuan itu berkata: 'Sesungguhnya,
aku mempunyai anak perempuan yang sudah meninggal, aku mimpi melihatnya sedang
duduk di atas makamnya lalu aku bertanya: 'Apa yang membuatmu dapat duduk di
sana?' Ia menjawab: 'Sesungguhnya, fulan bin fulanah datang ke makam ibunya
lalu membaca surah Yasm dan menghadiahkan pahalanya untuk penghuni makam. Kami
pun merasakan kenikmatan itu, kami diampuni, dan juga yang lainnya'."
Di dalam riwayat an-Nasa'i dan
juga lainnya disebutkan dari hadis Ma'qil bin Yassar al-Muzani, Nabi bersabda,
"Bacakanlah surah Yasfn di sisi orang yang akan meninggal dunia di antara
kalian."Ada kemungkinan makna yang dimaksudkan bacaan surah Yasfn di sini
adalah ketika seseorang mendekati ajalnya, seperti sabda beliau yang lain:
"Tuntunlah orang yang akan meninggal di antara kalian dengan bacaan la
Ilaha illallah (tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah)!" Ada juga
kemungkinan maknanya adalah membaca surah Yasm di dekat makamnya. Namun, makna
yang pertama, yaitu membaca surah Yasin ketika seseorang mendekati ajalnya
lebih kuat berdasarkan beberapa dalil berikut:
Pertama, perintah Rasulullah ij}
untuk membaca surah Yasin itu sejalan dengan sabda beliau, "Tuntunlah
orang yang akan meninggal di antara kalian dengan bacaan la Ilaha illallah
(tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah)!"
Kedua, orang yang akan meninggal
dunia dapat mengambil manfaat dari surah ini karena di dalamnya mengandung
penjelasan tentang tauhid, hari ber bangkit, kabar gembira berupa surga bagi
orang-orang yang memiliki tauhid, dan terkandung kegembiraan bagi orang yang
meninggal saat membaca firman Allah e:"Alangkah baiknya sekiranya kaumku
mengetahui, apa yang menyebabkan Tuhanku memberi ampun kepadaku dan menjadikan
aku termasuk orang-orang yang telah dimuliakan." (QS. Yasin: 26-27)
Ruh sangat gembira dengan bacaan
ini dan ingin segera bertemu Allah dan Allah pun gembira bertemu dengannya.
Sesungguhnya, surah Yasin merupakan jantungnya al-Qur'an sehingga mempunyai
pengaruh khusus dan mengagumkan jika dibaca di dekat orang yang mendekati ajal
(sakratulmaut).
Abul Faraj bin al-Jauzi berkata,
"Kami berada di dekat syekh Abdul Waqt Abdul Awwal saat ia mendekati ajal.
Pada saat terakhir sebelum meninggal, ia memandang ke arah langit sambil
tersenyum, seraya membaca ayat: 'Alangkah baiknya sekiranya kaumku mengetahui,
apa yang menyebabkan Tuhanku memberi ampun kepadaku dan menjadikan aku termasuk
orang-orang yang telah dimuliakan.' (QS. Yasin: 26-27) Selanjutnya, ia
meninggal dunia."
Ketiga, yang biasa dilakukan oleh
orang-orang dahulu dan sekarang adalah membaca surah Yasin di sisi orang yang
mendekati ajal.
Keempat, sekiranya para sahabat
memahami perintah Nabi ij} dalam sabdanya: "Bacakanlah surah Yasfn di sisi
orang yang akan meninggal di antara kalian," adalah sebagai bacaan di
dekat makam, tentu mereka tidak akan meninggalkannya. Hal ini merupakan perkara
yang sudah biasa dan masyhur di antara mereka.
Kelima, manfaat mendengarkan
bacaan surah Yasin adalah hadirnya hati dan pikiran pada detik-detik terakhir
keberadaan seseorang di dunia, inilah yang dimaksudkan dari bacaan ini. Namun,
jika surah Yasin ini dibaca di makam, tidak ada pahala yang didapatkan.
Pasalnya, pahala bisa didapat dengan membacanya atau mendengarkannya. Berarti,
ini merupakan amal, sedangkan orang yang meninggal dunia sudah terputus
amalnya.
Al-Hafizh Abu Muhammad Abdul Haq
al-Isybili mengartikan hal ini dengan berkata, "Disebutkan bahwa
orang-orang yang sudah meninggal dunia bisa bertanya tentang orang-orang yang
masih hidup dan bisa mengetahui perkataan dan perbuatan mereka." Lalu ia
berkata bahwa Abu Umar bin Abdul Bar meriwayatkan hadis dari lbnu Abbas, dari
Nabi SAW}: "Tidaklah seseorang melewati makam saudaranya sesama muslim
yang dikenalnya lalu ia mengucapkan salam kepadanya, melainkan orang yang sudah
meninggal itu mengenalnya dan menjawab salamnya."
Hal ini juga diriwayakan dari Abu
Hurairah marfu', ia berkata, "Jika seseorang tidak mengenal orang yang ada
di dalam makam lalu mengucapkan salam kepadanya, ia (penghuni makam) hanya
membalas salamnya."
Diriwayatkan dari Aisyah, ia
berkata bahwa Rasulullah bersabda, "Tidaklah seseorang menziarahi makam
saudaranya lalu duduk di sisi pusaranya, melainkan orang yang sudah meninggal
itu senang atas kedatangannya hingga ia (peziarah) itu pergi
meninggalkannya."
Al-Hafizh Abu Muhammad dalam
masalah ini berdalil dengan riwayat Abu Dawud di dalam Sunan-nya, dari hadis
Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda,
"Tidaklah seseorang mengucapkan salam kepadaku, melainkan Allah akan
mengembalikan ruhku hingga aku dapat menjawab salamnya."
Sulaiman bin Nu'aim berkata,
"Aku pernah mimpi bertemu Nabi aku berkata kepada beliau: 'Wahai
Rasulullah, orang-orang yang datang kepada engkau dan menyampaikan salam kepada
engkau, apakah engkau mengetahui salam mereka?' Beliau menjawab: 'Ya, dan aku
menjawab salam mereka'."
Ia juga berkata, "Nabi
mengajarkan kepada para sahabat, apa yang harus mereka ucapkan saat memasuki
area pemakaman: 'As-salamu 'alaikum ahla ad-diyar (semoga keselamatan bagi
kalian penghuni tempat ini)'. Hal ini menunjukkan bahwa orang yang sudah
meninggal dunia dapat mengetahui salam dari orang yang mengucapkan salam
kepadanya dan juga mengetahui doa orang yang berdoa untuknya."
Abu Muhammad berkata bahwa
disebutkan dari Fadhl bin Muwaffaq, ia berkata, "Aku sesekali menziarahi
makam ayahku kemudian aku lebih sering menziarahi makamnya. Suatu hari aku
melihat jenazah sedang dimakamkan di tempat ayahku dimakamkan. Namun, karena
terburu-buru dengan urusanku, aku tidak mendatanginya. Pada malam harinya, aku
mimpi bertemu ayah, ia berkata kepadaku: 'Wahai anakku, mengapa engkau tidak
mengunjungiku?'
Aku bertanya: 'Wahai ayah, apakah
engkau tahu ketika aku menziarahi makammu?'
Ayahku menjawab: 'Wahai anakku,
demi Allah, aku sudah mengetahui kedatanganmu sejak engkau berada di jembatan
itu hingga tiba di sisi makamku. Aku melihatmu saat duduk hingga engkau pergi
dan aku terus melihatmu sampai akhirnya engkau pergi melewati jembatan
itu'."
Ibnu Abi Dunya berkata, Ibrahim
ibnu Basyar al-Kufi menceritakan kepadaku, ia berkata, Fadhl bin Muwaffaq
menceritakan kepadaku lalu ia menceritakan kisah tersebut.
Ada riwayat sahih dari Amr bin Dinar, ia berkata, "Jenazah yang telah meninggal dunia mengetahui apa yang terjadi di tengah keluarganya setelah kematiannya. Bahkan, saat mereka memandikan dan mengafaninya, Jenazah itu memandangi mereka."
Juga ada riwayat sahih dari
Mujahid, ia berkata, "Sesungguhnya, seseorang bisa merasakan gembira
setelah ia berada di alam kubur karena kesalehan anaknya." Ini menunjukkan
bahwa hal itu juga dilakukan orang-orang terdahulu hingga sekarang, seperti
menalkin jenazah di makamnya. Sekiranya orang yang ada di alam kubur tidak bisa
mendengar dan mengambil manfaat darinya, tentu perbuatan itu tidak bermanfaat
dan hanyalah sia-sia belaka. Ketika Imam Ahmad ditanya tentang perkara ini, ia
menganggap sebagai perbuatan yang baik dan menjadikan sandaran atau dalil untuk
beramal.
Dalam perkara ini ada riwayat
hadis dha'if (lemah) yang disebutkan oleh ath-Thabrani di dalam Mu'jam-nya dari
hadis Abu Umamah, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda, "Jika salah
seorang di antara kalian meninggal dunia dan kalian sudah meratakan makamnya dengan
tanah, hendaknya salah seorang dari kalian berdiri di sisi makam searah dengan
kepalanya sambil mengucapkan: 'Hai fulan bin fulanah,' karena sesungguhnya
jenazah yang ada dalam itu bisa mendengar, tetapi tidak bisa menjawab.
Selanjutnya, hendaklah ia mengucapkan lagi: 'Hai fulan bin fulanah,' untuk
kedua kalinya. Lalu hendaknya ia duduk dan mengucapkan lagi: 'Hai fulan bin
fulanah.' Karena sesungguhnya jenazah yang ada dalam makam itu berkata:
'Berilah kami tuntunan, niscaya Allah akan merahmatimu,' tetapi kalian tidak
mendengar lalu hendaklah ia berkata: 'Ingatlah apa yang engkau bawa saat
meninggalkan dunia, yaitu persaksian la Ilaha illallah wa anna
Muhammadarasulullah, wa annaka radhfta billahi rabban, wa bil Islami dinan, wa
bi muhammadin nabiyyan, wa bil qur'ani imaman (kesaksian bahwa tidak ada Tuhan
yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah rasul Allah bahwa engkau
ridha Allah sebagai Tuhanmu, Islam sebagai agamamu, Muhammad sebagai nabimu,
dan al-Qur'an sebagai imammu).
Sesungguhnya, Malaikat Munkar dan
Nakir saling menjauh sambil berkata: 'Men jauhlah dariku! Tidak ada gunanya
kami dekat dengan orang ini karena hujah telah dibacakan kepadanya sehingga
Allah dan rasul-Nya menjadi pembela di hadapan kedua malaikat itu'."
Ada seseorang bertanya,
"Wahai Rasulullah, bagaimana jika ibu dari orang yang meninggal itu tidak
diketahui?" Beliau menjawab, "Ia dinasabkan kepada ibunya,
Hawa."
Meskipun hadis ini derajat
kesahihannya tidak kuat, tetapi karena perbuatan ini terus dilakukan di mana
pun dan kapan pun, juga tidak adanya pengingkaran maka ini menunjukkan bahwa
perbuatan itu bisa diamalkan.
Allah SWT tidak menganggap amal
ini hanya sekadar tradisi di tengah umat Islam yang menyebar di dunia barat dan
timur. Umat yang paling sempurna akalnya dari segala umat yang ada dan yang
paling banyak pengetahuannya, yang tidak mungkin berseru kepada orang yang
tidak bisa mendengar dan mengetahui. Hal ini dianggap perbuatan baik yang tidak
diingkari oleh siapa pun, bahkan disunnahkan orang terdahulu untuk orang di
kemudian hari.
Sekiranya orang yang diseru tidak
bisa mendengar, tentunya seruan itu seperti ucapan yang ditujukan pada tanah,
batu, pohon, atau sesuatu yang tidak ada sama sekali. Jika ada seorang ulama
yang menganggap baik suatu perkara, ulama lain tidak boleh ada yang mencela
atau meremehkannya.
Abu Dawud meriwayatkan dalam
Sunan-nya dengan sanad yang tidak ada masalah padanya bahwa Nabi pemah
menghadiri pemakaman jenazah seseorang. Setelah dimakamkan, beliau bersabda,
"Mohonkanlah keteguhan untuk saudara kalian karena saat ini ia sedang ditanya."
Rasulullah mengabarkan bahwa pada
saat itu jenazah tersebut sedang ditanya. Jika sedang ditanya, berarti jenazah
tersebut bisa mendengar apa yang diucapkan kepadanya. Disebutkan pula dari Nabi
dengan riwayat yang sahih bahwa jenazah bisa mendengar suara sandal orang-orang
yang mengiring jenazahnya juga saat mereka pergi meninggalkan makam.
Abdulhaq meriwayatkan dari
seseorang orang saleh, ia berkata, "Saudaraku meninggal dunia lalu aku
mimpi bertemu dengannya. Aku bertanya kepadanya: 'Wahai saudaraku, bagaimana
keadaanmu ketika engkau diletakkan di dalam liang lahat?' Ia menjawab:
'Seseorang datang dengan membawa bara api, sekiranya bukan karena seseorang
yang berdoa untukku, tentu aku sudah binasa'."
Syabib bin Syaibah berkata,
"lbuku berwasiat kepadaku saat menjelang wafat: 'Wahai anakku, jika engkau
sudah memakamkan jasadku, berdirilah di sisi pusaraku lalu ucapkan: 'Wahai Ummu
Syabib, ucapkanlah la Ilaha illallah (tidak ada Tuhan yang berhak disembah
selain Allah)'.' Karena itu, setelah aku memakamkan jenazahnya, aku berdiri di
sisi makamnya seraya berkata: 'Wahai Ummu Syabib, ucapkanlah la Ilaha illallah
(tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah).' Setelah itu, aku pun
pulang. Pada malam hari aku mimpi bertemu ibu, ia berkata: 'Wahai anakku, aku
hampir saja binasa sekiranya engkau tidak mengatakan kepadaku: 'La Ilaha
illallah (tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah)',' engkau telah
menjaga wasiatku, wahai anakku."
lbnu Abid Dunya menyebutkkan dari
Tumadhir binti Sahl, istri Ayyub bin Uyainah berkata, "Aku mimpi bertemu
Sufyan bin Uyainah dan ia berkata: 'Semoga Allah memberikan pahala kebaikan
kepada saudaraku, Ayyub, karena ia sering menziarahi makamku. Pada hari ini pun
ia ada di dekat makamku'." Ayyub berkata, "Benar, pada hari ini aku
datang menziarahi kubumya."
Disebutkan dengan riwayat sahih
dari Hammad bin Salamah, dari Tsabit, dari Syahr bin Hausyab bahwa Sha'b bin
Jatstsamah dan Auf bin Malik, keduanya adalah bersaudara, bahwa Sha'b berkata
kepada Auf, "Wahai saudaraku, siapa pun di antara kita yang lebih dulu
meninggal, ia harus datang kepada saudaranya (dalam mimpi)."
Auf bertanya, "Apakah yang
seperti ini bisa terjadi?" Sha'b menjawab, "Ya, bisa."
Temyata Sha'b yang lebih dulu
meninggal dunia. Setelah itu, Auf mimpi-seperti halnya yang dialami orang yang
sedang tidur, seakan-akan Sha'b datang menemuinya. Auf menceritakan bahwa
ketika itu ia berkata, "Wahai saudaraku."
Sha'b menjawab, "Ya."
Auf bertanya, "Apa yang
terjadi pada dirimu?"
Sha'b menjawab, "Allah Ill
telah mengampuni dosa-dosa kami setelah ada musibah itu."
Auf berkata, "Aku melihat
ada cahaya hitam di leher Sha'b. Karena itu, aku pun bertanya kepadanya: 'Wahai
saudaraku, apa cahaya hitam itu?'
Sha'b menjawab: 'Aku pemah
meminjam 10 dinar kepada seorang Yahudi. Di dalam sarung anak panahku, terdapat
10 dinar. Maka, berikanlah uang itu kepada orang Yahudi tersebut. Ketahuilah
wahai saudaraku, bahwa tidak ada kejadian di tengah keluargaku sepeninggalku,
melainkan kabamya sampai kepadaku, termasuk kabar tentang seekor kucing kecil
milikku yang mati beberapa waktu lalu. Ketahuilah, bahwa putriku akan meninggal
dunia enam hari lagi. Karena itu, berbuat baiklah kepadanya.'
Ketika terbangun pada pagi
harinya, aku berkata kepada diriku sendiri: 'Ini adalah kabar yang benar.'
Selanjutnya, aku menemui keluarganya yang menyambutku dengan ucapan: 'Selamat
datang wahai Auf. Beginikah yang engkau lakukan terhadap harta peninggalan
saudaramu? Engkau tidak pemah menemui kami sejak sepeninggalnya?'
Aku memberi alasan seperti yang
biasa dilakukan orang-orang. Pandanganku langsung tertuju pada sarong anak
panah milik Sha'b lalu aku menurunkannya dan mengeluarkan isinya. Di dalamnya
ada sebuah kantong yang berisi beberapa dinar. Lalu, aku pergi dengan membawa
dinar itu kepada orang Yahudi tersebut. Aku bertanya: 'Apakah engkau mempunyai
hak yang masih ada pada Sha'b?'
Orang Yahudi itu menjawab:
'Semoga Allah merahmati Sha'b. Ia adalah sahabat Rasulullah • yang paling baik.
Sebenamya dinar-dinar itu pun miliknya.'
Maka aku berkata: 'Ceritakanlah
kepadaku (perkara yang sebenamya).'
Ia menjawab: 'Ya, aku pemah
meminjamkan 10 dinar kepadanya, tetapi aku sudah merelakan uang itu. Demi
Allah, memang segitu jumlahnya.'
Aku berkata: 'Ini adalah kejadian
yang pertama (sebagaimana yang dikabarkan dalam mimpi, pen)'."
Auf kembali menuturkan-setelah
kembali kepada keluarga Sha'b, ia berkata, "Apakah ada kejadian di tengah
kalian sepeninggal Sha'b?"
Mereka menjawab, "Benar, ada
kejadian ini dan itu." Auf kembali bertanya, "Cobalah kalian
ingat!"
Mereka menjawab, "Benar,
seekor kucing kami mati beberapa hari yang lalu."
Auf berkata, "Ini adalah
kejadian kedua (sebagaimana yang dikabarkan dalam mimpi, pen)."
Ia pun kembali bertanya, "Di
mana putri saudaraku?" Mereka menjawab, "Ia sedang bermain."
Selanjutnya, Auf mendekatinya dan
menyentuh tubuhnya. Ternyata suhu tubuhnya sangat tinggi maka ia pun berkata
kepada mereka, "Berbuatlah yang baik kepadanya."
Tepat pada hari keenam, putri
Sha'b itu meninggal dunia.
Ini semua merupakan tanda
kefakihan pemahaman Auf bin Malik. Ia termasuk generasi sahabat. Ia
melaksanakan wasiat Sha'b bin Jatstsamah sepeninggalnya dan ia menyadari
kebenaran perkataan Sha'ab dengan adanya petunjuk yang berkaitan dengan apa
yang dikatakan Sha'b kepadanya lewat mimpi bahwa jumlah dinar itu sepuluh
keping di dalam kantong anak panah. Namun, ia harus memastikan terlebih dahulu
kepada orang Yahudi. Dengan begitu, Auf bisa memastikan permasalahannya, dan
barulah ia memberikan dinar itu kepada orang Yahudi tersebut.
Hal demikian itu hanya akan
dilakukan oleh orang-orang yang pintar dan cerdas. Mereka itulah para sahabat
Rasulullah. Bisa jadi, generasi mendatang akan mengingkari tindakan Auf itu
dengan mengatakan, "Bagaimana mungkin diperbolehkan bagi Auf untuk mengambil
dinar-dinar milik Sha'b-padahal harta itu menjadi milik anak-anaknya yang yatim
sebagai ahli warisnya - lalu memberikannya kepada orang yahudi hanya
berdasarkan mimpi?
Contoh pemahaman cerdas seperti
ini hanyaAllah anugerahkan kepada seseorang bukan yang lain, yakni kisah Tsabit
bin Qais bin Syammas. Kisah ini diceritakan oleh Abu Umar bin Abdul Bar dan
yang lainnya. Abu Umar berkata, "Abdul Waris bin Sufyan telah mengabarkan
kepada kami, Qasim bin Ashbagh telah menceritakan kepada kami, dari Tsabit bin Qais
bin Syammas bahwa Rasulullah • bersabda kepadanya: 'Wahai Tsabit, apakah engkau
ridha hidup dalam keadaan terpuji, mati dalam keadaan syahid, dan kelak engkau
pun masuk surga'?" Malik bin Anas berkata, "Tsabit bin Qais pun
terbunuh sebagai syahid pada perang Yamamah."
Abu Amr berkata, "Hisyam bin
Ammar meriwayatkan dari Shadaqah bin Khalid, Abdurrahman bin Yazid bin Jabir
telah memberitahukan kepada kami, ia berkata: 'Atha' al-Khurasani telah
menceritakan kepadaku, ia berkata: 'Putri Tsabit bin Qais bin Syammas telah
menceritakan kepadaku, ia berkata bahwa ketika turun ayat 'Wahai orang-orang
yang beriman! Janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi,' (QS.
Al-Hujurat: 2) ayahnya (Tsabit bin Qais) masuk ke dalam rumah dan menutup pintu
rapat-rapat hingga tidak mau menemui Rasulullah. Maka Rasulullah mencarinya,
bahkan mengutus orang untuk mencarinya dan menanyakan kabarnya. Tatkala
ditanyakan kepada Tsabit bin Qais mengenai sika[pnya itu, Qais menjawab,
"Aku orang yang bersuara keras dan aku takut amalku menjadi sia-sia."
Rasulullah • pun bersabda, "Engkau bukan termasuk orang-orang yang
disebutkan dalam ayat itu. Bahkan, engkau akan hidup secara baik dan mati
secara baik pula."
Ketika turun ayat: "Sungguh
Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri," (QS.
Luqman: 18) Qais menutup pintu rumahnya dan terus menangis. Ia tidak mau
menemui Rasulullah. Karena itu, beliau mencarinya, bahkan mengutus seseorang
untuk mencarinya dan mendapatkan kabamya. Qais pun berkata, "Wahai Rasulullah,
aku adalah orang yang menyukai keindahan dan aku juga suka menjadi pemimpin
kaumku." Beliau bersabda, "Engkau bukan termauk golongan mereka.
Bahkan, engkau hid up dalam keadaan terpuji, meninggal dunia dalam keadaan
syahid, dan engkau akan masuk surga."
Pada waktu Perang Yamamah, Tsabit
bin Qais pergi dengan Khalid bin Walid untuk menghadapi Musail amah. Ketika dua
pasukan sudah saling berhadapan dan siap tempur. Tsabit dan Salim, pembantu Abu
Hudzaifah berkata, "Tidak seperti yang kami lakukan saat bertempur bersama
Rasulullah."
Keduanya pun membuat lubang
sendiri-sendiri lalu melompat ke arah musuh dan menyerbu mereka hingga keduanya
terbunuh. Pada waktu itu, Tsabit membawa baju besi yang bagus dan mahal
harganya. Ketika ada seseorang dari kaum Muslimin melewati jenazahnya, orang
tersebut mengambil baju besi itu. Setelah kejadian itu, ada seorang muslim
lainnya bermimpi bertemu Tsabit yang mendatanginya seraya berkata, "Aku
menyampaikan wasiat kepadamu. Janganlah engkau mengatakan bahwa ini hanyalah
sekadar mimpi lalu engkau melalaikannya begitu saja. Waktu aku terbunuh, ada
seorang muslim yang lewat di dekatku dan mengambil baju besiku. Posisi orang
itu ada di bagian ujung pasukan. Di dalam kemah orang itu ada seekor kuda yang
digembalakan dan diikat dengan tali. Orang itu menyimpan baju di dalam periuk
dari batu dan periuk itu diduduki oleh seseorang. Temuilah Khalid dan suruhlah
ia untuk mengambil baju perangku itu! Jika engkau sudah kembali ke Madinah dan
menghadap kepada Khalifah Rasulullah, Abu Bakar ash-Shiddiq, katakanlah
kepadanya bahwa aku masih mempunyai utang sekian dan sekian. Fulan yang
sebelumnya sebagai budakku statusnya menjadi merdeka, begitu juga dengan si
fulan."
Orang itu pun menemui Khalid bin
Walid dan menyampaikan pesan Tsabit bin Qais yang dikatakan lewat mimpinya itu.
Maka, ia mengambil baju besi milik Tsabit dan menyerahkannya kepada Abu Bakar
setelah menceritakan mimpi orang itu. Abu Bakar melaksanakan wasiat Tsabit
seraya berkata, "Kami tidak mengenal seorang pun yang wasiatnya
dilaksanakan setelah ia meninggal dunia selain Tsabit bin Qais." Begitulah
yang disebutkan Abu Amr. Khalid bin Walid, Abu Bakar, dan para sahabat lainnya
sepakat untuk melaksanakan wasiat yang disampaikan lewat mimpi itu dan mengambil
baju besi dari orang yang mengambilnya. Semua ini menunjukkan kedalaman
pemahaman mereka.
Abu Hanifah, Ahmad, dan Malik
bisa menerima pemyataan pihak yang mengadu dari suami istri yang memang baik
baginya meskipun tidak baik bagi yang lain, dengan mempertimbangkan kejujuran
pihak yang mengadu itu, dan ini lebih utama. Begitu juga Abu Hanifah menerima
pemyataan pihak pengadu atas suatu kebun dengan adanya penyewa kepada
tetangganya dan adanya tali pembatas.
Allah i menetapkan hukuman had
bagi seorang perempuan berdasarkan sumpah suami dengan disertai bukti atau
petunjuk yang menguatkannya. Sesungguhnya, hal itu menunjukkan dalil yang nyata
dari kejujuran sang suami. Lebih dari itu, Nama ini sudah dikenal (Musailamah),
tetapi jika merujuk beberapa referensi ternyata pelafalannya yang benar adalah
Musailimah, memvonis terdakwa pembunuhan yang dilakukan berdasarkan qasamah,
dapat dilakukan dengan sumpah dari pengadu disertai bukti atau petunjuk berupa
lauts. Allah juga menetapkan untuk menerima perkataan pihak pengadu atas harta
waris dari keluarga mereka yang meninggal jika ahli waris tersebut meninggal
dalam perjalanan sementara ia berwasiat kepada dua orang laki-laki non muslim.
Jika ahli waris menyangsikan pengkhianatan dua orang itu, keduanya bisa diminta
untuk bersumpah atas nama Allah dan keduanya lebih berhak. Sumpah keduanya
lebih diprioritaskan daripada sumpah ahli warisnya. Begitulah yang difirmankanAllah
di akhir surah al-Ma'idah dan termasuk ayat-ayat yang terakhir turun sehingga tidak
mansukh (dihapus) dan dilaksanakan para sahabat.
Hal ini merupakan dalil tentang
penetapan dalam perkara harta dengan meng gunakan al-lauts (tanda-tanda
penguat). Jika penetapan darah (hukum pembunuhan) saja bisa dilakukan dengan
al-lauts berdasarkan qasamah (pembuktian), penetapan dalam masalah harta lebih
memungkinkan ditetapkan berdasarkan al-lauts (tanda tanda penguat) dan
petunjuk.
Atas dasar inilah para pemegang
kebijakan menarik barang curian dari tangan para pencuri. Akibatnya, banyak
orang yang mengingkari hal ini, mereka meminta tolong kepada mereka jika
barangnya dicuri.
Allah telah mengisahkan tentang
seorang saksi yang memberikan kesaksian dalam kasus Nabi Yusuf yang jujur dan
istri Aziz bahwa saksi tersebut memutuskan perkara berdasarkan petunjuk atau
indikasi dari kejujuran Nabi Yusuf dan kebohongan wanita itu. Allah tidak
mengingkari hal tersebut, bahkan mengisahkannya sebagai bentuk pengakuan Allah
atasnya.
Nabi Muhammad mengabarkan tentang
Nabi Sulaiman bin Daud bahwa Nabi Sulaiman memutuskan perkara kasus dua wanita
yang berebut bayi, berdasarkan petunjuk yang ditangkap Nabi Sulaiman ketika
berkata, "Ambilkan aku pedang! Aku akan membelah bayi ini menjadi dua dan
membagikannya kepada kalian berdua." Alhasil, wanita yang lebih tua
berkata, "Ya, aku setuju dengan keputusan itu." Ia merasa gembira
karena lawan perkaranya akan kehilangan bayi. Adapun, wanita yang lebih muda
berkata, "Jangan!" Pasalnya, bayi itu memang anaknya. Akhimya, Nabi
Sulaiman menyerahkan bayi itu kepada wanita yang kedua karena melihat adanya
rasa cinta dan kasih sayang dalam hatinya. Adapun wanita yang pertama tersipu
malu sambil memandangi bayi itu.
Semua ini menunjukkan keputusan
hukum yang terbaik dan adil. Syariat Islam mengakui penetapan hukum seperti ini
dan mempersaksikan kebenarannya. Apakah penetapan hukum berdasarkan cara
al-qiyafah dan penisbatan keturunan yang didasarkan pada perbandingan kemiripan
juga bisa diterima meskipun banyak Qasamah adalah sumpah yang diulang-ulang
dalam dakwaan (tuntutan) pembunuhan, yang dilakukan oleh wali (keluarga si
pembunuh) untuk membuktikan pembunuhan atas tersangka atau dilakukan oleh
tersangka untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan pembunuhan.
AI-Lauts adalah tanda-tanda yang
memperkuat dugaan penuntut bahwa seseorang betul membunuh korban. Contohnya,
adanya jasad korban di halaman rumah musuhnya atau terlihatnya tersangka di
dekat kepala korban dan di tangan tersangka ada pisau yang terhunus.
AI-Qiyafah adalah suatu keahlian
seseorang untuk mengetahui kemiripan orang melalui jejak atau telapak kakinya.
Keahlian ini berguna sebagai salah satu cara untuk menetapkan nasab seseorang, hal
yang tidak bisa diketahui? Artinya, (petunjuk) yang berkaitan dengan mimpi Auf
bin Malik dan masalah Tsabit bin Qais tidak hanya terbatas pada petunjuk ini,
tetapi hal itu lebih kuat dari sekadar petunjuk dalam kisah-kisah ini.
Jika orang yang sudah meninggal
dunia bisa mengetahui hal-hal yang detail dan rind tentang apa yang terjadi di
dunia, pantaslah jika ia mengetahui orang hidup yang mengunjungi makamnya,
mengucapkan salam, dan berdoa.
0 Comment