Pilar Bangunan Sains
Pada prinsipnya setiap sains dibangun
di atas tiga dasar utama, yaitu fondasi atau pilar ontologi, aksiologi,dan
epistemologi. Untuk mengetahui nilai yang dibawa suatu sains, termasuk sains
modern, kita perlu melihat fondasi bangunan sains tersebut. Dari sini akan
terlihat ketidaknetralan suatu sains dan implikasi filosofis dan sosialnya.
Pilar ontologi terkait dengan subjek
atau realitas apa yang (dianggap) ada dan dapat dikaji atau diketahui.
Aksiologi terkait dengan tujuan suatu ilmu pengetahuan, untuk apa. Sedangkan
epistemologi berhubungan dengan cara dan sumber suatu pengetahuan, dengan apa
atau bagaimana suatu pengetahuan dapat diperoleh. Ketiga pilar inilah yang
menentukan karakteristik suatu sains, yang membedakan satu sains dengan sains
yang lain.
Materialisme ilmiah menjadi inti sari
ontologi sains Barat, realitas hanya terdiri dari materi, ruang, dan waktu.
Tidak ada lagi selain itu. Jiwa hanyalah sekumpulan Pilar dan Bangunan Sains
materi, berpikir hanyalah proses material belaka. Tuhan hanya imajinasi manusia
yang lemah dan tak berdaya. Sementara itu, malaikat dan setan dianggap sebagai
lompatan agen bagi mereka yang tidak mampu menjelaskan aneka fenomena alam
secara logis dan ilmiah.
Materialisme ini telah menjadi dogma
di setiap pengajaran ilmu pengetahuan alam. Murid-murid menghafalkan,
"Materi tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan:' Pernyataan
sederhana ini mempunyai implikasi sangat serius bagi seorang Muslim.
Ajaran Islam tersari dalam prinsip
tauhid yang terdeskripsi dalam Rukun Iman dan Rukun Islam. Seluruh bangunan
pemi kiran dan peradaban Islam bertumpu pada dua pilar utama ini. Rukun Iman
terdiri dari enam keyakinan, yaitu yakin pada keberadaan Allah, malaikat, nabi,
kitab, Hari Akhir, dan qadha-qadar.
Materialisme yang diajarkan dalam
ilmu pengetahuan alam jelas berbenturan dengan Rukun Iman. Materi tidak dapat
diciptakan berimplikasi bahwa materi ada dalam keabadian masa lalu tanpa awal
pen ciptaan, yang berarti tidak memerlukan peran Sang Pencipta. Suatu ketika,
seusai menerbitkan buku tentang alam semesta, Pierre Laplace didatangi Napoleon
Bonaparte yang menanyakan tentang satu hal, yakni mengapa dalam buku tersebut
Laplace tidak sekalipun menyebut Tuhan. Laplace menjawab dengan ringan, dia tidak
membutuhkan hipotesis tentang Tuhan bagi keberadaan alam. Keberadaan dan peran
Tuhan Allah ditolak oleh prinsip materialisme Hari Akhir Kitab Nabi ilmiah.
Materi tidak dapat dimusnahkan
berimplikasi pada penolakan Kiamat sebagai akhir perjalanan dunia. Penolakan
Kiamat juga berarti penolakan akan Hari Kebangkitan dan Penghitungan amal setiap
orang. Karena Hari Akhir dan Pembalasan tidak ada, pelanggaran norma terus
meluas.
Dalam perspektif Islam, materialisme
ilmiah menolak jantung Rukun Iman, yakni keyakinan akan peran Allah sebagai
Pencipta segala sesuatu. Materialisme juga menolak Rukun Iman kelima tentang
Hari Akhir yang ditandai dengan kehancuran materi. Padahal, setiap Muslim harus
menerima keseluruhan Rukun Iman, tanpa terkecuali. Penolakan, meskipun hanya
satu bagian, berarti kufur. Materialisme ilmiah membawa pada kekufuran.
Materialisme ilmiah dan Rukun Iman
tidak dapat duduk berdam pingan dengan normal karena keduanya bertentangan.
Penerimaan keduanya secara bersamaan akan melahirkan paradoks. Masyarakatnya
beragama, termasuk Islam, tetapi kesehariannya mengembangkan hidup asusila.
Selain itu, pemaksaan menerima keduanya secara bersa maan akan melahirkan
sikap mendua dan inkonsistensi berpikir karena dua hal tersebut bertentangan.
Langkah praktis mengatasi dualisme
gagasan ini adalah dengan merevisi materialisme ilmiah di buku-buku ajar. Teori
kuantum dan relativitas khusus telah memperlihatkan bahwa materi mempunyai
antimateri yang dapat saling melenyapkan jika hadir secara bersamaan.
Berdasarkan perkembangan ini, prinsip "materi tidak dapat diciptakan dan
tidak dapat dimusnahkan" direvisi menjadi "materi tidak dapat
diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan dalam keadaan biasa". Keadaan biasa
berarti keadaan dengan energi keseharian, tanpa kondisi khusus yang
memungkinkan terjadinya penciptaan maupun pemusnahan ma teri-antimateri. Dalam
keadaan tertentu, seperti keadaan energi cukup tinggi, penciptaan dan
pemusnahan dapat dilakukan.
Pilar kedua bangunan sains adalah
aksiologi, tujuan sains dibangun. Materialisme telah membuang transendensi
sains, juga menyingkirkan tujuan akhir sains. Keadaan ini membuat ilmuwan hanya
takjub pada dirinya sendiri ketika berhasil menyibak rahasia alam. Ujung dari
pergerakan ini adalah nihilisme, kehampaan spiritual atau kekosongan ruhaniah.
Perjalanan hidup manusia bak orang berenang di lautan luas tanpa tahu tepi
sehingga tidak tahu harus berenang ke mana.
Aksiologi sa1ns Barat hanya berupa
kepuasan dan petualangan intelektual sang ilmuwan serta untuk sains itu
sendiri. Sains apa saja dapat dan boleh dibangun sepanjang dana atau anggaran
tersedia. Teori superdawai yang diharapkan menjadi teori tumpuan bagi uni
fikasi semua gaya terpaksa menjadi mimpi tanpa pembuktian atas kebenaran
prediksinya ketika pada 1993 Superconducting Super Collider dihentikan oleh
Kongres Amerika.
Sebagai fondasi epistemologi, sains
Barat menerima dan mengagungkan rasionalisme, empirisme, dan objektivisme.
Pengalaman em piris indriawi dirumuskan melalui metode yang dikenal sebagai
metode ilmiah. Fakta-fakta merupakan sumber pengetahuan, dan pengetahuan tidak
boleh melebihi fakta-fakta dan hubungan di antaranya. lnilah inti positivisme.
Dalam Novum Organum (Logika Baru),
Bacon menolak metafisika spekulatif Aristoteles dan menekankan pandangan bahwa
data seharusnya dikumpulkan dan eksperimen dilakukan untukmenyibak rahasia alam
semesta melalui pengamatan terorganisasi. lntuisi dibatasi pada intuisi yang
tumbuh dari pengalaman empiris belaka. Selain itu, karena sains Barat lahir
dalam suasana konflik dengan gereja, sains Barat tumbuh dan berkembang dalam
spirit penolakan terhadap wahyu sebagai sumber informasi pengetahuan.
Penolakan realitas secara utuh dan
sumber informasi yang parsial akan melahirkan pengetahuan yang parsial. Masalah
timbul ketika kenyataan ini tidak diakui secara objektif sesuai dengan
objektivisme yang dianut sains. Alih-alih mengakui keterbatasan objek maupun
sum ber informasinya, sains justru melakukan klaim di luar wewenangnya.
Dalam pendekatan evolusioner
sekalipun, tidak dapat dijelaskan bagaimana jiwa yang menyebabkan sekumpulan
materi, berupa tu buh manusia maupun hewan, dapat menjadi makhluk hidup. Sains
biologi maupun psikologi hanya mengeksplorasi dan memahami per kembangan,
perilaku fisik, dan jiwa manusia setelah menjadi manusia. Hal yang sama juga
dialami oleh alam semesta yang dipahami setelah menjadi alam semesta, tepatnya
sesaat setelah ledakan dahsyat The Big Bang. Mengapa harus ledakan dahsyat,
dari mana bahan yang meledak, dan di mana ledakan terjadi merupakan
pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh sains.
Bangunan sains Islam juga didirikan
atas tiga pilar: ontologi, aksiologi, dan epistemologi. Ketiga pilar ini harus
bersumber pada prinsip tauhid yang mengkristal dalam Rukun Iman dan Rukun
Islam.
Ontologi lslam jelas tidak mungkin
menolak hal gaib. Realitas bukan hanya objek yang dapat dilihat, diraba,
dirasakan, tetapi juga yang tidak dapat terlihat. Secara sederhana, AI-Quran
menjelaskan, Maka, Aku bersumpah demi apa yang kamu Iihat dan demi apa yang
tidak kamu lihat. (QS AI-Haqqah [69]: 38-39)
Objek pengetahuan ada dua, yang
tampak dan yang tidak tampak oleh mata. Terdapat realitas di balik realitas
material. Dalam kisah klasik diriwayatkan, tiga orang pemuda terperangkap dalam
gua. Ketika ketiganya berada di dalam gua, sebuah batu besar menggelundung dari
ketinggian dan menutup gua. Ketiga pemuda tersebut mencoba mendorong batu
tersebut, tetapi kekuatan mereka tidak cukup besar untuk melawan gaya dorong
batu. Batu tak bergerak sedikit pun. Ketika berbagai cara telah dilakukan dan
tidak memberikan hasil, mereka mencoba cara lain, yakni dengan mengingat
kebaikan masing-masing, kemudian berdoa agar diberi kekuatan untuk mendorong
batu. Terdo ronglah batu besar hingga mereka dapat keluar gua.
Tsunami Aceh 26 Desember 2004 juga
menyisakan hal yang tidak terjangkau logika. Ketika air laut masuk dan
menerjang kota dengan dahsyat, banyak rumah hancur. Namun, tidak demikian
dengan Masjid Baiturrahman, simbol negeri Serambi Makkah itu. la tidak
tertembus air. Air hanya menggenang di sekitar masjid. Air dan gelombang
tsunami bagai mempunyai jiwa.
Manusia tidak dapat direduksi hanya
sebagai makhluk yang terdiri dari materi belaka dan dapat diperlakukan seperti
mesin. Manusia jauh lebih kompleks. Meski bagian fisik utuh, tanpa satu bagian
pun terputus, jika jiwa atau ruh telah dicabut, manusia tidak dapat lagi
bergerak se bagaimana ketika ia hidup. Sedangkan mesin dapat menyala kembali
jika sumber tenaganya diperbaharui selagi tidak ada bagian mesin yang terputus.
llmuwan Muslim klasik, lbn Sina, telah merumuskan dan membuktikan eksistensi
jiwa sebagai sesuatu yang bersifat non materi. lbn Sina mengemukakan tiga dalil
bagi adanya jiwa.
Pertama, dalil al-istimrar
(kelangsungan) yang mengatakan bahwa jasad selalu berubah, tetapi kita tetap
mengingat banyak hal. Artinya, kita tetap "berlangsung" dengan pasti
dan sesuatu yang berlangsung pada jasad yang berubah-ubah itu disebut jiwa.
Kedua, dalil al-thabi'iy (alami) yang
didasarkan pada gejala gerak
yang dibedakan menjadi gerak kehendak
dan gerak paksaan. Gerak kehendak terjadi karena hukum alam, seperti benda
jatuh, sedangkan gerak paksaan terjadi karena pengaruh dari luar, seperti benda
dilempar. Namun, kita melihat burung dapat terbang-tidak jatuh dan tidak
disebabkan dari luar-karena itu terdapat gerak ketiga, yakni gerak khusus, dan
inilah jiwa.
Ketiga, dalil yang paling menarik,
yaitu dalil manusia terbang. Misal, seseorang yang tercipta sempurna ditutup
matanya dan ditempatkan di ruang kosong di angkasa sehingga tidak satu pun yang
dapat menyentuhnya. Dalam keadaan demikian, ia tetap yakin wujud diri dan zatnya
walau tidak mengetahui anggota badannya. Berarti ada wujud selain wujud jisim
(jasad) yang bisa mengetahui, mengkhayal, dan merasakan, dan inilah jiwa.
Bukan hanya makhluk hidup yang
berjiwa, makhluk atau benda "mati': seperti gunung, juga berjiwa. AI-Quran
menyejajarkan gunung dan burung. Keduanya bertasbih bersama Nabi Daud a.s.
Bahwa, sampai saat ini, kita belum
mampu merumuskan jiwa gunung yang membuatnya mampu bertasbih, bukan berarti
kita boleh meniadakannya dan mengklaim gunung hanya kumpulan materi belaka.
Sains Islam harus mampu menguak dan merumuskan isyarat ini.
Aksiologi Islam adalah dikenalnya
Sang Pencipta melalui pola-pola ciptaan-Nya dan diketahuinya watak sejati
segala sesuatu, sebagaimana yang diberikan oleh Tuhan. Watak sejati akan memperlihatkan
kesatuan hukum alam, sunnatullah, keterkaitan seluruh bagian dan aspeknya
sebagai refleksi dari kesatuan prinsip llahi. Bagi sang ilmuwan, keberhasilan
upaya menguak pola ciptaan dan kesatuan hukum alam akan membuatnya makin tunduk kepada Sang Khalik, sebagaimana diisyaratkan
Surah Ali 'lmran (3): 191.
(Yaitu) orang-orang yang mengingat
Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, penciptaan langit
dan bumi (seraya berkata), "Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan
semua sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungi kami dari azab neraka."
Ayat ini memberi gambaran siapa dan
bagaimana ilmuwan Muslim, sekaligus dasar bagi basis aksiologi sains Islam.
AI-Quran menyebut ko munitas ilmuwan sebagai qaumun ya'qilun (sekelompok
pemikir, komu nitas perenung, himpunan ilmuwan). Mereka melakukan pengamatan atas
fenomena alam di langit dan Bumi, menelaah dan menganalisis, ke mudian membuat
rumusan atau teori.
Fenomena alam dapat berlangsung di
alam atau di laboratorium. Untuk mengetahui pola "lintasan" Matahari
bisa dilihat bayangan benda yang disebabkan oleh cahaya Matahari. Akan
dipaparkan lebih men dalam pada bab mendatang, bagaimana lintasan membentuk garis
timur-barat dan bergeser ke utara atau ke selatan pada hari yang berbeda. Untuk
memperoleh pengetahuan tentang pola lintasan Matahari yang utuh, meski tampak
sepele, diperlukan waktu minimal satu tahun. Selain memerlukan waktu yang tidak
sebentar, pengamatan harus dilakukan di bawah terik Matahari.
Aristoteles pernah mengajukan gagasan
tentang dua benda yang jatuh di udara bebas. Menurutnya, benda yang lebih berat
akan jatuh lebih cepat. Pengetahuan yang berangkat dari perasaan umum,common
sense. Kita dan orang kebanyakan pun merasakan hal yang sama dan sepakat dengan
pandangan ini. Padahal, persoalan benda jatuh adalah persoalan alam nyata,
bukan sekadar perasaan. Orang yang silau pada kebesaran nama Aristoteles akan
menerima begitu saja pendapatnya tanpa melakukan pengecekan di lapangan.
Galileo adalah orang yang mencoba
menguji pandangan Aristoteles. Bagi Galileo, tidak ada ruginya melakukan
pengujian atas pandangan Aristoteles ini. Lokasi untuk melakukan pengujian
tidak jauh di kotanya, yaitu Menara Pisa. Bila hasil pengujiannya menyatakan
bahwa pandangan ini benar, dia akan menerima pandangan tersebut. Penerimaannya
tentu berbeda dengan penerimaan orang lain yang tidak melakukan pengujian.
Penerimaannya telah sampai taraf haqqun al-yaqin, sedangkan penerimaan orang
lain merupakan penerimaan yang sekadar percaya.
Hasil pengamatan Galileo
memperlihatkan bahwa pandangan Aristoteles salah. Dua benda yang berbeda massa
bergerak dengan ke cepatan sama sehingga keduanya sampai di tanah pada waktu
yang sama jika dijatuhkan dari ketinggian yang sama. Galileo membuat koreksi
atas pandangan yang telah dianut selama hampir dua puluh abad, dan Galileo pun
membuat sejarah ilmu pengetahuan.
Pertanyaannya, mengapa Aristoteles
yang dikenal sebagai filsuf dan pemikir terbesar Yunani tersebut masih dapat
membuat kesalahan? Hal ini menyatakan bahwa alam bertindak sebagai hakim akhir
atas pandangan atau teori tentang dirinya, tentang alam. Semua orang boleh mengajukan
pendapat atau teori apa saja tentang fenomena tertentu, pada akhirnya alam itu
sendiri yang akan bercerita tentang dirinya. Tugas kitalah memperhatikan dengan
saksama apa yang diceritakan alam.
Pengamatan juga dapat dilakukan di
laboratorium. Terdapat fenomena alam yang penampakannya lebih mudah dan efektif
jika dilakukan di laboratorium, setelah peralatan terkait disusun sedemikian
rupa. Sebut saja cahaya putih yang ternyata akan terurai menjadi spektrum
beberapa cahaya berwarna jika dilewatkan prisma kaca. Mengharapkan uraian
spektrum aneka warna cahaya secara langsung di alam jelas tidak mudah
terealisasi. Selain itu, tidak sedikit fenomena alam yang hanya dapat diamati
di laboratorium.
Pengamatan dan perumusan atas
hasil-hasil pengamatan, seperti yang dilakukan Galileo, dapat dilakukan oleh
ilmuwan mana pun dan hasil akhirnya harus sama karena menceritakan satu
fenomena alam yang sama. Observasi, analisis, dan formulasi merupakan aktivitas
yang dapat dilakukan oleh setiap ilmuwan tanpa pandang bulu. llmuwan Muslim,
ilmuwan Nasrani, ilmuwan Buddha, maupun ilmuwan ateis akan melakukan hal yang
sama: observasi-analisis-formulasi.
Ketika melakukan observasi, analisis,
maupun formulasi, ilmuwan umumnya terpisah dari keramaian. Kerumunan orang
justru akan mengganggu setting eksperimen dan merusak konsentrasi dalam menganalisis
dan merumuskan teori. llmuwan melakukan semua aktivitas risetnya di ruang yang
tenang dan sunyi. Selain harus beraktivitas pada malam hari, ketika mumnya
orang sedang tidur lelap, para astronom bekerja di observatorium yang jauh dari
keramaian.
Semua ilmuwan melakukan hal yang
standar. Lantas, apa yang membedakan ilmuwan Muslim dengan ilmuwan lainnya?
Pada Surah Ali 'lmran (3): 191, dipadu antara pikir dan zikir, bahkan zikir
disebut lebih dahulu, baru kemudian pikir. Urutan ini menunjukkan bahwa sebelum
menjadi ilmuwan yang banyak berpikir, seorang Muslim harus terlatih melakukan
zikir.
Zikir dilakukan baik secara
formal-dengan melafalkan kalimat tasbih, tahmid, takbir, dan tahlil-maupun
zikir substansial, yakni jiwa terus tersambung dengan Sang Khalik. Kewajiban
sebagai Muslim, seperti shalat wajib dan puasa pada bulan Ramadhan, telah
dikerjakan dengan baik. Juga ibadah sunnah, seperti zikir Asma AI-Husna, puasa
Senin-Kamis, dan shalat Tahajud, menjadi bagian dari tradisi kehidupannya.
Ketika Muslim tersebut menjadi
ilmuwan, dia tidak pernah berhenti mengingat atau menyebut asma Allah, baik
ketika berdiri, duduk, mau pun berbaring. Pengamatan dan perenungannya atas
fenomena alam tidak membuatnya terlepas dari Sang Maha Pencipta semua fenomena
ini. Fenomena alam dengan aneka pola dan keteraturannya adalah ba gian dari
kehendak-Nya.
Aneka fenomena alam tidaklah berdiri
sendiri, mereka saling ter kait satu sama lain. Fenomena alam tidak muncul
sia-sia tanpa pesan, tanpa tujuan. llmuwan Muslim mencoba memahami dan
menangkap pesan yang terkandung di balik aneka fenomena alam. Mengamati dan
merenungkan alam berarti memahami kebijakan-Nya. Ketika misteri sebuah fenomena
alam tersibak, ilmuwan Muslim secara spontan akan menyucikan Sang Pengendali yang
tersembunyi di balik fenomena tersebut. Tidak sekadar bertasbih, melainkan juga
memohon agar upaya menyingkap tabir alam dan hasilnya tidak menggelincirkan
serta menyeretnya ke dalam azab-Nya dengan berzikir "Ya Tuhan kami, tidaklah
Engkau menciptakan semua ini sia-sia. Maha suci Engkau dan hindarkanlah kami
dari azab api neraka."
ltulah aksiologi dalam bangunan sains
Islam, yakni menyibak rahasia alam yang tidak satu pun tercipta dengan sia-sia.
Keberhasilan sang ilmuwan menyibak rahasia alam tidak membuat ilmuwan Muslim
takabur, arogan, dan mengabaikan Sang Pencipta. Sebaliknya, mereka semakin
takjub pada kekuasaan-Nya hingga semakin tunduk, dekat, dan takut kepada-Nya.
Tidakkah kamu melihat bahwa Allah
menurunkan air dari langit, lalu dengan air itu Kami hasilkan buah-buahan yang
beraneka macam jenisnya. Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih
dan merah yang beraneka ma cam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat. Dan
demikian (pula) di antara manusia, makhluk bergerak yang bernyawa dan
binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya).
Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama.
Sung guh, Allah Mahaperkasa, Maha Pengampun. (QS Fathir [35]: 27-28)
Pilar ontologi dan aksiologi telah
inheren dalam diri setiap orang beragama, termasuk Islam. Alam gaib, seperti
kehidupan setelah kehi dupan dunia, menjadi bagian dari keyakinan setiap
agama. Keberadaan Allah dan para malaikat yang ditunjuk sebagai pembantu-Nya,
juga merupakan keyakinan pokok orang beragama.
Pilar ketiga dan terpenting adalah pilar
epistemologi, yakni bagaimana atau dengan apa pengetahuan diperoleh. AI-Quran
menyebutkan ada tiga peranti manusia untuk memperoleh pengetahuan, yaitu pen
dengaran, penglihatan, dan fu'ad.
Dan Allah mengeluarkan kamu dari
perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberimu
pendengaran, pengli hatan, dan hati agar kamu bersyu kur. (QS Al-Nahl [16]:
78)
Surah Al-Nahl (16): 78 ini memberi
informasi yang cukup menarik. Kita tahu bahwa pendengaran, penglihatan, dan
perenungan dilakukan oleh peranti telinga, mata, dan hati. Kita juga tahu bahwa
janin telah dilengkapi dengan telinga, mata, dan hati sejak dalam rahim ibu.
Informasi bahwa seorang bayi dikeluarkan dari rahim ibunya masih dalam keadaan
tidak tahu apa pun berarti ketiga peranti ini belum berfungsi ketika berada
dalam rahim. Ketiga instrumen pengenal ini baru diaktifkan sesaat setelah janin
keluar.
Berangkat dari kondisi tidak tahu,
setelah lahir manusia belajar sedikit demi sedikit. Namun, pada ayat ini tidak
digunakan redaksi la'allakum ta'lamun
(agar engkau mengetahui), melainkan la'allakum tasykurun). Artinya, pengaktifan
ketiga instrumen (telinga, mata, dan hati) tidak sekadar pada taraf mengetahui
sesuatu, tetapi manusia harus bersyukur atas karunia pengetahuan yang dimiliki
dan diperoleh melalui ketiga peranti tersebut. Pengetahuan harus berbuah syukur
kepada Maha Pemberi pengetahuan, Allah Swt. Allah memerintahkan agar rasa
syukur diwujudkan ke dalam kemaslahatan umat manusia.
Dalam Surah Ali 'Imran (3): 191 digambarkan
aktivitas ilmuwan, yakni zikir dan pikir. Zikir dilakukan sebelum pikir,
kemudian diakhiri doa. Namun, karena aktivitas ini dilakukan berkesinambungan,
zikir dapat berupa doa, sedangkan doa terkandung dalam zikir. Artinya, doa menjadi
bagian integral dari aktivitas pemikiran seorang ilmuwan Muslim. Doa tidak
sekadar dilafalkan di bibir, tetapi juga dengan menyucikan diri secara formal
dengan berwudhu maupun dengan melaksanakan puasa sunnah.
Metode terakhir ini terkait dengan
upaya penyingkapan realitas lebih tinggi, yang hanya mungkin jika pikiran telah
tercerahkan oleh cahaya iman dan disentuh oleh keberkahan yang tumbuh dari
wahyu karena ruh ditiupkan pada yang menginginkannya. Bagi ilmuwan Muslim,
adalah suatu keniscayaan sering meminta pertolongan Tuhan dalam memecahkan
masalah. Karena itu, dapat dimengerti mengapa pe nyucian jiwa dipandang
sebagai bagian yang terpadu dari metodologi pengetahuan Islam.
0 Comment