Syekh Muhammad Zein Batusangkar (w. 1957)
Syekh Muhamma Zein merupakan salah seorang ulama besar hingga paroh abad XX. Perihal hidupnya belum banyak tercatat, tapi soal keulamaan beliau memang menjadi sebutan. Beliau merupakan teman seangkatan ulama-ulama Tua lainnya, seumpama Syekh Muhammad Jamil Jaho dan Syekh Sulaiman ar- Rasuli. Dalam mempertahankan pengajian lama, beliau salah satu tokohnya. Disamping ke alim annya di bidang syari'at, beliau juga sebagai
seorang pengamal Tarikat Naqsyabandiyah yang kokoh.
Pada awalnya, ketika masuk Muhammadiyah ke Minangkabau dengan dakwah SY Sutan Mangkuto, beliau bersama Syekh Muhammad Jamil Jaho dan Angku Tapakis juga ikut andil dalam perserikatan ini. Kemudian bersama Syekh Jaho secara beransur-ansur keluar Muhammadiyah sepulang Kongres Pekalongan , halmana dari kongres inilah beliau tahu akan amal Muhammadiyah yang sebenarnya. Sejak itu beliau tidak lagi aktif di Muhammadiyah. Untuk kemudian Syekh Muhammad Zein meninggalkan kampung halamannya, Simabur, dan berangkat ke tanah
Melayu. Tepatnya di Perak, beliau beroleh kedudukan sebagai Mufti.
Setelah lama bermukim di Perak, beliau kembali ke kampung halamannya, Minangkabau, pada tahun 1955. Atas permintaan murid-muridnya, Syekh Muhammad Zein kemudian bermukim di Pariaman. Dan wafat pada tahun 1957 dalam Suluk dan Khalwatnya.
Sebagai alim dalam agama, Syekh Muhammad Zein juga menulis beberapa risalah. Diantaranya ada yang menjadi seri pengetahuan agama pupuler di tengah masyarakat, beberapa karya lainnya hanya sempat kita dalam catatan catatan tanpa sempat melihat lagi rupanya. Satu bantuan pekerjaan itu adalah:
Risalah Irsyadul Awam ilal Islam
Risalah ini berisi tentang pedoman ibadah yang cukup populer ditengah-tengah masyarakat, sehingga karya ini sempat dicetak beberapa kali. Selain menguraikan rukun Islam yang lima, dalam karya ini, Syekh Muhammad Zein juga menambah keterangan sebagai pengetahuan pembaca dengan mengutip beberapa riwayat, kemudian ditambah dengan pilihan do'a-do'a dan beberapa fadhail amal. Risalah ini kemudian diiringi dengan pengetahuan untuk menyelenggarakan mayat dan ditutup dengan satu khatimat serta do'a Nifsu Sya'ban
dan Do'a Tahlil . Dengan beberapa tambahan ini, maka karya Syekh Muhammad Zein merupakan satu risalah lengkap yang menguraikan tentang ibadah.
Karya ini selesai ditulis pada tanggal 25 Rajab 1331 (1911) di Batusangkar. Risalah ini kemudian di tashih oleh Syekh Muhammad Thaib bin Umar Sungayang.
Beberapa karya Syekh Muhammad Zein lainnya yaitu:
1. Sirajul Muairilal Islam (1918), berisi tentang tanya jawab keislaman.
2.
Kasyiful Ghummah (1918), berisi polemik tentang Tarikat.
3. Sirajul Ghulam (1918), tentang dasar-dasar Tauhid dan Fiqih.
(17) Syekh Muda Abdul Qadim Belubus (1978-1957)
Syekh Muda Abdul Qadim atau yang lebih dikenal dengan “Baliau Belubus” adalah seorang ulama terkemuka pemangku kepentingan Tarikat Naqsyabandiyah dan Tarikat Samaniyah. Meski nama beliau tidak begitu banyak disebut oleh para peneliti Ulama, namun beliau mempunyai pengaruh besar yang tak terbantahkan dikalangan ahli-ahli Tarikat Sufiyah di Sumatera
Tengah, Minangkabau Umum. Bahkan dikabarkan bahwa khalifah-khalifah beliau, salah satunya Syekh Ibrahim Bonjol di Binjai, telah pula mengembangkan ilmu sayap Tarikat dari silsilah
Syekh Mudo lautan , hingga Malaysia dan Thailand. [1] Ketika diadakan kongres Tarikat Naqsyabandiyah di Bukittinggi pada tahun 1954 yang dipayungi oleh Perti, maka beliau Syekh Mudo adalah salah satunya, di samping 280 ulama-ulama besar lainnya di Sumatera Tengah.
Belubus, sebuah nagari yang terletak di ketinggian, tak jauh dari kota Payakumbuh. Di daerah ini Syekh Muda Abdul Qadim lahir pada tahun 1878. tempat mula beliau menuntut ilmu ialah Batu Tanyuah. Disini beliau mengaji kitab cara lama kepada salah seorang
alim yang tidak begitu dikenal namanya. Setelah dari Batu Tanyuah, beliau kemudian belajar mendalami Syari'at
dan Tharikat , paling tidak ada 6 daerah terkemuka di Tarikat
Sufiyah di Minangkabau yang di khitmat
inya. Tempat-tempat itu ialah, pertama, Batu Hampar (Payakumbuh) tempat bermukimnya ulama besar Maulana Syekh Abdurrahman bin Abdullah al-Batu Hampari an-Naqsyabandiyah (w. 1899). Disini beliau mula mengaji Tarikat Naqsyabandiyah sampai mendapatkan Natijah , hingga Syekh Abdurrahman menggelari beliau dengan “Syekh Mudo”. Kedua Padang Kandih, yaitu kehadapan Tuan Syekh Muhammad Shaleh Padang Kandih (w. 1912). Kumpulan Ketiga,
tempat bermukimnya ulama besar Maulana Syekh Ibrahim bin Fahati Kumpulan “Angguik Balinduang” (w. 1915). Keempat di Padang Bubus Bonjol, tempat beliau ber khitmat di atas jalan Tarikat Naqsyabandiyah di Makam Syekh Muhammad Sa'id Padang Bubus (Abad XIX). Kelima di Simabur, kepada salah seorang ulama masyhur dalam ilmu Hakikat, namun nama beliau ini tidak dikenal lagi. Keenam di Kumango, Batusangkar, kepada Maulana Syekh Abdurrahman al-Khalidi “Beliau Kumango”. [2]
perkara pengembaraan keilmuan beliau, terutama dalam bidang ilmu
Hakikat dan Tarikat, hingga beliau beroleh nama besar selaku ulama terkemuka dalam Tarikat Ahli Sufi, Naqsyabandiyah dan Samaniyah.
Syekh Mudo setelah itu mulai melarang ilmu yang telah diperolehnya di kampung halaman beliau, Belubus. Disini beliau mendirikan surau, pusat khalwat Naqsyabandi, yang dibarengi dengan pengajaran Tarikat Samaniyah dan Silat Kumango. Surau Belubus kemudian menjadi terkemuka, banyak orang-orang siak dari seantero Minangkabau yang melanjutkan kaji- nya, terutama dalam Tarikat kepada Syekh Mudo Abdul Qadim. Di antara murid-murid beliau tersebut, banyak pula yang kemudian menjadi pula terkemuka sebagai ulama, diantaranya ialah Syekh Beringin di Tebing Tinggi Medan, Syekh Ibrahim Bonjol di Binjai, Syekh Muhammad Kanis Tuanku Tuah Batu Tanyuah dan Buya H. Muhammad Dalil Dt. Manijun di Jaho.
Syekh Mudo wafat pada tahun 1957 dan dimakamkan di depan Mihrab Surau Belubus. Selain meninggalkan ilmu Tarikat yang berurat berakar, terutama di kawasan Luak Limopuluah, beliau juga meninggalkan beberapa karangan yang diperuntukkan bagi kalangan Ahli Tarikat. Beberapa buah karangan itu dapat diakses, sebagian lainnya masih tersimpan dan dirahasiakan oleh pewaris Surau Belubus. Diantara karangan Syekh Mudo tersebut ialah :
1) As-Sa'adatul Abdiyah fima Ja'a bihin Naqsyabandiyah menyatakan wirid-wirid amalan Tharikat Naqsyabandiyah.
Risalah ini selesai ditulis pada tahun 1936. pada sampul karya ini tercetak jelas : “Tidak dijual dan tidak dipakai bagi orang yang belum mengamalkan wirid tersebut”. Sebuah peringatan yang umum dikalangan ahli Tharikat, karena ada kekhawatiran bila kaji thharikat diumbar-umbar maka akan menganggap harganya sebagai ilmu yang istimewa. Adapula karena kaji tharikat diperkatakan dipasaran, ada orang-orang yang belum sampai akal dan ilmunya yang membatalkan kaji tersebut, sebab membatalkannya merupakan
suatu kecelaan yang nyata.
Secara umum Risalah ini berisi tentang kaifiyah mengambil Tarikat Naqsyabandiyah. Mulai dari Bai'at , penjelasan Zikir- zikir Naqsyabandiyah, Rabithah dan lainnya. [3]
Risalah ini telah dicetak beberapa kali oleh berbagai percetakan. Terakhir dicetak pada Percetakan Sa'adiyah Bukittinggi.
2) As-Sa'adatul Abdiyah fima ja'a bihin Naqsyabandiyah Bagian Natijah
Sebuah kitab Naqsyabandiyah yang disebarkan khusus bagi guru-guru mursyid yang telah mencapai khalifah , karena di dalamnya banyak dibicarakan mengenai rahasia-rahasia Tharikat Naqsyabandiyah yang dilarang dikemukakan kepada khalayak umum. Cetakan ke-2 risalah ini dicetak oleh Syarikah Tapanuli – Medan tahun 1950. [4]
3) Risalah Tsabitul Qulub
Risalah ini merupakan literatur langka mengenai Tarikat Samaniyah di Minangkabau. Secara umum isinya berbicara tentang ilmu Tasawwuf dan Tarikat, namun didalamnya disinggung mengenai amalan Tarikat Samaniyah dengan cukup panjang. Risalah ini terdiri dari beberapa jilid. Sampai saat ini baru diidentifikasi sebanyak 3 juzu' karya ini. Deskripsi setiap jilid ialah
sebagai berikut:
[ Pertama ] Tsabitul Qulub jilid I, Kitab ini berisi dalil-dalil yang tersirat untuk mempertahankan amal Tharikat, serta memperkokoh hati murid, supaya tidak pecah-pecah akibat faham yang bergitu rupanya. Penulisan sumber rujukan dalam kitab ini cukup variatif, menunjukkan kepada alim an Syekh Muda yang masyhur itu. Diantar sumber-sumber kitab yang menjadi rujukannya ialah Tanwirul Qulub (sangat populer saat ini), Shahifatus Shafa (besar
kemungkinan karangan Syekh Sulaiman Zuhdi Jabal Qubis), Manzhirul A'ma, Khazinatul Asrar, ar-Rahmatul Habithah, Hadist Arba'in, Sairus Salikin, al-Minhul Nisbah, Husnul Husain, al-Qusyairi, Lathifatul Asrar, Hidayatus Salikin, Aiqazhul Manam, Hidayatul Hidayah, Mawahib Sarmadiyah, al-Asymuni dan lain -lainnya.Selain menjadi penguat hati si murid, risalah ini juga memuat kaifiyah Tharikat Saman dan Tharikat Muhammad Yaman (pecahan Saman) beserta wirid-wirid dan
zikir- zikirnya. Risalah ini kemudian ditutup dengan sebuah fasal yang cukup panjang berisi tentang “Pengajaran tatakala nyawa akan berpulang ke hadirat Allah”. [5]
(cetakan ke-6, pada percetakan as-Sa'adiyah Bukittinggi, t.th)
[ Kedua ] Tsabitul Qulub jilid II, Kajian dalam kitab ini tak kalah menariknya. Kitab ini baru ditemui penulis dalam bentuk manuskrip, pertemuan tangan oleh Marnis Dt. Bangso Dirajo. Di antara isi kitab ini ialah :
1)
Himpunan akidah lima puluh
2)
Sebabzikir la ilaha illallahu tidak pakai muhammadur rasulullah
3)
Masalah Nur Muhammad dan Nur Allah
4
) Kelebihan manusia dari segala alam
5)
Masalah najis dan hadast
6)
Pembahasan Muqarinah Niat
7) TentangMartabat Ahadiyah, Wahdah dan Wahidiyah
8)
Menyatakan syari'at dan tharikat di dalam sembahyang
9)
Rabithah dalam sembahyang
10)
Asal suluk 40 hari, dan lainnya banyak lagi
[ Ketiga ] Tsabitul Qulub jilid III, pada jilid ini termuat pengajaran Tharikat yang cukup istimewa, yakni membicarakan perhubungan shalat dengan Tharikat. Di mana di dalamnya ada tulisan:
Maka dari itu nyatalah bagi kita bahwa ilmu Tharikat itu bersuanya di dalam sembahyang. Sepatutnya kita mahir ilmu tharikat itu dengan beberapa martabatnya.
Maka apabila hilang hamba dan hilang kalimat dan tinggal nur, maka nur itulah yang dinamakan dengan zikir Hakikat. Maka apabila hilang hamba hilang kulimah hilanglah pula nur maka pulanglah hak kepada yang mepunyai, dan kembalilah hamba kepada Tuhannya. ( Tsabitul Qulub jilid ke-III)
K emudian kitab ini disambung dengan pembahasan mengenai “nafsu yang tujuh”, menyelesaikannya dengan kalimat yang jelas dan ringkas. Kemudian kitab ini disudahi dengan wirid-wirid dalam tharikat Saman.
Asal naskah kopiannya masih ada tersimpan di surau Belubus, yakni cetakan Islamiyah Medan.
4) Al-Manak: mempusakai dari ayah, Syekh Mudo Abdul Qadim Belubus (disebut juga dengan kitab “Bintang Tujuh”)
Kitab ini berisi ilmu-ilmu yang dipusakai dari Syekh Muda Abdul Qadim. Diantara isinya cara mencari awal-awal bulan Arab, mencari awal bulan Ramadhan, ilmu Bintang Tujuh (saat baik dan buruk), ilmu pertukangan rumah adat Alam Minangkabau, mencari waktu baik dan jahat, mencari barang hilang dan lainnya. 196
REFERENSI
Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia: Survei Historis, Geografis dan Sosiologis (Bandung: Mizan, 1992) hal. 147
Lihat Apria Putra, Ulama-ulama Luak nan Bungsu…, op. cit., hal.. keterangan pengembaraan keilmuan Syekh m udo dari sebuah manuskrip pendukung tangan yang berisi Autobiografi Syekh Mudo sendiri.
Syekh Mudo Abdul Qadim Belubus, as-Sa'adatul Abdiyah fima Ja'a bihin Naqsyabandiyah Bahagian Natijah
(Tapanuli: Syarikah Islamiyah, 1950)
Lihat Syekh Mudo Abdul Qadim Belubus, Risalah Tsabitul Qulub (Bukittinggi: as-Sa'adiyah, t.th ) jilid I. cetakan ke-VI.
0 Comment