Tokoh besar yang mempunyai pengaruh kuat
dikalangan kaum Tua yang terkemuka ialah Syekh Khatib Ali al-Fadani
al- Minangkabawi. Beliau merupakan seorang
ulama yang berdedikasi tinggi, memiliki kealiman yang dalam, besar pertahanannya
terhadap kaum Tua di awal abad XX. Disamping
sebagai ulama terkemuka, pengarang, penya’ir beliau juga merupakan
seorang jurnalis yang menerbitkan Soeloeh Melaju yang memang membuat ulama-ulama Muda kebablakan, selain
itu beliau ialah seorang politisi dalam Syarikat Islam (SI), terakhir sebagai
pedagang dan tokoh pendidikan ternama.
Syekh Khatib Ali dilahirkan di Moaro
Labuah (Solok Selatan) pada tahun 1863. masa kecilnya diisi dengan menuntut
ilmu dikampung halamannya, diantaranya di Lubuk Sikarah dan Gantuang
Ciri, selanjutnya kepada ulama besar kala itu Syekh Mustafa al-Khalidi Sungai Pagu (w. 1901). Setelah
itu beliau mengembara menuntut ilmu, kali ini tempat
yang disinggahinya ialah Pesisir
Selatan, yaitu di Lakitan dan Pancuang Soal. Cukup lama beliau mukim di daerah ini. setelah itu, beliau pada usia yang cukup muda, yaitu umur 21 tahun berangkat ke Mekah untuk berhaji dan menyauk ilmu agama. Tak
kurang selama 7 tahun beliau di Mekkah,
dan setiap tahun itu pula beliau melaksanakan haji.
Di Mekkah beliau belajar kepada ulama- ulama kenamaan, seperti Syekh Usman Fauzi
di Jabal Qubais, Syekh Ahmad Khatib
al-Minangkabawi, Syekh Amin Ridwan di Madinah,
dan lainnya.[1] Setelah
tujuh tahun, beliau kembali ke kampung halamannya, dengan membawa beberapa
Ijazah dari ulama-ulama besar, seperti Ijazah Tarikat
Naqsyabandiyah dari Jabal Qubais, Ijazah
Dala’il Khairat dari Madinah dan
Ijazah dari Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi.Sekembalinya ke Minang, beliau memilih Padang sebagai tempat bermukim, mengajar dan kemudian memapankan karir keulamaannya. Dalam
perjuangannya bersama kaum Tua, beliau dikenal sangat keras, sebanding dengan keilmuan beliau yang mumpuni. Beliau tercatat sebagai salah satu tokoh yang
berperan aktif dalam rapat seribu
ulama tahun 1919 di Padang.85 Hamka merekam bahwa Syekh Khatib Ali mempunyai pengaruh
luas dan merupakan lawan utama ayah-nya, Inyiak Rasul.[2]
Dalam bidang organisasi beliau termasuk
aktif. Pernah suatu kali beliau membuat SI tandingan, karena SI yang lain telah dipenuhi kaum muda. Berikut dalam pendidikan beliau termasuk
ulama inivator, dengan mendirikan madrasah
Irsyadiyah di berbagai
negeri.[3]
Kalau
disebut Beliau selaku ulama kolot, sebagai diungkap
Schrieke, tampak kurang tepat. Sebab beliau merupakan sosok ulama yang suka inovasi dalam berbagai
hal. Pendirian Madrasah Irsyadiyah
yang beliau lakoni, konon diilhami oleh Madrasah- madrasah
al-Irsyad milik organisasi al-Irsyad (satu kelompok
kaum Muda) di Jawa, ketika beliau mengikuti pertemuan SI di Jakarta.
Disamping pribadi yang besar, beliau juga meninggalkan karangan-karangan yang banyak dan mempunyai pengaruh
signifikan, terutama menyangkut isu kaum Muda di Sumatera. Namun disayangkan, banyak dari karangan
itu yang hanya tinggal nama, karena
lenyap waktu perang, dan sebahagian besar koleksi karya ini masih tersimpan sehat wal afi’at di Perpustakaan Leiden.
Diantara karangan-karangan beliau
ialah:
1)
Burhanul Haq Radd ‘ala Tsamaniyah Masa’il al-Jawab min Su’alis
Sa’il alQathi’ah al-Waqi’ah Ghayatut Taqrib
Lagi-lagi kita mengatakan bahwa karya ini mempunyai mengaruh
kuat dalam membentengi faham tua di Minangkabau. Karya ini membahas
8 masalah yang diperdebatkan kaum Muda, setiap kemudian dikupas
oleh Syekh Khatib Ali dengan
argumen-argumen yang bersumber dari kitab fiqih dan Qaul Sufi. Menarik,
kitab ini secara gamblang mengemukakan bahwa Islam dengan Mazhab
Syafi’i di Minangkabau telah dikuatkan
oleh adat Alam Minangkabau sendiri.
Permulaan kitab ini dimulai dengan
satu pendahuluan dibawah
tajuk I’lan, dilanjutkan sebuah
satu sya’ir yang lumayang panjang
perihal dahwah Kaum Muda
yang menyalahi ulama-ulama silam. Satu fragmen dari sya’ir itu sebagai berikut
Delapan
Masalah pada risalah ini Supaya diketahui oleh Ikhwani Pertama penolak hujjah kaum Wahabi Mendakwakan mujtahid semasa kini
Kaum
muda firqah baharu Mendakwahkan mujtahid tiada malu Diperbodoh orang yang dungu
Pada risalah
ini keterangan tentu[4]
Depalan masalah yang dikupas dalam risalah ini ialah: (1) Masalah
Ijtihad; (2) Masalah Ushalli; (3) masalah Talqin Mayat; (4) Mendirikan rumah di atas kubur; (5) masalah Mazhab; (6) masalah Tarikat; (7) masalah hisab dan rukyah dan (8) masalah Jum’at.
Risalah ini juga mendapat sokongan dari ulama-ulama sezamannya,[5] mengisyaratkan betapa pengaruh risalah ini. Risalah ini kemudian dicetak pada percetakan Pulobomer Padang, tahun 1918.
2)
Miftahus Shadiqiyyah fi Ishtilahin Naqsyabandiyah
Raddu fi Zhannil Kadzibah
Bila Syekh Mungka telah memulai
pembelaan terhadap Tarikat Naqsyabandiyah dengan jitu, maka
Syekh Khatib ‘Ali lewat karyanya Miftahus Shadiqiyah mengiringi pembelaan tersebut.
Karya ini disebut-sebut sebagai karya yang berwibawa dalam apologetis Tarikat
Naqsyabandiyah.
Dalam
pendahuluannya, Syekh Khatib ‘Ali menyebutkan bahwa karya ini berupa saduran
dalam bahasa Melayu dari karya monumental Miftahul Ma’iyyah
karya Syekh Abdul Ghani an-Nabalusi.[6] Namun lebih dari itu, Syekh Mungka
telah menambah komentar yang cukup panjang dalam karya ini. beberapa bagian dalamnya merupakan
kritikan tajam terhadap
orang-orang yang mengingkari Tarikat Naqsyabandiyah,
diiringi dengan ulasan terhadap Izhar-nya Syekh Ahmad Khatib. Selain Miftahul Ma’iyah yang menjadi saduran utama, Syekh Khatib ‘Ali
menyebutkan bahwa dalam karya ini beliau menyertakan beberapa kitab Naqsyabandi, yaitu Wushulul Auliya’, Bahjatus
Saniyah, kitab Syekh
Sulaiman Zuhdi dan pernyataan Syekh Muhammad Yatim Padang.
Dalam kitab ini tampak kepiawaian Syekh
Khatib ‘Ali dalam beragumen. Kritikan
beliau memang tajam terhadap orang- orang
yang menolak Naqsyabandi, namun beliau tidak serta merta buta, beliau tidak mengingkari bahwa ada diantara
khalifah-khalifah Naqsyabandi itu yang berbuat
tidak menurut semestinya. Untuk yang terakhir
ini mendapat tempat pula dalam risalah berwibawa Syekh Khatib
Ali ini.
Untuk teks Miftahul Ma’iyyah sendiri selesai diterjemahkan pada tahun 1891, sedangkan komentarnya
diselesaikan pada tahun 1905 dan kemudian
dicetak pada percetakan Pulo Bomer Padang,
dengan judul Miftahus Shadiqiyyah. Pada lembar
terakhir kitab ini dilampirkan Nazam
Silsilah Syekh Isma’il Simabur
yang membawa komplisitas risalah ini.
3)
Risalah al-Mau’izhah wat Tazdkirah: Pengajaran dan peringatan, keputusan rapat di Padang,
15 juli 1919
Pada 15 juli 1919 di Padang diadakan
rapat besar ulama Tua dan ulama Muda,
yang disaksikan oleh lebih seribu orang. Pertemuan
itu lebih dari sekedar rapat, membahas masalah- masalah yang diikhtilafkan
oleh kalangan Muda dan disisi lain yang mempertahankan, ulama Tua.
Diantara ulama Tua yang hadir dan menjadi
pembicara pada malam itu ialah Syekh
Khatib Ali, sedang dipihak ulama muda,
seperti H. Abdullah Ahmad. Malam itu menjadi
medan debat yang cukup alot. Diantara masalah yang
dibicarakan ialah perkara ushalli, berdiri maulid dan lainnya.
Tak lama setelah malam perdebatan itu,
Syekh Khatib Ali menerbitkan satu Risalah yang mencerminkan keputusan
ulama-ulama Jawa mengenai
masalah-masalah yang diperbincangkan di Minangkabau. Dalam muqaddimah
risalah ini disebutkan
bahwa setelah pertemuan di Padang tersebut,
Syekh Muhammad Harist Banten yang ketika itu mukim di Bukittinggi melayangkan surat kepada beberapa
ulama di Jawa. Tak berselang
lama datanglah surat penegasaan
dari 13 ulama jawa untuk menjawab khilaf antara ulama Minangkabau.
Diantara ulama-ulama Jawa tersebut
yang memberi keputusan
ialah Sayyid Ali Muhammad Habsyi
Betawi, Muhammad Ruslan Pekojan, Muhammad
Ibrahim Gersik, Abdul Hadi
Semarang, Muhammad Hasan Serang,
Muhammad Shafiyuddin Banten dan lainnya.[7] Hasil keputusan itu dikirim ke Bukittinggi.
Kemudian oleh Syekh Harist Banten
dikirim kepada Syekh Khatib Ali di Padang. Keputusan itu kemudian diterbitkan dengan judul al- Mau’izhah
wat Tazdkirah disertai penjelasan, dibelakang risalah itu dicantumkan pula satu jawaban
Syekh Khatib Ali terhadap sebuah pertanyaan dari DR. Schieke.
Risalah ini diterbitkan oleh Derukrij Orang Alam Minangkabau, tahun 1919.
4)
Intisharul I’tisham fit Taqlidi ‘alal Awam Raddu
Tamyiz al- Taqlid minal Ittiba’
Heboh masalah Ijtihad pada awal abad XX membuat Syekh Khatib Ali perlu untuk masuk arena. Disamping beliau secara terang
telah menegaskan dalam karyanya Burhanul Haq bahwa seorang
yang belum sampai ilmunya pada tingkat Mujtahid
tidak dapat harus Taqlid pada
salah satu Imam yang empat, beliau juga merasa perlu mengarang satu buku yang khusus menjelaskan duduk perkara Taqlid dan Ijtihad. Pada tahun 1928
terbit sebuah buku aliran Kaum Muda di Asahan
yang menolak pendirian
Taqlid, buku tersebut berjudul
Tamyizut Taqlid minal Ittiba’
(karangan Abdul Hamid Mahmud al-Asahani). Syekh Khatib Ali mendapat kesempatan, disamping untuk mengi’tiradh buku
yang menurut hemat beliau tidak tepat, beliau dalam buku ini juga berkesempatan untuk menguraikan masalah
Ijtihad dan Taqlid yang diselewengkan oleh Kaum Muda. Pada permulaan
risalah ini beliau menulis:
Wa badh’, pada awal bulan Rabiul Awal sanah 1348 telah dikirim oleh ikhwan hamba dari Asahan sebuah kitab namanya
Tamyizut Taqlid minal Ittiba’
karangan Abdul Hamid Mahmud al-Asahani. Dimintak hamba
oleh ikhwan- ikhwan akan memberi keterangan bagaimana tujuannya kitab itu. Adakah setuju dengan fatwa ahlussunnah atau tidak. … tatakala
hamba lihat kitab itu, setengah
perkataannya mengi’tiradh (melawani) benar Ahlussunnah dalam Mazhab yang empat. Dan mu’taridh itu sangat berani menyalahkan orang yang Taqlid dan
membatalkan akan dia dengan mengadakan dalil daripada Qur’an dan
Hadist yang diputar maknanya dan maksudnya kepada yang
dikehendaki oleh hawa nafsunya yang tiada haq.[8]
Syekh Khatib Ali memang menguasai medan bahas, hal ini tercermin dari uraian kitab ini. Syekh Khatib telah menyertai risalahnya ini dengan referensi kitab-kitab fiqih dalam Mazhab Syafi’i yang luas, mulai dari generasi awal, Imam Syafi’i, sampai dengan periode mutaakhirin, Imam Ibnu Hajar dan Imam Ramli. Beliau juga mampu menjelaskan topik bahasan dengan baik, diksi yang mudah dipahami serta alasan-alasan yang cukup. Kitab ini kemudian dicetak di Pulo Bomer Padang, tanpa menyertakan tahun pembuatan.
Karya-karya beliau lainnya yang dikenal namanya ialah:[9]
Manaqib
Syekh Mushtafa al-Khalidi Sungai Pagu
1) Masalah Thalabin Nikah
2) Miftahud Din lil Mubtadi
3) Sifat Dua Puluh Kecil
4) Tanbihum fi Istilahin Naqsyabandi
5) Mas’alatul Arba’in alal Burhan Aqidatil Iman
6) Nazham Nasehat
7) Sya’ir Nabiyullah Ayub
8) Sya’ir Muhammad Rasulullah
9) Nazhm Ya’qub wa Yusuf
10) Sya’ir Hari Raya
11) Burhanul Qathi’ah
12) Menyembahyangkan
Mayit
13) Keputusan Mekah
14) Burhanul Musaddi
15) Ushuluddin
16) Al-Khatimah Yuhajjuhu
17) Asal Usul
18) Irsyadiyah fi Ulumin Nahwi
19) Irsyadiyah fis Sharf
20) Irsyadiyah
fil Fiqh
21) Irsyadiyah fil Ushul
22) Irsyadiyah fil Hisab wal Kalam
23) Irsyadiyah
fit Tajwid
[1] Baca lebih lanjut Tim Islamic
Centre, Riwayat Hidup 20…, op. cit., hal. 25-27; Tim Penulis, op. cit., hal. 78-79; KH. Sirajuddin
Abbas, Tabaqat…, op. cit., hal. 468
[2] Hamka, Ayahku…, op. cit., hal.
292
[3] Lihat perkembangan Madrasah Irsyadiyah ini dalam Abdul Mun’in Khatib
Ali, Sya’ir Irsyadiyah (diterbitkan sendiri, Tarandam)
[4] Syekh Khatib Ali al-Minangkabawi, op.cit., bagian pembuka Sya’ir
[5] Ulama-ulama itu ialah Syekh Khatib Saidina
Padang, Syekh Muhammad Thaib Padang, Syekh Muhammad
Dalil Bayang, Syekh Abdullatif Bengkulu,
Syekh ‘Aisy Hafiz Qur’an Palembayan, Syekh Arsyad Batuhampar, Syekh Abdul Hamid Matur, Syekh Muhammad
Haris Banten, Syekh Husein Alahan
Panjang, Syekh Abdurrahman Sungaipagu, Syekh Ja’far Lolo, Syekh Abdullah Surian, Syekh Ismail Lolo, Syekh
Abu Bakar Tanjuangalam, Syekh Abdul Ghani Kuala Lumpur,
Syekh Muhammad Jamil Pariaman, Syekh Muhammad Samah Binjai, Syekh Muhammad Nur Qadhi Langkat,
Syekh Muhammad Sa’ad Mungka, Syekh Sulaiman ar-Rasuli, Syekh Mukhtar (Mekah), Syekh Husein Qadhi Muara Aman, H.
Ahmad (President SI Padang), Faqih
Shaleh Padang, Faqih Makhudum Solok, Syekh Isma’il Maninjau, Syekh Salim Bayur dan Syekh Muhammad
Adam Maninjau.
[6] Lihat Syekh Khatib Muhammad
‘Ali al-Minangkabawi, Miftahus Shadiqiyyah fi Ishtilahin Naqsyabandiyah
Raddu fi Zhannil Kadzibah (Padang: Polo Bomer,
1905) hal. 6
[7] Syekh Khatib Muhammad Ali al-Minangkabawi, Risalah at- Mau’izhah wat Tazkirah: Pengajaran dan Peringatan, keputusan
rapat di Padang 15 juli 1919 (Padang, Derukrij
Orang Alam Minangkabau, 1919) hal. 4 dan 11
[8] Syekh Khatib Muhammad Ali
al-Minangkabawi, Intisharul I’tisham fit Taqlidi ‘alal Awam Raddu Tamyiz al-Taqlid
minal Ittiba’ (Padang: de Volherding, t.th) hal. 1
[9] Mastudi HS, dkk, op. cit., jilid II. Hal. 221; Tim Islamic
Centre, op. cit., hal. 39-40
0 Comment