Inyiak Rasul atau Inyiak De-er ini, dari golongan Kaum
Muda, ialah yang paling terkemuka ke-ulama-annya, berpengaruh dan yang terkenal kerasnya. Sebagai tokoh yang
disebut radikal ini, fatwa berikut
pengajian beliau banyak menimbul kontroversi ditengah masyarakat, sehingan
kontan hal ini membuat beliau
mempunyai banyak lawan, dan tak sedikit pula mempunyai kawan-kawan perjuangan. Banyak tercatat
murid-murid beliau dikemudian hanya yang dikenal sebagai
tokoh-tokoh perjuangan. Disamping
perjuangan ala kaum Muda yang beliau lakoni, beliau juga dikenal berjasa
dalam bidang pendidikan, sampai beliau dianugerahi DR (HC) dari al-Azhar, sangat besar andil beliau ketika berdiri Thawalib dan ketika kasus Ordonasi guru.[1]
Dua zaman pemerintahan, orang Belanda
dan Jepang mengenalnya selaku alim yang sering dimintai pendapat.
Karena keras, tak jarang
pula beliau diasingkan penguasa penjajah kala itu. Dalam usaha pembaharuan, beliau pulalah yang membawa Muhammadiyah ke Minangkabau tahun
1925, dan menjadikan kampung
halamannya Sungai Batang sebagai kantor cabang Muhammadiyah pertama.
Beliau dilahirkan di Sungai Batang pada tanggal 17
shafar. Ayah beliau terkenal
sebagai ulama besar dimasa itu, yaitu Syekh Amrullah Tuanku Kisa’i, ulama Tua menurut
garis Tarikat Naqsyabandiyah. Dimasa kecilnya beliau telah belajar
ilmu agama kepada beberapa
ulama, disamping ayahnya, juga kepada Angku
Haji Muhammad Shaleh dan Angku Haji Hud di Tarusan, kemudian kepada Sutan Muhammad Yusuf Sungai Rotan Pariaman. Pada tahun 1984 beliau berangkat
ke Mekah dan belajar
disana sampai tahun 1901. diantara guru-gurunya ialah Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syekh Abdullah Jumaidin,
Syekh Thaher Jalaluddin, Syekh Usman Serawak,
Syekh Umar Bajuned,
Syekh Shaleh Bafadhal,
Syekh Hamid Jeddah, Syekh Sa’id Yaman dan Syekh Jamil
Jambek.[2] Setelah
pulang beliau mengajar
di kampung beliau Sungai Batang.
Beberapa tahun kemudian beliau kembali ke Mekah, dan sempat mengajar di Mesjidil Haram. Tahun 1906
beliau pulang ke Sungai Batang dan
kemudian berpindah-pindah, ke Padang, lalu Padang Panjang dan terakhir
tinggal di Jawa hingga wafatnya.
Di masanya beliau digembar-gemborkan membawa faham
baru, sebab kajinya berlawanan dengan amalan ulama-ulama Minangkabau masa itu. Beliau sangat keras kepada Tarikat Naqsyabandiyah, hingga dikabarkan beliau
berseberangan dengan ayahnya yang dikenal selaku ulama Tarikat
Naqsyabandiyah. Berikut, tanpa
basa basi beliau menyebut kaji orang Syathari yang mengaji Nur Muhammad sebagai sesat. Namun beliau tidak bisa disebut sebagai orang yang sangat anti
pati dalam Tasawuf dan Tarikat secara
menyeluruh. Dalam satu cacatan tua yang ditemui di Kutubkhannah beliau di Sungai Batang, beliau merupakan penganut Tarikat Alawiyah dan Hadadiyah
yang diterimanya dari ayahnya,
catatan itu lengkap dengan silsilah Tarikat beliau itu.[3] Hal ini menjadi penting, sebab perihal
Tarikat Inyiak Rasul ini tidak disebut-sebut Hamka dalam Biografinya.
Dalam bidang tulis menulis, beliau termasuk yang paling produktif dikalangan teman-temannya.
Beliau telah membangun satu pustaka
yang dikenal dengan nama Kutubkhannah (=perpustakaan) di kampungnya, Sungai Batang, sebagai tempat berdiam mengarang, juga sebagai tempat
penyimpanan dokumen dan kitab-kitab beliau yang cukup banyak. Kutubkhannah itu masih terawat
sebagai benda cagar budaya saat ini, beberapa
dokumen, kitab dan tulisan-tulisan beliau yang selamat
dari kehancuran masih
tersimpan rapi di sini. Karya-karya yang beliau hasilnya sangat kaya, mulai dari soal ibadah,
sejarah, tafsir bahkan soal adat Minangkabau. Tentunya
sebahagian besar karya beliau
diwarnai dengan hal-hal yang mengundang polemik, tak jarang mengundang perdebatan yang alot.
Istimewanya, karya-karya beliau telah dikumpulkan
dengan baik oleh peneliti-peneliti
sesudahnya, tidak seperti karya ulama lain dizamannya yang sering dipandang
sebelah mata. Tentu kita maklum,
beliau ialah sosok pembaharu, tentu karya-karyanya menjadi objek buruan untuk sebuah
penelitian, dan orang-orang memang gemar dengan hal-hal
yang baru.
Karangan-karangan beliau dalam satu sumber yang cukup otoritatif
berjumlah sebanyak 31 judul.[4]
Hanya satu dua karya beliau yang tidak ditemui
hingga kini. Identifikasi sebahagian karya beliau sebagai berikut:
1)
Qathi’u Riqab al-Mulhidin fi Aqa’idil Mufsidin
Ini adalah satu seri bantahan beliau, Inyiak Rasul,
terhadap ajaran Tarikat. Lahirnya
risalah ini berdasarkan pertanyaan- pertanyaan yang dilontarkan oleh para murid mengenai pangajian
yang banyak dipakai
Tuanku-tuanku Syekh di Minangkabau. Dalam karya ini beliau khusus mengecam pendirian
kaum Tarikat Syathariyah dalam pengajian “Nur Muhammad”. Intinya, beliau menyebutkan
bahwa ajaran ini merupakan dongeng
fantasi saja dari kaum-kaum yang berpura-pura bersufi-sufian. Pada sampul kitab ini saja terdapat
kalimat beliau yang keras terhadap pengajian Tarikat Syatariyah ini, beliau kemukakan bahwa:Ini Risalah ialah pemagar diri,
supaya jangan mudah ditipu oleh
pembual-pembual dengan mulut manis dan sorban besar dan menjinjing tasbih memperdungu kebanyakan awam dengan menjual-jual Tarikat kosong dan
bohong dan bid’ah pada agama.[5] Selain
dalam bentuk cetakan, karya ini juga kita temui dalam bentuk manuskrip yang selesai ditulis
di Sungai Batang,
Maninjau, 1914.
2)
‘Umdatul Anam fi Ilmil Kalam
Dalam pengantar kitab ini disebutkan bahwa penulisan
karya ini untuk memperjelas “Sifat Dua Puluh” yang wajib diketahui
oleh setiap mukallaf, lebih dari itu
kitab ini juga banyak menyinggung persoalan Tauhid secara luas, yaitu mencakup
rukun Iman yang enam. Gaya penjelasannya yang
dibuat dalam narasi tanya jawab membuat karya ini terasa enak untuk dibaca. Perjelasan setiap Sifat
Allah, mulai dari wujud hingga kalam yang disertai dengan dalil masing-masih, apakah secara naql atau aql, menjauhkan
kitab ini sebagai sebuah karya kering, dimana seorang pembaca
harus menerima apa adanya. Namun karya ini memberikan alternatif argumentasi sehingga mengkayakan pembaca.
Pada akhir risalah, Inyiak rasul menyertakan beberapa
bait sya’ir sebagai bentuk tawadhu’ beliau, dan sebagai permohonan untuk memperbaiki risalah jika terdapat khilaf dan salah. Kutipannya:
Wahai Saudara
Taulan sahabat Silakan baca ini risalat
Jikalau ada
khilaf dan sesat Janganlah ikhwan
faqir diupat
Faqir mengarang Abdul Karim Dunia akhirat sangatlah
dzamim Kok tidak limpah Tuhan
yang rahim Sansi bertempat
ke neraka jahim[6]
Risalah ini selesai ditulis tahun 1906, kemudian diterbitkan pada percetakan Sneelpress al-Moenir pada tahun 1916.
3)
Al-Fawa’id al-‘Aliyah fi Ikhtilafil Ulama’ fi Hukmi
Talafuzh bin Niyyah
Masalah Ushalli, melafazhkan niat, merupakan
salah satu masalah
yang sangat hangat dibicarakan diawal abad XX. Kedua
kelompok, Kaum Tua dan Kaum Muda saling berkeras terhadap pendapat masing-masing. Kaum Tua kuat menyatakan
bahwa mengucapkan Ushalli merupakan
amalan Sunat, sebab menolang hati
ketika menghadirkan niat dalam Takbiratul
Ihram. Sedangkan kaum Muda bersikeras bahwa Ushalli merupakan hal bid’ah yang harus dijauhi,
bahkan yang radikal
diantara mereka mengatakan bahwa hal itu bid’ah
dhalalah. Karya ini merupakan
pendirian kaum Muda yang kokoh dalam
masalah niat. Inyiak Rasul memberikan argumen
yang jitu untuk menolak hujjah kaum
Tua, yang kadang kala dalam
risalah ini diuraikan dengan nada yang lumayan kasar.
Disamping mendudukkan perkara
Ushalli yang menurut hemat penulis, Inyiak Rasul, tidak berdasar dari syara’,
separoh karya ini merupakan bantahan
yang cukup kuat terhadap tulisan
Syekh Mungka yang membela amalan Ushalli dalam bagian akhir kitab Tanbihum
Awam. Pada akhir risalah termuat sebuah sya’ir yang
cukup panjang, berisi pujian
terhadap risalah ini, berikut sindiran terhadap kaum Tua yang keras ber-Ushalli:
Siapa melihat
ini risalah
Dapatlah
dalamnya ilmu yang jelah Khilaf ulama ada terjumlah Melafazhkan niyah li muridis
shalah
Tiap-tiap khilaf ada tempatnya Tiap-tiap maqal ada maqam-nya Ithla’ tafshil nyata bayan-nya Maudhu’ hukum satu-satunya
Bila risalah
akan dibaca Jernihkan hati terang bak kaca Jauhkan
mulut dari mencerca Mizan syari’at ambil neraca[7]
Risalah ini kemudian ditashih
oleh murid beliau, Zainuddin Hamidi,
untuk kemudian dicetak pada percetakan Tandikek- Padang Panjang.
4)
Pedoman Guru
Pembetulkan Qiblat Faham Keliru
Suatu ketika datang sepucuk surat kepada DR. Abdul
Karim Amrullah dari seorang ulama
berpengaruh di Borneo. Isi surat itu berkaitan
dengan amal Muhammadiyah yang menurut ulama tersebut telah menyimpang dari ajaran-ajaran Islam sebelumnya.
Dengan gaya santun sang ulama menulis dalam suratnya:
… berhubung dengan adanya pergerakan sekolah Muhammadiyah di Tanah
Jawa, sehingga menjalar sampai ke tanah-tanah tempat diam saya Borneo, yang mana itu pergolakan sangat mengejutkan dunia Islam di sini, oleh karenannya banyak masalah-masalah
hukum sedia kalanya selama Muhammadiyah itu rupa akan berubah ! … [8]
Beberapa masalah yang dikemukakan oleh ulama Borneo
itu kemudian dikupas oleh Inyiak Rasul dalam buku ini. maka jadilah buku ini sebagai benteng amal
Muhammadiyah dalam berbagai hal, meski Inyiak Rasul juga pernah menyerang
Muhammadiyah dalam satu segi.
Kitab ini kemudian
dicetak di Limbago-Payakumbuh, dengan biaya adik beliau, H. Yusuf Amrullah.
5)
Aiqazhun Niyam
Fima Ibtida’ min Umuril Qiyam
Perkara berdiri Maulid menjadi satu topik yang menghebohkan
pula diawal Abad XX tersebut. Sebagaimana amalan ulama sebelum tiba fatwa yang menyalahi, ketika
merayakan maulid, ulama-ulama beserta masyarakat banyak mereka melafazhkan Barzanji untuk mengenang perjuangan Rasulullah. Ketika sampai pada bacaan “Nabi dilahirkan”, mereka kemudian
serentak berdiri sebagai
ta’zhim kepada Nabi.
Namun kemudian amalan ini ditolah oleh kaum Muda, meskipun amalan ini telah dijelaskan dalam kitab-kitab fiqih sunnahnya. Sala satu bantahan kaum Muda
ialah dalam kitab ini.
Kitab ini ditulis
berdasarkan pertanyaan dan sanggahan terhadap
al-Moenir di Padang karena telah menyebarkan fatwa bahwa berdiri
Maulid adalah bid’ah.
Inyiak Rasul kemudian
menulis sanggahan pula untuk sipenanya, maka ditulislah buku
ini sebagai jawaban pertahanan kaum muda tersebut.
Seperti risalah-risalah lainnya, diakhir risalah ini
Inyiak Rasul juga menulis beberapa
bait untuk menyuruh pembaca berpikir jernih dalam hal ini, di antaranya:
Seruan kepada
segala pembaca Istimewa penduduk
pulaunya perca Panaspun garang
langit cuaca Bedakan intan daripada kaca
Ayuhai ikhwan
buah hati sayang Celup saduran sangat berbayang
Serupa zhahirnya emas dan loyang Peraknya
umpama malam dan siang
Ayuhai arifun
yang bijaksana Takwilkan ibarat faqir
yang hina Ilmu pengetahuan amat
berguna Sampai disini berhenti pena[9]
Risalah ini kemudian
dicetak oleh al-Moenir, Pondok-Padang, pada tahun 1911.
6)
Sendi Aman Tiang Selamat
Kitab ini berupa cerminan pemikiran
Inyiak Rasul yang cemerlang. Beliau telah merangkum
berbagai hal dalam risalah yang terdiri dari dua jilid ini.
mulai dari akhlak, yang beliau sebut
dengan adat limbago, perkara adab
berguru dan tata krama seorang guru, hingga beberapa
kritikannya terhadap Muhammadiyah sendiri. Tentunya beliau dalam risalah
tak luput membicarakan perubahan, mana-mana yang tidak sesuai menurut syara’,
memang beliau ungkai dalam kitab ini. misalnya
berpusaka kepada kemenakan, beliau katakan:
…tidaklah
akan tersembunyi lagi oleh segala niniak mamak
duksana saudaro bahasa adat jahiliyah
(berpusaka kepada kemenakan) itu wajib diubah,
lembaganyapun wajib dipecah!…
[10]
Karya ini
cukup fenomenal dan mengundang para peneliti untuk mendedah isi kandungannya
Pembuka Mata: Menerangkan Nikah bercina
Buta
Isinya menjelaskan keranjuan Nikah Muhallil yang saat ini mulai menjadi budaya sebahagian orang.
Beliau dalam buku ini menjelaskan
betapa sikap tersebut merupakan satu yang tidak sesuai dengan furu’ syari’ah, yakni dengan cukup alasan dan dalil dari kitab-kitab fiqih.
Diawal kitab ini, beliau
menyindir orang-orang yang nikah
Muhallil sebagai bercina buta, berikut:
Bacalah tuan pembuka mata Nikah
muhallil supaya nyata Memupus thalaq bercina buta Tiada dibenarkan agama kita
Hukumnya haram atau berzina Dikutuki Allah Tuhan maulana Agama Islam suci sempurna
Mengharamkan segala kerja yang hina
Bercina buta jadi sebutan Menghalalkan faraj itu
buatan Bagi si-muhallil sikambing jantan Dikutuki oleh Rasul ikutan[11]
Risalah ini selesai
ditulis pada tahun 1923 dan kemudian dicetak
pada Drukkerij Baroe, Fort de Kock, Bukittinggi.
7)
Sullamul Wushul Yarqi bihi Sama’u ilmil Ushul
Sebagai yang tertulis pada judul, karya ini merupakan
satu karya mengenai ilmu Ushul yang ditulis
dalam bahasa Melayu populer. Keterangan yang tertulis
pada bagian akhir kitab ini berupa sebuah keistimewaan, sebab karya ini disebut-sebut
sebagai kitab Ushul Fiqih pertama yang ditulis
dalam bahasa jawi.[12] Karya
ini dikemudian ditashih oleh
DR.
H. Abdullah Ahmad, yang kemudian memberi taqrizh berupa sya’ir mengenai keutamaan kitab ini. kutipan
sya’ir itu ialah:
Berkata haqir dagang
yang hina Pen-tashih kitab ushul sempurna Sullamul wushul nama yang mana
Tangga penyampai lurusan makna
Tangga penyampaikan kitab pertama Karangan alim bulan purnama
Abdul Karim Amrullah masyhurlah nama Di alam Minang
jarang yang sama
Kitab ini kemudian dicetak DR. H. Abdullah Ahmad pada percetakan al-Moenir di Padang,
pada tahun 1915.
8)
Al-Qaulus Shahih
Hangat-hangat perkara Ahmadiyah yang menghebohkan awal abad XX, ketika gurunya Syekh Thahir
mengarang Perisai menyatakan kesesatan Ahmadiyah, Inyiak Rasul juga tidak ketinggalan untuk masuk arena. Beliau
membantah pendirian Ahmadiyah berikut
segala syubhat yang dilontarkan
pengikut Qadiyan dengan bukunya al-Qaulus Shahih ini. setelah
mebahas dengan jitu dan cukup alasan, Inyiak Rasul didalam kaya ini menyimpulkan bahwa Mirza Ghulam
Ahmad, sebagai pendiri
Ahmadiyah itu telah sangat berati memutar balikkan ayat dan hadist untuk keperluannya, melakukan kebohongan
untuk menjual agama barunya,[13]
dikemukakan pula bahwa Dajjal yang diriwayatkan serupa dengan laku Mirza ini.
Kitab ini mulanya ditulis dalam Arab Melayu, dan
dicetak Tsamaratul Ikhwan
Bukittinggi, 1926. kemudian dilatinkan oleh Hamka, dan dicetak
di Yogya, pada Persatuan Muhammadiyah.
9)
Al-Mishbah li Tanwiri
Qulubiz Za’imin
Kitab ini berisi tentang pendirian
Inyiak Rasul bahwa perempuan
makhruh shalat ‘Ied di Lapangan. Kitab ini ditulis
dalam bahasa Arab, dengan format kecil. Risalah ini dicetak pada percetakan
Badest, Padang Panjang,
tahun 1940.[14]
10) Al-Kawakib ad-Durriyyah
Bahasa Indonesia, atau Melayu, digunakan
dalam khutbah Jum’at pada selain Rukun-rukunnya, baru
dimulai pada awal abad ke XX. Sebelum masa itu, khutbah
diberikan dalam bahasa Arab. Perubahan terjadi dalam
penyampaian khutbah ini telah membawa
dampak yang besar ditengah masyarakat, dan menimbul
pro kontra pula bagi sebahagian
kalangan.
Pada awal abad XX itu juga terbit sebuah risalah di
tanah Bugis, dengan judul al-Barahin al-Jaliyyah fisy tarati kaunil khutbah bil ‘Arabiyah
karangan Syekh As’ad Bugisi. Di dalam
risalah yang isinya ditulis dengan
bahasa dan aksara Bugis ini
disebutkan bahwa khutbah jum’at dengan bahasa
ajam (selain Arab) ialah Bid’ah, terlarang.[15] Risalah itu
dikirim kepada Inyiak Rasul disertai dengan sepucuk surat dari kaum Muslimin
Celebes meminta pendapat
beliau tentang masalah
ini.
Inyiak Rasul kemudian
membalasi surat itu dengan mengarang sebuah buku, bertajuk al-Kawakib ad-Durriyah li Bayan adam
istirath khutbah bil ‘Arabiyah. Kesimpulan dari tulisan beliau ini ialah bahwa khutbah jum’at boleh diucapkan dalam
bahasa ajamiyah (Indonesia).[16]
Risalah ini kemudian dilatinkan oleh Hamka, dan diterbitkan dengan nafkah beliau sendiri di Medan, tahun 1940.
11) al-Burhan: Mentafsirkan dua puluh dua puluh dari pada al-
Qur’an
layaknya ulama-ulama zamannya yang multidisipliner,
Inyiak Rasul juga menuangkan waktu untuk menulis
Tafsir al- Qur’an sederhana, namun menarik. Dalam
kitab ini, Inyiak Rasul menafsirkan
22 surat, mulai dari ad-Dhuha sampai an- Nass. Dalam pengantarnya, beliau mengemukakan bahwa keinginan
menulis tafsir ini didasarkan kuliah-kuliah beliau di Surau Jembatan Besi dalam Tafsir al-Qur’an.[17] Meski sederhana,
lebih dari itu Tafsir ini telah tersebar dan dibaca hingga luar pulau Sumatera.
Tafsir ini dicetak pada Percetakan Baroe, Fort de Kock, 1927.
12) al-Faraidh
Risalah ini berisi tentang petunjuk mengenai cara
pembagian harta warisan
menurut aturan Islam. Penulisannya tampak
dimotivasi dengan keinginan
untuk memberi pengetahuan pada masyarakat dalam bidang fara’idh. Sebagaimana diketahui bahwa diawal abad XX terjadi pula perdebatan mengenai hukum pewarisan di Minangkabau
dan kedudukan harta pusaka. Para
ulama tampak menggalakkan menerapan fara’idh, diantaranya dengan mengajarkan ilmu faraidh secara langsung,
dan ada pula dengan menulis buku-buku
berkenaan dengan warisan.
Risalah ini selesai ditulis pada tahun 1935, di
Kutubkhannah Maninjau. Kemudian
diterbitkan oleh pengarang
sendiri ditahun itu juga.
13) al-Basha’ir:
Dalil-dalil yang kuat, pemandangan yang hebat,
penolak segala kesamaran dan Syubhat
Hadirnya buku ini berawal dari tulisan beliau, Inyiak
Rasul, dalam buku Pelita tentang
istri-istri nabi yang oleh sebahagian kalangan termasuk riwayat yang dha’if. Persoalan ini kemudian menjadi heboh. Beberapa tokoh membantah isi karangan
Pelita itu, karena dituduh menghina
Nabi. Berdasarkan bantahan
itu semua, Inyiak Rasul kemudian
menulis bantahan untuk bantahan tersebut, dengan judul al- Basha’ir
(2 jilid). Buku ini
pun lalu menjadi pembicaraan hangat
pula masa itu. Pada sampul al-Basha’ir, Inyiak Rasul menulis terang-terangan:
Saya terima cacian tuan-tuan yang bijaksana, mengatakan karangan
saya kasar dan keras, tidak sesuai dengan zaman. Karena saya tidak pandai mehalus-haluskan. Hanya diharap supaya tuan-tuan gunakan sabut, dan
tempurung, isi kelapa dan minyak yang akan dimakan[18]
Jika menyaksikan karangan ini, akan terasa sikap keras
Inyiak Rasul terhadap pendiriannya.
Kitab ini dicetak di Bukittinggi, pada Islamijah,
1357 H.
Karangan-karangan Inyiak
Rasul lainnya ialah:
1) Izhharu Asatir Mudhillin fi Tasyabbuhihim bil Muhtadin
2) As-Suyuful Qathi’ah
3) Darul Mafasid
4) Syamsul Hidayah
5) Mursyidut Tujjar
6) Pertimbangan Adat Limbago Minangkabau
7) Dinullah
8) Al-Ifsah
9) Kitabur Rahmah
10) Cermin Terus
11) An-Nida
12) Asy-Syir’ah
13) Hanya Allah
14) Al-Ihsan
REFERENSI
1. Baca lebih lanjut perjuangan beliau itu dalam Murni
Djamal, Dr. H. Abdul Karim Amrullah: Pengaruhnya dalam Gerakan pembaharuan
Islam di Minangkabau pada awal abad ke-XX (Jakarta: INIS, 2002) terutama
pada bab III dan bab IV
2. Lihat Dr. Abdul Karim Amrullah, al-Burhan: Mentafsirkan dua puluh
dua puluh dari pada al-Baqarah (Ford
de Kock: Derekrij Baroe, 1928) hal. 1; Hamka,
Ayahku…,
op. cit., hal. 56; Tim Islamic Centre, op. cit., hal. 125
3. Manuskrip ini ditemui oleh Penulis, berikut Bpk Ahmad
Taufik Hidayat dan beberapa peneliti
UNAND di Kutubkhannah Inyiak Rasul Maninjau,
Desember 2010. catatan
konon belum pernah dibuka-buka sama sekali, tertumpuk di lemari tanpa disentuh-sentuh orang sebelumnya.
4. Daftar dan identifikasi lengkap karya Beliau lihat
dalam M. Sanusi Latief, dkk, Studi Tentang Karya Tulis DR. H. Abdul Karim
Amrullah (Laporan Penelitian The
Toyota Foundation, Padang, 1988) lihat daftar kronologis karya pada halaman 43-46; sedangkan dalam Ayahku, Hamka menyebutkan hanya 27 karangan saja, ditambah 3 karya yang tidak
dicetak. Lihat Hamka, Ayahku…op. cit., hal.
258-260
5. DR. H. Abdul Karim Amrullah,
Qati’u Riqal al-Mulhidin fi Aqa’idil
Mufsidin (Pondok, Padang: Direkrij al-Moenir, 1916) pada halaman sampul
6. DR. H. Abdul
Karim Amrullah, ‘Umdatul Anam fi Ilmil Kalam
7. (Padang: Snellpress al-Moenir, 1916) hal. 54
8. DR. H. Abdul Karim Amrullah, Al-Fawa’id al-‘Aliyah fi Ikhtilafil Ulama’
fi Hukmi Talafuzh bin Niyyah (Padang Panjang: Tandikek, 1908) hal. 73-74
9. DR. H. Abdul Karim Amrullah,
Pedoman Guru: Pembetul Kiblat Faham Keliru
(Payakumbuh: Limbago, 1922) hal.
3
10. DR. H. Abdul Karim Amrullah,
Aiqazhun Niyam Fima Ibtida’ min Umuril Qiyam (Padang: Durekrij al-Moenir, 1911) hal.
53
11. DR. H. Abdul Karim Amrullah,
Sendi Aman Tiang Selamat (Padang: al-Moenir, t.th) jilid I. hal. 136
12. DR. H. Abdul Karim Amrullah, Pembuka Mata: Menerangkan Nikah
bercina Buta (Fort
de Kock: Drukkerij Baroe, 1923) halaman sampul
13. DR. H. Abdul Karim Amrullah,
Sullamul Wushul Yarqi bihi Sama’u ilmil Ushul (Padang: Durekrij
al-Moenir, 1915) hal. 202, bagian tanbih
14. Lihat DR. H. Abdul Karim Amrullah, al-Qawloesh Shahih
15. (Yogyakarta: Durekrij
Persatuan Muhammadiyah, t. th) hal. 60
dst…
16. DR. H. Abdul Karim Amrullah, Al-Mishbah li Tanwiri
Qulubiz Za’imin (Padang Panjang: Badezt, 1940) 36 halaman
17. Kitab ini ada tersimpan di Kutubkhannah, Maninjau
18. DR.H. Abdul Karim Amrullah,
al-Kawakib ad-Durriyah li Bayan adam istirath
khutbah bil ‘Arabiyah (Medan: t.tp., 1940) hal. 40
19. DR.H. Abdul Karim Amrullah,
al-Burhan…, op. cit., hal.
16
20. DR. H. Abdul
Karim Amrullah, al-Basha’ir: Dalil-dalil
yang kuat, pemandangan yang hebat, penolak
segala kesamaran dan Syubhat (Fort
de Kock: Islamiyah, 1357 H) halaman
sampul
[1] Baca lebih lanjut perjuangan
beliau itu dalam Murni Djamal, Dr. H. Abdul Karim Amrullah: Pengaruhnya dalam
Gerakan pembaharuan Islam di Minangkabau pada awal abad ke-XX (Jakarta: INIS, 2002) terutama
pada bab III dan bab IV
[2] Lihat Dr. Abdul Karim
Amrullah, al-Burhan: Mentafsirkan dua puluh dua puluh dari pada al-Baqarah (Ford de Kock:
Derekrij Baroe, 1928) hal. 1; Hamka,
Ayahku…,
op. cit., hal. 56; Tim Islamic Centre, op. cit., hal. 125
[3] Manuskrip ini ditemui oleh
Penulis, berikut Bpk Ahmad Taufik Hidayat dan beberapa peneliti
UNAND di Kutubkhannah Inyiak Rasul Maninjau,
Desember 2010. catatan
konon belum pernah dibuka-buka sama sekali, tertumpuk di lemari tanpa disentuh-sentuh orang sebelumnya.
[4] Daftar dan identifikasi
lengkap karya Beliau lihat dalam M. Sanusi Latief,
dkk, Studi Tentang Karya Tulis DR. H.
Abdul Karim Amrullah (Laporan Penelitian
The Toyota Foundation, Padang, 1988) lihat daftar kronologis karya pada halaman 43-46; sedangkan dalam Ayahku, Hamka menyebutkan hanya 27 karangan saja, ditambah 3 karya yang tidak
dicetak. Lihat Hamka, Ayahku…op. cit., hal.
258-260
[5] DR. H. Abdul Karim Amrullah, Qati’u Riqal al-Mulhidin fi Aqa’idil
Mufsidin (Pondok, Padang: Direkrij al-Moenir, 1916) pada halaman sampul
[6] DR. H. Abdul Karim Amrullah, ‘Umdatul Anam fi Ilmil Kalam (Padang: Snellpress al-Moenir, 1916) hal. 54
[7] DR. H. Abdul Karim Amrullah, Al-Fawa’id al-‘Aliyah fi Ikhtilafil Ulama’ fi Hukmi Talafuzh bin Niyyah (Padang
Panjang: Tandikek, 1908) hal. 73-74
[9] DR. H. Abdul Karim Amrullah, Aiqazhun Niyam Fima Ibtida’ min Umuril Qiyam (Padang: Durekrij al-Moenir, 1911) hal.
53
[10] DR. H. Abdul Karim Amrullah, Sendi Aman Tiang Selamat (Padang: al-Moenir, t.th) jilid I. hal. 136
[11] DR. H. Abdul Karim
Amrullah, Pembuka Mata: Menerangkan Nikah bercina Buta (Fort de Kock: Drukkerij Baroe, 1923) halaman sampul
[12] DR. H. Abdul Karim Amrullah, Sullamul Wushul Yarqi bihi Sama’u ilmil Ushul (Padang: Durekrij
al-Moenir, 1915) hal. 202, bagian tanbih
[13] Lihat DR. H. Abdul Karim Amrullah, al-Qawloesh Shahih
(Yogyakarta: Durekrij Persatuan Muhammadiyah, t. th) hal. 60 dst…
[14] DR. H. Abdul Karim Amrullah,
Al-Mishbah li Tanwiri Qulubiz Za’imin
(Padang Panjang: Badezt,
1940) 36 halaman
[15] Kitab ini ada tersimpan
di Kutubkhannah, Maninjau
[16] DR.H. Abdul Karim Amrullah,
al-Kawakib ad-Durriyah li Bayan adam istirath
khutbah bil ‘Arabiyah (Medan: t.tp., 1940) hal. 40
[17] DR.H. Abdul Karim Amrullah,
al-Burhan…, op. cit., hal.
16
[18] DR. H. Abdul Karim Amrullah, al-Basha’ir: Dalil-dalil yang kuat, pemandangan yang hebat, penolak
segala kesamaran dan Syubhat (Fort
de Kock: Islamiyah, 1357 H) halaman
sampul
0 Comment