MANUFER FILSAFAT BARAT
Filsafat bukanlah pemikiran a-historis yang terlepas dari konteks sosial dan budaya, melainkan suatu sistem pemikiran yang tumbuh dalam suatu bangsa, dibangun oleh suatu generasi, melayani masyarakat dan mengekspresikan suatu peradaban. Inilah yang diupayakan oleh para pendukung paradigma sosial dalam menelaah pemikiran-pemikiran, kendatipun ia adalah proposisi bukti kebenaran diri sendiri ( qadhiyah badîhiyyah ) yang tidak perlu diperbaiki. Untuk itulah dibuat ilmu-ilmu humaniora secara kolektif, misalnya ilmu pengetahuan sosial yang sudah terkenal atau antropologi budaya, dengan mentransformasikan sejumlah paradigma sejarah: sejarah filsafat, sejarah pemikiran, dan sejarah aliran pemikiran.
Krisis filsafat yang terjadi di universitas-universitas dan lembaga-lembaga kita saat ini disebabkan tidak adanya kesadaran terhadap bukti-bukti di atas melalui kesadaran ilmiah yang total. Meskipun krisis filsafat itu berulang kali muncul pada awal pertemuan dan akhir setiap pelajaran, namun tetap saja tidak menghasilkan solusi, signifikansi dan terciptanya bukti-bukti demonstratif serta analogi terhadap konklusi-konklusi yang nyata bagi generasi kita. Filsafat hanya diartikan sebagai eksplanasi aliran pemikiran sosial dengan mengikuti apa yang sudah ada di dalam sebagian referensi asing yang ditransfer, dan untuk kepentingan sektoral yang lebih banyak muncul dalam ranah politik daripada ilmu pengetahuan, atau hanya untuk kepentingan analisis para mahasiswa terhadap persoalan-persoalan sosial, baik berdasarkan aliran politik maupun tidak, dan sebagai eskapisme dari tanggung jawab sosialnya. Oleh karena itu, alangkah mudahnya melindungi ke tempat-tempat suatu periode maupun klaim kemajuan sosial, dan langkah mudahnya melakukan pengulangan slogan -slogan dan perluasan metode-metode sosial.
Posisi inilah, yang pada dasarnya, mendorong kita memikirkan relasi filsafat dengan posisi generasi kultural tertentu, yaitu generasi bangsa kita. Oleh karena itu, kami tidak berbicara tentang krisis totalitas zaman maupun filsafat secara umum karena hal itu tidak memiliki relevansi bagi kita. Disana terdapat konstruk-konstruk potensi-psikologis-sosial yang muncul pada setiap zaman dan hanya mungkin digeneralisasi melalui kadar generalitas jiwa manusia dan keabsolutan rasio manusia. Pada hakikatnya, bersifat universal yang hanya datang setelah spesifikasi dan dunia rasio potensial tidak mempunyai eksistensi dalam dunia nyata.
Baik di universitas-universitas maupun dalam kehidupan umum kita, filsafat sudah berada dalam fase krisis. Substansi krisis ini dapat dinyatakan sebagai berikut: kita sudah mengolah universitas- universitas modern sejak setengah abad lebih. Universitas-universitas klasik kita sudah ada sejak seribu tahun lebih, namun kita tidak dapat menyatakan bahwa di kalangan kita terdapat filsuf-filsuf atau kita telah memproduksi filsafat. Secara umum, kita sudah memulai gerakan penerjemahan sejak satu setengah abad lebih, yaitu sejak Thahtawi kembali ke Mesir dan mendirikan “Lembaga Ilmu Penge-tahuan” ( Dîwan al- Hikmah ) II, semacam bahasa sekolah. Hingga saat ini, kami tetap melakukan penerjemahan, meskipun dengan hasil yang minimal. Jadwal acara nasional kita yang representatif hingga saat ini adalah publikasi, seperti tampak pada program-program perolehan barang yang mayoritas mengambil fokus perhatian penerjemah-penerjemahan.
Sampai saat ini, terjemahan-terjemahan ini tidak “berbunyi” dan tidak menghasilkan inovasi-inovasi. Seolah olah terjemahan adalah tujuan akhir, bukan sarana; seolah- olah konklusi adalah tujuan esensial. Kita, dalam tataran yang terbaik, memproduksi karya-karya yang berhadapan dengan aliran-aliran pemikiran lain yang berlandaskan teguh pada teks-teks asli dan kajian-kajian sekunder. Oleh karena itu, di kalangan kita, filsafat menjadi semacam antologi pendapat-pendapat, aliran-aliran, dan anotasi- anotasi teks sebagaimana yang kita lakukan terhadap materi-materi klasik.
Sepertinya kita hendak mengganti bahan yang satu dengan bahan yang lain dan ganti orang-orang modern dengan orang- orang klasik. Oleh karena itu, ketika seorang penulis bergolak dan Mengajukan tuntutan, sesungguhnya ia membela aliran pemikiran yang dimunculkan dan menyerang lawan-lawannya dalam satu hal. Di dalamnya, tidak ada permainan kata yang Situ posisi riil kultural kita yang disarikan dalam retorika dan dialog, dalam silogisme dan pembuktian demonstratif, dan dalam logika spekulatif. Sebaliknya, yang muncul adalah eksplorasi dalam logika ideologi.
Bagi kami, pemikir-pemikir itu, benar-benar mengalami perubahan menjadi duta-duta dua peradaban yang merepresentasikan aliran-aliran pemikiran asing, terutama tentang lingkungan ( milieu ) kita dengan refleksi penyelidikan, agitasi kultural, dan penyebaran Barat di luar batas- batas teritorialnya berbeda dengan Timur, di mana kita tidak menemukan di antara kita orang-orang yang merepresentasikankefilsafatannya baik di India maupun di Cina, sebagaimana yang terjadi di kalangan pemikir-pemikir periode pertama kita, seperti al-Biruni dan yang lainnya. Hal ini tampak jelas dalam penempatan Filsafat Timur di Universitas kami (Universitas Kairo, ed. ) dan bagaimana ia hanya diberikan dalam materi yang sempit serta dengan berpegangan pada seorang penulis terkenal yang menulis Filsafat Timur sebagai penyempurnaan bagi sejarah filsafat di Barat. [1]
Di dalam pembahasan tersebut tampak terjadi pengulangan terhadap apa yang ada pada masa lampau, baik yang terdapat di buku-buku maupun di pelbagai pembahasan. Karena alasan inilah, konsistensi atas kebutuhan agenda peradaban nasional risalah yang harus disampaikan di dalam setiap pertemuan dengan pemikir-pemikir yang mempunyai kepedulian. [2]
Kedua: Tiga Macam Sikap Budaya
Dalam konteks kekinian, sikap kultural kita mempunyai tiga rancangan yang menampilkan tuntutannya. Dalam konteks ini, tidak ada alasan bagi siapa permainan kata-kata untuk mengubah bahkan mengungkapkan ketiga bagian yang menampilkan ketegangan tersebut. Kalau itu terjadi, maka filsafat tidak lagi memiliki objek dan domain.
Pertama , sikap kita terhadap tradisi klasik. Hal ini penting karena kita adalah masyarakat tradisional yang kesadaran nasionalnya selalu terbuka terhadap orang-orang terdahulu ( qudama' ). Orang-orang terdahulu selalu merepresentasikan otoritas saya lalui kesadaran. Otoritas dijadikan justifikasi ketika teori menyacatinya. Pandangan kesadaran atau analisis fenomena dan organisir kita terhadap dunia selalu berangkat dari tradisi, sehingga antara kita dan tradisi tidak terdapat pemisah. Bahkan gerakan kritik terhadap tradisi yang akan menempatkan sejarah modern kita dalam periode yang baru pun masih belum berkembang.
Kedua , sikap kita terhadap tradisi Barat. Ini mulai menjadi salah satu pedoman dan rujukan fundamental bagi kesadaran nasional kita, bahkan salah satu sumber pengetahuan langsung bagi kultur intelektualisme dan nasionalisme kita. Pada akhirnya, tradisi Barat secara terus menerus hadir dalam sikap kultural kita sejak zaman Yunani Kuno hingga zaman modern. Di antara kita dan Barat tidak ada pemisah kecuali dalam gerakan salaf. Gerakan kritik Barat hanya berada dalam batas minimum yang dilakukan melalui paradigma retorika atau dialog, bukan dengan paradigma kritis dan logika demonstratif.
Ketiga , sikap kita terhadap realitas, di mana kita hidup di dalam- nya. Kita menguasainya dalam kesadaran kita, baik dengan sadar maupun tidak. Realitas merupakan sumber pengetahuan yang mengarahkan pilihan -pilihan. Kadang-kadang realitas merupakan sumber tunggal bagi pengetahuan melalui sensasi indriawi atau teoretisasi rasional.
Dua sikap yang pertama merupakan dua sikap kultural dalam pengertian harfiah. Artinya, kedua sikap itu biasanya berinteraksi dengan budaya-budaya baku dan diwarnai oleh metode pener- jemahan dengan memalingkan pandangan dari sumbernya, baik terjemahan dari ilmuan-ilmuan terdahulu ( kudama ) maupun ilmuan-ilmuan modern. Sementara hanya sikap yang ketiga yang Berinteraksi dengan pengetahuan materi (al-kham) tanpa apriori, baik yang berasal dari ilmuan-ilmuan klasik maupun modern. Biasanya sikap ketiga kultural ini tidak berimbang, begitu juga dengan kehadiran bagian-bagiannya. Kadang-kadang sikap kultural hanya dipusatkan pada sikap terhadap tradisi klasik. Dari sinilah kultur dan gerakan keagamaan, pendidikan tradisional, serta sistem kita berkembang secara “tetap” atau lebih tepatnya tanpa organisir.
Kadang-kadang sikap kultural kita dipusatkan pada sikap terhadap tradisi Barat. Dari tradisi ini menguaklah budaya ilmiah rasional, gerakan reformasi, modernisasi, pendidikan modern dan sistem timbul modern secara optimistik untuk menyokong kepentingan- pemegang kekuasaan. Dan, terkadang sikap kultural kita tertekan pada bagian ketiga, yakni realitas. Dari sini, peradaban nasional, gerakan-gerakan perubahan sosial dan revolusi-revolusi mutakhir lahir. Kesenjangan di dalam sikap kultural inilah yang menyebabkan pupusnya kesatuan identitas (wahdah asy-syakhshiyyah) dan menjadikan kita hidup dalam “keretakan yang payah” sehingga peradaban-peradaban, metode-metode pendidikan dan aliran-aliran politik saling berbenturan. Akibatnya, persatuan nasional dan identitas kebangsaan menjadi hancur.
Sikap ketiga kultural di atas saling bersinergi tanpa klasifikasi yang ketat dan otentik. Ada kalanya kesadaran individu menerima tradisi klasik yang membuatnya menolak tradisi Barat. Menentang, ia juga bisa menerima tradisi Barat dengan menafikan tradisi klasik. Biasanya, dalam Kaitan dengan sikap terhadap realitas, doa sikap yang saling bertolak belakang di atas mengemuka, karena salah satu diandaikan sebagai alternatif terhadap realitas kehidupan, sehingga pertentangan hanya terjadi dalam buku-buku dan wacana, bukan terjadi di antara manusia.
Sedangkan seseorang yang menerima sikap Positif dengan kesadaran penuh terhadap realitas biasanya akan bersikap positif terhadap dua sikap kultural di atas dengan menerima keduanya secara kritis. Oleh karena itu, prioritasnya adalah mengusung kemaslahatan di atas teksteks, mengangkat manusia di atas kebudayaan dan kehidupan di atas peradaban .
[1] Dalam Universitas tersebut hanya terdapat dua jam bagi kelas khusus pada tahun ketiga pada kelas filsafat tentang Filsafat Timur dengan berpedoman pada karya Masun Orsel: Filsafat Timur yang disusun sebagai penyempurnaan atas buku Sejarah Filsafat karya Emile Bariyyah yang selanjutnya menjadi materi pada tahun pertama. Ia juga menjadi materi kuliah di Jurusan Filsafat Universitas Shan'a'.
[2] Di antara tulisan-tulisan kami adalah:Tradisi dan Pembaruan, Sikap Kita TerhadapTradisi Klasik, dipublikasikan di Kairo pada 1980 dan di Beirut pada 1981; Sikap Kita terhadap Tradisi Barat,Masalah-persoalanKontemporerIItentangPemikiranBaratKontemporer,(Kairo, 1977 dan Beirut, 1981); Tradisi dan Krisis Perubahan Sosial,(Kairo, 1981); Tradisi dan Krisis Praksis Politik, (Rabat, 1982); Tradisi dan KebangkitanPeradaban,(Kuwait,1980); PemikiranIslamdan Garis Sirkulasi Kultural Masa Depan , (Kuwait, 1983); Kapan Filsafat Mati dan Kapan Hidup ?, (Kuwait, 1983); Dari Tradisionalisme (taqlid) Menuju Pembebasan , ( Rabat, 1979); Dari Kesadaran Individual Menuju Kesadaran Sosial, dalam Dirasat Islamiyyah , (Kairo, 1981); dan terakhir adalah Dari Teologi Menuju Revolusi, Sebuah Upaya Rekonstruksi Ilmu Usuludin , (Kairo dan (Beirut, 1988).
0 Comment