Fiqh pada Masa Sahabat
Dengan wafatnya Nabi Muhammad SAW sempurnalah turunnya ayat-ayat Al-Qur'an dan sunah Nabi, juga dengan sendirinya sudah terhenti. Kemudian terjadi perubahan yang besar sekali dalam kehidupan masyarakat, karena telah meluasnya wilayah Islam dan semakin kompleksnya kehidupan umat.
Keimanan umat yang sudah tinggi dan kepatuhannya akan perintah agama, menuntut mereka untuk selalu menghubungkan perilaku lakunya sehari-hari dengan nilai agama. Karena itu umat memerlukan jawaban hukum dalam menghadapi setiap persoalan dalam kehidupannya.
Ada tiga hal pokok yang berkembang waktu itu sehubungan dengan hukum.
Pertama, begitu banyaknya muncul kejadian baru yang membutuhkan jawaban hukum yang secara lahiriah tidak dapat ditemukan jawabannya dalam Al-Qur'an maupun penjelasan dari sunah Nabi.
Kedua, masalah timbulnya-masalah yang secara lahir telah diatur ketentuan hukumnya dalam Al-Qur'an maupun sunah Nabi, namun ketentuan itu dalam keadaan tertentu sulit untuk diterapkan dan menuntut pemahaman baru agar relevan dengan perkembangan dan persoalan yang dihadapi.
Ketiga, dalam Al-Qur'an ditemukan penjelasan terhadap suatu kejadian secara jelas dan terpisah. Bila hal tersebut berlaku dalam kejadian tertentu, para sahabat menemukan kesulitan dalam menerapkan dalil-dalil yang ada.
Masalah pokok ketiga di atas memerlukan pemikiran mendalam atau nalar dari para ahli yang disebut ijtihâd. Dalam menghadapi hal tersebut berkembanglah pemikiran para sahabat.
1. Dalam menghadapi bentuk pertama, yaitu masalah yang baru ter- jadi, para sahabat mencari jawaban dari lahirnya Al-Qur'an, kemudian mencari dari penjelasan yang pernah diberikan Nabi. Bila tidak menemukan jawabannya secara jelas, mereka mencoba mencari jawabannya dari balik lahir lafaz hukum yang ada. Dengan cara ini, lahir lafaz ayat itu dapat direntangkannya kepada kejadian yang baru itu. Usaha ini dapat ditempuh, melalui beberapa cara, di antaranya:
A. Dengan pemahaman semata lafaz, yaitu memahami maksud yang terkandung dalam lahir lafaz. Umpamanya bagaimana hukum membakar harta anak yatim. Ketentuan yang jelas dalam Al-Qur'an hanya larangan memakan harta anak yatim secara aniaya, sedangkan hukum membakarnya tidak ada. Karena semua orang tahu bahwa membakar dan memakan harta itu sama dalam hal mengurangi atau menghilangkan harta anak yatim, maka keduanya juga sama hukumnya, yaitu haram. Cara ini kemudian disebut penggunaan metode mafhum.
B. Dengan cara memahami alasan atau 'Illat yang terdapat dalam suatu kasus (kejadian) yang baru, kemudian menghubungkannya kepada dalil nash yang memiliki alasan atau 'Illat yang sama dengan kasus tersebut. Cara ini kemudian disebut metode qiyas.
Penunjukan pengganti Nabi untuk urusan keduniaan belum ada ketentuannya. Tidak ada ketentuan yang mengatur sistem khilafah dalam Qur'an atau sunah Nabi. Setelah Nabi wafat, masalah ini segera muncul. Para sahabat berpikir bahwa masalah memimpin urusan dunia dapat dihubungkan kepada pemimpin urusan ibadah. Ternyata Abu Bakar pernah menunjuk Nabi untuk menggantikan beliau menjadi imam shalat jamaah, sewaktu Nabi sakit. Atas dasar ini para sahabat berpendapat bahwa yang akan menggantikan Nabi dalam urusan dunia—yaitu menjadi khalifah dalah Abu Bakar. Pemikiran seperti ini berkembang di kalangan sahabat yang kemudian dikenal dengan pemikiran secara qiyas.
Dalam kurun waktu sahabat ini penggunaan ijtihad masih terbatas pada metode mafhum dan qiyas. Cara ini pun sudah dapat menjawab semua persoalan yang muncul saat itu.
2. Persoalan dalam bentuk kedua yaitu perubahan keadaan yang menghendaki perubahan pemikiran walaupun jarak waktu Nabi dengan jangka waktu sahabat relatif pendek dan bersambung, namun perkembangan kehidupan begitu cepat yang menuntut adanya perubahan pemikiran.
Allah SWT. dalam Al-Qur'an wajib zakat. Nabi dalam sunah-Nya menyebutkan bahwa zakat itu diambil dari orang kaya dan diberikan kepada orang miskin. Nabi memerintahkan Allah untuk mengambil harta zakat dari umatnya (QS. at-Taubah/9:103). Cara yang dilakukan Nabi adalah cara yang bijaksana sesuai dengan pesan Allah untuk berdakwah dengan cara bijaksana (QS. al-Nahl/16: 125). Atas kesadaran umat saat itu, kewajiban zakat dapat dilaksanakan secara baik.
Pada masa Abu Bakar menjadi khalifah, beliau melihat bahwa pemungutan zakat secara lemah lembut seperti yang dilakukan Nabi tidak efektif lagi karena adanya kecenderungan pembangkangan dari sebagian masyarakat terhadap kewajiban membayar zakat. Karena itu Abu Bakar mengambil sikap yang keras, bahkan ditetapkan untuk memerangi orang-orang yang tidak mau membayar kewajiban zakat. Pemikiran dasar Abu Bakar adalah bahwa menempuh sikap lemah lembut sebagaimana dilakukan oleh Nabi, kewajiban membayar zakat tidak dapat ditegakkan.
Allah SWT. melarang orang Islam meminum khamar secara tegas (QS. al-Maidah/5:90) karena perbuatan tersebut meru-pakan dosa besar; meskipun ada sedikit manfaat di dalamnya. Karena dalam larangan lain Allah SWT. menetapkan sanksi-nya, sedangkan dalam larangan khamar tidak diiringi dengan sanksi, maka Nabi melalui ijtihadnya memberlakukan sanksi minum khamar, yaitu sebanyak 40 kali. Pelaksanaan sanksi yang ditetapkan itu dapat menjerakan orang. Dengan demikian tujuan larangan telah tercapai.
Pada masa Umar ibn Khattab menjadi khalifah, kebiasaan minum khamar waktu jahiliah kembali lagi di kalangan orang Islam dan sanksi dera 40 kali sudah kurang efektif sebagai alat penjera. Umar memikirkan cara membuat orang jera minum khamar yang merupakan tujuan dari hukum. Dalam hal ini Umar menetapkan sanksi mimun khamar menjadi 80 kali lipat, sehingga orang menjadi semakin takut meminum khamar. Dengan demikian, sanksi yang ditetapkan Umar berbeda dengan yang ditetapkan Nabi sebelumnya, untuk mencapai tujuan larangan, yaitu menjerakan kejahatan kejahatan.
Dalam surat al-Anfal (8): 41, Allah berfirman:
Ketahuilah sesungguhnya bila kamu mendapatkan suatu harta rampasan, maka seperlimanya untuk Allah, Rasul, wali Rasul, anak yatim, orang-orang miskin, dan ibnu sabil.
Dalam memahami ayat tersebut, Nabi membagi harta rampasan perang menjadi dua kelompok. Tumpukan pertama sebanyak 1/5 bagian dibagikan kepada pihak-pihak yang disebutkan dalam ayat Al-Qur'an, sedangkan sisanya dibagikan kepada orang-orang yang ikut dalam perang yang menghasilkan harta rampasan itu.
Pada saat Umar berkuasa, pasukan Islam berhasil menaklukkan tanah subur di Irak. Umar berpendapat tidak maslahat kalau hak 4/5 harta rampasan itu dibagi habis di kalangan pasukan. Dia berpendapat lebih banyak maslahatnya bila tanah rampasan itu tidak dibagikan untuk pasukan, tetapi dibiarkan digarap orang yang memiliki tanah itu, namun sebagian hasilnya dipungut untuk kepentingan umat, termasuk untuk keperluan perang.
Dalam contoh tersebut Umar menetapkan hukum yang berbeda dengan apa yang berlaku pada masa Nabi dan khalifah Abu Bakar berdasarkan pertimbangan maslahat. Tindakan Umar ini banyak menjelaskan bahwa pemahaman Umar atas ayat Al-Qur'an berbeda dengan apa yang dipahami Nabi karena kondisi dalam kedua masa itu telah berbeda.
Pada masa Nabi, azan memberi tahu masuk waktu Jumat dilakukan satu kali, yaitu setelah khatib naik mimbar. Hal ini merupakan pemahaman terhadap ayat 9 surat al-Jumu'ah (62) yang berbunyi:
Hai orang-orang yang beriman, bila Anda terpanggil untuk me- lakukan shalat Jumat, segeralah mendatanginya dan tinggalkan segala bentuk jual beli.
Azan satu kali itu di masa Nabi sudah cukup untuk memberi tahu orang Islam untuk menghadiri shalat Jum'at. Pada waktu 'Utsman ibn 'Affan menjadi khalifah, umat Islam semakin banyak dan wilayahnya semakin luas. Kalau azan hanya satu kali saja, belum tentu akan merata ke seluruh umat di sekitarnya. Karenanya, 'Utsman menetapkan azan shalat Jumat menjadi dua kali. Hal ini dijelaskan dalam sebuah atsar dari Su'eb bin Jazid menurut riwayat Bukhari, Nasa'i dan Abu Daud:
Adalah pada mulanya azan Jumat itu bila khatib telah duduk di atas mimbar pada masa Rasul Allah, Abu Bakar dan masa 'Umar. Pada masa 'Utsman dan telah banyak orang, ditambah azan itu menjadi tiga kali (satu kali terakhir adalah ikamah)
3. Pertanyaan ketiga adalah mengenai pemahaman terhadap dua ayat yang terpisah. Ayat Al-Qur'an menetapkan hukum untuk setiap kejadian dengan hukum tertentu secara terpisah. Untuk penerapan ayat tersebut, Nabi telah memberikan penjelasan, sehingga hukum itu dapat dilaksanakan sesuai dengan apa adanya. Umpamanya hak kewarisan saudara-saudara dijelaskan Allah dalam surat an-Nisa'/4 12 untuk saudara seibu; ayat 176 untuk saudara-saudara kandung atau seayah. Dalam surat an-Nisa'/4 ayat 11 dijelaskan mengenai hak kewarisan ayah, yaitu 1/6 bagian, bila pewaris ada meninggalkan anak. Ayat
176 surat an-Nisa' itu mengandung arti bahwa bila ada ayah, saudara-saudara tidak menerima hak kewarisan, karena ayah lebih utama dari saudara. Tentang kakek, tidak secara jelas disebutkan dalam Al-Qur'an, namun dalam pengertian umum orang Arab, kakek adalah se-bagai pengganti ayah bila tidak ada ayah. Dalam hal ini Nabi memberikan penjelasan dalam hadis dari Amran ibn Husein menurut riwayat Ahmad, Abu Daud, dan at-Tarmizi:
Pasti seseorang datang kepada Nabi dan berkata, “Anak dari anak saya meninggal, bagaimana harta warisannya untuk saya?” Nabi menjawab, “Untuknya seperenam.”
Kasus bertemunya saudara-saudara dengan kakek dalam satu kelompok ahli waris, mungkin belum terjadi pada masa Nabi hingga belum ada penjelasannya dari Nabi. Pada waktu pemerintahan Abu Bakar, kasus ini muncul di hadapan beliau. Dengan pertimbangan bahwa kakek menempatkan kedudukan ayah bila ayah tidak ada dan saudara tidak berhak menerima mewaris bersama ayah, maka dalam kasus ini Abu Bakar berpendapat dan memfatwakan bahwa saudara-saudara tidak berhak menerima warisan bila bersama dengan kakek. Sahabat lain, di antaranya 'Umar bin Khat- tab dengan pertimbangan bahwa kewarisan saudara dijelaskan dalam Qur'an sedangkan kakek tidak dijelaskan dalam Qur'an, menyatakan fatwanya bahwa saudara-saudara dapat mewaris dan berbagi kakek.
Ayat 12 surat an-Nisa' (4) menjelaskan saudara seibu sebagai ahli waris dzul furûdh, yaitu 1/6 bila sendirian dan 1/3 bila bersama-sama; sedangkan saudara laki-laki kandung atau seayah tidak dijelaskan furudh-Nya dalam surat an-Nisa' ayat 176. Kedudukannya sebagai “ahli waris sisa harta” ('ashâbah) dijelaskan Nabi dalam hadis dari Ibnu Abbas melalui riwayat muttafaq 'alaih: Dalam hal ini 'Umar menetapkan bahwa saudara kandung ber- gabung dengan saudara seibu dalam mengambil hak 1/3 harta, yaitu hak saudara seibu.
Hak istri atas peninggalan mendiang suaminya dijelaskan secara pasti dalam Al-Qur'an, yaitu pada surat an-Nisa' (4): 12, yaitu1/4 bagian bila suami tidak meninggalkan anak dan 1/8 bila suami meninggalkan anak. Istri ini tidak mendapat hak apa-apa bila sebelum suami mati si istri telah dicerai lebih dahulu.
Tentang bagaimana kalau suami menceraikan istrinya dalam keadaan sakit keras dan dapat diperkirakan maksud menceraikan itu adalah untuk menghindarkan istri dari hak kewarisan. Dalam hal ini, timbul perbedaan pendapat di kalangan sahabat karena khusus untuk ini tidak ada penjelasan hukum sebelumnya. 'Utsman ibn 'Affan berpendapat dan menetapkan fatwanya bahwa si istri berhak atas warisan suaminya, sebagaimana disebutkan- tetapi dalam riwayat bahwa Abdurrahman ibn Auf menceraikan istrinya ketika ia sedang sakit. 'Utsman memberikan warisan kepada istrinya yang tertalak itu menurut kadar yang berlaku.
'Idah wanita yang diceraikan suaminya dalam keadaan hamil dijelaskan Allah dalam surat at-Thalaq (65): 4, yaitu sampai melahirkan anak: Tetapi tidak ada penjelasan yang pasti dari Allah maupun dari Nabi tentang 'idah wanita yang meninggal suaminya dalam keadaan hamil; apakah menggunakan ayat 4 surat at-Thalaq meskipun belum 4 bulan ayat 10 hari sebagaimana dikehendaki 234 surat al-Baqarah (2). Atau menggunakan ayat 234 surat al-Baqarah (2) meskipun anaknya belum lahir sebagaimana dituntut surat al-Thalaq (65): 4. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan sahabat. 'Ali bin Abi Thalib berpendapat dan berfatwa bahwa 'idah wanita itu adalah masa yang terlama di antara dua masa itu. Dasar pertimbangannya adalah kehati-hatian dalam mengamalkan dua ayat tersebut di atas. Ulama lain di antaranya 'Umar Ibn Khattab berpendapat bahwa 'idahnya tetap melahirkan anak, meskipun belum sampai masanya 4 bulan 10 hari.
Demikianlah sekedar contoh pemikiran sahabat tentang hukum, baik dalam hal tidak ada dalil tertulis yang menjelaskannya, atau keadaan sudah berubah yang menghendaki perubahan pemikiran; atau dalam bentuk ketiga yaitu penerapan ayat terhadap dua kejadian yang bergabung. Pemikiran ini menghasilkan pendapat berbeda yang pada akhirnya menghasilkan pihak-pihak yang berbeda, masing-masing mengikuti para pengikutnya. Perbedaan ini pada umumnya disebabkan oleh karena tidak adanya petunjuk yang pasti dari Al-Qur'an dan juga tidak ada penjelasan dari Nabi.
Di antara perbedaan pendapat yang berkembang di kalangan sahabat dalam memahami hukum Allah, terkadang terdapat kesamaan pendapat di kalangan mereka. Kesamaan pendapat ini kemudian diistilahkan dengan “ijma'”. Kesamaan ini mungkin munculnya pemahaman dan penerimaan bersama atas keterangan Nabi yang kurang kuat sandarannya. Bentuk ini disebut kesamaan atau ijma' yang menyandarkan diri kepada nash atau petunjuk yang ada. Umpamanya dalam menetapkan hak warisan nenek atas harta warisan sebesar 1/6 bagian. Memang untuk ini ada petunjuk dari Nabi yang berasal dari Qubeisah Ibn Zueb menurut riwayat ashhâb al-khamsah selain Nasa'i dan lulus Tarmizi.
Jelas hadis itu kurang kuat sandarannya karena Abu Bakar sendiri sampai tidak mengetahui hadis itu. Namun setelah diterima hadis itu oleh Abu Bakar dengan kesaksian dua orang sahabat yaitu Mughirah ibn Syu'bah dan Muhammad ibn Maslamah, Abu Bakar menetapkan hak nenek sebesar 1/6. Apa yang telah disampaikan Abu Bakar itu ternyata diterima (disetujui) semua pihak sehingga menjadi ijmâ' shahabat.
Bentuk kesamaan pendapat kedua adalah kesamaan yang sama sekali tidak menyandarkan diri kepada dalil mana pun, ia semata-mata hasil pendapat yang kemudian didukung pendapat- pendapat yang lain. Wanita hamil dari perbuatan zina dibolehkan kawin menurut ijma' sahabat. Kasus ini muncul di masa Umar. Saya boleh memasang wanita tersebut kawin di depan para sahabat lainnya, dan ternyata tidak ada yang menolaknya. Hal ini berarti ijmâ' sukûtî di kalangan sahabat.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa pada masa sahabat, sumber yang digunakan dalam merumuskan fiqh adalah Al-Qur'an, penjelasan Nabi yang disebut sunah, dan ijtihad yang terbatas pada qiyas serta ijmâ' shahabat. Bila pada masa Nabi proses penetapan fiqh disebut pembinaan fiqh, maka pada masa sahabat disebut periode pengembangan fiqh.
0 Comment