EMILE DURKHEIM DAN PEMBERDAYAAN
1.1 Biografi
Emile Dukheim adalah seorang sosiolog
kelahiran Epinal di Lorraine
pada tanggal 15 April 1858, berasal dari keluarga Yahudi Prancis yang panatik diaman ayah dan kakeknya
adalah pendeta Yahudi (rabbi). Dia berpendapat
bahwa fenomean keagamaan
berasal dari faktor-faktor sosial bukan dari ilahi. Perkembangan intelektual Durkheim begitu pesat. Momentum
ini ditandai oleh terbitnya tesis Doktornya, The Division
of Labor in Society (Pembagian Kerja dalam Masyarakat) (1893). Ada pula beberapa buku metodologi seperti The Rules of Sociology
Method (1895) yang secara khusus
menstudikan secara empiris fakta bunuh diri (suicide).
Sekitar tahun 1896 ia menjadi Profesor penuh di Universitas Bordeaux; tahun 1902 ia mendapat kehormatan mengajar di Universitas Prancis, Sorbonne, dan 1906 ia menjadi profesor ilmu pendidikan dan sosiologi. Karyanya yang cukup penting dalam perkembangan sosiologi di kemudian hari ialah The Elementary Forms of Religious Life (Dasar- dasar Kehidupan Agama), yang terbit tahun 1912. Dyrkheim menaruh minat yang besar bukan hanya dalam sosiologi tetapi di bidang lainnya.
Teori-teori mengenai masyarakat berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat. Dari waktu ke waktu, teori- teori itu mengalami perkembangan dan perubahan bahkan ada yang turut tenggelam bersama dengan bertumbuhnya teori baru.
Dalam konteks itu, kita tidak bisa menyangkali bahwa perubahan-perubahan teori mengenai masyarakat itu terjadi di dalam suatu masyarakat yang dinamis dengan daya mobile yang tinggi. Beragam teori mengenai masyarakat itu memperlihatkan bahwa kemampuan masyarakat untuk berubah itulah yang menjadi faktor penting dalam memahami masyarakat. Artinya, masyarakat tidak bisa dimengerti dari suatu konstruk teori an sich, melainkan mesti dilihat secara riil atau kontekstual
Tulisan beberapa pemikir di awal abad ke-21, menyatakan bahwa “mesin peradaban” masyarakat sedang berfungsi untuk membawa suatu tatanan baru di dalam masyarakat Bangkitnya turbin “mesin peradaban” itu adalah suatu gejala dari semakin pentingnya eksistensi masyarakat, termasuk eksistensi kelokalan yang tampak melalui berbagai bentuk kearifan lokal, atau dalam terminologi sosiologi disebut sebagai “modal sosial” (sosial capital).
Dalam kaitan itu, sebenarnya paper ini harus dibawa masuk ke dalam ranah perubahan masyarakat
yang serba cepat itu. Karena itu,
persoalan pokok di sini bukan pada apa sumbangan
teori sosiologi mengenai masyarakat transisi dan modern itu, sebaliknya apakah
masyarakat transisi dan modern itu membuat teori-teori yang ada barubah
secara signifikan? Pertanyaan itu pun
penting dikemukakan untuk melakukan refleksi
kritis terhadap peta
pemikiran Emile Durkheim. Bahkan kita bisa mengajukan pertanyaan baru, apakah memang
teori- teori Emile Durkheim
mengenai masyarakat masih relevan dan
dapat dijadikan sebagai suatu cara pandang memahami masyarakat dewasa ini (masyarakat transisi
dan modern)?
Sejauh
pengenalan
kita terhadap masyarakat dan teori- teori sosial itu, persoalan kita kemudian
adalah bagaimana membangun suatu cara pandang
filsafat sosial dan karena itu bagaimana peta filsafat itu kita gunakan
untuk membedah.
Durkheim secara epistemologik. Saya kira masalah kita di sini adalah bagaimana memahami teori-teori Durkheim sebagai suatu Posttulat yang tersusun atas berbagai argumentasi filsafati (keilmuan).
Emile Durkheim (1858-1917) meneliti bagaimana tatanan sosial dipertahankan dalam berbagai bentuk masyarakat. Ia memusatkan perhatian pada pembagian kerja yang memebedakan antara masyarakat tradisional dan masyarakat modern. Yang membedakannya adalah jika masyarakat tradisional lebih kepada mengandalkan diri sendiri atau individual dalam sebuah pekerjaan, sedangkan dalam masyrakat modern dalam hal bidang pekerjaan lebih kepada membutuhkan orang lain untuk mendapatkan produk- produk dan laba yang dihasilkan dalam suatu usahanya sehingga dimasyarakat modern pembagian pekerjaan sangat dibutuhkan.
1.2 Tenaga Kerja
SementaraEmileDurkheimdarialiranSosiologiPerancis, membuat observasi tentang “Dampak perkembangan industri modern terhadap kebahagiaan kaum buruh.” Studi ini dikenal dengan studi “bunuh diri”. Di dalamnya Durkheim menekankan bahwa perkembangan industri bukan saja telah mengurangi daya kerah kaum buruh untuk bekerja dan bekerjasama. Tapi juga telah mengurangi totalitas kebahagiaannya.
Padahal harapan beroleh kebahagiaan dalam pergaulan yang harmonis dan intim dalam pekerjaan tetap merupakan hasrat manusia yang kuat. Bahkan terkuat. Adalah tragedi modern, jika hasrat seperti itu malah dikatakan menghambat dan bukan membantu kerjasama yang produktif. Adalah ironis jika hasrat semacam itu terkesampingkan oleh sebuah peraturan yang jomplang, berat sebelah.
Kalau masalahnya demikian, UU Ketenagakerjaan seperti apakah yang dapat diakomodasi pemerintah dalam upaya mencapai keharmonisan dan keadilan yang seimbang antara majikan dengan kaum buruh guna mengoptimasi produktivitas sumberdaya manusianya, tanpa harus mengu- rangi hasrat kaum buruh untuk bahagia?
Faktor Produktivitas
Dalam suatu perusahaan atau industri, diakui
bahwa
upaya untuk meningkatkan produktivitas sumberdaya manusia menyangkut
banyak bidang garapan. Namun sebagian waktu
dan tenaga seringkali tercurah pada urusan-urusan lain. Katakanlah
urusan kinerja, produksi, pemasaran, pelayanan
atau budaya perusahaan serta masalah lainnya, yang justru ada kalanya tidak berkaitan dengan
peningkatan produktivitas kerja.
Memang benar, kegiatan-kegiatan itu penting. Tetapi pada akhirnya, terhadap pengelolaan SDM dalam perusahaan akan menyangkut dua kepentingan ekstrim. Di satu sisi bagi kepentingan manajemen akan ditanyakan :Apakah para pekerja sudah bekerja produktif untuk mencapai tujuan perusahaan? Dengan kata lain apakah SDM telah dioptimalisasi? Namun di sisi lain bagi kepentingan kaum buruh akan ditanyakan : Apakah kaum buruh telah diperlakukan secara adil? Dengan kata lain apakah hak-hak kaum buruh telah terakomodasi dalam takaran yang pas?
Hingga kini diakui, kaum buruh atau tenaga kerja lah yang lazim dijadikan faktor produktivitas. Terutama karena Postisinya yang strategis sebagai ujung tombak kemajuan dan produktivitas. Karena itu wajar, jika masalah ini senantiasa mendapat fokus perhatian tinggi, bahkan bagi perusahaan yang peduli terhadap masalah ini telah dilakukan pula melalui penelitian-penelitian intens.
Dahulu kala, pada tahun 1850 misalnya, perhatian mulai banyak ditumpahkan kepada kebutuhan kaum pekerja. Namun tetap saja, sang majikan memandang kaum buruh sebagai komoditi untuk dibeli dan dijual seperti komoditi lainnya.
Bekerja seharian yang teramat lama dan melelahkan dengan upah rendah serta kondisi kerja yang menyedihkan, merupakan kenyataan dari rata-rata kehidupan kaum pekerja saat itu. Sedangkan persatuan kaum buruh (sarikat pekerja) masih berjuang keras untuk dapat berdiri dan masih belum dapat memenangkan hak untuk mewakili kekuatan kaum buruh.
Peristiwa tragis terjadi pada 1 Mei 1886, pada saat kaum buruh di Amerika Serikat melakukan
unjuk rasa selama empat hari. Pada hari keempat tindakan
tidak terpuji dilakukan
aparat kepolisian dengan melakukan penembakan kepada para pengunjuk rasa yang mengakibatkan
empat ratus buruh meninggal dunia.
Tanggal ini kemudian diabadikan sebagai Hari Buruh Internasional
atau May Day.
Kemudian pada tahun-tahun di sekitar peralihan abad (1900), muncul Frederick Taylor, dengan teorinya yang terkenal “scientific management.” Teori ini menyatakan bahwa produktivitas kerja akan dicapai melalui rincian kerja yang berspesialisasi. Tujuannya, menurut Taylor, tak hanya guna menghilangkan pertentangan (antagonisme) antara majikan dan pekerjanya, namun juga adanya tuntutan profesionalime yang tinggi. Namun pandangan baru menyatakan bahwa semua pekerja adalah manusia-manusia yang kompleks dan unik. Karena ternyata keterampilan dan kemampuannya secara individual dapat diukur, diuji dan dilatih. Penelitian “Hawthorne” yang dilakukan Elton Mayo misalnya, dilakukan untuk mengetahui pengaruh penerangan dan waktu istirahat terhadap produktivitas kerja. Hasilnya ternyata bahwa produktivitas kerja terus menaik pada saat penerangan ruang ditambah, bahkan ketika tidak ada istirahat sama sekali.
Peneliti kemudian menemukan, bahwa produktivitas kerja naik lebih banyak ditentukan oleh faktor-faktor manusiawi, yang dalam teori manajemen Taylor kurang diperhitungkan. Penelitian ilmiah ini terkenal dengan “hawthorne Effects” yang telah melahirkan teori baru dalam manajemen dan motivasi kerja. Namun ada kalanya terjadi kesenjangan antara kecakapan dengan prestasi kerja yang seharusnya dimiliki. Menurut pandangan psikologi, bahwa keadaan seperti itu bukanlah sebagai akibat kecakapan yang kurang, melainkan motivasi yang kurang atau tidak ada. Motif yang lemah mengakibatkan hasil kerja tidak sesuai dengan tingkat kecakapannya. Sebab motif memberi arah dan tujuan pada tingkah laku.
1.2.1
Kerja Kelompok Dan Sosialisme
Tahun 1890-an
adalah masa kreatif
Durkheim. Pada 1893 ia
menerbitkan “Pembagian Kerja dalam Masyarakat”, pernyataan dasariahnya tentang
hakikat masyarakat manusia
dan perkembangannya. Pada 1895 ia menerbitkan “Aturan- aturan Metode Sosiologis”, sebuah
manifesto yang menyatakan apakah sosiologi itu dan bagaimana
ia harus dilakukan. Ia pun mendirikan Jurusan Sosiologi pertama
di Eropa di Universitas BourdMeaux. Pada 1896 ia menerbitkan jurnal L’Année Sociologique untuk menerbitkan dan mempublikasikan tulisan-
tulisan dari kelompok yang kian bertambah dari mahasiswa dan rekan (ini adalah sebutan yang digunakan untuk kelompok mahasiswa yang mengembangkan program
sosiologinya). Dan akhirnya,
pada 1897, ia menerbitkan “Bunuh
Diri”, sebuah studi kasus yang memberikan contoh tentang bagaimana
bentuk sebuah monograf
sosiologi.
Pada 1902 Durkheim akhirnya mencapai tujuannya untuk memperoleh kedudukan terhormat di Paris ketika ia menjadi profesor di Sorbonne. Karena universitas-universitas Prancis secara teknis adalah lembaga-lembaga untuk mendidik guru-guru untuk sekolah menengah, Postisi ini memberikan Durkheim pengaruh yang cukup besar kuliah-kuliahnya wajib diambil oleh seluruh mahasiswa.
Apapun
pendapat orang, pada masa setelah Peristiwa
Dreyfus, untuk mendapatkan pengangkatan politik, Durkheim memperkuat kekuasaan kelembagaannya pada
1912 ketika ia secara permanen
diberikan kursi dan mengubah namanya menjadi kursi pendidikan dan sosiologi. Pada tahun itu pula ia menerbitkan karya besarnya yang
terakhir “Bentuk-bentuk Elementer dari Kehidupan
Keagamaan”.
Perang
Dunia I mengakibatkan pengaruh yang tragis terhadap
hidup Durkheim. Pandangan kiri Durkheim selalu
patriotik dan bukan internasionalis ia
mengusahakan bentuk kehidupan Prancis
yang sekular, rasional. Tetapi datangnya perang
dan propaganda nasionalis yang tidak terhindari yang muncul sesudah itu membuatnya sulit
untuk mempertahankan Postisinya.
Sementara Durkheim
giat mendukung negarainya dalam perang, rasa enggannya untuk tunduk kepada se- mangat nasionalis yang sederhana
(ditambah dengan latar belakang
Yahudinya) membuat ia sasaran yang wajar dari
golongan kanan Prancis yang kini berkembang. Yang lebih parah lagi, generasi mahasiswa yang telah
dididik Durkheim kini dikenai
wajib militer, dan banyak dari mereka yang tewas
ketika Prancis bertahan mati-matian. Akhirnya, René, anak laki-laki Durkheim sendiri tewas dalam perang sebuah pukulan
mental yang tidak pernah teratasi oleh Durkheim. Selain sangat terpukul emosinya, Durkheim juga terlalu lelah bekerja, sehingga akhirnya ia terkena
serangan lumpuh dan meninggal pada 1917.
1.3 Teori Dan Gagasan
Perhatian Durkheim yang utama adalah bagaimana masyarakat dapat mempertahankan integritas dan koherensi- nya di masa modern, ketika hal-hal
seperti latar belakang keagamaan
dan etnik bersama tidak
ada lagi. Untuk
mempelajari kehidupan sosial
di kalangan masyarakat modern, Durkheim berusaha menciptakan salah satu pendekatan ilmiah pertama terhadap fenomena sosial.
Bersama Herbert Spencer
Durkheim adalah salah satu orang pertama yang menjelaskan keberadaan dan sifat berbagai
bagian dari masyarakat dengan mengacu kepada fungsi yang mereka lakukan dalam mempertahankan kesehatan dan keseimbangan masyarakat
suatu Postisi yang kelak dikenal
sebagai fungsionalisme.
Durkheim juga menekankan bahwa masyarakat lebih daripada sekadar jumlah dari seluruh bagiannya. Jadi berbeda dengan
rekan sezamannya, Max Weber, ia memusatkan perhatian
bukan kepada apa yang memotivasi tindakan- tindakan dari setiap pribadi
(individualisme metodologis), melainkan
lebih kepada penelitian terhadap “fakta-fakta sosial”,
istilah yang diciptakannya untuk menggambarkan fenomena yang ada dengan sendirinya dan yang tidak terikat kepada tindakan individu. Ia berpendapat
bahwa fakta sosial mempunyai keberadaan
yang independen yang lebih besar dan
lebih objektif daripada tindakan-tindakan individu yang membentuk masyarakat dan hanya dapat dijelaskan melalui fakta-fakta sosial lainnya daripada,
mi salnya, melalui adaptasi
masyarakat terhadap iklim atau situasi
ekologis tertentu.
Dalam bukunya “Pembagian Kerja dalam Masyarakat” (1893), Durkheim meneliti bagaimana
tatanan sosial diper- tahankan dalam berbagai bentuk
masyarakat. Ia memusatkan perhatian pada pembagian kerja, dan meneliti bagaimana hal itu berbeda dalam masyarakat tradisional
dan masyarakat modern. Para penulis
sebelum dia seperti Herbert Spencer dan Ferdinand
Toennies berpendapat bahwa masyarakat berevolusi mirip dengan organisme hidup, bergerak dari sebuah keadaan yang sederhana kepada yang lebih
kompleks yang mirip dengan cara kerja
mesin-mesin yang rumit.
Durkheim membalikkan rumusan
ini, sambil menambahkan teorinya kepada kumpulan
teori yang terus berkembang mengenai
kemajuan sosial, evolusionisme sosial,
dan darwinisme sosial.
Ia berpendapat bahwa masyarakat-masyarakat tradisional bersifat ‘mekanis’ dan dipersatukan oleh kenyataan bahwa setiap orang lebih kurang sama, dan
karenanya mempunyai banyak kesamaan
di antara sesamanya. Dalam masyarakat tradisional,
kata Durkheim, kesadaran kolektif sepenuhnya
mencakup kesadaran individual norma-norma sosial kuat dan perilaku
sosial diatur dengan rapi.
Dalam masyarakat modern,
demikian pendapatnya, pembagian kerja yang sangat kompleks menghasilkan solidaritas ‘organik’. Spesialisasi yang berbeda-beda da- lam bidang pekerjaan dan peranan sosial menciptakan ketergantungan yang mengikat orang kepada sesamanya, karena mereka tidak lagi
dapat memenuhi seluruh kebutuhan mereka sendiri. Dalam masyarakat yang
‘mekanis’, misalnya, para petani
gurem hidup dalam masyarakat yang swa-sembada dan terjalin bersama oleh warisan bersama
dan pekerjaan yang sama. Dalam masyarakat modern yang ‘organik’, para pekerja
memperoleh gaji dan harus mengandalkan orang lain yang
mengkhususkan diri dalam produk-produk tertentu (bahan makanan, pakaian, dll) untuk memenuhi kebutuhan mereka. Akibat dari pembagian kerja yang semakin
rumit ini, demikian
Durkheim, ialah bahwa kesadaran individual berkembang dalam cara yang berbeda
dari kesadaran kolektif
seringkali malah berbenturan dengan kesadaran kolektif.
Durkheim menghubungkan jenis solidaritas pada suatu masyarakat tertentu dengan dominasi
dari suatu sistem
hukum. Ia menemukan
bahwa masyarakat yang memiliki solidaritas mekanis hokum seringkali bersifat represif: pelaku suatu kejahatan
atau perilaku menyimpang akan terkena hukuman,
dan hal itu akan membalas
kesadaran kolektif yang dilanggar
oleh kejahatan itu; hukuman itu bertindak lebih untuk mempertahankan keutuhan kesadaran.
Sebaliknya,
dalam masyarakat yang
memiliki solidaritas organic, hukum bersifat restitutif: ia bertujuan bukan untuk menghukum melainkan untuk memulihkan
aktivitas normal dari suatu masyarakat
yang kompleks.
Jadi, perubahan masyarakat yang cepat karena semakin meningkatnya pembagian kerja menghasilkan suatu kebingungan tentang norma dan semakin meningkatnya sifat yang tidak pribadi dalam kehidupan sosial, yang akhirnya mengakibatkan runtuhnya norma-norma sosial yang mengatur perilaku. Durkheim menamai keadaan ini anomie. Dari keadaan anomie muncullah segala bentuk perilaku menyimpang, dan yang paling menonjol adalah bunuh diri.
Durkheim belakangan mengembangkan konsep tentang anomie dalam “Bunuh Diri”, yang diterbitkannya pada 1897. Dalam bukunya ini, ia meneliti berbagai tingkat bunuh diri di antara orang-orang Protestan dan Katolik, dan menjelaskan bahwa kontrol sosial yang lebih tinggi di antara orang Katolik menghasilkan tingkat bunuh diri yang lebih rendah.
Menurut Durkheim, orang mempunyai suatu ting-kat keterikatan tertentu terhadap kelompok-kelompok mere- ka, yang disebutnya integrasi sosial. Tingkat integrasi sosial yang secara abnormal tinggi atau rendah dapat menghasilkan bertambahnya tingkat bunuh diri: tingkat yang rendah menghasilkan hal ini karena rendahnya integrasi sosial menghasilkan masyarakat yang tidak terorganisasi, menyebabkan orang melakukan bunuh diri sebagai upaya terakhir, sementara tingkat yang tinggi menyebabkan orang bunuh diri agar mereka tidak menjadi beban bagi masyarakat. Menurut Durkheim, masyarakat Katolik mempunyai tingkat integrasi yang normal, sementara masyarakat Protestan mempunyai tingat yang rendah. Karya ini telah memengaruhi para penganjur teori kontrol, dan seringkali disebut sebagai studi sosiologis yang klasik.
Akhirnya, Durkheim diingat orang karena karyanya tentang masyarakat ‘primitif’ (artinya, non Barat) dalam buku- bukunya seperti “Bentuk-bentuk Elementer dari Kehidupan Agama” (1912) dan esainya “Klasifikasi Primitif” yang ditulisnya bersama Marcel Mauss. Kedua karya ini meneliti peranan yang dimainkan oleh agama dan mitologi dalam membentuk pandangan dunia dan kepribadian manusia dalam masyarakat-masyarakat yang sangat ‘mekanis’ (meminjam ungkapan Durkheim)
Tentang Pendidikan Durkheim juga sangat tertarik akan pendidikan. Hal ini sebagian karena ia secara profesional dipekerjakan untuk melatih guru, dan ia menggunakan kemampuannya untuk menciptakan kurikulum untuk mengembangkan tujuan- tujuannya untuk membuat sosiologi diajarkan seluas mungkin. Lebih luas lagi, Durkheim juga tertarik pada bagaimana pendidikan dapat digunakan untuk memberikan kepada warga Prancis semacam latar belakang sekular bersama yang dibutuhkan untuk mencegah anomi (keadaan tanpa hukum) dalam masyarakat modern. Dengan tujuan inilah ia mengusulkan pembentukan kelompok-kelompok profesional yang berfungsi sebagai sumber solidaritas bagi orang-orang dewasa.
Durkheim berpendapat bahwa pendidikan mempunyai banyak fungsi:
1)
Memperkuat solidaritas sosial
· Sejarah: belajar
tentang orang-orang yang melakukan hal-hal yang baik bagi banyak orang membuat seorang
individu merasa tidak berarti.
· Menyatakankesetiaan:membuatindividumerasabagian dari kelompok dan dengan demikian akan mengurangi kecenderungan untuk melanggar peraturan.
2)
Mempertahankan peranan sosial
Sekolah adalah masyarakat dalam bentuk miniatur. Sekolah mempunyai hierarkhi, aturan, tuntutan yang sama dengan “dunia luar”. Sekolah mendidik orang muda untuk memenuhi berbagai peranan.
3)
Mempertahankan pembagian kerja.
Membagi-bagi
siswa ke dalam kelompok-kelompok keca- kapan.
Mengajar siswa untuk mencari pekerjaan sesuai
dengan kecakapan mereka. Solidaritas Mekanis Dan Organis Perubahan dalam pembagian
kerja kerja memiliki
implikasi yang sangat besar bagi struktur masyarakat. Durkheim sangan tertarik dengan perubahan cara di mana solidaritas sosial terbentuk, dengan kata lain, perubahan cara-cara masyarakat bertahan dan
bagaimana anggotanya melihat diri mereka sebagai
suatu bagian yang utuh. Indikator pokok yang penting solidaritas yaitu:
1.
Ruang lingkup dan
kerasnya hubungan yang bersifat represif atau menekan.
2. Hukum itu didefinisikan bahwa penyimpangan dianggap sesuatu yang jahat dan mengancam kesadaran kolek- tif.
3. Memiliki aturan
sosial atau kesepakatan bersama. Untuk menjelaskannya, Durkheim membagi dua tipe
solidaritas yaitu solidaritas mekanis dan solidaritas organis. Solidaritas mekanis didasarkan pada suatu tingkatan
homogenitas tinggi dalam kepercayaan, sentimen, pekerjaan, dan lain-lain. Masyarakat yang
ditandai oleh solidaritas mekanis menjadi
satu dan padu karena orang adalah generalis. Ikatan dalam masyarakat seperti ini terjadi karena mereka terlibat dalam aktifitas yang sama dan memiliki tanggung
jawab yang sama. Solidaritas
organis muncul karena pembagian kerja bertambah
banyak, pertambahan pembagian
kerja menimbulkan tingkat
ketergantungan, sehingga hal itu akan sejalan
dengan bertambahnya spesialisasi di bidang pekerjaan kemudian bertambahnya spesialisasi menyebabkan terjadinya perbedaan-perbedaan individu.
Masyarakat yang ditandai oleh solidaritas organis bertahan bersama justru dengan perbedaan yang ada di dalamnya, karena adanya rasa ketergantungan antara satu dengan yang lain. Dengan fakta bahwa semua orang memiliki pekerjaan dan tangung jawab yang berbeda-beda.
Karena masyarakat modern relatif memperlihatkan lapangan pekerjaan yang sempit, maka mereka membutuhkan banyak orang untuk bertahan. Keluarga primitif (masyarakat yang sederhana) dikepalai oleh ayah sebagai pemburu dan ibu sebagai peramu tumbuhan yang secara praktis mencukupi kebutuhannya, sementara keluarga modern membutuhkan penjual makanan, tukang roti, tukang daging, montir, guru, polisi, dan lain sebagainya. Masyarakat tersebut pada gilirannya, membutuhkan bermacam-macam jasa dari orang lain agar dapat bertahan hidup di dunia modern. Dalam pandangan Durkheim, masyarakat modern dipertahankan bersama oleh spesialisasi orang dan kebutuhan mereka akan jasa sekian banyak orang. Spesialisasi ini bukan hanya pada tingkat individu saja, akan tetapi juga kelompok, struktur, dan institusi.
Durkheim berpendapat bahwa masyarakat primitif memiliki kesadaran kolektif yang lebih kuat, yaitu pemahan, norma dan kepercayaan bersama. Peningkatan pembagian kerja menyebabkan menyusutnya kesadaran kolektif. Kesa- daran kolektif kurang signifikan dalam masyarakat yang ditopang oleh solidaritas organis daripada masyarakat yang ditopang oleh solidaritas mekanis. Masyarakat modern lebih mungkin bertahan bersama dengan pembagian kerja dan membutuhkan fungsi-fungsi yang dimiliki oleh orang lain daripada bertahan dengan kesadaran kolektif bersama dan kuat. Oleh karena itu, meskipun masyarakat organis memiliki kesadaran kolektif, namun masyarakat tersebut adalah bentuk yang lemah yang tidak memungkinkan terjadinya perbedaan individual.
Di dalam masyarakat yang dibentuk oleh solidaritas mekanis, kesadaran kolekrif melingkupi seluruh masyarakat anggotanya, dia sangat diyakini, sangat rigid, dan isinya sangat bersifat religius. Sementara dalam masyarakat yang memilki solidaritas organis, kesadaran kolektifnya dibatasi pada sebagian kelompok, tidak dirasakan terlalu mengikat, kurang rigid dan isinya adalah kepentingan individu yang lebih tinggi daripada pedoman moral.
Ada beberapa
contoh dalam masyarakat tentang solidaritas mekanis
dan organis. Yaitu pada masyarakat yang memiliki pola pembagian kerja yang sedikit,
seperti pada masyarakat desa. Masyarakat desa memiliki homogenitas pekerjaan yang tinggi misalnya sebagai
petani. Dengan kesamaan yang dimiliki oleh masyarakat
desa, dengan kesa- maan itu membuat kesadaran
kolektif antara individu
di dalam masyarakat itu sangat
tinggi. Masyarakat desa juga homogenitas
dalam kepercayaan sangat tinggi, dibandingkan
masyarakat kota.
Kesamaan-kesamaan itulah yang
mepersatu- kan masyarakat desa.
Sebaliknya, perhatikan perusahaan dagang. Apa yang mempersatukan organisasi seperti itu? Kemungkinan besar, motivasi-motivasi anggotanya adalah keinginan mereka akan imbalan ekonomi yang akan diterima atas partisipasinya, dan di dalam organisasi dagang masing-masing anggotanya akan merasa tergantung satu dengan yang lain. Misalnya dalam suatu pabrik, ada kecenderungan orang berada di mesin teknisi, pengawas, penjual, orang yang memegang pembukuan, sekretaris, dan seterusnya. Dengan semua kegiatan berspesialisasi mereka berhubungan dan saling tergantung sedemikian rupa, sehingga sistem tersebut membentuk solidaritas menyeluruh yang berfungsi didasarkan pada saling ketergantungan.
1.4 Hipotesa
Bahwa solidaritas mekanis dibentuk oleh masyarkat yang masih memiliki kesadaran kolektif yang sangat tinggi, kepercayaan yang sama, cita-cita dan komitmen moral. Masyarkat yang menggunakan solidaritas mekanis, mereka melakukan aktifitas yang sama dan memiliki tanggung jawab yang sama.
Sebaliknya,
solidaritas organis dibentuk karena sema- kin banyak dan beragamnya pembagian kerja. Sehingga
pembagian kerja tersebut
membuat spesialisasi pekerjaan di dalam masyarakat yang
menyebabkan kesadaran kolektif menjadi
menurun. Semua kegiatan berspesialisasi mereka
berhubungan dan saling tergantung satu sama lain, sehingga sistem
tersebut membentuk solidaritas menyeluruh yang berfungsi
didasarkan pada saling
ketergantungan.
Dengan demikian, seorang majikan atau manajer sesungguhnya memegang Postisi kunci dan strategis untuk memotivasi bawahannya. Manajer yang mementingkan produktivitas kerja bawahannya adalah seorang manajer yang mementingkan motivasi. Ia seharusnya mementingkan hubungan pribadi dan kekuasaannya serta menciptakan lingkungan kerjanya sebagai alat-alat motivasi (motivasional tools).
Dalam memanfaatkan sepenuhnya sumberdaya manu- sia, terkandung pengertian guna mengembangkan mutu tenaga kerja secara kreatif dan produktif. Upaya ini menuntut keterlibatan seluruh komponen perusahaan. Sehingga setiap warga perusahaan merasakan manfaat produktivitas yang meningkat. Bila ini terjadi, maka akan membuka jalan licin ke arah pencapaian tujuan perusahaan (objective goals). Apalagi jika diikuti terciptanya hubungan kerja yang bermutu dengan konotasi menyenangkan, penuh tenggang rasa dan saling membangun.
Keterlibatan untuk meningkatkan produktivitas kerja kaum buruh, tentu menuntut beberapa tindakan nyata. Dari pihak manajemen harus tampak, bahwa baginya peningkatan produktivitas kerja bukan sekedar propaganda. Artinya hanya digembar-gemborkan saja, tanpa didukung tindakan nyata. Bukan pula sekedar “lips service” dan janji-janji muluk semata, namun juga mesti terasa imbas manfaatnya kepada pekerja.
Dari pihak pemerintah dituntut pula untuk mengayomi dua kepentingan ekstrim untuk mencapai keharmonisan dalam bekerja. Maka seyogyanya dalam melahirkan sebuah kebijakan mampu menangkap dan mengakomodasi dua kepentingan berbeda itu dengan terlebih dahulu dilakukan upaya sosialisasi. Sebuah kebijakan yang masih diresponse secara negatif semisal unjuk rasa, sesungguhnya mencerminkan bahwa kebijakan itu belum secara matang digodok dan dirumuskan. Demikian halnya bagi pihak legislatif, seyogyanya lebih menangkap aspirasi pihak yang memiliki kecenderungan untuk ditekan. DPR seyogyanya lebih arif dan penuh pertimbangan sebelum sebuah kebijakan dilegalisasi. Sebagai filter terakhir mestinya tidak ada salahnya untuk mengkompromikan terlebih dahulu dengan pihak-pihak terkait yang berkepentingan, termasuk menangkap aspirasi sarikat-sarikat pekerja.
Tenaga kerja tidak akan melihat gunanya peran serta dalam meningkatkan produktivitas, bila ternyata tidak menim- bulkan manfaat dan kemajuan ke arah yang lebih baik. Suatu kebijakan dalam bentuk serangkaian peraturan pemerintah akan mendapat perlawanan setimpal dari kaum buruh, jika ternyata apa yang diharapkan dan diperjuangkan selama ini tidak sanggup memberikan perlakuan yang adil dan lebih baik
1.5 Perjuangan Kaum Buruh
“Upaya untuk meningkatkan keharmonisan dan produk tivitas kerja kaum buruh, tak pernah mau basi dan tak pernah berhentI, berkobar, laksana api yang menjilat-jilat,” demikian kata Bernard Cracroft, seorang pakar yang menaruh perhatian besar pada masalah perburuhan.
Namun ketidak adilan dan pemerkosaan hak masih saja muncul. Terutama terhadap prilaku kaum majikan yang bersikeras mempertahankan tradisi kuno. Dimana kaum buruh harus berhadapan dengan sang majikan, sebagaimana pertemuan jomplang antara si lemah dan si kuat. Bahkan harus pula dirobek-robek oleh persaingan yang bersifat saling “bunuh” yang dikenal lebih luas dan lebih dalam dari sejarah. Seperti bersaing untuk memproduktivitaskan tenaga kerjanya dengan menghalalkan segala cara. Sehingga kaum buruh atau pekerja dipandang sebagai komoditi yang bisa diperjualbelikan dan tenaganya dikuras habis-habisan. Sementara upah mini- mum benar-benar minim hingga jauh dari berkecukupan.
Kita sepakat, bahwa cara-cara seperti itu sudah tidak patut lagi terjadi di negeri ini. Kini masa telah bergulir. Daun- daun tradisi kuno semacam itu telah berguguran. Kini pihak majikan atau manajemen, harus semakin menyadari bahwa untuk meningkatkan keharmonisan kerja melalui peningkatan produktivitas tenaga kerja kaum buruh, tidak harus melalui proses penindasan dan pemerkosaan hak.
Menghadapi kondisi seperti itu maka didirikan Sarikat Pekerja di pelbagai perusahaan yang diharapkan mampu menjembatani kepentingan kaum buruh dan majikan. Namun kenyataannya, kehadiran Sarikat Pekerja pun tak bisa berbuat banyak, karena harus berhadapan dengan aturan yang dibuat Manajemen, tidak terkecuali aturan dari pemerintah selaku regulator. Parahnya justru bila regulator tidak tanggap terhadap aspirasi dan kepentingan kaum buruh. Akibatnya kejomplangan yang lebih pro pada sang majikan atau perusahaan semakin mencolok mata.
Seorang ahli manajemen perburuhan, Sir George Paish, pernah mengatakan, bahwa ketertiban kerja dan produktivitas kerja optimal tidak dapat diciptakan, kecuali ditunjang oleh semangat untuk mau bekerja dan bekerjasama. Namun demikian, fakta-fakta kemanusiaan yang diungkap dari hasil penelitiannya membuktikan, bahwa daya kerah kaum buruh untuk bekerja dan bekerjasama banyak mengalami stagnasi. Sehingga tidak sepadan dengan tuntutan dan target perusahaan.
SementaraEmileDurkheimdarialiranSosiologiPerancis, membuat observasi tentang “Dampak perkembangan industri modern terhadap kebahagiaan kaum buruh.” Studi ini dikenal dengan studi “bunuh diri”. Di dalamnya Durkheim menekankan bahwa perkembangan industri bukan saja telah mengurangi daya kerah kaum buruh untuk bekerja dan bekerjasama. Tapi juga telah mengurangi totalitas kebahagiaannya. Padahal harapan beroleh kebahagiaan dalam pergaulan yang harmonis dan intim dalam pekerjaan tetap merupakan hasrat manusia yang kuat. Bahkan terkuat. Adalah tragedi modern, jika hasrat seperti itu malah dikatakan menghambat dan bukan membantu kerjasama yang produktif. Adalah ironis jika hasrat semacam itu terkesampingkan oleh sebuah peraturan yang jomplang, berat sebelah. Kalau masalahnya demikian, UU Ketenagakerjaan seperti apakah yang dapat diakomodasi pemerintah dalam upaya mencapai keharmonisan dan keadilan yang seimbang antara majikan dengan kaum buruh guna mengoptimasi produktivitas sumberdaya manusianya, tanpa harus mengurangi hasrat kaum buruh untuk bahagia?
1.6 Faktor Produktivitas
Dalam suatu perusahaan atau industri, diakui bahwa upaya untuk meningkatkan produktivitas sumberdaya manusia menyangkut banyak bidang garapan. Namun sebagian waktu dan tenaga seringkali tercurah pada urusan-urusan lain. Katakanlah urusan kinerja, produksi, pemasaran, pelayanan atau budaya perusahaan serta masalah lainnya, yang justru ada kalanya tidak berkaitan dengan peningkatan produktivitas kerja.
Memang benar, kegiatan-kegiatan itu penting. Tetapi pada akhirnya, terhadap pengelolaan SDM dalam perusahaan akan menyangkut dua kepentingan ekstrim. Di satu sisi bagi kepentingan manajemen akan ditanyakan :Apakah para pekerja sudah bekerja produktif untuk mencapai tujuan perusahaan? Dengan kata lain apakah SDM telah dioptimalisasi? Namun di sisi lain bagi kepentingan kaum buruh akan ditanyakan : Apakah kaum buruh telah diperlakukan secara adil? Dengan kata lain apakah hak-hak kaum buruh telah terakomodasi dalam takaran yang pas?
Hingga kini diakui, kaum buruh atau tenaga kerja lah yang lazim dijadikan faktor produktivitas. Terutama karena Postisinya yang strategis sebagai ujung tombak kemajuan dan produktivitas. Karena itu wajar, jika masalah ini senantiasa mendapat fokus perhatian tinggi, bahkan bagi perusahaan yang peduli terhadap masalah ini telah dilakukan pula melalui penelitian-penelitian intens.
Dahulu kala, pada tahun 1850 misalnya, perhatian mulai banyak ditumpahkan kepada kebutuhan kaum pekerja. Namun tetap saja, sang majikan memandang kaum buruh sebagai komoditi untuk dibeli dan dijual seperti komoditi lainnya. Bekerja seharian yang teramat lama dan melelahkan dengan upah rendah serta kondisi kerja yang menyedihkan, merupakan kenyataan dari rata-rata kehidupan kaum pekerja saat itu. Sedangkan persatuan kaum buruh (sarikat pekerja) masih berjuang keras untuk dapat berdiri dan masih belum dapat memenangkan hak untuk mewakili kekuatan kaum buruh.
Peristiwa tragis terjadi pada 1 Mei 1886, pada saat kaum buruh di Amerika Serikat melakukan
unjuk rasa selama empat hari. Pada hari keempat tindakan
tidak terpuji dilakukan
aparat kepolisian dengan melakukan penembakan kepada para pengunjuk rasa yang mengakibatkan
empat ratus buruh meninggal dunia.
Tanggal ini kemudian diabadikan sebagai Hari Buruh Internasional
atau May Day.
Kemudian pada tahun-tahun di sekitar peralihan abad (1900), muncul Frederick Taylor, dengan teorinya yang ter- kenal “scientific management.” Teori ini menyatakan bahwa produktivitas kerja akan dicapai melalui rincian kerja yang berspesialisasi. Tujuannya, menurut Taylor, tak hanya guna menghilangkan pertentangan (antagonisme) antara majikan dan pekerjanya, namun juga adanya tuntutan profesionalime yang tinggi.
Namun pandangan baru menyatakan bahwa semua pekerja adalah manusia-manusia yang kompleks dan unik. Karena ternyata keterampilan dan kemampuannya secara individual dapat diukur, diuji dan dilatih. Penelitian “Hawthorne” yang dilakukan Elton Mayo misalnya, dilakukan untuk mengetahui pengaruh penerangan dan waktu istirahat terhadap produktivitas kerja. Hasilnya ternyata bahwa produk- tivitas kerja terus menaik pada saat penerangan ruang ditambah, bahkan ketika tidak ada istirahat sama sekali.
Peneliti kemudian menemukan, bahwa produktivitas kerja naik lebih banyak ditentukan oleh faktor-faktor manusiawi, yang dalam teori manajemen Taylor kurang diperhitungkan. Penelitian ilmiah ini terkenal dengan “hawthorne Effects” yang telah melahirkan teori baru dalam manajemen dan motivasi kerja.
Namun ada kalanya terjadi kesenjangan antara kecakapan dengan prestasi kerja yang seharusnya dimiliki. Menurut pandangan psikologi, bahwa keadaan seperti itu bukanlah sebagai akibat kecakapan yang kurang, melainkan motivasi yang kurang atau tidak ada. Motif yang lemah mengakibatkan hasil kerja tidak sesuai dengan tingkat kecakapannya. Sebab motif memberi arah dan tujuan pada tingkah laku.
Dengan demikian, seorang majikan atau manajer se- sungguhnya memegang Postisi kunci dan strategis untuk memotivasi bawahannya. Manajer yang mementingkan produktivitas kerja bawahannya adalah seorang manajer yang mementingkan motivasi. Ia seharusnya mementingkan hubungan pribadi dan kekuasaannya serta menciptakan lingkungan kerjanya sebagai alat-alat motivasi (motivasional tools).
Seorang ahli manajemen perburuhan, Sir George Paish, pernah mengatakan, bahwa ketertiban kerja dan produktivitas kerja optimal tidak dapat diciptakan, kecuali ditunjang oleh semangat untuk mau bekerja dan bekerjasama. Namun demikian, fakta-fakta kemanusiaan yang diungkap dari hasil penelitiannya membuktikan, bahwa daya kerah kaum buruh untuk bekerja dan bekerjasama banyak mengalami stagnasi. Sehingga tidak sepadan dengan tuntutan dan target perusahaan.
SementaraEmileDurkheimdarialiranSosiologiPerancis, mebuat observasi tentang “Dampak perkembangan industri modern terhadap kebahagiaan kaum buruh.” Studi ini dikenal dengan studi “bunuh diri”. Di dalamnya Durkheim menekankan bahwa perkembangan industri bukan saja telah mengurangi daya kerah kaum buruh untuk bekerja dan bekerjasama. Tapi juga telah mengurangi totalitas kebahagiaannya.
Padahal harapan beroleh kebahagiaan dalam pergaulan yang harmonis dan intim dalam pekerjaan tetap merupakan hasrat manusia yang kuat. Bahkan terkuat. Adalah tragedi modern, jika hasrat seperti itu malah dikatakan menghambat dan bukan membantu kerjasama yang produktif. Adalah ironis jika hasrat semacam itu terkesampingkan oleh sebuah peraturan yang jomplang, berat sebelah.
Kalau masalahnya demikian, UU Ketenagakerjaan seperti apakah yang dapat diakomodasi pemerintah dalam upaya mencapai keharmonisan dan keadilan yang seimbang antara majikan dengan kaum buruh guna mengoptimasi pro- duktivitas sumberdaya manusianya, tanpa harus mengurangi hasrat kaum buruh untuk bahagia?
1.7 Teori Bunuh Diri
1.7.1 Teori Bunuh Diri (Suicide)
Durkheim memilih studi bunuh diri karena persoalan ini relative merupakan fenomena konkrit dan spesifik, di mana tersedia data yang bagus cara komparatif. Akan tetapi, alasan utama Durkheim untuk melakukan studi bunuh diri ini adalah untuk menunjukkan kekuatan disiplin Sosiologi. Dia melakukan penelitian tentang angka bunuh diri di beberapa negara di Eropa. Secara statistik hasil dari data-data yang dikumpulkannya menunjukkan kesimpulan bahwa gejala-gejala psikologis sebenarnya tidak berpengaruh terhadap kecenderungan untuk melakukan bunuh diri. Menurut Durkheim peristiwa-peristiwa bunuh diri sebenarnya merupakan kenyataan-kenyataan sosial tersendiri yang karena itu dapat dijadikan sarana penelitian dengan menghubungkannya terhadap sturktur sosial dan derajat integrasi sosial dari suatu kehidupan masyarakat. Durkheim memusatkan perhatiannya pada 3 macam kesatuan sosial yang pokok dalam masyarakat:
1.7.2 Bunuh Diri dalam Kesatuan
Agama
Dari data yang dikumpulan Durkheim menunjukkan bahwa angka bunuh diri lebih besar di negara-negara protestan dibandingkan dengan penganut agama Katolik dan lainnya. Penyebabnya terletak di dalam perbedaan kebebasan yang diberikan oleh masing-masing agama tersebut kepada para penganutnya.
1.7.3 Bunuh Diri dalam Kesatuan
Keluarga
Dari penelitian Durkheim disimpulkan bahwa semakin kecil jumlah anggota dari suatu keluarga, maka akan semakin kecil pula keinginan untuk hidup. Kesatuan sosial yang semakin besar, mengikat orang pada kegiatan-kegiatan sosial di antara anggota-anggota kesatuan tersebut.
1.7.4 Bunuh Diri dalam Kesatuan
Politik
Dari data yang dikumpulkan, Durkheim menyimpulkan bahwa di dalam situasi perang,
golongan militer lebih terintegrasi dengan baik, dibandingkan dalam keadaan damai.
Sebaliknya dengan masyarakat sipil.
Kemudian data tahun 1829-1848 disimpulkan bahwa angka bunuh diri ternyata lebih kecil pada masa revolusi atau pergolakan politik, dibandingkan dengan dalam masa tidak terjadi pergolakan politik. Durkheim membagi tipe bunuh diri ke dalam 4 macam:
1. Bunuh Diri Egoistis
Tingginya angka bunuh diri egoistis dapat ditemukan dalam masyarakat atau kelompok di mana individu
tidak berinteraksi dengan
baik dalam unit sosial yang luas.
Lemahnya integrasi ini melahirkan perasaan bahwa individu bukan bagi- an dari masyarakat, dan masyarakat bukan
pula bagian dari individu. Lemahnya
integrasi sosial melahirkan arus sosial yang
khas, dan arus tersebut melahirkan perbedaan angka bunuh diri. Misalnya pada masyarakat yang disintegrasi akan melahirkan arus depresi dan kekecewaan.
Kekecewaan yang melahirkan situasi
politik didominasi oleh perasaan kesia-
siaan, moralitas dilihat sebagai pilihan individu, dan pandangan hidup masyarakat luas menekan
ketidakbermaknaan hidup, begitu sebaliknya.
Durkheim menyatakan bahwa ada faktor paksaan sosial dalam diri individu untuk melakukan bunuh diri, di mana individu
menganggap bunuh diri adalah jalan
lepas dari paksaan
sosial.
2. Bunuh Diri Altruistis
Terjadi ketika integrasi
sosial yang sangat
kuat, secara harfiah dapat dikatakan individu terpaksa
melakukan bunuh diri. Salah satu contohnya
adalah bunuh diri massal dari pengikut pendeta
Jim Jones di Jonestown, Guyana pada tahun
1978. contoh lain bunuh diri di Jepang
(Harakiri).
Bunuh diri ini makin banyak terjadi jika makin banyak harapan yang tersedia, karena dia bergantung pada keyakinan akan adanya sesuatu yang indah setelah hidup di dunia. Ketika integrasi mengendur seorang akan melakukan bunuh diri karena tidak ada lagi kebaikan yang dapat dipakai untuk meneruskan kehidupannya, begitu sebaliknya.
3. Bunuh Diri Anomic
Bunuh diri ini terjadi ketika
kekuatan regulasi masyarakat terganggu. Gangguan tersebut
mungkin akan membuat
individu merasa tidak
puas karena lemahnya
kontrol terhadap nafsu mereka, yang akan bebas
berkeliaran dalam ras yang tidak pernah
puas terhadap kesenangan. Bunuh
diri ini terjadi ketika menempatkan orang dalam situasi norma lama tidak berlaku lagi sementara norma baru belum dikembangkan (tidak ada pegangan
hidup). Contoh: bunuh diri dalam
situasi depresi ekonomi seperti pabrik yang tutup sehingga
para tenaga kerjanya
kehilangan pekerjangan, dan mereka lepas dari pengaruh regulatif
yang selama ini mereka rasakan.
Contoh lainnya seperti booming ekonomi yaitu bahwa kesuksesan yang tiba-tiba individu menjauh dari struktur tradisional tempat mereka sebelumnya melekatkan diri.
4. Bunuh Diri Fatalistis
Bunuh diri ini terjadi ketika regulasi meningkat. Durkheim menggambarkan seseorang yang mau melakukan bunuh diri ini seperti seseorang yang masa
depannya telah tertutup dan nafsu yang tertahan oleh disiplin yang menindas. Contoh:
perbudakan.
1.7.5 Metodologi
ide dan peran profesional
Dengan membicarakan metodologi, maka terlebih dahulu yang harus kita lakukan adalah mengetahui objek sosiologi Durkheim yang sangat paling penting, agar kita tidak keliru dalam melihat apa yang disampaikan dalam pembahasan ini. Durkheim dalam upayahnya berusaha agar sosiologi di tempatkan pada ilmu pengetahuan yang mandiri, tidak tergantung pada ilmu biologi dan psikologi maupun filsafat.
Dalam usaha tersebut,objek sosiologi yang dimaksudkan adalah “fakta sosial” ialah cara-cara bertindak, berpikir, dan merasa apa yang ada di luar individu dan yang memiliki daya paksa atas dirinya, (perilaku sosial), hal ini dimaksudkan agar sosiologi memiliki kapasitas sebagai ilmu yang mandiri, karena pada awalnya fakta sosial kadang diartikan dalam arti umum, sehingga sosiologi tampak tercampur adukkan dengan psikologi, biologi dan ilmu-ilmu lainnya.
Durkheim menyarankan agar cara berpikir, hendaknya tidak rancu dengan gejala-gejala psikologi yang hanya ada dalam kesadaran pribadi tetapi sosiologi ada pada kesadaran sosial. Fakta sosial adalah penggambaran dan perbuatan- perbuatan, tapi fakta-fakta ini bukan fakta fsikis, karena fakta psikis hanya ada dalam individu sedangkan fakta sosial berada pada di luar individu secara terpisah, sekalipun hal itu tidak dapat dilepaskan dari individu secara bersama-sama, tetapi Durkheim merumuskannya sebagai otonom yaitu sebagai realitas yang merupakan jenis tersendiri.
Untuk lebih jelasnya
Durkheim memberikan gambaran agar
kita mudah memisahkan diantaranya sebagai berikut:
“Fakta fsikis mempunyai
subtratum material, ialah sel-sel otak dan proses-proses psikologis, tetapi fakta-fakta itu tidak identik dengan subtratum
itu. Fakta-fakta fsikis itu tidak sama sekali
otonom, sebab tanpa
proses-proses di dalam
subtansi otak, maka berpikir tidak mungkin sama sekali. Hal yang sama sebagai perbandingan, berlaku pada fakta sosial. Fakta sosial mempunyai
subtratum, yaitu individu-individu dalam hubungannya satu sama lain.
Tanpa kembali kepada
subtratum itu, pikiran
yang ada di belakang semua
ini ialah bahwa keseluruhan adalah
lebih dari pada jumlah bagian-
bagiannya.
Kemudian persoalan metodologi, dari berbagai tokoh yang hidup dalam suatu lingkungan intelektualnya, mereka menggunakan metode dalam sistimatika pemikirannya, hal yang sama dengan Durkheim, dalam menganalisa suatu realitas dalam hubungannya dengan sosiologi (fakta sosial) memiliki metode sosiologi yang khusus, dalam hal ini dirumuskannya agar sosiologi dapat dianggap sebagai ilmu pengetahuan tersendiri seperti ilmu alam lainnya.
Sepanjang waktu, perhatian utama yang Ia curahkan adalah bagaimana membuat suatu rumusan metode dalam sosiologi, dan sampai pada kesimpulannya Ia telah menetapkan rumusan yang akhirnya menjadi acuan bagi murid-muridnya, rumusan tersebut adalah sebagai berikut:
Sosiologi
harus bersifat ilmiah.
Dalam metode ini, Durkheim
sepenuhnya memisahkan
sosiologi
dari ketergantungan filsafat, dengan alasan bahwa sosiologi lahir dalam lingkungan ajaran filsafat, maka terdapat kecenderungan untuk mengandalkan beberapa
sistem filsafat, sehingga
larut dalam sistem tersebut. Olehnya itu, sosiologi harus
bersifat ilmiah dalam
arti bersifat Postitivisme, evolusioner, dan idealistis, sehingga cukup memenuhi syarat sebagai
suatu metode sosiologi.
Pendekatan metodelogi Postitivisme, Durkheim mirip denganAuguste Comte dalam hal ini, Comte dalam Postitivisme yang dirintisnya dapat kita ketahui dengan berdasar pada filsafat Postitif, di mana ia berangkat dari apa yang kita telah ketahui, faktual yang Postitif. Hal ini nyata bahwa apa yang ada di luar apa yang ada, sebagai fakta atau kenyataan harus dikesampingkan, olehnya persoalan metafisik ditolaknya.
Demikian
Postitivisme diuraikan untuk mendapatkan pengertian
yang jelas, maka akan nampak kepada kita hal di bawah ini, suatu uraian tentang Postitivisme, sebagai berikut: “Apa yang diketahui
secara Postitif adalah
segala yang tanpak,
segala gejala. Demikianlah Postitivisme membatasi filsafat dan ilmu pengetahuan pada bidang
gejala-gejala saja. Apa yang dapat kita lakukan
adalah segala fakta,
yang menyajikan diri kepada kita sebagai pemampakan atau
gejala, kita terima seperti
apa adanya. Sesudah
itu kita berusaha mengatur fakta- fakta tadi, kita mencoba
melihat kemasa depan,
apa yang akan
tanpak sebagai gejala dan menyesuaikan diri dengannya. Artinya
segala ilmu pengetahuan ialah mengetahui untuk dapat melihat kemasa depan.
Jadi dapat dipahami bahwa kita hanya mengkonstatir fakta-faktanya dan menyelidiki hubungan-hubungannya yang satu dengan yang lainnya, hal ini bertitik tolak pada pengalaman yang objektif, tidak seperti empirisme yang juga menerima pengalaman-pengalaman batiniah (subjektif). Demikian halnya dengan Comte memberikan kejelasan mengenai cara kerja Postitivisme, yang dijelaskan dalam batasan-batasan pengertian Postitif dalam karyanya “Discours Sur Lesprit Postitif” sebagai berikut:
Sebagai lawan atau kebalikan yang bersifat khayalan, sehingga Posttivisme dalam menyelidiki sasarannya, didasar- kan pada kemampuan akal.
Sebagai lawan dari sesuatu yang tidak bermafaat, sehingga segala sesuatu harus diarahkan kepada pencapaian kemajuan dan bermafaat bagi kepentingan orang banyak.
Sebagai lawan sesuatu yang meragukan, artinya Postitif adalah pensifatan sesuatu yang sudah pasti, sehingga harus sampai pada keseimbangan yang logis dan membawa kebaikan bagi setiap individu dan masyarakat.
Sebagai lawan dari sesuatu yang kabur, jadi Postitif adalah sesuatu yang jelas dan tepat, sehingga Postitif harus memberikan pengertian yang jelas mengenai gejala yang nampak dan mengenai apa yang sebenarnya.
Sebagai lawan dari yang negatif, jadi Postitif adalah sesuatu yang pasti (Postitif), dipergunakan untuk menunjukkan sifat-sifat pandangan filsafat yang selalu mengarah pada penataan atau penertiban.
Dari pengertian di atas, Auguste Comte ingin memperlihat kan ciri khas Postitivisme dan metode dalam kerangka kerjanya yang berbeda dengan filsafat lama yang bercorak teologis dan metafisis, demikian halnya dengan Durkheim yang memiliki unsur pikiran yang banyak mempengaruhi sistimatika kerangka rasionalnya dalam menjelaskan fakta yang dijumpainya atau dipecahkannya.
Telah tergambar persoalan Durkheim dalam berilmiah mengenai metode sosiologinya, hal ke-2 dalam berilmiah Ia juga memakai pemikiran evolusioner, karena Ia sangat menolak teori revolusi yang dianggapnya tidak membawa mamfaat yang justru memperburuk keadaan kehidupan masyarakat, dapat dipahami bahwa evolusioner akan kembali pada pembahasan di atas, di mana manusia dalam kehidupannya berjalan secara alami, karena proses alamiah yang berlaku, sesuatu yang tidak dapat kita hindari, maka manusia akan belajar dari historis yang mereka lihat, dengarkan atau yang mereka alami, maka pengalaman sangatlah berpengaruh, olehnya dapat dijelaskan dalam Postitivisme yang telah kita singgung di atas dan sangat jelas tampak kepada kita hal ini seperti halnya moral terlibat dalam proses historis yang bersifat evolusi, artinya berubah sesuai dengan struktur sosial.
Lebihlanjutakanevolusi, kita teringat Charles Darwinyangdikenal dengan teori evolusinya dalam kanca intelektualitas, menurutnya, evolusi adalah proses peningkatan yang mengarak tercapainya keadaan yang lebih sempurna, Hobhouse menjelaskan bahwa dalam indikator objektif pada suatu masyarakat yaitu antara lain:
1) Besarnya masyarakat, 2)
Efesiensi masyarakat, 3) Besarnya kebebasan yang diberikan
kepada anggota masyarakat untuk mengemukakan pendapat
dan lain-lain.
Lebih lanjut Hobhouse
mengatakan, proses evolusi
masyarakat berjalan sejajar
dan seiring dengan proses prasionalisasi kehidupan yang makin besar.
Darwin menguaraikannya sebagai berikut:
1. Pada permulaan bumi, segala makhluk organis tidak dengan serentak dijadikan menurut jenis mereka masing- masing. Mereka adalah hasil proses adaptasi, perubahan, dan evolusi.
2. Evolusi tidak terjadi
dengan mengarah pada suatu tujuan
(causa finalis) yang telah dirancang sejak semula. Melainkan adaptasi pada lingkungannya. Kondisi
lingkungan faktor- faktor
kebetulan material telah
menentukan arah evolusi
dan hasil yang dicapainya.
Proses evolusi berlangsung dalam empat sistem yaitu:
a.
Struggle for life yaitu persaingan yang ketat untuk saling mengalahkan demi untuk hidup.
b. Survival Sof the fittest yaitu organisme-organisme yang lemah
akan mati sebelum mampu
mempergandakan diri. Natural selection yaitu pilihan alam atau alam mengadakan seleksi.
c. Progress yaitu peningkatan mutu semua organisme. Spencer mengamalkan teori Darwin (evolusi), masyarakat disamakan dengan suatu organisme yang menurutnya: “Masyarakat adalah organisme! Semua gejala sosial diterangkan berdasarkan suatu penentuan oleh hukum alam. Hukum yang memerintah atas proses evolusi sosial. Manusia tidak bebas dalam hal ini, ia memainkan suatu peranan bebas dalam mengembangkan masyarakat.
Dari beberapa komparatif pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pemikiran evolusionistik (proses alam), yang terjadi dalam kehidupan tidaklah berbeda dengan apa yang ada pada Durkheim, yang menganggap salah satu bentuk evolusi adalah proses masyarakat dari suatu sistem mekanik kepada masyarakat organik. Namun perlu dicatat, pemikiran Durkheim dalam hal ini, memang banyak melihat dari tokoh-tokoh tersebut, walaupun penulis tidak mengatakan bahwa pemikiran Durkheim dipengaruhi olehnya secara seratus persen, karena pemikiran seseorang juga mengalami proses evolusi yang sangat erat kaitannya dengan lingkungan yang memberikan sumbangan terhadap diri sendiri.
A. Metode sosiologi harus bersifat objektif.
Dalam menganalisa beberapa
fakta realitas, seorang sosiolog perlu kiranya tidak terpengaruh oleh berbagai pemikiran yang cendrung pada suatu
kepentingan kelompok atau masyarakat
tertentu, hendaknya ia dapat melihat secara
murni, demikian Durkeim melihat bahwa ia memasuki alam gejala sosial, suatu wilayah yang belum
dikenal, sehingga Ia harus bersifat
polos, tidak berperasangka atau beranggapan dan tidak
terpengaruh oleh berbagai
pemikiran yang menyimpang, ia harus mempunyai “one certaine attitude
mentar” yang hanya menyambung pada pengalamannya. Sehingga
dalam melihat gejala
sosial, dicirikhaskan oleh dua hal, yaitu exteriority (sifat luaran) dan constraint (paksaan), hal ini membawa
pendirian dalam menganalisa suatu fakta (objek) sama dengan mengamati objek-objek yang lain dari alam benda-benda.
Hal yang dimaksudkan adalah
sifat luaran dan sifat memaksa
dari realitas sosial,
sebagai hal yang menarik perhatian, sehingga kedua sifat tersebut dapat dipakai sebagai definisi
sementara dan titik tolak metodologis untuk penelitian selanjutnya.
Lebih lanjut Durkjheim dalam hal ini
mengatakan:
“Para sosiolog, harus mengesampingkan segala prakonsepsi mengenai
fakta, sehingga dapat menghadapi fakta itu secara langsung. Juga telah ditunjukkan bagaimana para sosiolog
harus dapat membedakan unsur-unsur fakta menurut klasifikasi fakta yang normal dan patologis. Para sosiolog harus memiliki prinsip
yang sama dalam menjelaskan fakata yang ditelitinya dan bagaimana menguji
penjelasan-penjelasan itu. mereka
hendaknya tidak lagi terpengaruh oleh pemikiran yang bersifat ulitarium atau melakukan penalaran
silogistis dan meyadari
adanya kesenjangan antara sebab dan akibat. suatu hal merupakan suatu kekuatan yang hanya dapat
di kembangkan oleh kekuatan yang lain.
Dengan demikian dalam mengadakan penelitian terhadap fakta sosial, yang harus diungkapkan adalah energi yang memproduksi fakta sosial itu.oleh karena itu penjelasan yang diberikan harus bersifat khas,
hal mana juga belaku
bagaimana caranya mengadakan verifikasi. Kalau gejala
sosiologi hanya merupakan
suatu sisitim gagasan
yang diobjektifkan, maka dalam mejelaskannya diperlukan pemikiran kembali
mengenai tertib logisnya,
dan penjelasan itu sendiri merupakan bukti, walaupun dalam hal tertentu
diperlukan contoh-contoh untuk memperkuatnya.
Comte sependapat dalam hal ini, sebagaimana telah disinggung terdahulu dalam corak Postitivisme, objektifitas dalam melihat
fakta yang ada, hanya kita klarifikasi apa yang tampak
secara nyata dan pasti, itulah yang dapat kita ambil dan hal yang subjektif hendaklah kita kesampingkan. Jadi fakta sosial
harus dilihat dari sebelah
luar, dan diterangkan secara kausal. Lebih lanjut Durkheim
menjelaskan, fakta sosial dirumuskannya sebagaimana yang diuraikan oleh L.
Laeyendecker sebagai berikut:
“Fakta sosial harus diperlakukan sebagai benda,
Durkheim tidak bermaksud mengatakan bahwa fakta-fakta sosial itu benda, walaupun rumusan seperti itu perna ditulisnya, menurut Durkheim, fakta sosial harus dipandang dalam kwalitasnya seperti yang diberikan dalam pengamatan dan bukannya sebagai sesuatu yang dapat dikejar dengan
intropeksi, selain itu fakta sosial tidak dapat diubah dengan kemauan
semata-mata. Fakta sosial
ini memberikan perlawanan seperti yang dilakukan oleh benda-benda, hal mana berbeda dengan gambaran-gambaran dalam batin yang dapat diubah-ubah
sekehendak hati. Jadi misalnya,
fakta-fakata sosial dapat dihitung dan dinyatakan dalam statistik.
Hal di atas dimaksudkan oleh Durkheim adalah perlakuan
yang demikian, agar orang dapat mengambil jarak emosional, berbeda kita memahami manusia (masayarakat), lebih baik kita mendekatinya dengan simpati untuk mengetahui apa yang menyibukkannya. Tetapi fakta
sosial harus dengan cara memberikan pengertian-pengertian yang tepat yang tidak selalu tersedia secara langsung, perlu
pemikiran klasifikasi berulang-ulang
kita melihatnya dari luar dan kita dapat lepas
dari manifestasi-manifestasi individualnya.
B. Metode sosiologi harus ekslusif bersifat sosiologis.
Sosiologi dalam memperlihatkan
kematangan dan kemandiriannya, maka sebagai
suatu ilmu pengetahuan, hendaknya Ia terpisah dan tidak tercampur adukkan dengan ilmu
pengetahun lain. Sosiologi hendaknya tidak bercampur dengan psikologi,
filsafat atau dengan yang lainnya,
agar memperlihatkan kematangannya
yang menjadi ciri khasnya serta dipandang matang untuk
disebut sebagai salah
satu disiplin ilmu.
Demikianlah
yang telah dirintis oleh Comte dan lebih diperjelas
(diperluas) oleh Durkheim dalam
membentuk sosiologi menjadi suatu ilmu pengetahuan yang
mempunyai metode tersendiri dalam mengungkapkan kasus-kasus sosial,
maka dari itu ia membuat suatu batasan
metode yang telah tersebut di atas,
lebih lanjut Durkheim
menjelaskan bahwa:
“Fakta sosial
hanya dapat dijelaskan oleh fakta sosial
lainnya, hal mana dimungkinkan dengan cara menonjolkan fakta
pokok dalam evolusi kolektif,
pada lingkungan sosial internal. Dengan demikian, maka sosiologi merupakan suatu ilmu yang mandiri. Perasaan
adanya kekhususan relaitas
sosial, sedemikian pentingnya bagi orang sosiolog, sehingga hanya latihan-latihan keterampilan sosiologis yang akan dapat
mempersiapkannya untuk dapat
menelaah fakta sosial
secara intelektual.
Sebenarnya dapat kita cermati bahwa pada gagasan pertama dan yang kedua merupakan
penampakan ciri khas sosiologi
yang dirintis oleh Durkheim, maka terlihatlah apa yang dimaksud metode sosiologi yang diperjuangkan oleh Durkheim pada masa itu, dan ini sangatlah penting
karena sisitimatika pemikiran
Durkheim berakar pada konseptual yang dibuatnya.
Itulah metode sosiologi Durkheim, yang mungkin akan nampak lebih rumit sedikit dari metode yang telah ada terdahulu dan sudah berakar dikalangan sosiolog,
namun hal ini rumit karena belum
berakar pada intelektual seseorang. Tidaklah
menutup kemungkinan terjadi suatu perbedaan dan kritikan pada konsep Durkheim,
seperti yang terjadi
setelah Durkheim memperkenalkan gagasannya di dalam percaturan ilmu pengetahuan
dan intelektualitas pada masanya, tetapi perlu
dipikirkan bahwa suatu ilmu tidak akan mapan tanpa kritikan dari yang lainnya, dan itulah usaha Durkheim
yang memang patut kita syukuri,
dimana banyak memberikan tambahan wawasan intelektual para penganut sosiolog.
1.8 Kesimpulan
1. Fenomena konkrit dan spesifik yang mendasari Durkheim
mencetuskan teori bunh diri dengan alasan untuk menunjukkan kekuatan disiplin sosiologi.
Dia melakukan penelitian dengan
angka bunuh diri di beberapa
negara di Eropa.
2. Dalam metode ini, Durkheim sepenuhnya memisahkan sosiologi
dari ketergantungan filsafat,
dengan alasan bahwa sosiologi lahir dalam lingkungan
ajaran filsafat, maka terdapat
kecenderungan untuk mengandalkan beberapa sistem filsafat,
sehingga larut dalam sistem tersebut. Olehnya itu, sosiologi
harus bersifat ilmiah dalam arti bersifat
Postitivisme, evolusioner, dan idealistis, sehingga cukup memenuhi syarat sebagai suatu metode sosiologi.
3. Comte memberikan kejelasan
mengenai cara kerja Postitivisme, yang dijelaskan dalam batasan-batasan pengertian Postitif dalam karyanya “Discours Sur Lesprit Postitif”
DAFTAR PUSTAKA
Durkheim, The Division of Labor in Society, (1893)
The Free Press reprint
1997, ISBN 0-684-83638-6
Durkheim, Rules of Sociological Method, (1895) The
Free Press 1982, ISBN 0-02-907940-3
Durkheim, Suicide, (1897), The Free Press reprint
1997, ISBN 0-684-83632-7
Durkheim, Professional Ethics and Civic
Morals, (1955)
English translation by
Cornelia Brookfield 1992, ISBN 415-
06225-X1
Durkheim, The Elementary Forms of the Religious Life,
(1912, English translation by Joseph
Ritzer,
George dan Goodman, Douglas J. 2008. Teori Sosiologi Dari
Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Posttmodern. Bantul: Kreasi Wacana.
Steven Lukes:
Emile Durkheim: His Life and Work, a Historical and Critical Study.
Stanford University Press,
1985.
Swain: 1915) The Free Press,
1965. ISBN 0-02-908010-X,
new translation by Karen Fields 1995, ISBN 0-02- 907937-3
Paul Johnson, Doyle.1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern.
Jakarta: Penerbit
PT Gramedia.
0 Comment