Al-Qur'an sebagai Sumber dan Dalil
1. Pengertian Al-Qur'an
Secara etimologis, Al-Qur'an adalah bentuk mashdar dari kata qa-ra-a
Sesungguhnya Al-Qur'an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus.
2. Al-Syaukani mengartikan Al-Qur'an dengan: “Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW., tertulis dalam mushaf, dinukilkan secara mutawâtir”.
3. Definisi Al-Qur'an yang dikemukakan Abu Zahrah ialah: “Kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad”.
4. Menurut al-Sarkhisi, Al-Qur'an adalah: “Kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW., ditulis dalam mushaf, diturunkan dengan huruf yang tujuh yang masyhur dan dinukilkan secara mutawâtir”.
5. Al-Amidi memberikan definisi Al-Qur'an: “Al-Kitab adalah Al-Qur'an yang diturunkan”.
6. Ibnu Subki mendefinisikan Al-Qur'an: “Lafaz yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW., mengandung mukjizat setiap suratnya, yang mencetaknya”.
Dengan menganalisis unsur-unsur setiap definisi di atas dan membandingkan antara satu dengan lainnya, dapat ditarik suatu rumusan mengenai definisi Al-Qur'an, yaitu: “Lafaz berbahasa Arab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW., yang dinukilkan secara mutawâtir” .
Definisi ini mengandung beberapa unsur yang menjelaskan hakikat Al-Qur'an, yaitu:
1. Al-Qur'an itu berbentuk lafaz. Ini mengandung arti bahwa apa yang disampaikan Allah melalui Jibril kepada Nabi Muhammad SAW dalam bentuk makna dan di-lafaz-kan oleh Nabi dengan ibaratnya sendiri tidaklah disebut Al-Qur'an. Umpamanya hadis qudsî atau hadis qaulî lainnya. Karenanya tidak ada ulama yang wajib berwudhu jika hendak membaca.
2. Al-Qur'an itu berbahasa Arab. Ini mengandung arti bahwa Al-Qur'an yang dialihbahasakan kepada bahasa lain atau yang diibaratkan dengan bahasa lain bukanlah Al-Qur'an. Karenanya shalat yang menggunakan terjemahan Al-Qur'an, tidak sah.
3. Al-Qur'an itu diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.. Ini mengandung arti bahwa wahyu Allah yang disampaikan kepada nabi-nabi terdahulu tidaklah disebut Al-Qur'an. Tetapi apa yang dihikayatkan dalam Al-Qur'an tentang kehidupan dan syariat yang berlaku bagi umat terdahulu adalah Al-Qur'an.
4. Al-Qur'an itu dinukilkan secara mutawâtir. Ini mengandung arti bahwa ayat-ayat yang tidak dinukilkan dalam bentuk mutawatir bukanlah Al-Qur'an. Karenanya ayat-ayat syazzah atau yang tidak mutawatir penukilannya tidak dapat dijadi-kan hujah dalam istinbath hukum.
Di samping 4 unsur pokok tersebut, ada beberapa unsur sebagai penjelasan tambahan yang ditemukan dalam sebagian dari beberapa definisi Al-Qur'an di atas, yaitu:
A. Kata-kata “mengandung mukjizat setiap suratnya”, memberi penjelasan bahwa setiap ayat Al-Qur'an mengandung daya mukjizat. Oleh karena itu, hadis qudsî atau tafsir Al-Qur'an dalam bahasa Arab, bukanlah Al-Qur'an karena tidak mengan-dung daya mukjizat.
B. Kata-kata “beribadah membaca”, memberi penjelasan bah-wa dengan membaca Al-Qur'an berarti melakukan suatu perbuatan per-buatan yang berhak mendapat pahala. Karena membaca hadis qudsî yang tidak mengandung daya ibadah seperti Al-Qur'an, tidak dapat disebut Al-Qur'an.
C. Kata-kata “tertulis definisi dalam mushaf” (dalam Syaukani dan Sarkhisi), mengandung arti bahwa apa-apa yang tidak ter- tulis dalam mushaf walaupun wahyu itu diturunkan kepada Nabi, umpamanya ayat-ayat yang telah dinasakhkan, tidak lagi disebut Al -Qur'sebuah.
2. Autentisitas Al-Qur'an
Umat Islam memperbarui bahwa kumpulan wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. yang disebut Al-Qur'an dan yang termuat dalam mushaf, adalah autentik (semuanya adalah betul-betul dari Allah SWT.), dan semua wahyu yang diterima Nabi
Muhammad SAW. dari Allah melalui Malaikat Jibril telah termuat dalam al-Qur'an. Keautentikan Al-Qur'an ini dapat dibuktikan dari kehati-hatian para sahabat Nabi memeliharanya sebelum ia dibukukan dan dikumpulkan. Begitu pula kehati-hatian para sahabat dalam membukukan dan memelihara penggandaannya.
Sebelum dibukukan, ayat-ayat Al-Qur'an berada dalam rekaman teliti para sahabat, baik melalui hafalan yang kuat dan setia atau melalui tulisan di tempat yang terpisah.Ia disampaikan dan disebarluaskan secara periwayatan oleh orang banyak yang tidak mungkin bersekongkol untuk berdusta. Bentuk periwayatan seperti itu dinamakan periwayatan secara mutawâtir yang menghasilkan suatu kebenaran yang tidak dapat disangkal. Oleh karena itu, Al-Qur'an itu bersifat autentik.
Begitu pula pada waktu pembukuan Al-Qur'an di masa Abu Bakar. Pembukuannya dilakukan secara teliti dengan menilai tulisan yang ada dengan hafalan para penghafal, sehingga dugaan kuat bahwa semua wahyu telah direkam dalam mushaf.Kemudian hasil pembukuan itu disimpan secara aman di tangan Abu Bakar, lalu pindah ke tangan Umar ibn Khattab dan setelah dia meninggal, pindah ke tangan Hafsah binti 'Umar (istri Nabi). Akhirnya diadakan pentas-hihan pada masa khalifah 'Usman sehingga menghasilkan satu naskah autentik yang disebut mushaf Imam. Salinan dari naskah (mushaf) itu dikirimkan ke kota-kota besar lain, sedangkan yang selain dari itu, dibakar.Mushaf Imam yang dijadikan standar itu dijadikan rujukan bagi perbanyakan dan pentashihan berikutnya, sehingga berkembang dalam bentuk aslinya sampai saat ini. Inilah yang dimaksud Allah SWT.
A. Bacaan (Qira'at) Al-Qur'an
Dari segi pembacaan (qirâ'at), Al-Qur'an, terdapat perbedaan. Dari hasil penelitian para ahli, 7 di antara qira'at yang bekembang itu disepakati ke-mutawâtir-nya.Itulah yang disebut “qira'at yang tujuh” atau qirâ'at sab'ah ( )
Bentuk lain dari qirâ'at syâdzdzah itu adalah pengubahan kata, seperti Firman Allah dalam surat al-Maidah (5): 38:
B. Imam Abu Hanifah menerima qirâ'at syâdzdzah (yang tidak mutawatir) sebagai sumber dalam menegakkan hukum.Dalam hal ini ia menetapkan bahwa puasa untuk kafarat sumpah yang tiga hari itu harus dilakukan secara berturut-turut, sesuai dengan bunyi teks ayat dalam qirâ'at syâdzdzah; demikian pula tangan pencuri yang harus dipotong adalah tangan kanan.
Alasan yang dikemukakan Abu Hanifah adalah bahwa qirâ'at syâdzdzah meskipun periwayatannya tidak meyakinkan sebagai ayat Al-Qur'an, namun setidaknya ia sama dengan hadîts ahâd; sedangkan hadîts ahâd dapat dijadikan sumber dalam mengistinbath-kan hukum.
Perbedaan pendapat ulama tentang qirâ'at syâdzdzah itu juga ter- jadi dalam hal boleh atau tidaknya dibaca pada waktu shalat. Perbedaan ini muncul karena yang disuruh dibaca dalam shalat adalah ayat Al-Qur'an, sesuai dengan Firman Allah dalam surat al-Muzzammil (73): 20:
1. Imam Syafi'i berpendapat bahwa basmalah itu merupakan satu ayat dari surat Al-Qur'an yang diawali oleh basmalah. Alasannya adalah:
A. hadis Riwayat Abdul Hamid dari Ja'far, dari Nuh bin Abi Jalal, dari Said al-Maqbari, dari Abu Hurairah, dari Nabi Muhammad SAW. yang mengatakan bahwa “alhamdulillah” atau surat al-Fatihah (1) terdiri dari 7 ayat, satu di antaranya adalah basmalah.
B. hadis yang dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam kitab sahihnya dari Umi Salamah bahwa Rasul Allah membaca basmalah pada awal surat al-Fatihah dan surat-surat lainnya.
2. Imam Malik berpendapat bahwa basmalah di awal setiap surat bukan merupakan ayat dalam surat Al-Qur'an. Juga bukan salah satu ayat dalam surat al-Fatihah atau surat lainnya. Alasannya bahwa umat Islam di Madinah tidak membaca basmalah di awal setiap surat dalam shalat yang mereka lakukan. Praktik demikian itu sudah berlaku semenjak masa Nabi sampai masa Imam Malik, padahal dalil untuk membaca al-Fatihah dalam shalat adalah secara pasti.
Kebiasaan penduduk Madinah yang tidak membaca basmalah dalam shalat itu diperkuat dengan hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Anas ibn Malik yang mengatakan; “Saya shalat di belakang Nabi, juga di belakang Abu Bakar,
'Umar dan 'Utsman; mereka memulai bacaan al-Fatihah dalam shalat dengan “alhamdulillah”.
3. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa tulisannya basmalah dalam Al-Qur'an menunjukkan bahwa ia bagian dari Al-Qur'an, tetapi tidak menunjukkan bahwa ia bagian dari surat Al-Qur'an yang didahului oleh basmalah itu. hadis-hadis Nabi yang menunjukkan bahwa tidak dibacanya basmalah itu secara keras dalam waktu shalat membaca al-Fatihah memperlihatkan bahwa ia bukan bagian dari surat al-Fatihah. Disebutkannya basmalah dalam Al-Qur'an adalah untuk pemisah antara satu surat dengan surat lainnya. Sebuah hadis Nabi dari Ibnu Abbas yang dikeluar-kan oleh Abu Daud dengan sanad yang sahih keheningan bahwa Nabi tidak mengetahui tanda pemisah antara surat dengan surat lain sampai turunnya basmalah.
Oleh karena yang disuruh dibaca dalam shalat adalah Al-Qur'an seperti tersebut dalam ayat di atas, sedangkan kedudukan bas- malah sebagai bagian dari Al-Qur'an diperselisihkan, maka dapat pula terjadi perbedaan dalam hal membaca dalam shalat.
A. Ulama yang mengatakan bahwa basmalah merupakan bagian dari surat Al-Qur'an membolehkan membaca basmalah dalam shalat.
B. Ulama yang mengatakan bahwa basmalah bukan bagian dari Al-Qur'an tidak membolehkan membaca dalam shalat, baik secara jahar (keras) maupun secara sir (perlahan).
C. Ulama yang mengatakan bahwa basmalah adalah Al-Qur'an tetapi tidak termasuk bagian dari surat yang membolehkan mem- baca basmalah dalam shalat tetapi hanya secara sir, tidak boleh di-jahar-kan.
3. Fungsi dan Tujuan Turunnya Al-Qur'an
Al-Qur'an diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad untuk disampaikan kepada umat manusia bagi kemaslahatan dan kepentingan mereka, khususnya umat Mukminin yang percaya akan kebenarannya. Kemaslahatan itu dapat berbentuk mendatangkan manfaat atau keberuntungan, maupun dalam bentuk melepaskan manusia dari ke- mudaratan atau kecelakaan yang akan menimpanya.
Bila penggambaran ayat-ayat yang menjelaskan fungsi turunnya Al-Qur'an kepada umat manusia, terlihat dalam beberapa bentuk ungkapan yang di antaranya adalah:
1. Sebagai hudan umat ini, tidak kurang dari 15 kali disebutkan dalam Al-Qur'an, umpamanya pada surat Luqman (31): 2-3: Tá-SÃn. (Surat) ini adalah ayat-ayat Al-Qur'an, dan (ayat-ayat) kitab yang menjelaskan, untuk menjadi petunjuk dan berita gembira untuk orang-orang yang beriman.
2. Sebagai “tibyân”
3. Sebagai tafsîl , yaitu memberikan penjelasan secara rinci sehingga dapat dilaksanakan sesuai dengan yang dike- hendaki Allah. Umpamanya dalam surat Yusuf (12): 111:
Al-Qur'an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu ...
4. Sebagai Syifâu al-shudur
kebenaran Rasul, karena dalam Al-Qur'an terdapat daya mukjizat yang menunjukkan bahwa pembawa Al-Qur'an itu benar-benar seorang Rasul. Al-Qur'an itu bukan ciptaannya sendiri, tetapi ciptaan Allah, sedangkan Rasul hanya menyampaikan Firman Allah tersebut. (Uraian tentang mukjizat Al-Qur'an akan dijelaskan tersendiri).
Al-Qur'an merupakan sumber petunjuk bagi kehidupan manusia. Petunjuk Al-Qur'an itu dapat diklasifikasikan ke dalam dua bentuk.
Pertama, petunjuk langsung. Maksudnya, dalam Al-Qur'an terdapat aturan, ketentuan, dan petunjuk dalam bentuk tuntutan, larangan, atau membiarkan. Di sini terdapat batasan mengenai apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan, baik dalam hubungannya dengan Allah SWT., maupun dalam hubungannya dengan sesama manusia dan alam sekitarnya.
Al-Qur'an menjelaskan bahwa bila manusia mengikuti petunjuk dan batas-batas yang telah ditentukan Allah, maka selamatlah kehidupannya di dunia maupun di akhirat. Tetapi bila manusia melampaui ketentuan Allah, baik meninggalkan yang disuruh atau mengerjakan yang dilarang, akan celakalah hidupnya di dunia dan di akhirat, ia akan memikul dosa dengan pembalasan yang buruk. Allah SWT. Berfirman dalam surat al-Nisa' (4): 13 dan 14:
(Hukum-hukum tersebut) adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalam sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya, dan itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan Allah, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka, sedang ia kekal di dalamnya, dan memberikan siksa yang menghinakan.
Petunjuk Al-Qur'an dalam bentuk ini menjadi sumber pokok dalam perumusan hukum Islam.
Kedua, petunjuk yang tidak langsung. Maksudnya, dalam Al-Qur'an terdapat pokok-pokok dasar ilmu pengetahuan yang melingkupi kasus bidang. Pokok dasar ilmu pengetahuan dalam Al-Qur'an itu memerlukan pengembangan melalui nalar manusia sehingga menjadi satu ilmu yang sistematis. Melalui penerapan ilmu hasil nalar itu, manusia akan mendapatkan rahmat dan membukakan matanya untuk menjalani kehidupan di dunia sebagai persiapan bagi kehidupannya di akhirat.
Penjelasan Al-Qur'an tentang ilmu pengetahuan ada yang ber- bentuk keterangan tentang hakikat kejadian alam dan sekitarnya. Umpamanya Firman Allah dalam surat Ali 'Imran (3): 190:
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.
Di samping menjelaskan hakikat sesuatu yang berbentuk dasar ilmu pengetahuan, Al-Qur'an juga banyak sekali mendorong manusia untuk berpikir dan merekam serta memikirkan sesuatu kejadian. Umpamanya Firman Allah dalam surat al-Ghasyiyah (88): 17-20:
Maka apakah mereka tidak melarang bagaimana diciptakan? Dan langit, bagaimana dia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?
Dari hasil penelitian itu, manusia akan memperoleh ilmu pengetahuan tentang alam dengan petunjuk ayat-ayat atau tanda-tanda yang diperlihatkan Allah.
Al-Qur'an diturunkan Allah secara menyembunyikan-angsur dalam waktu yang cukup panjang, hampir sama dengan masa risalah Nabi Muhammad, yaitu selama 22 tahun 2 bulan dan 22 hari. Maksud diturunkannya Al-Qur'an secara menyembunyikan-angsur, di antaranya adalah sebagai jawaban terhadap sangkaan orang musyrik, se- bagaimana disebutkan dalam surat al-Furqan (25): 32:
Berkatalah orang-orang yang kafir, “Mengapa al-Qur'an itu tidak diturunkan kepadanya sekali pun turun?”Demikianlah, supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan kami membaca secara tartil (teratur dan benar).
Ada dua maksud turunnya Al-Qur'an secara menutupinya, yaitu:
1. Untuk tatsbît al fu'âd
Mula-mula proses perubahan itu ditujukan pada hal-hal yang mudah, sehingga tidak begitu sulit bagi umat untuk memahaminya. Setelah semua orang dapat melakukannya dengan baik, baru datang ayat berikutnya yang agak lebih sulit. Setelah tahap ini berjalan dengan baik, tibalah ayat berikutnya yang menetapkan secara pasti hukum yang berlaku untuk hal tersebut. Karena itu, hukum dapat berlaku dengan lan-car tanpa menimbulkan gejolak sosial. Seandainya ketentuan hukum itu datang secara tiba-tiba dan sekaligus, maka akan sulit menerapkan hukum itu, di samping itu akan menimbulkan gejolak sosial di tengah umat.
Contoh dalam hal ini adalah menetapkan hukum haramnya sedang khamar. Mula-mula turun ayat yang isinya baru sekedar menyatakan bahwa meminum khamar itu dosa. Meskipun banyak manfaatnya tetapi kerusakan yang ditimbulkannya lebih banyak lagi. Ini disebutkan dalam surat al-Baqarah (2): 219:
Mereka bertanya kepada Anda tentang khamar dan judi. Katakanlah, “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan berapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari kegunaannya.”
Dengan turunnya ayat itu, kebiasaan minum khamar mulai di- tinggalkan sebagian umat, namun belum sempurna dan tidak me- nyeluruh. Bahkan ada juga yang meminumnya di saat mendekati waktu shalat, sehingga ia melaksanakan shalat dalam keadaan mabuk. Sesudah itu turunkan ayat yang melarang seseorang melakukan shalat setelah minum khamar dan masih mabuk. Ketentuan itu tertera dalam surat an-Nisa: (4): 43:
Janganlah keadaan kamu shalat, sedang kamu dalam mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.
Dengan turunnya ayat tersebut, minum khamar menjadi sangat terbatas waktunya. Namun karena masih belum tegas larangan meminum khamar itu, maka masih ada yang minum khamar di luar waktu shalat. Setelah pelaksanaan hukum ini berjalan dengan baik, baru turun ayat Al-Qur'an yang secara jelas dan tegas melarang meminum khamar, melalui surat al-Maidah (5): 90:
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi na s ib de n gan pa nah , adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu.
Beban hukum dalam Al-Qur'an yang harus dipikul oleh umat itu begitu banyak. Kalau ayat Al-Qur'an itu turun sekaligus secara serentak, berarti semua beban hukum itu dalam waktu bersama akan dipikul oleh umat yang masih asing dengan hukum itu. Oleh karena itu, pemahaman Allah berlaku atas umat secara bertahap dalam menurunkan ayat Al-Qur'an. Setelah umat terbiasa melakukan suatu kewajiban baru disusul dengan kewajiban berikutnya. Dengan demikian, kewajiban atau beban hukum itu dapat diterapkan terhadap umat tanpa menimbulkan masalah sosial dan keagamaan.
2. Alasan penahapan turunnya ayat Al-Qur'an itu adalah dengan tujuan untuk adanya tartîl. Secara harfiah, tartîl berarti “membaca dengan baik dan mudah”. Prinsip tartîl ini adalah bahwa Al-Qur'an itu turun kepada suatu kaum yang pada umumnya adalah ummî atau tidak mampu membaca dan menulis. Allah menghendaki ayat-ayat Al-Qur'an dapat dihafal oleh umat dengan baik secara menyeluruh sehingga autentisitas Al-Qur'an dapat terjamin. Untuk memudahkan umat dalam menghafal Al-Qur'an, Allah menurunkan Al-Qur'an sedikit demi sedikit, secara bertahap. Setiap kali ayat Al-Qur'an turun dalam jumlah
tertentu, maka umat mudah untuk menghafal dan membaca. Sekiranya ayat yang turun pada tahap yang lalu sudah terhafal dengan baik, baru turun ayat berikutnya, sehingga tamat dalam masa yang cukup panjang itu. Seandainya semua ayat Al-Qur'an turun sekaligus, tentu tidak mungkin dapat dihafal dengan baik mengingat jumlah ayat Al-Qur'an itu begitu banyak.
Ayat-ayat al-Qur'an terutama yang termasuk ayat-ayat hukum biasanya menurunkan Allah sebagai jawaban atas masalah atau kasus yang terjadi dalam masyarakat. Masalah itu tentu tidak seren- tak munculnya.Karenanya tidak mungkin ayat hukum itu akan turun sekaligus.
Tahapan turunnya Al-Qur'an itu dibagi ke dalam dua tahap atau masa, yaitu:
A. Periode sebelum Nabi hijrah ke Madinah.Ayat-ayat yang turun dalam tahap ini disebut Makiyah ( ).
Ayat Al-Qur'an yang turun dalam periode pertama ini lebih diarahkan kepada pembentukan 'aqidah dan akhlak Islam.Ayat-ayat hukum belum banyak diturunkan dalam periode ini.
B. Periode sesudah hijrah Nabi ke Madinah.Ayat-ayat yang diturunkan dalam periode ini disebut Madaniyah.
Ayat Al-Qur'an yang diturunkan dalam tahap ini lebih diarahkan pada pembentukan masyarakat Islam, di samping pemantapan akidah.Pada masa ini lebih banyak turunnya ayat-ayat hukum, terutama yang menyangkut mu'âmalah dalam arti luas.
4. Mukjizat Al-Qur'an
Dalam uraian tentang definisi Al-Qur'an disebutkan bahwa salah satu kriteria, yaitu “mengandung daya mukjizat setiap surat dan ayatnya”.
Secara etimologis (lughawî), “mukjizat” berarti sesuatu yang dapat dibayar, sehingga orang lain tidak dapat berbuat yang sama atau melebihi. Setiap Rasul yang diutus untuk menyampaikan risalah mempunyai mukjizat.Hal ini berarti ia mempunyai satu daya atau kekuatan yang dapat mengalahkan kekuatan lain sehingga tidak ada yang
mampu melakukan hal yang sama atau melebihinya. Karena itu, dimata umatnya, Rasul itu dianggap punya kebiasaan.
Mukjizat bagi seorang Rasul merupakan salah satu identitas dari kerasulannya. Identitas kerasulan itu berbeda antara seorang Rasul dengan Rasul lainnya. Mukjizat biasanya diberikan Allah dalam bentuk sesuatu yang umum terjadi pada masanya dan Rasul memunculkan keluarbiasaannya.
Pada masa Nabi Musa, ilmu sihir berkembang dan sering dijadikan sebagai salah satu alat kompetisi, seperti tali menjadi ular. Nabi Musa tampil dengan mukjizat dengan kemampuan mengubah tongkat menjadi ular yang mampu mengalahkan hasil sihir ular-ular umat Nabi Musa pada masa itu. Pada masa Nabi Isa berkembang ilmu pedukunan dan pengobatan, namun ada saja penyakit yang tidak dapat disembuhkan oleh tabib dan dukun pada masa itu, seperti penyakit buta dan sopak. Nabi Isa tampil dengan kemampuan mengobati penyakit buta dan sopak itu dengan izin Allah, sehingga di mata banyak orang, Nabi Isa memiliki keunggulan yang dapat menarik kemampuan semua orang pada masa itu.
Pada masa Nabi Muhammad diutus, orang-orang berbangga dengan kemampuan bersyair dengan keindahan bahasa yang selalu dikompetisikan secara berkala. Nabi Muhammad tampil dengan Al-Qur'an yang keindahan bahasanya tidak dapat ditandingi sastrawan masa itu.
Mukjizat Nabi Muhammad yang terbesar adalah Al-Qur'an. Mukjizatnya berbeda dengan mukjizat rasul-rasul sebelumnya yang rata-rata bersifat fisik yang dapat disaksikan dengan mata. Mukjizat Nabi Muhammad bersifat maknawi, tidak dapat dilihat keistimewaannya dengan mata, tetapi dapat dirasakan. Karena itu, mukjizatnya akan tetap berlaku sepanjang masa, meskipun Nabi yang memilikinya sudah tidak ada. Hal ini sesuai dengan kedudukan Nabi Muhammad sebagai Nabi dan Rasul terakhir.
Mukjizat Al-Qur'an tidak terdapat pada lembaran fisiknya, tetapi dalam bahasa dan maksud yang terkandung di dalamnya. Ia mempunyai hasil yang biasa secara akal tidak mungkin dihasilkan sendiri oleh Nabi Muhammad. Hal itu menunjukkan
bahwa Al-Qur'an itu seluruhnya memang berasal dari Allah SWT. Bentuk kemukjizatan Al-Qur'an dapat dirangkum dalam hal-hal sebagai berikut:
1. Dari segi keindahan bahasa.
Al-Qur'an memiliki keindahan bahasa yang tidak mungkin ditandingi ahli bahasa Arab mana pun. Hal ini sudah mendapat pengakuan umum dari orang yang mengerti dzauq (rasa) bahasa Arab. Keindahan itu terdapat dalam penggunaan kata, susunan kata, dan kalimat; ungkapan, dan hubungan antara satu ungkapan dengan lainnya. Allah SWT. dalam surat al-Baqarah (2): 23 menantang orang-orang yang me-gukan kebenaran Al-Qur'an untuk menandinginya dengan cara mendatangkan yang sejenis ayat Al-Qur'an:
yang hidup pada masa para nabi itu. Al-Qur'an bercerita tentang Ashhabul Kahfi dan tentang Zulqarnain yang diakui kebenarannya oleh ahli sejarah dan ulama ahli kitab, padahal Nabi sendri tidak pernah belajar dari ulama ahli kitab mana pun, tidak pernah bergaul dengan mereka, juga tidak mampu membaca peninggalan tertulis dari agama -agama sebelumnya. Hal ini diterangkan Allah dalam surat al-Ankabut: (29): 48:
Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (Al-Qur'an) sesuatu kitab pun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu; andaikata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang-orang yang mengingkari(mu).
3. Dari segi pemberitaan Al-Qur'an tentang hal-hal yang akan terjadi dan ternyata memang kemudian terjadi. Umpamanya berita tentang kekalahan Persia oleh Romawi, sesudah keka-lem Romawi sebagaimana disebutkan Allah dalam surat ar-Rum (30): 2-4:
Telah mengalahkan bangsa Romawi, di negeri terdekat dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang.
Allah SWT. menyebutkan nama-nama tempat yang belum ada pada waktu ayat itu turun, kemudian di belakang hari ternyata memang ada, seperti tentang Masjidilharam dan Masjidilaqsha, yang tertera dalam surat al-Isra (17): 1:
Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dan Masjidilharam ke Masjidilaqsha.
4. Dari segi kandungannya akan hakikat kejadian alam dengan seisinya serta hubungan antara satu dengan lainnya. Pemberitaan seperti ini merupakan hal-hal yang luar biasa yang kemudian terungkap kebenarannya melalui kebencian terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Umpamanya tentang proses kejadian manusia yang melepaskan Allah dalam surat al-Mukminun (23): 12-14:
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari sari pati (herasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan sari pati air itu mani (yang disimpan) di tempat yang kukuh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang dan lalu tulang belulang itu kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Suci Allah, Pencipta Yang Paling Baik.
5. Dari segi isinya mengenai pedoman hidup yang menu- tu manusia mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat; tentang halal dan haram, tentang salah dan benar, tentang buruk dan baik; tentang yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan dan tentang etika larangan.
Demikianlah hal-hal pokok yang terdapat dalam Al-Qur'an yang menjadikannya luar biasa. Kemukjizatannya itu tampak dengan nyata, karena hal-hal luar biasa yang terkadung dalam Al-Qur'an itu muncul dari seorang manusia biasa yang tidak pernah belajar ilmu pengetahuan dan sejarah; tidak pernah hidup dalam lingkungan keilmuan yang ada kemungkinan menularkan ilmunya; bahkan tidak pandai menulis dan membaca. Hal itu menunjukkan bahwa Al-Qur'an bukan hasil karya Nabi Muhammad SAW.. Tidak mungkin ia mampu menghasilkan karya agung yang bernama Qur'an itu. Mengenai hal ini, Allah SWT. berfirman dalam surat Yunus (10): 15:
Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang nyata, orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami berkata. “Datangkanlah Al-Qur'an yang lain dari ini atau gantilah dia”. Katakanlah: “Tidaklah pantas dilindungi menggantikannya dari pihak diriku sendiri. Saya tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan saya. sejujurnya aku takut jika mendurhakai Tuhanku kepada siksa hari yang besar (kiamat)”
5. Ibarat Al-Qur'an dalam mendorong Hukum
Al-Qur'an bukanlah kitab undang-undang yang menggunakan ibarat tertentu dalam menjelaskan hukum.Al-Qur'an adalah sumber hidayah yang didalamnya terkandung norma dan kaidah yang dapat diformulasikan dalam bentuk hukum dan undang undang undang undang.
Dalam menjelaskan hukumnya, Al-Qur'an menggunakan beberapa cara dan ibaratnya, yaitu dalam bentuk perjanjian, baik keputusan untuk melakukan yang disebut suruhan atau perintah, atau keputusan untuk meninggalkan yang disebut larangan.
Surat atau perintah menunjukkan keharusan untuk melakukan seperti keharusan melaksanakan shalat dengan perintah Allah dalam surat an-Nisa' (4): 77:
Larangan menunjukkan keharusan meninggalkan perbuatan yang dilarang, seperti larangan membunuh dalam Firman Allah:
Keharusan meninggalkan suatu perbuatan, Al-Qur'an sering menggunakan kata “harrama” ( ). Umpamanya tidak boleh ada orang kawin dengan ibu, anak, dan saudaranya yang menangis dengan ungkapan:
Dia-lah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur'an) kepada kamu. Di antara (isi)-nya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok pokok isi Al-Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat.
1. Ayat muhkâm adalah ayat yang jelas maknanya, tersingkap secara terang, sehingga menghindarkan keraguan dalam maknanya dan menghilangkan kemungkinan pemahaman.
2. Ayat mutasyâbih adalah kebalikan dari yang muhkam, yaitu ayat yang tidak pasti arti dan maknanya, sehingga dapat dipahami dengan beberapa kemungkinan.
Ada beberapa kemungkinan pemahaman itu dapat disebabkan oleh dua hal:
A. Lafaz itu dapat digunakan untuk dua maksud dengan pema- haman yang sama. Umpamanya kata quru' ( “Allah bersemayam” berarti “Allah berkuasa”. Sedangkan ulama yang tidak mau menggunakan takwil, tetap mengartikan ayat mutasyâbihât itu menurut apa adanya.
Dari segi penjelasannya terhadap hukum, ada beberapa cara yang digunakan Al-Qur'an, yaitu:
1. Secara Juz'i (terperinci). Maksudnya, Al-Qur'an menjelaskan se-cara terperinci. Allah dalam Al-Qur'an memberikan penjelasan secara lengkap, sehingga dapat dilaksanakan sesuai apa adanya, meskipun tidak dijelaskan Nabi dengan sunah-Nya. Umpa- banyak ayat-ayat tentang kewarisan yang terdapat dalam surat an-Nisa' (4): 11 dan 12. Tentang tanggung jawab atas kejahatan zina dalam surat al-Nur (24): 4. Penjelasan yang terperinci dalam ayat seperti di atas, sudah maksudnya jelas dan tidak memberikan peluang adanya kemungkinan pemahaman lain. Dari segi kejelasan artinya, ayat tersebut termasuk ayat muhkamât.
2. Secara Kullî (global). Maksudnya, penjelasan Al-Qur'an terha-dap hukum berlaku secara garis besar, sehingga masih memerlukan penjelasan dalam pelaksanaannya. Yang paling menentang memberikan penjelasan terhadap maksud ayat yang berbentuk garis besar itu adalah Nabi Muhammad dengan sunah-Nya. Penjelasan dari Nabi sendiri di antaranya ada yang berbentuk pasti sehingga tidak memungkinkan adanya pema- haman lain. Di samping itu, ada pula penjelasan Nabi dalam bentuk yang masih samar dan kemungkinan ada beberapa pemahaman.
3. Secara Isyarah. Al-Qur'an memberikan penjelasan terhadap apa yang secara lahir disebutkan di dalamnya dalam bentuk penjelas-an secara ibarat. Di samping itu, juga memberikan pengertian secara isyarat kepada maksud lain. Dengan demikian, satu ayat Al-Qur'an dapat memberikan beberapa maksud. Umpamanya Firman Allah dalam surat al-Baqarah (2): 233:
Ayat tersebut, mengandung arti adanya kewajiban suami untuk memberi belanja dan pakaian bagi istrinya. Tetapi di balik pengertian itu, mujtahid menangkap isyarat adanya kemung-kinan maksud lain yang terkandung dalam ayat tersebut, yaitu bahwa “nasab seorang anak dihubungkan kepada ayahnya”.
Ayat Al-Qur'an dalam bentuk yang muhkam dengan penjelas-an yang lengkap, penunjukannya terhadap hukum adalah pasti (qath'î dilâlah). Dalam ayat itu tidak mungkin ada maksud lain dan tidak mungkin pula ditanggapi dengan tanggapan yang berbeda. Hukum yang ditunjuk secara pasti ini berlaku secara universal dan tidak akan mengalami perubahan walaupun wak- tu dan tempatnya sudah berubah.
Penunjukan yang pasti, ini pada umumnya berlaku dalam bidang 'akidah (seperti keesaan Allah), dan mengenai pokok ibadah-ibadah (seperti keharusan melakukan shalat), serta dalam masalah norma yang tidak akan mengalami perubahan (seperti keharusan berbuat baik kepada ibu dan bapak). .
Ayat Al-Qur'an yang disampaikan secara mutasyâbih, dalam bentuk penjelasan yang bersifat garis besar dan ayat-ayat yang mengandung isyarat, penunjukannya terhadap hukum bersifat zhanni (tidak meyakinkan); Karenanya dapat dipahami dengan beberapa kemungkinan pemahaman. Perbedaan pemaha- man itu akan menghasilkan versi hukum yang berbeda-beda.
Ayat Al-Qur'an yang penjelasannya bersifat zhannî ini umum- nya berlaku dalam bidang mu'amalah dalam arti luas yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya dalam kehidup- an masyarakat. Karena kehidupan masyarakat itu terus berkembang, maka penerapan hukumnya pun akan mengalami perubahan. Dalam bidang inilah berlaku ungkapan: “Perubahan hukum itu berdasarkan perubahan waktu dan tempat.” Juga berlaku reformulasi hukum bila keadaan yang dikehendaki. Umpamanya mengenai poligami yang dalam suatu waktu dan tempat dinyatakan boleh, tetapi pada waktu dan tempat lain dapat di nyatakan tidak boleh (dilarang).
7. Hukum yang Terkandung dalam Al-Qur'an
Sesuai dengan definisi hukum syara' sebagaimana telah dijelaskan, hanya sebagian kecil dari ayat-ayat Al-Qur'an yang mengandung hukum, yaitu yang menyangkut perbuatan mukalaf dalam bentuk gugatan, pilihan perbuatan, dan ketentuan yang ditetapkan. Hukum-hukum tersebut mengatur kehidupan manusia, baik dalam hubungannya dengan Allah SWT. maupun dalam bertentangan dengan manusia dan alam sekitarnya.
Secara garis besar hukum-hukum dalam Al-Qur'an dapat dibagi tiga macam:
Pertama, hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT. mengenai apa-apa yang harus diyakini dan yang harus dihindari sehubungan dengan keyakinannya, seperti keharusan mengesakan Allah dan larangan mempersekutukan-Nya. Hukum yang menyangkut keyakinan ini disebut hukum i'tiqâdiyah yang dikaji dalam “Ilmu Tauhid” atau “Ushuluddin”.
Kedua, hukum-hukum yang mengatur hubungan pergaulan manusia mengenai sifat-sifat baik yang harus dimiliki dan sifat-sifat buruk yang harus dijauhi dalam kehidupan bermasyarakat. Hukum dalam bentuk ini disebut hukum khuluqiyah yang kemudian dikembangkan dalam “Ilmu Akhlak”.
Ketiga, hukum-hukum yang menyangkut tindak tanduk manusia dan tingkah laku lahirnya dalam hubungan dengan Allah SWT., dalam hubungan dengan sesama manusia, dan dalam bentuk apa-apa yang harus dilakukan atau harus dijauhi. Hukum ini disebut hukum amaliyah yang pembahasannya dikembangkan dalam “Ilmu Syari'ah”.
Hukum amaliyah tersebut, secara garis besar terbagi dua:
1. Hukum yang mengatur tingkah laku dan perbuatan lahiri-ah manusia dalam hubungannya dengan Allah SWT., seperti shalat, puasa, zakat, dan haji. Hukum ini disebut hukum 'ibadah dalam arti khusus.
2. Hukum-hukum yang mengatur tingkah laku lahiriah manusia dalam kaitannya dengan manusia atau alam sekitarnya, seperti jual beli, kawin, pembunuhan, dan lainnya. Hukum-hu-kum ini disebut hukum mu'âmalah dalam arti umum.
Bentuk hukum yang pertama disebut “ibadah dalam arti khu-sus” karena mu'amalah pun sebenarnya termasuk ke dalam buatan ibadah bila dilaksanakan sesuai dengan yang dikehendaki Allah. Sedangkan bentuk hukum yang kedua disebut “mu'âmalah dalam arti umum”, karena mencakup semua bentuk pergaulan manusia dalam kehidupan bermasyarakat.
Dilihat dari segi perilakunya bagi hubungan sesama manusia, bentuk hukum mu'amalah itu ada beberapa macam, yaitu:
A. Hukum yang mengatur hubungan antara sesama manusia yang menyangkut kebutuhannya akan harta bagi keperluan hidupnya. Bentuk hukum ini disebut “hukum mu'amalat dalam arti khusus”. Contohnya seperti: jual beli, sewa menyewa, pinjam-meminjam dan lainnya.
B. Hukum yang mengatur hubungan antara sesama manusia yang berhubungan dengan kebutuhannya akan mengatur nafsu syahwat secara sah dan yang berhubungan dengan itu. Bentuk hukum ini disebut “hukum munakahat”. Contohnya, seperti: kawin, cerai, rujuk, dan pengasuhan atas anak yang dilahirkan.
C. Hukum yang mengatur hubungan antara sesama manusia yang menyangkut harta yang tersebab oleh karena adanya kematian. Bentuk hukum ini disebut hukum “mawarits” dan “wasiat”.
D. Hukum yang mengatur hubungan antara manusia dengan manusia lainnya yang berkaitan dengan usaha pencegahan terjadinya kejahatan atas harta, maupun kejahatan penya-luran nafsu syahwat atau kejahatan dan tanggung jawab atas pelanggarannya. Bentuk hukum ini disebut hukum jinayah atau pidana. Contohnya, seperti: pencurian, pembunuhan, perzinahan, dan lainnya.
E. Hukum yang mengatur hubungan antara sesama manusia yang berkaitan dengan upaya penyelesaian akibat tindak pidana di pengadilan. Bentuk hukum ini disebut hukum “murafa'at” atau hukum “qadha'”, disebut juga “hukum acara”. Contohnya, seperti: kesaksian, gugatan, dan pembuktian di pengadilan.
F. Hukum yang mengatur hubungan antara manusia dengan manusia lain yang berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat dan bernegara disebut hukum dusturiyah. Umpamanya tentang ulil amri, khalifah, baitulmal, disebut juga hukum tata negara.
G. Hukum yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya dalam suatu negara dengan manusia di negara lain, dalam keadaan damai dan keadaan perang. Bentuk hukum ini disebut “hukum antarnegara” atau “hukum dualiyah”, disebut juga dengan “hukum internasional”. Contohnya, seperti tentang tawanan, ekstradisi, kesepakatan, pampasan perang, dan lainnya.
Demikianlah di antara bentuk-bentuk hukum yang terkandung dalam Al-Qur'an. Dengan demikian jelaslah bahwa Al-Qur'an itu mengandung dasar-dasar hukum dari segala bentuk hukum yang berkembang di dunia. Sebagian dari hukum itu penjelasannya sudah jelas dan dijelaskan secara terperinci dalam ayat-ayat Al-Qur'an. Sebagian lainnya diterangkan dalam Al-Qur'an tetapi secara umum dan dalam bentuk garis besarnya, sehingga memerlukan akal (nalar) manusia untuk merumuskannya dengan hukum bahasa.
Al-Qur'an sebagai Sumber Hukum Fiqh
Atas dasar bahwa hukum syara' itu adalah kehendak Allah SWT bertingkah laku manusia mukalaf, maka dapat dikatakan bahwa pembuat hukum (pemberi hukum) adalah Allah SWT. Ketentuan-Nya itu terdapat dalam kumpulan wahyu-Nya yang disebut Al-Qur'an .Dengan demikian ditetapkan bahwa Al-Qur'an itu sumber utama bagi hukum Islam, sekaligus juga sebagai dalil utama fiqh. Al-Qur'an itu membimbing dan memberi petunjuk untuk menemukan hu-kum-hukum yang terkandung dalam sebagian ayat-ayatnya.
Karena kedudukan Al-Qur'an itu sebagai sumber utama dan pertama bagi penetapan hukum, maka bila seseorang ingin menemukan hukum untuk suatu kejadian, tindakan pertama yang harus ia lakukan adalah mencari solusi penyelesaiannya dari Al-Qur'an. Selama hukumnya dapat diselesaikan dengan Al-Qur'an, maka ia tidak dapat mencari jawaban lain di luar Al-Qur'an.
Selain itu, sesuai dengan kedudukan Al-Qur'an sebagai sumber utama atau pokok hukum Islam, berarti Al-Qur'an itu menjadi sumber dari segala sumber hukum.Oleh karena itu, jika akan menggunakan sumber hukum lain di luar Al-Qur'an, maka harus sesuai dengan petunjuk Al-Qur'an dan tidak boleh melakukan sesuatu yang berkaitan dengan Al-Qur'an. Hal ini berarti bahwa sumber-sumber hukum selain Al-Qur'an tidak boleh menyalahi apa-apa yang telah ditetapkan Al-Qur'an.
Kekuatan hujah Al-Qur'an sebagai sumber dan dalil ayat hukum fiqh yang terkandung dalam Al-Qur'an yang menyuruh umat manusia mematuhi Allah. Hal ini disebutkan lebih dari 30 kali dalam Al-Qur'an. Perintah mematuhi Allah itu berarti perintah mengikuti apa-apa yang difirmankan-Nya dalam Al-Qur'an.
0 Comment