PENDAHULUAN
Manusia dalam
hidupnya membutuhkan berbagai macam pengetahuan. Dan sumber yang sangat otentik
bagi umt muslim adalah Al-qur’an dan hadits rasulullah saw. Allah telah
memberikan kepada pendahulu-pendahulu umat orang yang istiqamah menjaga al
Qur’an dan hadits nabi. Mereka adalah orang-orang yang amanah dan memegang
jani. Hadits merupakan ajaran Islam kedua setelah al qur’an, membahas tentang
al qur’an tentunya sudah tidak diragukan lagi kebenarannya, sedangkan hadits
memerlukan pembahasan yang lebih luas, termasuk di kalangan intelektual
terutama mengenai kebenaran dan keasliannya. Hal ini disebabkan karena hadits
merupakan ungkapan yang diterima oleh para sahabat baik secara langsung maupun
tidak langsung, juga apakah sesuatu yang disandarkan kepada nabi merupakan
hadits atau tidak.
Dalam makalah ini yang mana pemakalah akan membahas tentang Sunnah, Hadits, Khabar dan Atsar, Pendapat yang membedakan antara Hadits dan Sunnah, Hadits antara wahyu dan bukan.
SUNNAH, HADITS, KHABAR DAN ATSAR
A.
Pengertian Sunnah, Hadits, Khabar dan
Atsar
1. Pengertian as-Sunnah
Sunnah menurut bahasa berarti :
"Jalan dan kebiasaan yang
baik atau yang jelak".
Menurut M.T.Hasbi Ash Shiddieqy, pengertian sunnah ditinjau dari
sudut bahasa (lughat) bermakna jalan yang dijalani, terpuji, atau tidak. Sesuai
tradisi yang sudah dibiasakan, dinamai sunnah, walaupun tidak baik.
Sedangkan, Sunnah menurut istilah muhadditsin (ahli-ahli hadits) ialah:
“segala yang dinukilkan dari Nabi SAW.,
baik berupa perkataan, perbuatan, maupun berupa taqrir, pengajaran, sifat,
kelakuan, perjalanan hidup baik yang demikian itu sebelum Nabi SAW.,
dibangkitkan menjadi Rasul, maupun sesudahnya.
Menurut Fazlur Rahman,
sunnah adalah praktek aktual yang karena telah lama ditegakkan dari satu
generasi ke generasi selanjutnya memperoleh status normatif dan menjadi sunnah.
Sunnah adalah sebuah konsep perilaku, maka sesuatu yang secara aktual
dipraktekkan masyarakat untuk waktu yang cukup lama tidak hanya dipandang
sebagai praktek yang aktual tetapi juga sebagai praktek yang normatif dari
masyarakat tersebut.
Menurut Ajjaj al-Khathib, bila kata Sunnah diterapkan ke dalam
masalah-masalah hukum syara', maka yang dimaksud dengan kata sunnah di sini,
ialah segala sesuatu yang diperintahkan, dilarang, dan dianjurkan oleh
Rasulullah SAW., baik berupa perkataan maupun perbuatannya. Dengan demikian,
apabila dalam dalil hukum syara' disebutkan al-Kitab dan as-Sunnah, maka yang
dimaksudkannya adalah al-Qur'an dan Hadits.
2.
Pengertian Hadits
Kata "Hadits" atau al-hadits menurut bahasa berarti al-jadid (sesuatu yang baru), lawan kata dari al-qadim (sesuatu yang lama). Kata hadits juga berarti al-khabar (berita), yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain. Kata jamaknya, ialah al-ahadis. Secara terminologi, ahli hadits dan ahli ushul berbeda pendapat dalam memberikan pengertian hadits. Di kalangan ulama hadits sendiri ada juga beberapa definisi yang antara satu sama lain agak berbeda. Ada yang mendefinisikan hadits, adalah : "Segala perkataan Nabi SAW, perbuatan, dan hal ihwalnya". Ulama hadits menerangkan bahwa yang termasuk "hal ihwal", ialah segala pemberitaan tentang Nabi SAW, seperti yang berkaitan dengan himmah, karakteristik, sejarah kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaanya.Ulama hadits yang lain juga mendefiniskan hadits sebagai berikut :
"Sesuatu yang
didasarkan kepada Nabi SAW. baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun
sifatnya".
Dari ketiga pengertian tersebut, ada
kesamaan dan perbedaan para ahli hadits dalam mendefinisikan hadits. Kasamaan dalam mendefinisikan hadits ialah hadits
dengan segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik perkataan maupun
perbuatan. Sedangkan perbedaan mereka terletak pada penyebutan terakhir dari
perumusan definisi hadits. Ada ahli hadits yang menyebut hal ihwal atau sifat
Nabi sebagai komponen hadits, ada yang tidak menyebut. Kemudian ada ahli hadits
yang menyebut taqrir Nabi secara eksplisit sebagai komponen dari bentuk-bentuk
hadits, tetapi ada juga yang memasukkannya secara implisit ke dalam aqwal atau
afal-nya. Sedangkan ulama Ushul, mendefinisikan hadits sebagai berikut :
"Segala perkataan Nabi SAW. yang dapat dijadikan dalil untuk
penetapan hukum syara'".
Berdasarkan rumusan definisi hadits baik dari ahli hadits maupun
ahli ushul, terdapat persamaan yaitu ; "memberikan definisi yang terbatas
pada sesuatu yang disandarkan kepada Rasul SAW, tanpa menyinggung-nyinggung
prilaku dan ucapan sahabat atau tabi'in. Perbedaan mereka terletak pada cakupan
definisinya. Definisi dari ahli hadits mencakup segala sesuatu yang disandarkan
atau bersumber dari Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, dan taqrir.
Sedangkan cakupan definisi hadits ahli ushul hanya menyangkut aspek perkataan
Nabi saja yang bisa dijadikan dalil untuk menetapkan hukum syara'.
3. Pengertian Khabar
Khabar menurut lughat, berita yang
disampaikan dari seseorang kepada seseorang. Untuk itu dilihat dari sudut
pendekatan ini (sudut pendekatan bahasa), kata Khabar sama artinya dengan
Hadits. Menurut Ibn Hajar al-Asqalani, yang dikutip as-Suyuthi, memandang bahwa
istilah hadits sama artinya dengan khabar, keduanya dapat dipakai untuk sesuatu
yang marfu, mauquf, dan maqthu'. Ulama lain, mengatakan bahwa kbabar adalah
sesuatu yang datang selain dari Nabi SAW., sedang yang datang dari Nabi SAW.
disebut Hadits. Ada juga ulama yang mengatakan bahwa hadits lebih umum dari
khabar. Untuk keduanya berlaku kaidah 'umumun
wa khushushun muthlaq, yaitu bahwa tiap-tiap hadits dapat dikatan Khabar,
tetapi tidak setiap Khabar dapat dikatakan Hadits.
Menurut istilah sumber ahli hadits; baik berita dari Nabi maupun
dari sahabat, ataupun berita dari tabi'in. Ada ulama yang berpendapat bahwa
khabar digunakan buat segala yang diterima dari yang selain Nabi SAW. Dengan
pendapat ini, sebutan bagi orang yang meriwayatkan hadits dinamai muhaddits,
dan orang yang meriwayatkan sejarah dinamai akhbary atau khabary. Ada juga
ulama yang mengatakan bahwa hadits lebih umum dari khabar, begitu juga
sebaliknya ada yang mengatakan bahwa khabar lebih umum dari pada hadits, karena
masuk ke dalam perkataan khabar, segala yang diriwayatkan, baik dari Nabi
maupun dari selainnya, sedangkan hadits khusus terhadap yang diriwayatkan dari
Nabi SAW. saja.
4. Pengertian Atsar
Atsar menurut lughat ialah bekasan sesuatu, atau sisa sesuatu, dan berarti nukilan (yang dinukilkan). Sesuatu do'a umpamanya yang dinukilkan dari Nabi dinamai: do'a ma'tsur. Sedangkan menurut istilah jumhur ulama sama artinya dengan khabar dan hadits. Dari pengertian menurut istilah, terjadi perbedaan pendapat di antara ulama. "Jumhur ahli hadits mengatakan bahwa Atsar sama dengan khabar, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW., sahabat, dan tabi'in. Sedangkan menurut ulama Khurasan, bahwa Atsar untuk yang mauquf dan khabar untuk yang marfu.
5. Perbedaan Pengertian Sunnah dan Hadits
a.
Menurut Ulama Hadits
"Segala yang bersumber dari Nabi
SAW., baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, tabiat, budi pekerti, atau
perjalanan hidupnya, baik sebelum diangkat menjadi Rasul, seperti ketika
bersemedi di gua Hira maupun sesudahnya".
Berdasarkan definisi yang dikemukakan di atas, kata sunnah menurut
sebagian ulama sama dengan kata hadits. "Ulama yang mendefinisikan sunnah
sebagaimana di atas, mereka memandang diri Rasul SAW., sebagai uswatun hasanah
atau qudwah (contoh atau teladan) yang paling sempurna, bukan sebagai sumber
hukum. Olah karena itu, mereka menerima dan meriwayatkannya secara utuh segala
berita yang diterima tentang diri Rasul SAW., tanpa membedakan apakah (yang
diberitakan itu) isinya berkaitan dengan penetapan hukum syara' atau tidak.
Begitu juga mereka tidak melakukan pemilihan untuk keperluan tersebut, apabila
ucapan atau perbuatannya itu dilakukan sebelum diutus menjadi Rasul SAW., atau
sesudahnya.
b. Ulama Ushul Fiqh memberikan definisi Sunnah adalah
"segala yang dinukilkan dari Nabi Muhammad SAW., baik berupa
perkataan, perbuatan maupun taqrirnya yang ada sangkut pautnya dengan
hukum".
Menurut T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, makna
inilah yang diberikan kepada perkataan Sunnah dalam sabda Nabi, sebagai berikut
:
"Sungguh telah saya tinggalkan untukmu dua hal, tidak
sekali-kali kamu sesat selama kamu berpegang kepadanya, yakni Kitabullah dan
Sunnah Rasul-Nya" (H.R.Malik).
Perbedaan pengertian tersebut di atas, disebabkan karena ulama
hadits memandang Nabi SAW., sebagai manusia yang sempurna, yang dijadikan suri
teladan bagi umat Islam, sebagaimana firman Allah surat al-Ahzab ayat 21,
sebagai berikut :
"Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan
yang baik bagimu".
Ulama Hadits membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan Nabi Muhammad SAW., baik yang ada hubungannya dengan ketetapan hukum syariat Islam maupun tidak. Sedangkan Ulama Ushul Fiqh, memandang Nabi Muhammad SAW., sebagai Musyarri', artinya pembuat undang-undang di samping Allah. Firman Allah dalam al-Qur'an surat al-Hasyr ayat 7 yang berbunyi:
"Apa yang diberikan oleh Rasul,
maka ambillah atau kerjakanlah. Dan apa yang dilarang oleh Rasul
jauhilah".
c.
Menurut Ulama Fiqh, memandang sunnah
ialah
“Suatu perbuatan, memperbuatnya lebih utama dari meninggalkannya”
Menurut Dr.Taufiq dalam kitabnya Dinullah fi Kutubi Ambiyah menerangkan
bahwa Sunnah ialah suatu jalan yang dilakukan atau dipraktekan oleh Nabi secara
kontinyu dan diikuti oleh para sahabatnya; sedangkan Hadits ialah ucapan-ucapan
Nabi yang diriwayatkan oleh seseorang, dua atau tiga orang perawi, dan tidak
ada yang mengetahui ucapan-ucapan tersebut selain mereka sendiri.
B.
Pendapat Yang Membedakan Hadits dengan
as-Sunnah
Mengenai perbedaan ini terdapat beberapa
pendapat:
1. Ibnu Taimiyyah menyatakan bahwa secara garis besar perbedaan antara hadits dan sunnah terletak pada persoalan sesudah nabi menjadi rasul atau sebelumnya. Menurutnya hadits adalah:
“Sesuatu yang
diceritakan dari Nabi stelah kenabian baik berupa perkataan, perbuatan maupun
ketetapannya”.
Jika dilihat dari pendapat Ibnu
Taimiyyah ini, kelihatannya ia lebih menitik beratkan kajian hadits masa
sesudah nabi menjadi rasulullah. Hal ini dikarenakan bahwa nabi setelah di
angkat menjadi rasul merupakan orang yang terjaga (ma’sum) dengan apa yang
diberitahukannya. Nabi hanya menyampaikan berita yang benar dari tuhannya.
Dengan demikian khabar yang disampaikan ileh Nabi wajib dipercayai dan
dibenarkan dan sabda yang disampaikan oleh Nabi yang mengandung hukum syara’
seperti wajib, mubah dan haram wajib untuk diikuti dan dilaksanakan, karena
Rasul diperintahkan oleh Allah SWT unruk berdakwah kepada manusia dan
menyampaikan risalah-risalah-Nya.
2. Ulama Ushul berpendapat bahwa Hadits
berbeda dengan Sunnah, menurut mereka yang dimaksud hadits adalah sunnah Qouliyyah, karena menurut mereka segala
perkataan nabi yang tidak ada hubungannya dengan hukum syara’ dan tidak
mengandung misi kerasulan, seperti tata cara berpakaian, berbicara, tidur,
makan, minum atau segala yang menyangkut hal ihwal Nabi saw tidak termasuk hadits.
Sedangkan Sunnah menurut mereka mencakup
perkataan, perbuatan dan ketetapan Nabi yang pantas menjadi dalil hukum syara’.
Dengan demikian hadits menurut mereka lebih khusus daripada Sunnah. Jika dilihat
dari definisi hadits menurut ulama ushul yang lebih menekankan pada penetapan
hukum syara’ dan mengandung misi kerasulan, maka ulama ushul juga memberikan
batasan Hadits dan Sunnah dengan segala sesuatu yang bersumber dari Nabi
setelah Nabi menjadi Rasul.
3. Ada juga yang berpendapat bahwa Sunnah tidak sama dengan Hadits, dilihat dari makna Sunnah secara bahasa yaitu cara atau jalan yang dilakukan oleh Nabi dalam meaksanakan ketentuan agama, menurutnya Hadits lebih umum yang menyangkut perkataan dan perbuatan nabi saw, sedangkan Sunnah lebih dikhususkan pada amalan-amalan Nabi saw. Ada juga yang berpendapat bahwa Sunnah adalah sesuatu yang memiliki dasar amalan dari masa awal Islam, salah satu landasannya adalah ucapan Ali bin Abi Thalib kepada Abdullah bin ja’far ketika mencambuk peminum khamar empat puluh kali, Abu Bakar empat puluh kali, kemudian Umar menyempurnakannya menjadi delapan puluh kali. Namun masing-masing merupakan Sunnah.
C. Hadits Antara Wahyu dan Bukan
Berbicara
tentang kewahyuan Hadits maka tidak terlepas dari kehujjahan Hadits itu
sendiri, Hadits merupakan segala sesuatu yang berasal dari Nabu saw yang berupa
penjelasan terhadap hukum-hukum syari’at yang merupakan rincian dari alQur’an
dan praktenya terhadap ajaran al Qur’an, Hadits Rasul merupakan wahyu dari
Allah atau Ijtihad dari Nabi Muhammad saw.
Akan tetapi Ijtihad tersebut tidak pernah salah karena dalam berijtihad beliau selalu dibimbing oleh wahyu, di samping itu Rasul juga seorang Nabi yang ma’shum yang selalu terjaga dari kesalahan. Sebagaimana firman Allah swt dalam surat an-Najm ayat 3-4:
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al Qur’an)
menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapan itu tiada lain hanyalah wahyu yang
duwahyukan (kepadanya).” (Q.S An-Najm 3-4)
Ayat di atas menunjukkan bahwa hadits
Nabi juga berupa wahyu dari Allah swt, dengan arti kata wahyu terbagi kepada 2
:
1.
Wahyu
yang terbaca (al-matluw) yang tersusun rapi dan mengandung nilai mu’jizat,
wahyu ini dinamakan al-Qur’an.
2. Wahyu yang tidak terbaca (ghaira matluw), atau wahyu yang diriwayatkan (marwiy), tidak tersusun dan tidak mengandung nilai mu’jizat. Wahyu inilah yang dinamakan hadits Nabi saw.
D. Analisis
1.
Hadits
adalah segala yang bersumber dari Nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan,
perbuatan, ketetapan Nabi saw baik sesudah kenabian maupun sebelum. Sunnah
adalah segala sesuatu yang berasal dari nabi berupa perkataan, perbuatan,
ketetapan, perjalanan, sifat fisik, ataupun budi pekerti Nabi, baik sesudah
maupun sebelum kenabian, sedangkan khabar secara garis besar bersinonim dengan
Hadits, tetapi khabar lebih dibatasi kepada sesuatu yang berasal dari sahabat,
sedangkan atsar berasal dari Tabi’in.
2.
Pendapat
Ulama yang membedakan antara Hadits dan Sunnah adalah: a). Ibnu Taimiyyah
mengatakan bahwa Hadits adalah segala sesuatu yang bersumber dari Rasul saw,
ini lebih dibatasi pada masa sesudah Rasulullah di angkat menjadi Rasul. b).
Ulama Ushul berpendapat bahwa Hadits itu berbeda dengan Sunnah, ini dibatasi
dari Sunnah dan masa Nabi telah di angkat menjadi Rasul. c). Pendapat lain
mengatakan bahwa Sunnah lebih dikhususkan kepada amalan-amalan Nabi, karena
arti kata dasar Sunnah secara bahasa adalah cara atau jalan Nabi saw dalam
menetapkan ketentuan agama.
DAFTAR PUSTAKA
Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, terj. Anar
Mahyuddin, Membuka
Pintu Ijtihad, Pustaka, Bandung, 1995.
Masjfuh Zuhdi, Pengantar Ilmu Hadits, Bina Ilmu, Surabaya, 1993
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, Bulan Bintang, Jakarta,1992.
Moenawar Chalil, Kembali Kepada al-Qur'an dan as-Sunnah, Bulan Bintang,Jakarta, Cet, Kesepuluh, 1996.
Sukarnawadi H.Husnuddu'at, Meluruskan Bid'ah, Dunia Ilmu, Surabaya,
1996.
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar
Ilmu Hadits,Pustaka Rizki Putra, Semarang, Cet. Kedua, 1998.
Kriteria antara Sunnah dan Bid'ah, Bulan Bintang, Jakarta, Cet. Kelima,
1978.
Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1996.
Zulkarnain S, Makalah, Hadits Pada Masa Rasulullah SAW, Makalah
disampaikan dalam Seminar kelas, pada Mata Kuliah Ulumul Hadits, Pasca
Sarjana IAIN Sunan Kali Jaga Yogyakarta, 24 April 1998.
0 Comment