STRUKTUR DAN KLASIFIKASI ILMU
Kompleksitas
ilmu pengetahuan pada dasarnya masing-masing berada dalam substansinya secara
tersendiri dengan perbedaannya. Perbedaan-perbedaan itu merupakan suatu
keniscayaan yang selalu melekat erat dengan bentuk dan sifat objek materi
masing-masing, serta ditentukan juga oleh bentuk dan sifat objek forma yang
berbeda-beda.
Pencapaian puncak ilmiah tidak bisa hanya sekedar teori, apalagi sekedar penilaian substansial. Oleh karenanya dalam memberikan transformasi ilmu pengetahuan harusnya di sesuaikan dengan bentuk kajian tersendiri dalam bidang masing-masing. Berangkat dari keingin tahuan tentang suatu ilmu pengetahuan, maka langkah dasarnya adalah memahami lagi tentang ilmu, pengetahuan dan ilmu pengetahuan. Saat langkah awal dilalui, maka selanjutnya melakukan pemetaan kajian sebagai bentuk pencapaian objektifitas yang ilmiah. Pemetaan tersebut dilakukan dengan menggambarkan bentuk bangunan struktur dan klasifikasi ilmu pengetahun itu sendiri.
PENDAHULUAN
Ditinjau dari sisi
historis, hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan mengalami
perkembangan yang sangat berbeda. Pada awal sejarah filsafat di Yunani, philosophia
menguasai hampir seluruh pemikiran teoritis. Tetapi dalam perkembangan ilmu
pengetahuan selanjutnya, ternyata disadari akan adanya kecenderungan yang berbeda. Filsafat
Yunani Kuno yang tadinya merupakan suatu kesatuan kemudian menjadi
terpecah-pecah (Bertens, 1987, Nuchelmans, 1982).
Nuchelmans (1982) dalam
tulisannya mengemukakan, bahwa dengan munculnya ilmu pengetahuan alam pada abad
ke 17, terjadilah perpisahan antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Dengan
demikian, sebelum abad ke 17 ilmu pengetahuan identik dengan filsafat. Pendapat
tersebut sejalan dengan komentar Van Peursen (1985), bahwa sebelumnya ilmu
merupakan bagian dari filsafat, sehingga definisi tentang ilmu bergantung pada
sistem filsafat yang dianut.
Perkembangan meaning selanjutnya, Koento
Wibisono (1999) berkomentar, filsafat sendiri telah mengantarkan adanya suatu
konfigurasi dengan menunjukkan bagaimana “pohon ilmu pengetahuan” telah tumbuh subur
bercabang. Masing-masing cabang melepaskan diri dari batang filsafatnya, berkembang
mandiri dan masing-masing mengikuti metodologinya sendiri-sendiri.
Begitulah
perkembangan ilmu pengetahuan semakin lama semakin maju dengan munculnya
ilmu-ilmu baru yang pada akhirnya memunculkan pula sub-sub ilmu pengetahuan
baru, bahkan kearah ilmu pengetahuan yang lebih khusus lagi, seperti spesialisasi-spesialisasi.
Oleh karenanya, senada dengan ungkapan Van Peursen (1985), bahwa ilmu
pengetahuan dapat dilihat sebagai suatu sistem yang saling terikat dan consist
dari true or fals meaning yang sifat benar-tidaknya dapat ditentukan.
F.Bacon (1561-1626) berupaya mengembangkan semboyannya Knowledge Is
Power, kita dapat mensinyalir bahwa peranan ilmu pengetahuan terhadap
kehidupan manusia, baik individual maupun sosial menjadi sangat menentukan. Implikasinya
menurut Koento Wibisono (1984) adalah, bahwa ilmu yang satu hubungannya sangat
erat dengan cabang ilmu yang lain, serta semakin kaburnya garis batas antara
ilmu dasar-murni atau teoritis dengan ilmu terapan atau praktis.
Untuk
mengatasi gap antara ilmu yang satu dengan ilmu lainnya, dibutuhkan suatu
bidang ilmu yang dapat menjembatani serta mewadahi perbedaan yang muncul,
sehingga filsafatlah yang kemudian berperan dalam hal tersebut. Senada dengan
pendapat Immanuel Kant, bahwa filsafat merupakan disiplin ilmu yang mampu
menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan manusia secara tepat.
Oleh sebab itu Francis Bacon (dalam The Liang Gie, 1999) berpendapat; filsafat
sebgai ibu agung dari ilmu-ilmu (the great mother of the sciences).
Koento
Wibisono kemudian menyatakan, pengetahuan ilmiah merupakan a
higher level of knowledge,
maka lahirlah filsafat ilmu sebagai penerus pengembangan filsafat pengetahuan.
Filsafat ilmu sebagai cabang filsafat menempatkan objek sasarannya : ilmu
(pengetahuan). Bidang garapan filsafat ilmu terutama diarahkan pada
komponen-komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu, yaitu : ontologi,
epistemologi dan aksiologi. Hal ini searah dengan Israel Scheffler (The Liang
Gie, 1999), yang berpendapat bahwa filsafat ilmu mencari
pengetahuan umum tentang ilmu atau tentang dunia sebagaimana ditunjukkan oleh
ilmu.
Interaksi
filsafat dan ilmu mengandung arti bahwa filsafat dewasa ini tidak dapat
berkembang dengan baik jika terpisah dari ilmu. Ilmu tidak dapat tumbuh dengan
baik tanpa kritik dari filsafat. Dengan mengutip ungkapan dari Michael Whiteman,
bahwa ilmu tentang alam persoalannya dianggap bersifat ilmiah karena terlibat
dengan persoalan-persoalan filsafati sehingga memisahkan satu dari yang lain
tidak mungkin. Sebaliknya, persoalan filsafati sekarang sangat memerlukan
landasan pengetahuan ilmiah supaya argumentasinya tepat.
Sedikit
curahan diatas sebagai langkah untuk mengawali penelusuran lebih mendalam akan
suatu pemahaman tentang ilmu pengetahuan itu sendiri dengan menguraikan
bangunan-banguna struktur dan klasifikasi ilmu pengetahuan.
A. Memahami Kembali Ilmu Pengetahuan
Istilah
ilmu merupakan padanan kata bahasa Inggris science atau bahasa Latin scientia.
Kata kerjanya adalah scire (bahasa Latin), yang artinya tahu atau
mengetahui. Istilah science dalam bahasa Inggris terkadang diasumsikan
sebagai systematic knowledge of the physical or material world (pengetauan
secara sistematis mengenai dunia fisis atau material). Ilmu secara garis
dasarnya merupakan suatu cakupan ungkapan bermakna ganda. Cakupan pertama
ialah, bahwa ilmu merupakan istilah umum yang mengikat seluruh pengetahuan
ilmiah secara melingkar atau bisa disebut dengan science-in-general (ilmu
se-umum-nya). Cakupan kedua, ilmu mengakar pada tiap-tiap bidang pengetahuan
ilmiah yang menekuni aspek tertentu.[1]
Farian
pemahaman tentang ilmu ditelusuri dari kecenderungan pendefinisian, beranggapan
bahwa ilmu diukur dari dimensi pengetahuan dan aktivitas serta metodenya. Ada
juga yang mencakup ketiganya atau menampakkan sisi sifatnya. Sedangkan definisi
ilmu sebagai bentuk lingkaran secara sistemis, terdapat beberapa pemahaman,
yakni :
1.
Liang
Gie berasumsi bahwa definisi ilmu secara general yang dianut oleh para filusuf
ialah, ilmu merupakan rangkaian pengetahuan yang sistematis (any systemic
body of knowledge).
2.
John
G. Keney mendefiniskan ilmu sebagai kumpulan seluruh pengetahuan dengan perantara
metode ilmia (all knowledge collected by means of the scientific methode).[2]
3.
Kalangan
ilmuan kebanyakan memberikan definisi tentang ilmu yang terarah pada sekumpulan
pengetahuan yang tersusun secara sistematis dari alam semesta yang hanya
didapatkan melalui tehnik-tehnik pengamatan objektif. Dengan demikian,
kandungan ilmu merupakan sekumpulan pengamatan yang objektif. (science
refers primarily to those systematically organized bodies of accumulated
knowledge concering the univers which have been derived exclusively through
techniques of objectif observation. The content of science, then consist of
organized bodies of data)
4.
Mohammad
Hatta berkomentar, bahwa Ilmu merupakan pengetahuan yang sistematis akan
keadaan hukum kausalitas dalam suatu bahasan masalah yang sifatnya sama, baik
menurut kedudukannya (sisi eksternal), ataupun menurut relasinya (sisi
internal).[3]
5.
Moh.
Nazir, Ph.D (1983:9) berasumsi, bahwa ilmu lahir dari sebuah pengetahuan nature
ataupun culture, yang sudah tersusun secara sistematis menurut kaedah
umum. Oleh karenanya, Ahmad Tafsir (1992:15) memberikan batasan ilmu, dimana
ilmu sebagai pengetahuan logis dan bisa dibuktikan dalam bentuk empiris.
6.
Lorens
Bagus (1996:307-308) berpendapat, bahwa ilmu menampakkan seluruh kesatuan ide
yang mengacu pada kesamaan objek dan saling berhubungan secara logis.
7.
Prof.
Harold H. Titus berpendapat, bahwa science sebagai common sense
yang diatur dan diorganisasikan, melalui pendekatan suatu benda atau peristiwa dengan
metode observasi kritis.
8.
Prof.
A.Baiquni mengerucutkan science sebagai consensus general dari
kehidupan social yang terdiri dari para scientis.
9.
science
is a systematized knowledge obtained by study, observation, experiment .
Memahami
ilmu sebagai aktivitas dan metode. Sebagaiman pemahaman Charles Singer, bahwa Ilmu
apabila didefinisikan secara aktivitas lebih ditekan pada sisi aktifitas yang
dilakukan oleh manusia, dengan ungkapannya, ilmu adalah proses yang menciptakan
pengetahuan (science is the proses wich makes knowledge). Sedangkan ilmu
sebagai metode, sebagaimana pemahaman Prof. Harold H. Titus ialah, suatu metode
guna mendapatkan pengetahuan yang objektif dan bisa dipertanggung jawabkan
kebenarannya (a methode of obtaining knowledge that is objective and
verifiable).[4]
Pengertian
science (ilmu) baik sebagai pengetahuan, aktivitas ataupun metode
sebenarnya tidak bertentangan, karena ilmu harusnya bersandar pada aktifitas
manusia, sedangkan aktivitas sendiri memerlukan orientasi metode tertentu,
sehingga aktivitas metodis melahirkan pengetahuan. Hematnya, ilmu bisa
dipandang sebagai proses, prosedur dan produk. Dengan demikian, ilmu merupakan
aktivitas penelitian, metode ilmiah dan pengetahuan sisitematis.
Mendefiniskan
science (ilmu) lebih komprehensif dengan mengacu pada tiga aspek diatas,
sebagaimana pendapat beberapa tokoh:
1.
The
Liang Gie mendefinikan ilmu sebagai rangkaian aktivitas rasional human
dan kognitif dengan berbagai metode secara procedural serta penentuan
langkah-lankahnya, sehingga menghasilkan kumpulan pengetahuan yang sisitematis
mengenai gejala-gejala tertentu, sebagai pencapaian kebenaran, mendapatkan
pemahaman dan memberikan penjelasan serta melakukan penerapan.[5]
2.
Jean
Ledria (filusuf Belgia) mendefinisikan ilmu sebagai keseluruhan pengetahuan
kita pada dewasa ini atau aktivitas penelitian maupun metode untuk mencapai
pengetahuan (science may be regarded as the sum of our present knowledge or
the research activity, or as methode of acquiring knowledge).[6]
3.
Sikun
Pribadi (1972:1-2) merumuskan pengertian ilmu dengan lebih rinci, bahwa objek
ilmu pengetahuan ialah dunia fenomenal, dan metode pendekatannya berdasarkan pengalaman
dengan menggunakan berbagai cara, sepereti observasi, eksperimen, survey, studi
kasus dan sebagainya. Pengalam-pengalaman tersebut diolah oleh fikiran atas
dasar hukum logika yang teratur. Kemudian data yang didapat diolah secara
analitis, induktif. Selanjutnya, menentukan relasi antara data-data,
diantaranya relasi kausalitas. Setiap konsepsi dan relasi disusun menurut
sistem tertentu yang merupakan suatu keseluruhan yang ter-integrasi-kan.
Keseluruhan bangunan integrative itulah yang dinilai sebagai ilmu pengetahuan.
Definisi
ilmu dari sebuah pengetahuan, aktivitas dan metode itulah kesatuan logis yang
harusnya ada secara teratur dan berkesinambungan. Ilmu mestinya hadir bersama
dengan aktivitas manusia, kemudian digerakakan dengan metode tertentu, hingga
tercipta aktivitas metodis dengan bentuk pengetahuan yang sistematis.
Memahami
ilmu dari sisi penekanan sifat-sifatnya, bisa didefinisikan sebagai berikut:
1.
Ziman
Jhon (Qadir C.A, 1995) menyuguhkan pemahaman, bahwa ilmu pengetahuan merupakan
rentetan konsep dan kerangka konseptual yang saling berkesinambungan, dikembangkan
sebagai percobaan dan melakukan pengamatan sebagai percobaan selanjutnya.
Definisi tersebut lebih mengarah pada kesinambungan ilmu, dimana ilmu merupakan
teori, prinsip, dan dalil lebih lanjut ataupun menemukan teori, prinsip, dan
dalil baru. Oleh karenanya, ilmu pengetahuan merupakan suksesi penyelidikan sampai
pada ranah yang berkesinambungan. Hematnya, ilmu bukanlah sebagai penelusuran
kepastian.
2.
Ralp
Ross memberikan sumbangsih pemahaman, bahwa science empirical, rational,
general, and cumulative and is all four once (ilmu itu empiris, rasional,
umum dan bertumpuk secara tersusun serta berkesinambungan). Karenanya, ilmu
tidak cukup hanya dengan perenungan, harusnya melalui pengindraan, pengumpulan dan
perbandingan data, ataupun penilaian jumlah yang berupa penghitungan,
penimbangan, pengukuran, dan peningkatan data tentang hal tertentu pada suatu
tertentu (deduksi). Analoginya, jika ada kesamaan antara peristiwa dan berfikir
dengan menarik kesimpulan yang logical, hingga dapat dipertanggung jawabkan
oleh logika, kemudian dilakukan pengujian yang berupa pengalaman positif (verification)
secara empirik, pengujian inilah yang dikatakan experiment (percobaan).
Selanjutnya, experiment harus bersifat objektif , yakni menghasilkan
kesimpulan yang sama dari berbagai kalangan. Sedangkan hipotesis hanyalah
langkah awal yang harusnya diubah atau diganti bila ada kekurangan, apalagi
salah. Berdasarkan pengujian mendalam dari pengalaman, setelah teruji
kebenarannya secara objektif, barulah sesuatu itu disebut proposition
(dalil), rangkaian teori itulah yang disebut dengan teori.[7]
B.
Struktur
Ilmu pengetahuan
Penyuguhan
peta definitif tentang science (ilmu) diatas setidaknya memberikan efek pemahaman
tersendiri yang tercover dalam setiap celah rasio para pembaca. Hingga akhirnya
bahasan ilmu tersebut melahirkan sebuah rangkaian ilmu pengetahuan. Oleh
karenanya, kurang arif bila peta ilmu pengetahuan tersebut tidak dipetakan secara
struktural, sebagaimana berikut:[8]
a.
Perumusan
masalah, hal ini dimaksudkan penelusuran ilmiah diawali dengan masalah yang
dirumuskan secara tepat dan jelas dalam lingkaran pertanyaan, hingga bisa
membuka ruang keadaan sesuatu untuk diketahui fakta-fakta apa saja yang harus
dikumpulkan.
b.
Pengamatan
dan observasi (pengumpulan data), tahap ini memiliki corak empiris dan
induktif, dimana seluruh kegiatan diarahkan pada pengumpulan data dengan
kecermatan pengamatan dan didukung oleh berbagai sarana yang memungkinkan.
Kemudian hasil observasi ini tertuang dalam bentuk penyataan-pernyataan.
c.
Pengamatan
dan klasifikasi data, tahapan ini ditekankan pada penyusunan fakta-fakta dalam
kompleks tertentu, berdasarkan suatu sifat yang sama. Hematnya, dalam hal ini
dituntut untuk melakukan klasifikasi, menganalisis, membandingkan, dan
membedakan data-data yang relevan.
d.
Perumusan
pengetahuan (definisi), dalam hal ini para ilmuan mengadakan analisis dan
sintesis secara induktif. Melalui analisi dan sintesis, mereka mengadakan
generalis (kesimpulan umum).[9]
Dari sinilah sebuah teori dilahirkan.
e.
Tahap
prediksi, disinilah dedukasi beraksi memainkan peranannya, dimana sebuah teori
yang sudah tercipta membentuk hipotesis baru dan dari hipotesis ini, lewat
deduksi juga. Kemudian dibentuklah penyusunan implikas-implikasi logis, agara
dapat melakukan prediksi tentang suatu gejala yang perlu diketahui. Perlu
difahami, bahwa deduksi ini selalu dirumuskan dalam bentuk silogisme.
f.
Verifikasi
(pengujian
kebenaran hipotesis), dalam hal ini dilakukan pengujian kebenaran hipotesis.[10]
Perlu dicatat, bahwa dalam hal ini keputusan terletak pada fakta. Apabila fakta
tidak mendukung hipotesisi, maka hipotesis tersebut harus direkonstruksi ulang
dengan diganti oleh hipotesis lain dan seluruh kegiatan ilmiah harus di mulai
lagi dari titik awal. Hematnya, data empiris merupakan penentu bagi kebenaran
atau tidaknya hipotesis. Dengan demikian langkah akhir dari sebuah bentuk ilmu
pengetahuan adalah pengujian kebenaran ilmiah dan itu berarti menguji
konsekuensi yang telah dipereteli secara deduktif (Beerling, 1998).
C.
Klasifikasi
Ilmu Pengetahuan
Pemetaan
pemahaman ilmu pengetahuan yang diikuti oleh strukturnya merupakan bentuk
pencapaian suatu pengetahuan yang bersemayam dalam ilmu hingga mencipta sebuah
ilmu pengetahuan (ilmiah), kemudian dari hal tersebut dibentuk adanya
klasifikasi tentang ilmu pengetahuan itu sendiri.
Klasifikasi ilmu pengetahuan terbagai menjadi dua bentuk, yaitu objek materi dan objek forma. Dengan kata lain, suatu jenis ilmu pengetahuan dengan sifat khususnya sangat ditentukan oleh objeknya. Hematnya, termasuk jenis apa dan dari segi yang bersifat bagaiman penelusuran ilmu pengetahuan dilakukan. Lebih konkritnya, akan dijelaskan dengan bentuk bagan, sebagaimana berikut:[11]
Sama halnya dengan diatas, bahwa ilmu pengetahuan dapat diklasifikasikan dalam dua bentuk, yakni:[12]
a.
Ilmu
Murni, adalah kumpulan teori-teori ilmiah yang bersifat dasar dan teoritis yang
belum tercampur dengan masalah-masalah kehidupan yang bersifat praktis.
b.
Ilmu
Terapan, adalah terapan dari ilmu murni akan masalah-masalah kehidupan yang
memiliki manfaat praktis.
klasifikasi ini bisa
dicontohkan perkembanga ilmu murni menjadi ilmu terapan sebagaiman berikut:
Ilmu Murni |
Ilmu Terapan |
mekanika |
mekanika teknik |
hidro dinamika |
teknik aeronautik atau
teknik dan desain kapal |
bunyi |
teknik akuistik |
cahaya dan optik |
teknik iluminasi |
kelistrikan atau
magnetisme |
teknik elektronik atau
teknik kelistrikan |
fisika nuklir |
teknik nuklir |
KESIMPULAN
1.
Ilmu
pengetahuan merupakan kumpulan pengetahuan yang benar, disusun secara
sisitematis dan menggunakan metode untuk mencapai tujuan yang brlaku universal
dan dapat diverifikasi kebenarannya. Atau bisa difahami, bahwa ilmu pengetahuan
merupakan sesuatu yang dinamis, tersusun sebagai teori-teori yang saling
mengkeritik, mendukung dan bertumpu untuk mendekati senuah kebenaran.
2.
Pengetahuan
agar mencapai puncak ilmu pengetahuan
(ilmiah) bisa diukur dari sturktur ilmu pengetahuan itu sendiri, sebagaimana
berikut:
- Perumusan
masalah
- Pengumpulan
data (observasi)
- Klasifikasi
data
- Perumusan
pengetahuan (definisi)
- Prediksi
- Ferifikasi
(pengujian kebenaran hipotesis)
3.
Klasifikasi
ilmu pengetahuan tersusun atas:
- Objek
forma
- Objek
material
senada dengan bunyi klasifikasi
tersebut, bahwa klasifikasi ilmu pengetahuan berawal dari:
- Ilmu
murni
- Ilmu terapan
DAFATAR PUSTAKA
Anwar, Ali. Dkk, Rangkuman
Ilmu Perbandingan Agama Dan Filsafat, Bandung: Pustaka Setia, 2005.
Anshari, Endang Saifuddin, Ilmu
Filsafat dan Agama, Surabaya: Bina Ilmu, 1997.
Gie, The Liang, Pengantar Filsafat
Ilmu, Yogyakarta: Liberty, 2004.
Keney, Jhon G., A Phlosopher Looks At
Science, 1961.
Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu
Pengantar, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2009.
Suhartono, Suparlan, Filsafat Ilmu
Pengetahuan; Persoalan Eksistensi Dan Hakikat Ilmu Pengetahuan, Jakarta:
Ar-Ruzz Media, 2008.
Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu
Sebuah Pengantar Populer Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003.
Titus, Harold H., Living issues in
Philosophy, An Introductory textbook, 1994.
[1]The Liang Gie, Pengantar
Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Liberty, 2004), 85-87
[2]Jhon G. Keney, A Phylosopher
Looks At Science, 1961, 175
[3]Endang Saifuddin
Anshari, Ilmu Filsafat dan Agama, (Surbaya: Bina Ilmu, 1997), 45
[4]Harold H. Titus, Living
issues in Philosophy, An Introductory textbook, 1994, h.527
[5]The Liang Gie, Pengantar
Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Liberty, 2004) h. 93
[6]Ibid, h.90
[7] Ali Anwar. Dkk, Rangkuman Ilmu Perbandingan Agama Dan
Filsafat, (Bandung: Pustaka Setia, 2005) h.18
[8] Surajiyo, Ilmu
Filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2009), hal.77-78
[9]Generalis merupakan
pengetahuan umum yang tertuang dalam pernyataan-pernyataan universal
[10]Menguji kebenaran
prediksi-prediksi melalui pengamatan atau observasi terhadap fakta yang
sebenarnya maupun percobaan-percobaan.
[11]Suparlan Suhartono, Filsafat
Ilmu Pengetahuan; Persoalan Eksistensi Dan Hakikat Ilmu Pengetahuan,
(Jakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), h.97-100
[12]Jujun S. Suriasumantri,
Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
2003), h.94
0 Comment