“Sejarah
tertulis berisi rekaman yang sangat sporadis dan tidak lengkap”, demikian
Gordon Childe menulis, “tentang apa yang telah manusia lakukan di pelbagai
belahan dunia selama lima ribu tahun terakhir”.[1]
Idealnya sejarah adalah rekaman tentang semua rentetan peristiwa yang telah
terjadi, yang berfungsi sebagai pengungkap segala sesuatu sesuai dengan fakta
yang ada tanpa distorsi sedikitpun, tetapi pada kenyataannya ia hanya
mengungkap sebagian rentetan peristiwa tersebut dan tidak bisa lepas sepenuhnya
dari rekayasa yang biasanya dilakukan oleh penguasa politik. Meskipun fenomena
semacam ini pernah terjadi, tetapi hal ini tidak bisa dianggap sebagai
persoalan remeh bahkan harus diluruskan, karena menyangkut dan memengaruhi
kehidupan generasi selanjutnya sebagai aktor sejarah berikutnya. Apalagi
sejarah yang dimaksud adalah sejarah tentang ilmu pengetahuan yang merupakan
faktor penting dalam kehidupan manusia. Dengan demikian, perlu adanya usaha
yang sungguh-sungguh serta tanggung jawab moral dan akademik dalam pemaparan
sejarah.
Sebelum
memaparkan sejarah perkembangan ilmu pengetahuan, penulis harus mengungkap
sekilas tentang perbedaan antara pengetahuan dan ilmu agar tidak terjebak pada
kesalahpahaman mengenai keduanya, sehingga pembaca bisa memahami dengan mudah
dan benar apa yang dimaksud dengan sejarah perkembangan ilmu pengetahuan dalam
makalah ini. Ilmu adalah bagian dari pengetahuan yang terklasifikasi,
tersistem, dan terukur serta dapat dibuktikan kebenarannya secara empiris.
Sementara itu, pengetahuan adalah keseluruhan pengetahuan yang belum tersusun,
baik mengenai metafisik maupun fisik. Dapat juga dikatakan pengetahuan adalah
informasi yang berupa common sense, sedangkan ilmu sudah merupakan
bagian yang lebih tinggi dari itu karena memiliki metode dan mekanisme
tertentu.[2]
Jadi ilmu lebih khusus daripada pengetahuan, tetapi tidak berarti semua ilmu
adalah pengetahuan.
Uraian
singkat di atas menggiring kita pada kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan ilmu
pengetahuan di sini adalah ilmu bukan pengetahuan. Ilmu beraneka-ragam.
Maskoeri Jasin membagi ilmu pengetahuan ke tiga kategori besar. Pertama,
Ilmu Pengetahuan Sosial yang meliputi psikologi, pendidikan, antropologi,
etnologi, sejarah, ekonomi, dan sosiologi. Kedua, Ilmu Pengetahuan Alam
yang meliputi fisika, kimia, dan biologi (botani, zoologi, morfologi, anatomi,
fisiologi, sitologi, histologi, dan palaentologi). Ketiga, Ilmu
Pengetahuan Bumi dan Antariksa yang meliputi geologi (petrologi, vulkanologi,
dan mineralogi), astronomi, dan geografi (fisiografi dan geografi biologi).[3]
Karena luasnya cakupan ilmu, penulis hanya fokus pada sejarah perkembangan
sebagian ilmu dari masa ke masa yang terekam oleh literatur-literatur sejarah
yang ada dan menyebutkan sebagian tokoh di balik penemuan teori ilmu dan
pengembangannya.
Ilmu Pengetahuan Zaman Purba
Secara garis besar, Amsal Bakhtiar membagi
periodeisasi sejarah perkembangan ilmu pengetahuan menjadi empat periode: pada
zaman Yunani kuno, pada zaman Islam, pada zaman renaisans dan modern, dan pada
zaman kontemporer.[4]
Periodeisasi ini mengandung tiga kemungkinan. Pertama, menafikan adanya
pengetahuan yang tersistem sebelum zaman Yunani kuno. Kedua, tidak
adanya data historis tentang adanya ilmu sebelum zaman Yunani kuno yang sampai
pada kita. Ketiga, Bakhtiar sengaja tidak mengungkapnya dalam bukunya.
Jika kemungkinan pertama yang terjadi, maka informasi dari teks-teks agama
tentang nama-nama yang Adam ketahui, misalnya, tidak termasuk ilmu tetapi hanya
pengetahuan belaka. Jika kemungkinan kedua yang benar, maka bukan berarti
pengetahuan yang tersistem hanya ditemukan dan dimulai pada zaman Yunani kuno,
tetapi ia sudah ada sebelumnya hanya saja informasinya tidak sampai pada kita.
Jika kemungkinan ketiga yang berlaku, maka penulis perlu mengungkapnya meski
hanya sekilas karena keterbatasan referensi yang ada pada penulis.
Menurut George J. Mouly, permulaan ilmu dapat
disusur sampai pada permulaan manusia. Tak diragukan lagi bahwa manusia purba
telah menemukan beberapa hubungan yang bersifat empiris yang memungkinkan
mereka untuk mengerti keadaan dunia.[5]
Masa manusia purba dikenal juga dengan masa pra-sejarah. Menurut Soetriono dan
SDRm Rita Hanafie, masa sejarah dimulai kurang lebih 15.000 sampai 600 tahun
Sebelum Masehi. Pada masa ini pengetahuan manusia berkembang lebih maju. Mereka
telah mengenal membaca, menulis, dan berhitung. Kebudayaan mereka pun mulai
berkembang di berbagai tempat tertentu, yaitu Mesir di Afrika, Sumeria,
Babilonia, Niniveh, dan Tiongkok di Asia, Maya dan Inca di Amerika Tengah.
Mereka sudah bisa menghitung dan mengenal angka.[6]
Meski agak berbeda dengan pendapat tersebut, Muhammad Husain Haekal (1888-1956)
berpendapat lebih spesifik bahwa sumber peradaban sejak lebih dari enam ribu
tahun yang lalu (berarti sekitar 4000 SM) adalah Mesir. Zaman sebelum itu
dimasukkan orang ke dalam kategori pra-sejarah. Oleh karena itu, sukar sekali
akan sampai kepada suatu penemuan yang ilmiah.[7]
Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai
permulaan zaman pra-sejarah dan zaman sejarah, dapat ditarik kesimpulan bahwa
ilmu lahir seiring dengan adanya manusia di muka bumi hanya saja penamaan
ilmu-ilmu itu biasanya muncul belakangan. Penekanan terhadap kegunaan dan
aplikasi cenderung lebih diutamakan daripada penamaannya. Teori ini berlaku
secara umum terhadap beberapa – untuk tidak dikatakan semua– disiplin ilmu dari
generasi ke generasi. Berbekal otak, pengalaman, dan pengamatan terhadap
gejala-gejala alam, manusia purba sudah barang tentu memiliki seperangkat
pengetahuan yang dapat membantu mereka mengarungi kehidupan. Seperangkat
pengetahuan tersebut semakin lama akan semakin tersusun rapi karena inilah
karakteristik dasar ilmu. Jika kita menafikan adanya ilmu tertentu yang mereka
miliki, maka kita akan sulit menjawab pertanyaan: mungkinkah mereka bisa
bertahan hidup bertahun-tahun tanpa bekal apapun?
Selanjutnya Mouly menyebutkan bukti-bukti
secara berurutan terhadap pernyataannya sebagai berikut: Usaha mula-mula di
bidang keilmuan yang tercatat dalam lembaran sejarah dilakukan oleh bangsa
Mesir, di mana banjir sungai Nil yang terjadi tiap tahun ikut menyebabkan
berkembangnya sistem almanak, geometri, dan kegiatan survei. Keberhasilan ini
kemudian diikuti oleh bangsa Babilonia dan Hindu yang memberikan
sumbangan-sumbangan yang berharga meskipun tidak seinsentif kegiatan bangsa
Mesir. Setelah itu muncul bangsa Yunani yang menitikberatkan pada
pengorganisasian ilmu di mana mereka bukan saja menyumbang perkembangan ilmu
dengan astronomi, kedokteran, dan sistem klasifikasi Aristoteles, namun juga
silogisme yang menjadi dasar bagi penjabaran secara deduktif
pengalaman-pengalaman manusia.[8]
Peradaban Mesir kuno, misalnya, mewariskan
peninggalan-peninggalan bermutu tinggi seperti piramida, kuil, dan sistem
penatanan kota. Peninggalan-peninggalan ini tidak mungkin ada tanpa adanya ilmu
yang mereka miliki. Proses pembangunan piramida yang menjulang tinggi dan
tersusun dari batu-batu besar pilihan tak bisa lepas dari matematika dan
arsitektur. Begitu pula dengan proses pembangunan kuil megah mereka. Sementara
itu, sistem penataan kota membutuhkan arsitektur dan administrasi pemerintahan.
Dengan kata lain, peninggalan-peninggalan bersejarah tersebut menunjukkan
adanya ilmu-ilmu tertentu yang mereka miliki sehingga mereka bisa mewujudkan
impian mereka menjadi kenyataan. Menurut Haekal, Mesir adalah pusat yang paling
menonjol membawa peradaban pertama ke Yunani atau Rumawi.[9]
Sementara itu, menurut Betrand Russell, pada
masa Babilonia lahir beberapa hal yang tergolong ilmu pengetahuan: pembagian
hari menjadi dua puluh empat jam, lingkaran menjadi 360 derajat, penemuan
siklus gerhana yang memungkinkan terjadinya gerhana bulan bisa diramal dengan
tepat dan gerhana matahari dengan beberapa perkiraan. Pengetahuan bangsa
Babilonia ini sampai ke tangan Thales[10],
filosof Yunani.
Ilmu Pengetahuan Zaman Yunani Kuno
Yunani kuno sangat identik dengan filsafat.
Ketika kata Yunani disebutkan, maka yang terbesit di pikiran para peminat
kajian keilmuan bisa dipastikan adalah filsafat. Padahal filsafat dalam
pengertian yang sederhana sudah ada jauh sebelum para filosof klasik Yunani
menekuni dan mengembangkannya. Filsafat di tangan mereka menjadi sesuatu yang
sangat berharga bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada generasi-generasi
setelahnya. Ia ibarat pembuka pintu-pintu aneka ragam disiplin ilmu yang
pengaruhnya terasa hingga sekarang. Sehingga wajar saja bila generasi-generasi
setelahnya merasa berhutang budi padanya, termasuk juga umat Islam pada abad
pertengahan masehi bahkan hingga sekarang. Tanpa mengkaji dan mengembangkan
warisan filsafat Yunani rasanya sulit bagi umat Islam kala itu merengkuh zaman
keemasannya. Begitu juga orang Barat tanpa mengkaji pengembangan filsafat
Yunani yang dikembangkan oleh umat Islam rasanya sulit bagi mereka membangun
kembali peradaban mereka yang pernah mengalami masa-masa kegelapan menjadi
sangat maju dan mengungguli peradaban-peradaban besar lainnya seperti sekarang
ini.
Periode filsafat Yunani merupakan periode
sangat penting dalam sejarah peradaban manusia karena pada waktu ini terjadi
perubahan pola pikir manusia dari mitosentris
menjadi logosentris. Dari proses inilah kemudian ilmu berkembang dari
rahim filsafat yang akhirnya kita nikmati dalam bentuk teknologi. Karena itu,
periode perkembangan filsafat Yunani merupakan entri poin untuk memasuki
peradaban baru umat manusia. Inilah titik awal manusia menggunakan rasio untuk
meneliti dan sekaligus mempertanyakan dirinya dan alam jagad raya.[11]
Filosof alam pertama yang mengkaji tentang
asal-usul alam adalah Thales (624-546 SM), setelah itu Anaximandros (610-540
SM), Heraklitos (540-480 SM), Parmenides (515-440 SM), dan Phytagoras
(580-500). Thales, yang dijuluki bapak filsafat, berpendapat bahwa asal alam
adalah air. Menurut Anaximandros substansi
pertama itu bersifat kekal, tidak terbatas, dan meliputi segalanya yang
dinamakan apeiron, bukan air atau tanah. Heraklitos melihat alam semesta selalu
dalam keadaan berubah. Baginya yang mendasar dalam alam semesta adalah bukan
bahannya, melainkan aktor dan penyebabnya yaitu api. Bertolak belakang dengan
Heraklitos, Parmenides berpendapat bahwa realitas merupakan keseluruhan yang
bersatu, tidak bergerak dan tidak berubah. Phytagoras berpendapat bahwa bilangan
adalah unsur utama alam dan sekaligus menjadi ukuran. Unsur-unsur bilangan itu
adalah genap dan ganjil, terbatas dan tidak terbatas. Jasa Phytagoras sangat
besar dalam pengembangan ilmu, terutama ilmu pasti dan ilmu alam. Ilmu yang
dikembangkan kemudian hari sampai hari ini sangat bergantung pada pendekatan
matematika.[12]
Jadi setiap filosof mempunyai pandangan berbeda mengenai seluk beluk alam
semesta. Perbedaan pandangan bukan selalu berarti negatif, tetapi justeru
merupakan kekayaan khazanah keilmuan. Terbukti sebagian pandangan mereka
mengilhami generasi setelahnya.
Setelah mereka kemudian muncul beberapa
filosof Sofis sebagai reaksi terhadap ketidakpuasan mereka terhadap jawaban
dari para filosof alam dan mengalihkan penelitian mereka dari alam ke manusia.
Bagi mereka, manusia adalah ukuran kebenaran sebagaimana diungkapkan oleh
Protagoras (481-411 SM), tokoh utama mereka. Pandangan ini merupakan cikal
bakal humanisme. Menurutnya, kebenaran bersifat subyektif dan relatif.
Akibatnya, tidak akan ada ukuran yang absolut dalam etika, metafisika, maupun
agama. Bahkan dia tidak menganggap teori matematika mempunyai kebenaran
absolut. Selain Protagoras ada Gorgias (483-375 SM). Menurutnya, penginderaan
tidak dapat dipercaya. Ia adalah sumber ilusi. Akal juga tidak mampu meyakinkan
kita tentang alam semesta karena akal kita telah diperdaya oleh dilema
subyektifitas. Pengaruh positif gerakan kaum sofis cukup terasa karena mereka
membangkitkan semangat berfilsafat. Mereka tidak memberikan jawaban final tentang
etika, agama, dan metafisika.[13]
Pandangan para filosof Sofis tersebut
disanggah oleh para filosof setelahnya seperti Socrates (470-399 SM), Plato
(429-347 SM), dan Aristoteles (384-322 SM). Menurut mereka, ada kebenaran
obyektif yang bergantung kepada manusia. Socrates membuktikan adanya kebenaran
obyektif itu dengan menggunakan metode yang bersifat praktis dan dijalankan
melalui percakapan-percakapan. Menurutnya, kebenaran universal dapat ditemukan.
Bagi Plato, esensi mempunyai realitas yang ada di alam idea. Kebenaran umum ada
bukan dibuat-buat bahkan sudah ada di alam idea. Filsafat Yunani klasik
mengalami puncaknya di tangan Aristoteles. Dia adalah filosof yang pertama kali
membagi filsafat pada hal yang teoritis (logika, metafisika, dan fisika) dan praktis
(etika, ekonomi, dan politik). Pembagian ilmu inilah yang menjadi pedoman bagi
klasifikasi ilmu di kemudian hari. Dia dianggap sebagai bapak ilmu karena mampu
meletakkan dasar-dasar dan metode ilmiah secara sistematis.[14]
Karena demikian meresapnya serta lamanya pengaruh ajaran-ajaran Plato dan
Aristoteles, A.N. Whitehead memberikan catatan bahwa segenap filsafat sesudah
masa hidup keduanya sesungguhnya merupakan usulan-usulan belaka terhadap
ajaran-ajaran mereka.[15]
Pendapat Whitehead tidak seluruhnya benar karena umat Islam, misalnya, selain
mengembangkan filsafat mereka, mereka juga melakukan inovasi di beberapa
persoalan filsafat Yunani sehingga memiliki karakteristik islami.
Ilmu Pengetahuan Zaman Islam Klasik
Ilmu-ilmu keislaman seperti tafsir, hadis,
fiqih, usul fiqih,[16]
dan teologi sudah berkembang sejak masa-masa awal Islam hingga sekarang. Khusus
dalam bidang teologi, Muktazilah dianggap sebagai pembawa pemikiran-pemikiran
rasional. Menurut Harun Nasution, pemikiran rasional berkembang pada zaman
Islam klasik (650-1250 M). Pemikiran ini dipengaruhi oleh persepsi tentang
bagaimana tingginya kedudukan akal seperti yang terdapat dalam al-Qur`an dan
hadis. Persepsi ini bertemu dengan persepsi yang sama dari Yunani melalui
filsafat dan sains Yunani yang berada di kota-kota pusat peradaban Yunani di
Dunia Islam Zaman Klasik, seperti Alexandria (Mesir), Jundisyapur (Irak),
Antakia (Syiria), dan Bactra (Persia).[17]
W. Montgomery Watt menambahkan lebih rinci
bahwa ketika Irak, Syiria, dan Mesir diduduki oleh orang Arab pada abad
ketujuh, ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani dikembangkan di berbagai pusat
belajar. Terdapat sebuah sekolah terkenal di Alexandria, Mesir, tetapi kemudian
dipindahkan pertama kali ke Syiria, dan kemudian –pada sekitar tahun 900 M– ke
Baghdad. Kolese Kristen Nestorian di Jundisyapur, pusat belajar yang paling
penting, melahirkan dokter-dokter istana Hārūn al-Rashīd dan penggantinya
sepanjang sekitar seratus tahun. Akibat kontak semacam ini, para khalifah dan
para pemimpin kaum Muslim lainnya menyadari apa yang harus dipelajari dari ilmu
pengetahuan Yunani. Mereka mengagendakan agar menerjemahkan sejumlah buku
penting dapat diterjemahkan. Beberapa terjemahan sudah mulai dikerjakan pada
abad kedelapan. Penerjemahan secara serius baru dimulai pada masa pemerintahan
al-Ma’mūn (813-833 M). Dia mendirikan Bayt al-Ḥikmah, sebuah lembaga khusus
penerjemahan. Sejak saat itu dan seterusnya, terdapat banjir penerjemahan
besar-besaran. Penerjemahan terus berlangsung sepanjang abad kesembilan dan
sebagian besar abad kesepuluh.[18]
Buku-buku matematika dan astronomi adalah
buku-buku yang pertama kali diterjemahkan. Al-Khawārizmī (Algorismus atau
Alghoarismus) merupakan tokoh penting dalam bidang matematika dan astronomi.
Istilah teknis algorisme diambil dari namanya. Dia memberi landasan untuk
aljabar. Istilah “algebra” diambil dari judul karyanya. Karya-karyanya adalah
rintisan pertama dalam bidang aritmatika yang menggunakan cara penulisan
desimal seperti yang ada dewasa ini, yakni angka-angka Arab. Al-Khawārizmī dan
para penerusnya menghasilkan metode-metode untuk menjalankan operasi-operasi
matematika yang secara aritmatis mengandung berbagai kerumitan, misalnya
mendapatkan akar kuadrat dari satu angka. Di antara ahli matematika yang karyanya
telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin adalah al-Nayrīzī atau Anaritius (w.
922 M) dan Ibn al-Haytham atau Alhazen (w. 1039 M). Ibn al-Haytham menentang
teori Eucleides dan Ptolemeus yang menyatakan bahwa sinar visual memancar dari
mata ke obyeknya, dan mempertahankan pandangan kebalikannya bahwa cahayalah
yang memancar dari obyek ke mata.[19]
Di bidang astronomi, al-Battānī (Albategnius) menghasilkan table-tabel
astronomi yang luar biasa akuratnya pada sekitar tahun 900 M. Ketepatan
observasi-observasinya tentang gerhana telah digunakan untuk tujuan-tujuan
perbandingan sampai tahun 1749 M. Selain
al-Battānī, ada Jābir ibn Aflaḥ (Geber) dan al-Biṭrūjī (Alpetragius). Jābir ibn
Aflaḥ dikenal karena karyanya di bidang trigonometri sperik. Di bidang astronomi
dan matematika, ada juga Maslamah al-Majrīṭī (w. 1007 M), Ibn al-Samḥ, dan Ibn
al-Ṣaffār. Ibn Abī al-Rijāl (Abenragel) di bidang astrologi.[20]
Dalam bidang kedokteran ada Abū Bakar Muḥammad
ibn Zakariyyā al-Rāzī atau Rhazes
(250-313 H/864-925 M atau 320 H/932 M)[21],
Ibn Sīnā atau Avicenna (w. 1037 M), Ibn Rushd atau Averroes (1126-1198 M), Abū
al-Qāsim al-Zahrāwī (Abulcasis), dan Ibn Ẓuhr atau Avenzoar (w. 1161 M). Al-Ḥāwī
karya al-Rāzī merupakan sebuah ensiklopedi mengenai seluruh perkembangan ilmu kedokteran
sampai masanya. Untuk setiap penyakit dia menyertakan pandangan-pandangan dari
para pengarang Yunani, Syiria, India, Persia, dan Arab, dan kemudian menambah
catatan hasil observasi klinisnya sendiri dan menyatakan pendapat finalnya.
Buku Canon of Medicine karya Ibnu Sīnā sudah diterjemahkan ke dalam
bahasa Latin pada abad ke-12 M dan terus mendominasi pengajaran kedokteran di
Eropa setidak-setidaknya sampai akhir abad ke-16 M dan seterusnya. Tulisan Abū
al-Qāsim al-Zahrāwī tentang pembedahan (operasi) dan alat-alatnya merupakan
sumbangan yang berharga dalam bidang kedokteran.[22]
Dalam bidang kimia ada Jābir ibn Ḥayyān
(Geber) dan al-Bīrūnī (362-442 H/973-1050 M). Sebagian karya Jābir ibn Ḥayyān
memaparkan metode-metode pengolahan berbagai zat kimia maupun metode
pemurniannya. Sebagian besar kata untuk menunjukkan zat dan bejana-bejana kimia
yang belakangan menjadi bahasa orang-orang Eropa berasal dari karya-karyanya.
Sementara itu, al-Bīrūnī mengukur sendiri gaya berat khusus dari beberapa zat
yang mencapai ketepatan tinggi.[23]
Dalam bidang botani, zoologi, mineralogi,
karya orang Arab mencakup gambaran dan daftar berbagai macam tanaman, binatang,
dan batuan. Beberapa di antaranya memiliki kegunaan praktis, yakni ketika karya
tersebut dihubungkan dengan bidang farmakologi dan perawatan medis.[24]
Selain disiplin-disiplin ilmu di atas,
sebagian umat Islam juga menekuni logika dan filsafat. Sebut saja al-Kindī,
al-Fārābī (w. 950 M), Ibn Sīnā atau Avicenna (w. 1037 M), al-Ghazālī (w. 1111
M), Ibn Bājah atau Avempace (w. 1138 M), Ibn Ṭufayl atau Abubacer (w. 1185 M),
dan Ibn Rushd atau Averroes (w. 1198 M).[25]
Menurut Felix Klein-Franke, al-Kindī berjasa membuat filsafat dan ilmu Yunani
dapat diakses dan membangun fondasi filsafat dalam Islam dari sumber-sumber
yang jarang dan sulit, yang sebagian di antaranya kemudian diteruskan dan
dikembangkan oleh al-Fārābī. Al-Kindī sangat ingin memperkenalkan filsafat dan
sains Yunani kepada sesama pemakai bahasa Arab, seperti yang sering dia
tandaskan, dan menentang para teolog ortodoks yang menolak pengetahuan asing.[26]
Menurut Betrand Russell, Ibn Rushd lebih terkenal dalam filsafat Kristen
daripada filsafat Islam. Dalam filsafat Islam dia sudah berakhir, dalam
filsafat Kristen dia baru lahir. Pengaruhnya di Eropa sangat besar, bukan hanya
terhadap para skolastik, tetapi juga pada sebagian besar pemikir-pemikir bebas
non-profesional, yang menentang keabadian dan disebut Averroists. Di
Kalangan filosof profesional, para pengagumnya pertama-tama adalah dari
kalangan Franciscan dan di Universitas Paris.[27]
Rasionalisme Ibn Rushd inilah yang mengilhami orang Barat pada abad pertengahan
dan mulai membangun kembali peradaban mereka yang sudah terpuruk berabad-abad
lamanya yang terwujud dengan lahirnya zaman pencerahan atau renaisans.
Ilmu Pengetahuan Zaman Renaisans dan Modern
Michelet, sejarahwan terkenal, adalah orang
pertama yang menggunakan istilah renaisans. Para sejarahwan biasanya
menggunakan istilah ini untuk menunjuk berbagai periode kebangkitan
intelektual, khususnya di Eropa, dan lebih khusus lagi di Italia sepanjang abad
ke-15 dan ke-16. Agak sulit menentukan garis batas yang jelas antara abad
pertengahan, zaman renaisans, dan zaman modern. Bisa dikatakan abad pertengahan
berakhir tatkala datangnya zaman renaisans. Sebagian orang menganggap bahwa
zaman modern hanyalah perluasan dari zaman renaisans. Renaisans adalah periode
perkembangan peradaban yang terletak di ujung atau sesudah abad kegelapan
sampai muncul abad modern. Renaisans merupakan era sejarah yang penuh dengan
kemajuan dan perubahan yang mengandung arti bagi perkembangan ilmu. Ciri utama
renaisans yaitu humanisme, individualisme, sekulerisme, empirisisme, dan
rasionalisme. Sains berkembang karena semangat dan hasil empirisisme, sementara
Kristen semakin ditinggalkan karena semangat humanisme.[28]
Tokoh
penemu di bidang sains pada masa renaisans (abad 15-16 M): Nicolaus Copernicus (1473-1543 M), Johanes
Kepler (1571-1630 M), Galileo Galilei (1564-1643 M),[29]
dan Francis Bacon (1561-1626 M). Copernicus menemukan teori heliosentrisme,
yaitu matahari adalah pusat jagad raya, bukan bumi sebagaimana teori
geosentrisme yang dikemukakan oleh Ptolomeus (127-151). Menurutnya, bumi
memiliki dua macam gerak, yaitu perputaran sehari-hari pada porosnya dan gerak
tahunan mengelilingi matahari. Teori ini melahirkan revolusi pemikiran tentang
alam semesta, terutama astronomi.[30]
Kepler adalah ahli astronomi Jerman yang terpengaruh ajaran Copernicus. Dialah
yang menemukan bahwa orbit planet berbentuk elips; bahwa planet bergerak cepat
bila berada di dekat matahari dan lambat bila jauh darinya. Galileo adalah ahli
astronomi Italia yang melakukan pengamatan teleskopik dan mengukuhkan gagasan
Copernicus bahwa tata surya berpusat pada matahari. Inkuisi takut akan
penemuannya dan memaksanya meninggalkan studi astronominya. Dia juga berjasa
dalam menetapkan hukum lintasan peluru, gerak, dan percepatan.[31]
Dialah penemu planet Jupiter yang dikelilingi oleh empat buah bulan.[32]
Selanjutnya
tokoh penemu di bidang sains pada zaman modern (abad 17-19 M): Sir Isaac Newton
(1643-1727 M), Leibniz (1646-1716 M), Joseph Black (1728-1799 M), Joseph
Prestley (1733-1804 M), Antonie Laurent Lavoiser (1743-1794 M), dan J.J.
Thompson. Newton adalah penemu teori gravitasi, perhitungan calculus, dan
optika yang mendasari ilmu alam. Pada
masa Newton, ilmu yang berkembang adalah matematika, fisika, dan astronomi.
Pada periode selanjutnya ilmu kimia menjadi kajian yang amat menarik. Black
adalah pelopor dalam pemeriksaan kualitatif dan penemu gas CO2. Prestley menemukan sembilan macam hawa No dan oksigen
yang antara lain dapat dihasilkan oleh tanaman. Lavoiser adalah peletak dasar
ilmu kimia sebagaimana kita kenal sekarang. J.J. Thompson menemukan elektron.
Dengan penemuannya ini, maka runtuhlah anggapan bahwa atom adalah bahan
terkecil dan mulailah ilmu baru dalam kerangka kimia-fisika yaitu fisika
nuklir. Perkembangan ilmu pada abad ke-18 telah melahirkan ilmu seperti
taksonomi, ekonomi, kalkulus, dan statistika, sementara pada abad ke-19
lahirlah pharmakologi, geofisika, geomophologi, palaentologi, arkeologi, dan
sosiologi.[33]
Pada tahap selanjutnya, ilmu-ilmu zaman modern memengaruhi perkembangan ilmu
zaman kontemporer.
Ilmu Pengetahuan Zaman Kontemporer
Perbedaan antara zaman modern dengan zaman
kontemporer yaitu zaman modern adalah era perkembangan ilmu yang berawal sejak
sekitar abad ke-15, sedangkan zaman kontemporer adalah era perkembangan
terakhir yang terjadi hingga sekarang. Perkembangan ilmu di zaman ini meliputi
hampir seluruh bidang ilmu dan teknologi, ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi,
antropologi, psikologi, ekonomi, hukum, dan politik serta ilmu-ilmu eksakta
seperti fisika, kimia, dan biologi serta aplikasi-aplikasinya di bidang
teknologi rekayasa genetika, informasi, dan komunikasi. Zaman kontemporer
identik dengan rekonstruksi, dekonstruksi, dan inovasi-inovasi teknologi di
berbagai bidang.[34]
Sasaran
rekonstruksi dan dekonstruksi biasanya teori-teori ilmu sosial, eksakta, dan
filsafat yang ada sudah ada sebelumnya, sementara inovasi-inovasi teknologi
semakin hari semakin cepat seperti yang kita saksikan dan nikmati sekarang ini.
Teknologi merupakan buah dari perkembangan ilmu pengetahuan yang dikembangkan
dari generasi ke generasi. Komputer merupakan hasil pengembangan dari
perkembangan listrik (elektronika) yang pada awal penemuannya oleh Faraday
belum diketahui kegunaannya. Penemuan bola lampu oleh Edison disusul oleh
penemuan radio, televisi, dan komputer.[35]
Dari komputer berkembang ke PC (private computer), lap top, dan
terakhir simuter yaitu komputer jenis PDA (personal digital assistans).[36]
Semua contoh ini merupakan bukti bahwa penemuan teknologi sebagai buah
perkembangan ilmu masih berkaitan dengan penemuan-penemuan sebelumnya yang
kemudian dikembangkan dengan ukuran fisik yang semakin kecil, tetapi memiliki
beragam keunggulan yang lebih besar.
Salah
satu hasil teknologi yang menakjubkan dan kontroversial adalah teknologi
rekayasa genetika yang berupa teknologi kloning. Dr. Gurdon dari Universitas
Cambridge adalah orang pertama yang melakukan teknologi ini pada tahun 1961.
Gurdon berhasil memanipulasi telur-telur katak sehingga tumbuh menjadi kecebong
kloning. Pada tahun 1993, Dr. Jerry Hall berhasil mengkloning embrio manusia
dengan teknik pembelahan. Pada tahun 1997, Dr. Ian Wilmut berhasil melakukan
kloning mamalia pertama dengan kelahiran domba yang diberi nama Dolly. Pada
tahun yang sama lahir lembu kloning pertama yang diberi mana Gene. Pada tahun
1998, para peneliti di Universitas Hawai yang dipimpin oleh Dr. Teruhiko
Wakayama berhasil melakukan kloning terhadap tikus hingga lebih dari lima
generasi. Pada tahun 2000, Prof. Gerald Schatten berhasil membuat kera kloning
yang diberi nama Tetra. Setelah berbagai keberhasilan teknik kloning yang
pernah dilakukan, para ahli malah lebih berencana menerapkan teknik kloning
pada manusia.[37]
Setelah uraian-uraian di atas, selanjutnya
kita lihat tabel klasifikasi perkembangan
sebagian ilmu pengetahuan dari masa ke masa berdasarkan periodenya
sebagai berikut[38]:
ILMU-ILMU |
2000 SM-300 M |
300 M-1400 M |
1400 M-1600 M |
Abad ke-17 |
Abad ke-18 |
Abad ke-19 |
Abad ke-20 |
MATEMATIKA |
Ilmu Hitung Geometri Logika |
Teori Bilangan Aljabar Geometri Analitik Trigonometri |
|
|
Probabilitas dan Statistika Persamaan Diferensial Kalkulus Geometri Analistis Topologi |
|
Teori Informasi Teori Fungsi Geometri Non-Euclid Logika Matematik |
FISIKA |
|
Mekanika Optika |
|
Termodinamika Keelektrikan dan Kemagnetan |
|
Kristalogi |
Cryogenik Mekanika Statistika Mekanika Kwantum Fisika Partikel Fisika Nuklir Fisika Plasma Fisika Atom Fisika Molekul Fisika Zadat Fisika Relativitas |
KIMIA |
|
Alkimia |
|
Kimia Aroganik Kimia Kedokteran |
Kimia Analistis |
Pharmakologi Biokimia Kimia Organik |
Fisika Kwantum Kimia Fisika Kimia Nuklir Kimia Polimer |
ASTRONOMI |
Kosmologi Astronomi Posisionil |
Mekanika Benda Langit |
Astronomi Fisika |
|
|
|
Astronautika Radio Astronomi Astrofisika |
GEOLOGI |
Eksplorasi |
Geodesi Mineralogi Meteorologi |
|
|
|
Geofisika Statigrafi Sejarah Geologi Paleontologi Mineralogi Petrologi Geormorphologi Geografi Fisika/Fisis |
Srtuktur Geologi Geokimia Hidrologi Oceanografi |
BIOLOGI |
Ilmu Obat-obatan |
Phisiologi Anatomi Botani dan Zoologi Embriologi Pathologi |
|
Mikrobiologi |
Taksonomi |
Biofisika Anatomi Perbandingan Citologi Histologi Biokimia Ekologi |
Radiobiologi Biologi Molekul Genetika |
SOSIAL |
Pemerintahan Sejarah Filsafat |
Politik |
|
|
Ekonomi |
Arkeologi Antropologi Fisik Sosiologi |
Antropologi Budaya Psikologi |
Penutup
Tabel di atas belum mencakup semua ilmu
pengetahuan, karena menurut Jujun Suriasumantri, ilmu pengetahuan dewasa ini
telah berkembang menjadi sekitar 650 cabang. Di samping sudah ada pemberdayaan
antara ilmu-ilmu alam atau natural science dengan ilmu-ilmu sosial,
dikenal pula dengan pembedaan ilmu dan ilmu terapan. Pesatnya kemajuan ilmu
pengetahuan, menurut Chalmers, diperkirakan sejak 400 tahun yang lalu, yaitu
sejak Copernicus, Galileo, Kepler, dan yang lebih jelas lagi sejak Francis
Bacon pada abad ke-15 dan 16 sebagai ahli filsafat ilmu yang mengemukakan
perlunya suatu metode dalam mempelajari pengalaman. Bacon menekankan bahwa
eksperimen dan observasi yang intensif merupakan landasan perkembangan ilmu.[39]
Fakta-fakta di atas menunukkan bahwa perkembangan
ilmu tidak bisa dilepaskan dari rasa keingintahuan yang besar diiringi dengan
usaha-usaha yang sungguh-sungguh melalui penalaran, percobaan, penyempurnaan,
dan berani mengambil resiko tinggi sehingga menghasilkan penemuan-penemuan yang
bermanfaat bagi suatu generasi dan menjadi acuan pertimbangan bagi generasi
selanjutnya untuk mengoreksi, menyempurnakan, mengembangkan, dan menemukan
penemuan selanjutnya. Faktor-faktor inilah yang kemudian menjadi pemacu bagi
pesatnya perkembangan ilmu yang melatarbelakangi semakin cepatnya penemuan
dalam bidang teknologi yang kadang membuat sebagian orang terlena karenanya
sehingga tidak sadar bahwa sebagian ilmu yang disalahgunakan bisa menjadi
ancaman serius bagi kehidupan mereka.
Poin penting yang perlu dicatat di sini adalah pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan harus diimbangi dengan pengembangan moral-spiritual manusianya, karena sebagaimana kita tahu, perkembangan ilmu pengetahuan selain berdampak positif, ia juga berdampak negatif bagi kehidupan manusia. Dampak positifnya adalah semakin mempermudah kehidupan manusia, sementara dampak negatifnya adalah semakin mengancam kehidupan mereka. Oleh karena itu, agar tatanan kehidupan manusia di dunia ini tetap lestari, maka perkembangan ilmu mesti diiringi dengan pengembangan moral-spiritual manusia itu sendiri. Perkembangan ilmu tanpa pengembangan moral-spiritual bisa menjadi ancaman bagi kehidupan manusia seperti yang bisa kita rasakan akhir-akhir ini yang berupa penyalahgunaan teknologi nuklir. Demikian pula pengembangan moral-spiritual tanpa diiringi perkembangan ilmu bisa menjadikan sebagian manusia kurang kreatif seperti yang terjadi pada orang Kristen pada zaman kegelapan Eropa. Dengan kata lain, antara otak dan hati harus mendapatkan porsi perhatian yang seimbang. Sejarah sudah membuktikannya. Sejarah merupakan disiplin ilmu yang memiliki validitas kebenaran yang tinggi sehingga layak dijadikan bahan untuk mengambil pelajaran (‘ibrah).
Bibliografi
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
Childe, Gordon. What Happened in History. Harmondswort: Penguin Books Ltd, 1975.
E. Goodman, “Muḥammad ibn Zakariyyā al-Rāzī”, dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Vol. 1, ed. Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman. Bandung: Mizan, 2003.
Felix Klein-Franke, “Al-Kindī”, dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Vol. 1, ed. Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman. Bandung: Mizan, 2003.
Haekal, Muhammad Husain. Sejarah Hidup Muhammad. Jakarta: Litera AntarNusa, 1996.
Jasin, Maskoeri. Ilmu Alamiah Dasar. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003.
George J. Mouly, “Perkembangan Ilmu”, dalam Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu, ed. Jujun S. Suriasumantri. Jakarta: Gramedia, 1991.
O. Kattsoff, Louis. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004.
Nasution, Harun. Islam Rasional. Bandung: Mizan, 1998.
Russell, Betrand. Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik dari Zaman Kuno hingga sekarang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Soetriono. dan SDRm Rita Hanafie. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Andi Offset Yogya, 2007.
Tafsir, Ahmad. Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Chapra. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005.
Watt, W. Montgomery. Islam dan Peradaban Dunia:
Pengaruh Islam atas Eropa Abad Pertengahan. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1997.
[1]Gordon Childe, What Happened in History (Harmondswort: Penguin Books
Ltd, 1975), 13.
[2]Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 16-17.
[3]Maskoeri Jasin, Ilmu Alamiah Dasar (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2003), 35-39.
[4]Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, 21-129.
[5]George J. Mouly, “Perkembangan Ilmu”, dalam Ilmu dalam Perspektif:
Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu, ed. Jujun S. Suriasumantri
(Jakarta: Gramedia, 1991), 87.
[6]Soetriono dan SDRm Rita Hanafie, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian
(Yogyakarta: Andi Offset Yogya, 2007), 117.
[7]Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad (Jakarta: Litera AntarNusa, 1996), 1.
[8]George J. Mouly, “Perkembangan Ilmu”, 87.
[9]Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, 1.
[10]Betrand Russell, Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi
Sosio-Politik dari Zaman Kuno hingga sekarang (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2002), 6.
[11]Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, 21-23.
[12]Ibid., 23-27. Lihat juga: Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati
Sejak Thales Sampai Chapra (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), 48-49.
[13]Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, 27-28.
[14]Ibid., 29-31.
[15]Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogya, 2004), 257.
[16]Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, 43.
[17]Harun Nasution, Islam Rasional (Bandung: Mizan, 1998), 7.
[18]W. Montgomery Watt, Islam dan Peradaban Dunia: Pengaruh Islam atas Eropa
Abad Pertengahan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), 44-45.
[19]Ibid., 47-50.
[20]Ibid., 51-52.
[21]Pembahasan lebih detil tentang sosok, karya, dan pengaruh Abū Bakar Muḥammad
ibn Zakariyyā al-Rāzī bisa dibaca dalam: Lenn E. Goodman, “Muḥammad ibn
Zakariyyā al-Rāzī”, dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Vol. 1,
ed. Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (Bandung: Mizan, 2003), 243-265.
[22]W. Montgomery Watt, Islam dan Peradaban Dunia: Pengaruh Islam atas Eropa
Abad Pertengahan, 52-56.
[23]Ibid., 57-58.
[24]Ibid., 58.
[25]Ibid., 60-61.
[26]Felix Klein-Franke, “Al-Kindī”, dalam Ensiklopedi Tematis
Filsafat Islam, Vol. 1, ed. Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (Bandung:
Mizan, 2003), 209-210.
[27]Betrand Russell, Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi
Sosio-Politik dari Zaman Kuno hingga sekarang, 567.
[28]Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Chapra,
125-126 dan Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, 49-50.
[29]Ibid., 126.
[30]Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, 51-52.
[31]Maskoeri Jasin, Ilmu Alamiah Dasar, 58.
[32]Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, 55.
[33]Ibid., 57-62.
[34]Ibid., 68-71.
[35]Maskoeri Jasin, Ilmu Alamiah Dasar, 202.
[36]Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, 79.
[37]Ibid., 76-77.
[38]Henry Margenau dan David Bergamini, The Scientist (New York: Time
Inc., 1964), 86-99, yang diolah oleh Jujun Suriasumatri, “Tentang Hakekat Ilmu:
Sebuah Pengantar Redaksi”, dalam Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan
Karangan Tentang Hakekat Ilmu, ed. Jujun S. Suriasumantri (Jakarta:
Gramedia, 1991), 14-15.
[39]Soetriono dan SDRm Rita Hanafie, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian,
120.
0 Comment