RASIONALISME DAN EMPIRISME ILMIAH
Manusia lahir ke dunia dengan
segala keunikannya. Mereka melakukan ini dan itu kemudian mereka mereguk kesuksesan.
Perlu diketahui bahwa sebuah kesuksesan tidak dipengaruhi dimana tempat tinggal
mereka. Negara atau bangsa tidak menjamin arti sebuah kesuksesan bagi siapapun. Manusia sendiri itulah yang
menentukan. Mereka adalah decision maker. Hal ini diakibatkan oleh
sebuah keadaan bahwa masing-masing negara atau bangsa memiliki tingkat dan
kualitas yang berbeda dalam hal kemampuan menjadikan sukses seseorang. Artinya,
kemajuan negara atau bangsa ditentukan oleh pengetahuan individu-individu
secara absurd.
Terlepas dari perbedaan para
filosof akan tujuan-tujuan ilmu
pengetahuan, hal tersebut tidak mempengaruhi urgensi ilmu pengetahuan dalam
kehidupan manusia. Sebab, ada yang berpendapat bahwa tujuan pengetahuan adalah
pengetahuan itu sendiri. Seperti seni untuk seni. Ada juga yang berpendapat bahwa tujuan dari
pengetahuan adalah semata-mata memenuhi dahaga keingintahuan manusia terhadap
kehidupannya yang terbatas di bumi. Selain itu, ada juga yang mengatakan bahwa
tujuan dari pengetahuan adalah alat untuk meningkatkan dan memajukan sebuah
peradaban madani terhadap sebuah bangsa atau semua penduduk bumi secara umum. Sementara
tujuan pengetahuan dalam Islam adalah bersandar pada asas manfaat.[1]
Bila kita runut ke belakang,
kemajuan yang telah dicapai oleh bangsa-bangsa terdahulu semisal bangsa Yunani dan
kaum Islam, tidak bisa dilepaskan oleh pengetahuan. Dalam dunia kekinian, bisa
disaksikan betapa bangsa-bangsa dan negera-negara dengan tingkat pengetahuan
yang lebih tinggi telah mendominasi kekuatan dunia. Jepang, Amerika, dan China
contoh kecilnya. Hal ini menandaskan bahwa pengetahuanlah yang menjadi aktor
utama.
Yang kemudian menjadi persoalan dari dahulu hingga sekarang, dan hal ini sudah menjadi pembahasan lawas, adalah bagaimana cara seseorang mendapatkan sebuah pengetahuan. Perdebatan mengenai sumber pengetahuan bagai lorong tidak berpenghujung. Para filosof masing-masing berdiri dengan argumentasinya masing-masing.
SUMBER PENGETAHUAN; Rasionalisme dan Empirisme
Kurang lebih sepuluh abad
Eropa diselimuti kabut teologis yang memanipulasi kebenaran dan mematikan
pemikiran bebas, suatu gerakan kultural mula-mula muncul di Italia, dan secepat
kilat gerakan tersebut menyebar luas pengaruhnya. Gerakan tersebut biasa
disebut dengan renaisans, kelahiran kembali. Sebuah semangat baru dalam rangka
menggali khazanah intelektual Yunani Kuno yang lebih mengedepankan rasionalitas
dan kebebasan berpikir.
Hegemoni
Gereja yang sekian lama mendominasi, pada masa renaisans sedikit demi sedikit
mulai luntur. Kepercayaan kepada otonomi manusia dalam memperoleh kebenaran
menggejolak. Manusia meninggalkan dominasi teks-teks Gereja, martabat manusia
telah kembali. Pada masa renaisans, melalui Francis Bacon, teks-teks Yunani
Kuno dianggap sebagai salah satu idola yang dapat mendistorsi objektivitas
pengetahuan ilmiah. Ilmu pengetahuan yang tadinya tidak berkembang pada abad
pertengahan, mulai berkembang dengan pesatnya pada masa renaisans. Orang-orang
tidak lagi menyandarkan diri pada teks-teks gereja dalam memperoleh
pengetahuan, melainkan menempuh cara-cara metodis berupa pengamatan empiris dan
perumusan hipotesis.
Perkembangan setelah
renaisans adalah masa modern. Dalam masa modern, antroposentrisme mewarnai
hampir semua bidang kehidupan. Kecenderungan untuk memandang manusia sebagai
subjek yang otonom dalam masa tersebut dikenal dengan antroposentrisme modern.
Filsafat pengetahuan di Barat pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua berdasarkan letak geografisnya. Erapa Daratan dengan rasionalisme dan Inggris dengan empirisme-nya.[2]
1.
Rasionalisme
Sebagai sebuah paham dalam
aliran filsafat, rasionalisme mengandaikan akal sebagai sumber utama
pengetahuan manusia dan pemegang otoritas terakhir bagi penentu kebenaran.
Aliran ini berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang mencukupi dan yang dapat
dipercaya adalah akal (rasio). Dalam pandangan kaum rasionalis, hanya
pengetahuan yang diperoleh melalui akal budi sajalah yang memenuhi syarat dan
standar kualifikasi pengetahuan ilmiah. Pengalaman hanya berfungsi sebagai
peneguh pengetahuan yang didapatkan oleh akal. Akal bisa memberikan kebenaran
dengan dirinya sendiri. Yang termasuk ke dalam ini adalah Rene Descrates,
Spinoza, dan Leibniz[3].
Inti
dari pandangan rasionalisme adalah bahwa hanya dengan menggunakan prosedur
tertentu dari akal saja manusia bisa sampai pada pengetahuan yang sebenarnya,
yaitu pengetahuan yang tidak mungkin salah. Dalam anggapan mereka, sumber
pengetahuan, bahkan satu-satunya sumber, adalah akal budi manusia. Konsekuensi yang harus dihadapi oleh kaum
rasionalis adalah sebuah kenyataan dimana mereka menafikan sebuah kebenaran
lain yang mengatakan bahwa manusia bisa mendapatkan pengetahuan melalui apa-apa
yang bisa dicandra oleh indra manusia. Dengan demikian, akal budi semata bisa
membuktikan kepada manusia bahwa ada dasar bagi pengetahuan manusia, dimana
manusia boleh merasa yakin dan pasti akan pengetahuan yang diperoleh.[4]
Dalam
menyusun pengetahuan, kaum rasionalis menggunakan metode deduktif. Premis yang
dipakai dalam penalarannya didapatkan dari ide yang menurut anggapannya jelas
dan dapat di terima. Ide tersebut menurut kaum rasionalis bukan ciptaan pikiran
manusia. Prinsip tersebut sudah ada jauh sebelum manusia berusaha
memikirkannya, dan biasa disebut dengan paham idealisme. Dalam pandangan
mereka, pikiran manusia hanya mengenali prinsip tersebut yang lalu menjadi
pengetahuannya. Dan prinsip tersebut juga sudah ada dan bersifat apriori dan
dapat diketahui oleh manusia lewat kemampuan
berpikir rasionalnya. Pengalaman tidak membuahkan prinsip dan justru
sebaliknya, hanya dengan mengetahui prinsip yang didapat lewat penalaran
rasional itulah maka manusia dapat mengerti kejadian-kejadian yang berlaku di
alam sekitarnya.
Metode deduksi mengandung
asumsi bahwa manusia memiliki kapasitas untuk mengetahui aksioma-aksioma secara
niscaya dan apriori (tanpa melewati pengamatan), sedangkan penemuan hukum-hukum
alam merupakan derivasi dari dari aksioma-aksioma yang niscaya tadi. Kebenaran
yang didapatkan melalui deduksi adalah kebenaran koherensi ekternal. Sebuah kebenaran dimana tidak terdapat
kontradiksi logis antar Proposisi. Contoh, semua logam dipanaskan memuai, besi
adalah logam, besi dipanaskan memuai. Secara singkat bisa dikatakan bahwa ide
bagi kaum rasionalis bersifat apriori dan didapatkan manusia lewat penalaran
rasional.[5]
2.
Emperisme
Istilah empirisme berasal
dari bahasa Yunani “emperia” yang berarti pengalaman. Paham ini
berlawanan dengan paham rasionalisme yang memandang bahwa akal budi sebagai
satu-satunya sumber dan penjamin kepastian kebenaran pengetahuan, sementara emperisme
memandang hanya pengalamanlah sumber pengetahuan manusia melalui penginderaan
yang kongkret. Bagi empirisme, pengalaman indrawi adalah satu-satunya sumber
dan penjamin kepastian kebenaran pengetahuan.
Gejala-gejala alamiah menurut
anggapan kaum empiris adalah bersifat kongkret dan dapat dinyatakan lewat
tangkapan pancaindra manusia. Gejala tersebut kalau ditelaah lebih jauh akan
terlihat mempunyai karakteristik tertentu, terdapat pola yang teratur mengenai
suatu kejadian tertentu. Semisal air meresap melalui celah-celah kecil dan
panas berkepanjangan mengakibatkan kemarau. Karena sumber pengetahuan adalah
pengalaman maka metode yang diajukan kaum empiris adalah metode induktif.
David Hume, John Locke, dan Berkeley
adalah tokoh utama emperisme yang cukup termashur. John locke (1632-1704) biasa
dikenal dengan teori tabularasa-nya, misalnya, merupakan lawan serius Descartes
dengan menyatakan bahwa ide bawaan adalah omong kosong. Benak manusia sewaktu
dilahirkan kosong melompong bagaikan kertas putih. Ia adalah suatu ranah yang
kemudian diisi pengetahuan yang berasal dari pengalaman. Locke dengan tegas
menolak pemikiran Descartes tentang ide bawaan yang bersifat apriori. Ide yang
terdapat di benak manusia menurutnya di dapatkan melalui pengalaman, atau
dengan kata lain secara aposteriori.
Dalam pandangan John Locke,
pengalaman inderawi adalah sumber gambaran dalam otak manusia, dan gambaran
akal terhadap sesuatu adalah produk atau hasil gambaran yang disampaikan oleh
indera kepada otak manusia sehingga menghasilkan pengetahuan. Pemahaman ini
mengandaikan keniscayaan bahwa tidak mungkin seorang manusia bisa menggambarkan
atau mengetahui sesuatu kecuali mendapatkannya dari indra.[6]
Dengan pemahaman seperti di atas
dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam pandangan aliran emperisme, pengalaman
menjadi satu-satunya sumber pengetahuan, baik yang batiniyah maupun lahiriyah.
Akal bukan menjadi sumber pengetahuan, tetapi ia hanya mendapat tugas untuk
mengolah bahan-bahan yang diperoleh dari pengalaman. Pengalaman merupakan ukuran
terakhir dari kenyataan.
Pengalaman yang dimaksud
adalah pengalaman yang terjadi berkat bantuan pancaindra. Pengalaman seperti
ini berkaitan dengan data yang ditangkap pancaindra, khususnya yang bersifat
spontan dan langsung. Dengan kata lain, pengalaman, percobaan, pengamatan, dan
penelitian langsung di lapangan untuk mengumpulkan fakta dan data, itulah yang
merupakan titik tolak dari pengetahuan manusia karena pada dasarnya manusia
tahu tentang sesuatu hanya berdasarkan dan hanya dengan titik tolak pengalaman
indrawinya.
Menurut Dr. Sami ‘Afi<fi<
Hija<zi<, konsekuensi logis dari pandangan kaum empiris adalah bahwa
orang yang kehilangan salah satu indranya maka dia akan kehilangan sebuah
pengetahuan yang berkaitan dengan pancaindra yang hilang tersebut. Dia
mengatakan bahwa pengetahuan yang ditimbulkan atau dihasilkan oleh pengamatan inderawi
bukanlah kebenaran utuh dan absolut akan tetapi relatif. Dalam pandangannya,
jika manusia tidak melakukan sebuah pengamatan dalam bentuknya yang
berbeda-beda maka dia tidak akan pernah mendapatkan gambaran kebenaran
pengetahuan apapun, meskipun kebenaran tersebut sangat jelas dan gamblang. Hal tersebut dikarenakan seseorang ketika
lahir dia tidak mempunyai pengetahuan apapun. Kesadaran dan pengetahuannya
dimulai berbarengan dengan dimulainya kehidupan secara praktis, keluasan
keilmuannya berbarengan dengan semakin banyaknya pengalaman yang dia serap.[7]
Dengan demikian, maka pancaindra memainkan peranan penting dengan menyajikan bagi manusia pengalaman langsung dengan objek tertentu. Pancaindra memainkan peranan terpenting dibandingkan dengan akal karena: Pertama, semua proposisi yang diucapkan manusia merupakan hasil laporan dari pengalaman atau disimpulkan dari pengalaman. Kedua, manusia tidak punya konsep atau ide apapun tentang sesuatu kecuali yang didasarkan pada apa yang diperoleh dari pengalaman. Ketiga, akal budi manusia hanya berfungsi kalau punya acuan ke realitas atau pengalaman. Akal hanya menkombinasikan pengalaman indrawi untuk sampai pada pengetahuan, tanpa pengalaman indrawi tidak ada pengetahuan apa-apa.[8]
METODE ILMIAH
Di atas telah disebutkan
bahwa emperisme menggunakan metode induktif untuk memperoleh pengetahuan dan
rasionalisme menggunakan mentode deduktif. Hal ini lazim karena sebuah metode
bersifat praktis dan spesifik. Ia merupakan langkah-langkah sistematis yang digunakan
dalam ilmu-ilmu tertentu yang tidak direfleksikan atau diterima begitu saja.
Sedangkan metodologi tidak memfokuskan diri pada cara pemerolehan ilmu tertentu
saja, melainkan pengetahuan pada umumnya.
Metode atau cara kerja ilmu
pengetahuan pertama kali dikemukakan oleh filosof Yunani yang bernama
Aristoteles. Hal ini merupakan upaya keras penolakan Aristoteles terhadap
idealisme Plato. Plato mengajukan teori dua dunia yang mengatakan bahwa dunia
terbagi menjadi dua, ide dan inderawi. Dunia indrawi sendiri merupakan cermin
tidak sempurna dari dunia ide yang sempurna. Plato mengandaikan bahwa jiwa
manusia telah ada di dunia ide dan kemudian jatuh terperangkap ke dalam tubuh
yang membawanya berhadapan dengan semesta indrawi yang serba semu. Dalam pandangan
Plato, jiwa manusia membawa ide-ide tentang semesta dari dunia ide namun
kejatuhan manusia ke dalam tubuh mengakibatkannya mengalami kealpaan sehingga
diperlukan rangsangan untuk mengingat kembali. Proses mengetahui menurutnya
terjadi ketika manusia berhadapan dengan semesta di dunia indrawi dimana ia
mengalami pengingatan kembali akan apa-apa yang pernah dialaminya di dunia ide.
Ia menambahkan, pengetahuan manusia bagaimanapun tidak pernah mencapai
kesempurnaan selama ia masih terbelenggu oleh sihir dunia inderawi yang semu
karena kesempurnaan hanya dapat dicapai tatkala jiwa manusia telah terbebas
dari belenggu tubuh.[9]
Aristoteles menolak idealisme
Plato dengan mengatakan bahwa pengetahuan manusia harus berangkat dari
benda-benda kongkret yang terpersepsi indera untuk kemudian diabstraksikan
menjadi pengetahuan akal budi yang bercirikan universal. Aristoteles berpegang
pada diktumnya, “nihil est in inteleccu nisi quod prius in sensu”. Yang
artinya, “ Tidak ada satu pun yang terdapat di akal budi yang tidak lebih
dulu ada pada indra”. Berkebalikan dengan Plato, dasar filsafat pengetahuan
Aristoteles bukanlah pengingatan kembali
dari dunia ide melainkan abstraksi dari semesta kongkret menuju ide
melalui tahapan tertentu.
Metode Aristoteles pada abad pertengahan memperoleh afirmasi dan pengembangan oleh para pemikir semisal Roger Bacon, William Of Ockham, John Duns Scotus, Robert Grossette, dan Nicolaus. Namun pada abad ke-17 muncul berbagai pemikiran yang pada dasarnya menolak otoritas pandangan dunia Aristotelian yang dianggap mendominasi wacana keilmuan. Tiga pemikir besar yang nyata-nyata menyerang dan menolak otoritas Aristotelian adalah Galileo, Francis Bacon, dan Rene Descartes. Mereka beranggapan bahwa pemikiran Aristoteles terlalu spekulatif dan metafisik terutama konsep sebab final alam semesta sebagai penjelasan teologis semesta.[10] Dalam pandangan Francis Bacon, pandangan Aristoteles tidak memenuhi syarat pertama keilmiahan pengetahuan seorang ilmuan berupa kembali lagi seperti anak kecil yang polos lugu di hadapan alam. Sementara dalam pandangan Descartes, untuk lepas dari dogma-dogma dan semua tradisi, seorang manusia harus melakukan keraguan radikal yang sistemis. Keraguan radikal ini akan memberikan ide-ide yang begitu jelas dan gamblang sehingga tak tersisa keraguan sedikitpun didalamnya. Keraguan radikal Descartes ini menghasilkan tiga ide yang tidak bisa diragukan kebenarannya yaitu: ide tentang wujud yang sempurna, ide tentang diri yang berkesadaran, dan ide tentang materi yang berkeleluasan. Pengetahuan manusia tentang tiga ide tersebut didapatkan secara apriori-bawaan dan tidak melalui verifikasi empiris (aposteriori). Pada dasarnya Descartes hendak mengatakan bahwa hukum-hukum di alam merupakan konsekuensi deduktif dan kebenaran-kebenaran yang niscaya (necessary truth) yang seharusnya dikenali oleh setiap individu yang reflektif.
INDUKSI
DAN DEDUKSI
Metode induksi adalah
penarikan kesimpulan yang bertitik tolak dari data-data kongkret menuju pada kesimpulan
umum. Contoh, manusia mati minum insektisida Theodan, hewan mati minum
insektisida Match, maka kesimpulanya: makhluk hidup mati minum semua insektisida.
Masalah utama yang timbul
dari cara berpikir empiris dan dalam penyusunan pengetahuan secara induktif
adalah bahwa pengetahuan yang dikumpulkan itu cenderung hanya menjadi suatu
kumpulan fakta-fakta. Kumpulan tersebut belum tentu bersifat konsisten dan mungkin saja terdapat hal-hal yang
bersifat kontradiktif. Suatu kumpulan mengenai fakta, atau kaitan antara
berbagai fakta, belum menjamin terwujudnya suatu sistem pengetahuan yang
sistematis; kecuali kalau dia hanya “seorang kolektor barang serbaneka”. Lebih
jauh Einstein mengingatkan bahwa tak terdapat metode induktif yang memungkinkan
berkembangnya konsep dasar suatu ilmu.[11]
Metode lainya adalah metode
deduksi. Deduksi adalah cara penarikan kesimpulan dari pernyataan umum ke
pernyataan khusus. Dalam metode deduksi yang diperlukan adalah ketertiban dalam
bernalar. Antara pernyataan yang satu dengan pernyataan yang lain tidak boleh
ada kontradiksi. Selan itu, dalam metode deduksi juga dikenal tiga jenis
pernyataan: Pertama, pernyataan universal. Pernyataan yang telah diterima
sebagai sebuah aksioma, suatu kebenaran umum yang telah terjustifikasi. Kedua,
pernyataan partikular. Pernyataan yang bersifat khusus, lawan dari universal.
Ketiga, kesimpulan atau hasil penalaran deduksi. Contohnya, semua kayu dibakar
terbakar, jati adalah kayu, maka kesimpulannya adalah jati kalau dibakar
terbakar.
Seperti disebutkan pada bab
di atas bahwa premis yang digunakan oleh kaum empiris dalam menyusun
pengetahuan melalui cara deduksi didapatkan dari ide yang menurut anggapan
mereka jelas dan dapat diterima. Masalah yang timbul dari cara berpikir seperti
ini adalah mengenai kriteria untuk mengetahui akan kebenaran dari suatu ide
yang menurut seseorang adalah jelas dan dapat diterima. Suatu ide bagi si A
mungkin jelas dan dapat diterima, namun hal itu belum tentu bagi si B. Mungkin
saja bagi si B menyusun sistem pengetahuan yang sama sekali lain dengan sisitem
pengetahuan si A karena si B mempergunakan ide lain yang bagi si B merupakan
prinsip yang jelas dan dapat diterima. Jadi masalah utama yang dihadapi kaum
rasionalis dalam penyusunan pengetahuan secara deduktif adalah evaluasi dari
kebenaran premis-premis yang dipakainya dalam penalaran deduktif. Karena
premis-premis ini semuanya bersumber pada penalaran rasional yang bersifat
abstrak dan terbebas dari pengalaman maka evaluasi semacam ini tidak dapat
dilakukan. Oleh karenanya lewat penalaran rasional akan didapatkan
bermacam-macam pengetahuan mengenai satu obyek tertentu tanpa adanya suatu
konsesnsus yang dapat diterima oleh semua pihak. Dalam hal ini maka pemikiran
rasional cenderung untuk bersifat solipsistik[12]
dan subyektif.[13]
Sementara itu, sarana yang digunakan dalam penalaran berpikir logis atau ilmiah adalah bahasa, matematika, statistika.
TEORI TENTANG KEBENARAN
Untuk
menguji kebenaran dari kesimpulan yang berangkat dari proses berpikir deduktif
dan induktif biasanya menggunakan teori kebenaran korespondensi dan
konsistensi. Teori korespondensi dicetuskan oleh Aristoteles. Dia mengungkapkan
bahwa kebenaran adalah persesuaian antara pikiran dan kenyataan. Kebenaran atau
keadaan benar adalah sesuatu yang sesuai dengan fakta atau sesuatu yang selaras
dengan situasi aktual. Kebenaran ialah persesuaian antara pernyataan mengenai
fakta dengan fakta aktual; atau antara putusan dengan situasi yang
diinterpretasikan. Singkatnya, menurut teori ini kebenaran ialah kesesuaian
antara pernyataan tentang sesuatu dengan kenyataan sesuatu itu sendiri. Sebagai
contoh, “Surabaya adalah kota metropolitan”. Ini adalah sebuah pernyataan, dan
apabila kenyataanya memang “Surabaya adalah kota metropolitan”, maka pernyataan
ini benar dan merupakan suatu kebenaran. Teori ini banyak diikuti aliran
realisme dan materialisme.
Sementara itu, teori konsistensi adalah sebuah teori yang mengungkapkan bahwa suatu putusan dianggap benar apabila mendapat kesaksian oleh putusan-putusan lainya yang terdahulu yang sudah diketahui, diterima dan diakui kebenaranya. Contoh jika kita menyatakan bahwa, ”Semua manusia pasti akan mati” adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa “Si Siti adalah seorang manusia dan si Siti pasti akan mati” adalah benar pula, sebab pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan yang pertama. Berbeda dengan korespondensi yang banyak diikuti oleh kalangan realisme dan materialisme, teori konsistensi ini banyak diikuti kaum idealisme.[14]
SIKAP ILMIAH
Sikap ilmiah adalah
sikap-sikap yang seharusnya dimiliki oleh setiap ilmuwan dalam melakukan
tugasnya untuk mempelajari, meneruskan, menolak atau menerima serta merubah
atau menambah suatu ilmu. Dalam merumuskan keputusan-keputusan ilmiah para
pakar berbeda pendapat mengenai macam-macam sikap ilmiah yang harus
dikedepankan guna mencapai hasil-hasil simpulan yang baik. Menurut Prof.
Harsojo, dia menyebutkan paling tidak ada enam macam sikap ilmiah:
1). Obyektivitas
Dalam suatu peninjauan yang
dipentingkan adalah objeknya. Pengaruh subyek dalam membuat deskripsi dan
analisa seharusnya dilepaskan jauh-jauh. Meskipun tidak mungkin untuk
mendapatkan obyektivitas yang absolut, oleh karena ilmu itu sendiri merupakan
hasil budaya manusia, yang sebagai subyek sedikit banyak akan memberikan
pengaruhnya.
2). Sikap Serba Relatif
Ilmu tidak mempunyai maksud
untuk mencari kebenaran mutlak. Ilmu mendasarkan kebenaran-kebenaran ilmiahnya
atas beberapa postulat, yang secara apriori telah diterima sebagai suatu
kebenaran. Malahan teori-teori dalam ilmu sering digugurkan oleh teori-teori
lain.
3). Sikap Skeptif
Yang dimaksud dengan sikap
skeptif ialah sikap untuk selalu ragu-ragu terhadap pernyataan-pernyataan yang
belum cukup kuat dasar pembuktiannya.
4). Kesabaran Intelektual
Sanggup menahan diri dan kuat
untuk tidak menyerah kepada tekanan agar dinyatakan suatu pendirian ilmiah,
karena memang belum selesai dan cukup lengkap hasil dari penelitian, adalah
sikap utama seorang ilmuawan.
5). Kesederhanaan
Kesederhanaan sebagai sikap
ilmiah adalah kesederhanaan dalam cara berfikir, dalam cara menyatakan, dan
dalam cara pembuktian.
6). Sikap tidak Memihak pada Etik
Sikap tidak memihak pada etik dalam mempelajari dan mengembangkan ilmu pengetahuan ialah tidak mempunyai tujuan untuk pada akhirnya membuat penilaian tentang apa yang baik dan apa yang buruk, karena ilmu pengetahuan mempunayai tugas untuk mengemukakan apa yang salah dan apa yang benar secara relatif.[15]
KESIMPULAN
Aliran rasionalisme dan empirisme dengan segala kekurangan dan kelebihannya menegaskan kepada kita semua pada hakekatnya manusia adalah makhluk pencari kebenaran tentang apa-apa yang melingkupi kehidupannya. Sebuah usaha untuk memecahkan masalah keseharian yang acapkali ditemukan dalam dinamika kehidupan. Namun demikian, tidak ada kebenaran yang benar-benar final dalam dunia ilmiah. Semuanya bersifat relatif, meskipun pada hakekatnya ada juga pemikir-pemikir yang membagi kebenaran ke dalam dua bentuk: kebenaran mutlak dan kebenaran relatif. Relatifitas ilmiah inilah yang pada akhirnya akan menjadi dasar selalu berkembangnya semua disiplin ilmu pengetahuan. Walla<h A’lamu Bi al-S}awa<b.
DAFTAR PUSTAKA
Mahmud,
Abd Ali. Falsafat al-Ma’rifah Fi al-Qur’an al-Kari<m. Kairo: Majma’ Buhu<ts
al-Islamiyyah, 1973.
Al-Zaydi,
Abd. Rahma<n bin Zaiyd. Mas{a<dir al-Ma’rifah Fi<
al-Fikr al-Di<ni< Wa al-Falsafi<. Riyadh: Maktabah al-Muayyadah, 1992.
Hija<zi<,
Sami ‘Afi<fi<. al-Falsafat
al-Isla<miyyah Qada<ya<
wa Muna<qasha<t. Kairo: ttp.
Russel, Betrand.
Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Anshari,
Endang Saifuddin. Ilmu, Agama dan Filsafat. Surabaya: PT. Bina Ilmu,
1987.
Suriasumantri,
Jujun Suria. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 2001.
Keraf,
A. Sony & Dua, Mikhael. Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofis.
Yogyakarta: PT. Kanisius, 2001.
Adian,
Donny Gahral. Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan. Jakarta: PT.
Teraju, 2002.
Abd.
Mahmu<d, Ali. Falsafat al-Ma’rifah Fi> al-Qur’an al-Kari<m. Kairo: Majma’ Buhuts
al-Islamiyyah, 1973.
Surajiyo.
Filsafat Ilmu dan Perkembanganya di Indonesia. Jakarta: PT. Bumi Aksara,
2009.
[1] Ali Abd. Mahmu<d, Falsafat
al-Ma’rifah Fi al-Qur’an al-Kari<m (Kairo: Majma’
Buhu<ts al-Isla<miyyah, 1973), 265.
[2] Donny Gahral Adian,
Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan, ed. M. Saleh Mude, et al. (Jakarta:
PT. Teraju, 2002), 41.
[3]Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembanganya di Indonesia (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2009), 33.
[4] A. Sony Keraf &
Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofis (Yogyakarta: PT.
Kanisius, 2001), 43-44.
[5] Donny Gahral Adian, Menyoal
Objektivisme Ilmu Pengetahuan, ed. M. Saleh Mude, et al. (Jakarta: PT.
Teraju, 2002), 39-40.
[6] Abd. Rahma<n bin Zayd al-Zaidi<, Mas{a<dir
al-Ma’rifah Fi< al-Fikr al-Di<ni< Wa al-Falsafi< (Riyadh: Maktabah
al-Muayyadah, 1992), 438.
[7] Dr. Sami ‘Afi>fi<
Hija<zi<, al-Falsafat al-Isla<miyyah Qad{a<ya<
wa Muna<qasha<t
(Kairo: Tanpa Tahun dan Penerbit), 117.
[8] A. Sony Keraf &
Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofis (Yogyakarta: PT. Kanisius, 2001), 49-50.
[9] Donny Gahral Adian, Menyoal
Objektivisme Ilmu Pengetahuan, ed. M. Saleh Mude, et al. (Jakarta: PT.
Teraju, 2002), 30-38.
[10] Konsep Aristoteles
tadi ialah sebab materi, sebab efesien, sebab formal, dan sebab final.
Keterangan lebih lanjut bisa dilihat dalam Buku “Menyoal Obyektivitas ilmu
Pengetahuan” karangan Dony Gahral Adian dan “Sejarah Peradaban Filsafat Barat”
karangan Betrand Russel.
[11] Jujun S.
Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001), 52.
[12] Hanya benar dalam
kerangka pemikiran tertentu yang berada dalam benak orang yang berpikir
tersebut.
[13] Jujun S.
Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001), 51.
[14] Endang Saifuddin
Anshari, Ilmu, Agama dan Filsafat (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987), 18-25.
[15] Endang Saifuddin Anshari,
Ilmu, Agama dan Filsafat (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987), 56-57.
0 Comment