Sebagaimana yang telah disebutkan, bahwa
pergolakan Kaum Tua dan Kaum Muda
telah melahirkan berbagai macam karya
intelektual. Selain dikarenakan oleh iklim pergolakan itu, terdapat pula karya-karya yang ditulis
untuk semata-mata ilmu, tanpa pengaruh
pergolakan itu. Ditambah
dengan munculnya berbagai percetakan Arab masa itu,
sebahagian karya itu dicetak dan tersebar
ditengah masyarakat, sebahagian lainnya masih dalam bentuk tulisan
tangan (makhtuthah). Bisa dibayangkan betapa banyak ulama yang ikut andil dalam pergolakan dan menulis, namun disayangkan sebahagian besar karya itu tidak sampai
ketangan kita saat ini.[1] Sebahagiannya hanya tinggal cerita, bahwa si-fulan pernah mengarang
buku, tapi wujud buku itu entah ada dimana.
Disamping dalam bentuk risalah (buku) para ulama di awal abad XX juga gemar menulis,
menuangkan idenya dalam berbagai
majalah atau surau khabar. Diketahui bahwa pada masa ini tampak kecendrungan bangkitnya pers, hal ini didorong oleh munculnya percetakan-percetakan. Beberapa
tokoh ulama kala itu sangat berperan
dalam hal ini. terdapat puluhan nama majalah
yang berdedikasi tentang masalah-masalah
agama yang diasuh oleh masing-masing golongan, kaum Tua dan kaum Muda. Majalah-majalah keagamaan yang dapat dicatat disini ialah Soeloeh
Melajoe di Padang, al-Moenir di
Padang, al-Akhbar di Padang,
al-Mizan di Maninjau, ar-Radd wal Mardud, al-Ittiqan di
Maninjau, al-Manarul Munir di Padang Panjang, Soearti (Soeara Tarbijah
Islamijah) di Bukittinggi, al-Inshaf di
Suliki, al-Bayan di Parabek, al-Iman di Padang Japang,
al-Basyir di Batusangkar, dan
lainnya.46[2]
Majalah-majalah ini telah membuka ruang untuk
bertanya jawab dalam masalah Agama dan juga dalam majalah- majalah tersebut diterbitkan
artikel-artikel keagamaan yang ditulis oleh
ulama-ulama kenamaan masa itu, seperti Syekh Khatib ‘Ali Padang, Dr. H. Abdullah Ahmad, Dr. Abdul Karim Amrullah, Syekh Sulaiman ar-Rasuli, Syekh Muhammad
Jamil Jaho, Syekh Hasan Bashri Maninjau, Zainuddin
Labai el-Yunusi, H. Sirajuddin Abbas, dan lainnya.
Dibawah
ini dicantumkan beberapa
Ulama terkemuka Minangkabau yang ikut andil dalam pergolakan di awal abad XX tersebut
berikut karya-karya mereka yang dapat diidentifikasi. Sebahagian karya itu telah diperoleh,
sebahagian lainnya masih berupa
catatan. Identifikasi ini tentu
mengesampingkan beberapa ulama serta
karyanya yang belum dapat ditelusuri, seperti Syekh Abdurrahman Alahan Panjang
yang menulis al-Kasyaf-nya, sebuah buku fiqih dengan analisis
Tasawuf; Syekh Harun Toboh Pariaman
dengan Falahan Mubtadi, yang membuat
geger Kaum Muda; dan lainnya. Catatan
ini juga mengesampingkan beberapa karya ulama yang berbentuk
manuskrip, seperti karya Syekh Muhammad
Salim Sikabu-kabu yang mengarang Kitab Naqsyabandiyah, dengan analisis falsafinya.
Sebelumnya, perlu disinggung bagaimana
karakter umum karya-karya ulama di abad ini. Lazimnya,
karya-karya ulama yang ditulis di awal abad XX ini sama dengan karya-karya sebelumnya, menggunakan huruf Arab berbahasa
Melayu atau Minang (Arab melayu), atau dalam bahasa
Arab sendiri. Susunan kalimat dalam
karya-karya itu dipengaruhi oleh tata bahasa Arab, seperti “bermula” yang mengisyaratkan mubtada dalam bahasa Arab.
Kata-kata yang digunakan banyak diserap dari kata-kata Arab. Satu kecendrungan yang khas dimasa ini ialah, sebahagian karya-karya itu ditulis dalam bentuk
sajak, atau dikenal dengan nazhm atau sya’ir,47[3] disusun
menyerupai syi’ir Arab dengan bagian shudur dan ajzu’. Maka untuk yang terakhir ini,
jadilah seorang tokoh sebagai ulama sekaligus pujangga,
dimana karyanya populer, disenangi
bahkan dihapal untuk dinyanyikan.
(1). Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (1860-1916)
Beliau
merupakan seorang Ulama
terkemuka di akhir abad XIX hingga awal abad XX. Satu-satunya ulama non-Arab memperoleh kedudukan prestisius sebagai Imam dalam Mazhab Syafi’i
di Mekah.[4]
Beliau
dilahirkan di Kota Gadang Bukittinggi, Luak Agam, pada 6 Zulhijjah 1860. Pada usia 11 tahun, dia dibawa ayahnya Abdullatif ke Mekah, tepatnya pada tahun
1871.[5]
Sesampai di Mekah beliau kemudian
belajar kepada berbagai ulama, hingga dikenal
sekalu ulama besar dan mengajar di kota suci ini.[6]
untuk kemudian beliau diangkat sebagai
Imam dan Khatib dalam Mazhab Syafi’i.
Sangatlah besar pengaruh beliau terhadap
dinamika keislaman di awal Abad XX. Beliau pulalah yang mula-mula membatalkan Tarikat Naqsyabandiyah yang ada di Minangkabau lewat karya- karyanya. Dalam hal harta pusaka beliau
sangat keras, hingga dikarangnya sebuah kitab menerangkan bebalnya adat harta pusaka
itu di Minangkabau. Dengan demikian, dari masa beliau ini, dimulainya pergolakan kaum Tua dan kaum Muda tersebut. Murid-murid beliau bertebaran di tanah
Melayu dan kemudian banyak menjadi
ulama terkemuka, diantaranya Syekh Muhammad
Nur Qadhi Langkat, Syekh Hasan Maksum Qadhi Deli, Syekh Muhammad
Shaleh Qadhi Selangor,
Syekh Muhammad Zein Mufti
Perak, DR. Abdul Karim Amrullah, Syekh Jamil Jambek, Syekh Sulaiman ar-Rasuli (Perti), Syekh Hasyim Asy’ari (NU), Syekh Ahmad Dahlan
(Muhammadiyah), Syekh Muhammad Jamil Jaho, DR. Abdullah Ahmad
dan lainnya.[7] Sejak beliau berangkat ke Mekah dimasa kecilnya, beliau hanya sekali pulang meninjau
kampungnya, setelah itu kembali ke Mekah dan menetap di sana hingga akhir hayatnya.
Diantara karangan-karangan beliau ialah:
1) Izhharuz zaghlil
Kazibin fi Tasyabbuhihim bis Shadiqin
Kitab ini merupakan kitab yang mula-mula secara gamblang mengkritik tarikat Naqsyabandiyah, yang ditujukan
kepada kaum muslimin
di ranah Minang.[8] Penulisan
kitab berdasarkan pertanyaan seseorang, yang tak lain ialah Abdullah Ahmad (direktur al-Moenir), yang dilayangkan kepada Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi di Mekah. Pertanyaan itu terdiri dari 5 hal yang
berhubungan dengan Tarikat Naqsyabandiyah yang saat ini populer di Minangkabau, yaitu (1) Tarikat
Naqsyabandiyah adakah asalnya pada syara’ atau tidak; (2) Adakah
silsilahnya sampai kepada Rasulullah atau tidak; (3) Adakah meninggalkan makan daging ada asalnya pada syara’ atau tidak; (4) Adakah Suluk itu asalnya
pada syara’ atau tidak; dan
(5) Adakah Rabithah itu asalnya pada syara’ atau tidak.[9]
Pertanyaan ini dijawab oleh Syekh Ahmad Khatib: (1) Tarikat Naqsyabandiyah itu tidak asal pada
syara’, yang ada Cuma talqin perorangan yang disebutkan dalam
hadist. Sedangkan amalan-amalan seperti
Khatam Khawajakan, Tawajuh dan
lainnya hanya buatan khalifah-khalifah Naqsyabandiyah saja;
(2) Silsilah
yang sampai kepada
Rasulullah hanya talqin
perorangan saja;
(3) meninggalkan makan daging tidak ada
asal pada syara’; (4) Suluk tidak diperbuat oleh Nabi
dan Sahabat; (5) Rabithah
tidak ada asal pada Syara’.[10]
Diakhir risalah ini dicantumkan fatwa beberapa ulama di Mekah mengenai Tarikat
Naqsyabandiyah.[11]
Naskah
kitab ini dikirim ke Padang pada tanggal 4 zulkaedah 1905, dicetak tahun 1906. Kemudian ini beredar dengan cepat ke tengah-tengah masyarakat. Sontak saja
kitab ini membuat kehebohan yang
besar di tengah masyarakat, karena Tarikat Naqsyabandiyah telah menjadi pakaian
ulama-ulama di Minangkabau. Timbul selang sengketa,
bahkan ada yang saling mengkafirkan.
2)
Al-Ayatul Bayyinat lil Munshifin fi Izalati Khurafat
Ba’dh Muta’assibin
Risalah ini merupakan i’tiradh
(bantahan) terhadap risalah Syekh Muhammad Sa’ad Mungka yang menangkis risalah
Izhar, menegakkan Tarikat Naqsyabandiyah. Buku ini menambah kecaman terhadap Tarikat
Naqsyabandiyah, sebab isinya lebih padat dari Izhhar.
Dalam Risalah ini Syekh Ahmad Khatib meluaskan
pembicaraannya mengenai Rabithah,
sehingga persoalan ini mendominasi al-Ayat al- Bayyinat ini.[12] Diawal risalah ini Syekh Ahmad Khatib menegaskan beberapa tradisi yang telah mendarah
daging yang menurut hematnya
melanggar syara’.[13] Kemudian pada lembar-lembar selanjutnya Syekh Ahmad Khatib mengoreksi satu persatu pernyataan Syekh Sa’ad Mungka.
3) As-Saiful Battar
fi Mahqi Kalimati
Ba’dh Ahlil Ightirar
Isi kitab ini merupakan tanggapan
terhadap sepucuk surat yang
kirim kepada Syekh Ahmad Khatib, penulis surat ini ialah Syekh Abdullah al-Khalidi Tanah Datar. Dalam surat ini disebutkan bahwa Syekh Ahmad Khatib telah keterlaluan membatalkan Tarikat Naqsyabandiyah yang telah lama di amalkan oleh ulama-ulama besar. Kata-kata
dalam surat ini dianggap Syekh Ahmad Khatib terlampau kasar terhadap pribadinya,[14] sehingga
beliau merasa haru menulis risalah
untuk menangkis isi surat tersebut.
4) Fathul Mubin fi ma yata’allaqu bi umuriddin
Kitab ini berisi tentang dasar-dasar ilmu keislaman.
Penulisan kitab ini mengisyaratkan
bahwa kitab ini diperuntukkan bagi mereka yang berkeinginan kuat, namun lemah memahami kitab-kitab Arab. Isinya terdiri 4 pokok
bahasan, yaitu yang pertama pada menyatakan Tauhid dan ashal agama, yang kedua pada menyatakan ibadah yang empat, yaitu sembahyang, zakat, puasa dan haji, Dan
kitab yang ketiga pada syari’at dan
tarikat dan hakikat. Dan satu khatimah (penutup). Bagian ketiga kitab
ini menarik untuk disimak, sebab pada fasal yang cukup panjang ini Syekh Ahmad Khatib
menjelaskan pendirian beliau bahwa ilmu Tarikat dan Hakikat sangat penting
untuk dituntut. Kemudian
beliau mengisyaratkan bahwa ilmu Tarikat dan Hakikat ini tidak
boleh keluar dari jalur syara’, dengan artinya kedua vak ilmu ini berkesesuaian.beliau mengisyaratkan: Ketahuilah olehmu akan bahwasanya tiap-tiap
orang yang hendak menjalani jalan akhirat, lazimlah
atasnya bahwa menghimpunkan ia akan syari’at dan
tarikat dan hakikat. Karena hakikat dengan tiada
syari’at batal, dan syari’at dengan tiada hakikat tiada berfaedah.[15]
Dengan demikian risalah ini menjadi
cerminan pemikiran Tasawuf-nya Syekh
Ahmad Khatib, diman beliau bukanlah seorang
yang antipati akan Tarikat.
5)
Ad-Da’il Masmu’ fir Radd ‘ala man Yuwarits al-Ikhwn
wal Aulad akhwat ma’a wujudil
Ushul wal Furu’
Disamping risalahnya tentang
Tarikat yang menggegerkan masyarakat Minangkabau, maka risalah ini menambah deretan
kecaman beliau terhadap
tradisi di tanah tumpah darahnya. Kitab ini secara khusus mengecam
pendirian harta pusaka di Minangkabau. Beliau termasuk orang yang berkarakter keras dalam hal ini, hingga
beliau mengatakan bahwa orang Minang
itu telah memakan harta haram, yaitu harta pusaka yang menurut
hemat beliau ialah syubhat.[16] Disamping
itu beliau juga menolak pewarisan
kepada kemenakan, sebagai yang
dijalankan adat Minang. Kitab ini ditulis dalam bahasa Arab.
Cetakannya disertai dengan satu
risalah
pada hamisy (tepi)-nya dibawah tajuk al-Qaulul
Mubram fi ann mana’al Ushul wal Furu’ man arratsahum al- muharram
karya gurunya Sayyid Bakr Syatha,
yang juga menguraikan pewarisan-pewarisan yang diharamkan.
6)
Al-Manhajul Masyru’
Karya ini ialah versi terjemahan dari risalah ad-Da’il Masmu’. Penerjemahan kitab ad-Da’il Masmu’ ini berdasarkan permintaan beberapa orang minang kepada
Syekh Ahmad Khatib supaya menulis
dalam jawi (arab melayu) mengenai warisan tersebut. Kitab
ini bukan semata- mata terjemahan dari karyanya itu, namun Syekh Ahmad Khatib juga menambahkan dalam kitab ini
beberapa kajian yang berkaitan
dengan waris, diantaranya ilmu Hisab dan Munasakhah.
Dalam muqaddimah-nya Syekh Ahmad
Khatib menegaskan bahwa penulisan ini dengan maksud untuk menasehati kaum kerabatnya orang Minang yang yang menyalahi
syari’at dalam harta pusaka.[17] Terjemahan ini lantas menjadi
bacaan orang-orang Minang, sehingga menjadi
topik hangat pula diawal abad XX
tersebut.
7)
Khittatul Mardhiyyah fi Raddi Syubhati man Qala
bibid’ati talaffudzi bin Niyyati
Masalah melafazhkan niat, atau yang dikenal dengan Ushalli, menjadi perdebatan
yang begitu alot di awal abad XX di Sumatera. Sebahagian kelompok yang
disokong oleh ulama- ulama kaum Muda
telah mengembar-gemborkan faham yang menyatakan ushalli itu
bid’ah yang menyalahi syari’at. Padahal sebelum itu, perkara ushalli telah menjadi amalan yang telah diamalkan oleh kaum muslimin di
pulau perca ini. selain itu dalam
kitab-kitab fiqih yang menjadi
literatur para ulama, mulai dari kitab kecil hingga kitab-kitab kategori
besar, telah menguraikan bahwa ushalli
ialah sunnat, untuk penolong
hati ketika memasukkan niat dalam muqarinah-nya.
Faham ulama-ulama muda tersebut kemudian
mendapat respon yang begitu
hangat dari ulama-ulama tua yang tetap teguh
dalam Mazhab Syafi’i. Diantaranya
dari ulama besar, Syekh Ahmad Khatib Minangkabau. Meski beliau sering dikatakan
sebagai sebagai guru dari ulama-ulama muda di Minangkabau,
namun dalam furu’ syari’at beliau
tetap teguh dalam Mazhab Syafi’i,
Cuma dalam masalah Tarikat sajalah beliau berbeda dengan ulama-ulama terdahulu.
Dalam Khuttatul
Mardhiyyah Syekh Ahmad Khatib menguraikan masalah Ushalli secara gamblang,
dengan cukup dalil, hujjah yang begitu luas. Dalam kitab
yang yang berjumlah lebih dari 100
halaman ini Syekh Ahmad Khatib mendudukan bahwa ushalli termasuk sunnat,
kemudian beliau membantah
perkataan yang menyalahi
ushalli, diantaranya Ibnu Qayyim al-Jauziyah.
Dalam muqaddimah-nya,
Syekh Ahmad Khatib menjelaskan bahwa datangnya
faham bahwa ushalli itu
bid’ah ialah karangan-karangan Ibnu Qayyim al-Jauzi,
diantaranya kitab Zaadul Ma’ad. Kemudian
Syekh Ahmad Khatib mengomentari keterangan kitab tersebut dengan bahasa melayu yang cukup menawan, menunjukkan
keluasan ilmu beliau.[18]
Kitab ini dicetak pada Mathba’ah Tarqi al-Majdiyah,
Mekah, pada tahun 1906, atas biaya dari beliau sendiri.
8)
Ar-Riyadhul Wardhiyyah fil Ushulit Tauhidiyyah wal
Furu’il Fiqhiyyah
Risalah
ini berisi tuntunan lengkap
dalam akidah (Tauhid) dan beribadah
(Fiqih) yang dibicarakan dengan agak mendalam. Dimulai dengan
pengetahuan-pengetahuan dasar dalam
ilmu Tauhid, mencakup hukum akal, masalah Iradat kemudian mengupas Sifat Dua Puluh. Kemudian
masuk kepada pembahasan masalah Fiqih, mulai dari Taharah
hingga Haji, ditambah dengan penyembelih korban, tentang makanan yang halal dan haram dan Akikah.
Terakhir kitab ini dilengkapi dengan tanya jawab seputar isu-isu
keagamaan dimasa itu.[19] Nampak
kitab ini merupakan satu dedikasi keilmuan beliau untuk muslim Melayu, tepatnya
Minangkabau, karena ditulis
dengan huruf jawi dengan bahasa
yang sederhana.
Diantara karya-karya Syekh Ahmad Khatib
al-Minangkabau lainnya ialah:
1. An-Nafahat Syarh Waroqot
2. Sulhul Jum’ati
3. Iqna’un Nufus
4. Raf’ul Iltibas
5. Irsyadul Haraya
6.
Tanbihul Awam (tentang masalah
Syarikat Islam)
7. Istbatuz Zein
[1] Pernah sebahagian karya-karya
ini dikumpulkan oleh Tim Islamic Centre
Sumatera Barat yang saat itu dipimpin oleh Prof. Sanusi Latief. Namun suatu hal tragis terjadi, kitab-kitab itu
kecurian. Konon ada yang membawa kitab itu dengan mobil
besar.
[2] M. Sanusi Latief, op. cit., hal. 300-301; DDP Perti, Perjuangan
PERTI dan Pribadi KH. Rusli Abdul Wahid (Jakarta: DDP PERTI, 1992)
hal. 140-141
[3] Untuk sastra jenis ini, baca
lebih lanjut V.I. Braginsky, Yang Indah, Berfaedah dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu dalam Abad 7 – 19 (Jakarta: INIS, 1998) terutama
hal. 225 dst…
[4] Ulama ini jangan dicampurkan
dengan ulama lain yang namanya serupa yaitu Syekh Ahmad Khatib Sambas,
pendiri Tarikat Qadariyah
wa Naqsyabandiyah, penulis
kitab Fathul ‘Arifin.
[5] Hamka, Ayahku: Riwayat Hidup DR. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera (Jakarta:
Umminda, 1982) hal. 272; Tim Islamic
Centre, Riwayat Hidup dan Perjuangan 20
Sumatera Barat (Padang: Islamic Centre
Sumatera Barat, 1981) hal. 16
[6] Namun kita tidak mempunyai
satu catatan agak lengkap mengenai guru-gurunya di Mekah. Keadaan
seperti ini membuat
sebahagian orang beranggapan miring padanya, seperti
Snouck Hurgronje. Sehingga
Snouck menyebutkan, dengan nada sinis, bahwa Syekh Ahmad Khatib mendapat kedudukan
karena mertuanya yang kaya, Shaleh Kurdi. Mertuanya
ini juga mempunyai took kitab besar di Mekah,
memungkinkan Ahmad Khatib untuk banyak membaca
di Toko ini, lihat Karel A.
Steenbrink, op. cit., hal. 140-141
[7] Baca lebih lanjut Masduki
HS, dkk, Intelektualisme Pesantren
(Jakarta: Diva Pustaka, 2004) jilid 2, hal. 85-91; Hamka, op. cit., hal. 271-274; Tim Islamic Centre, op. cit., hal. 15-19; lihat pula perdebatan mengenai sosok beliau
dalam Karel A. Steenbrink, op. cit., hal. 139-149
[8] Lihat Schrieke, op. cit., hal.
30-31
[9] Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Izhharuz Zaghlil
Kazibin fi Tasyabbuhihim bis Shadiqin (Mesir:
at-Taqdumul Ilmiyah bi Darbid Dalil, 1908) hal. 3-4
[10] Lihat ringkasannya dalam M.
Sanusi Latief, op. cit., hal.
395-411; kitab ini kemudian dialih
aksarakan oleh MA. Arief di era 70-an, disertai dengan alih aksara kitab Tablighul
Amanah yang mengecam H. Jalaluddin, lihat MA. Arief, Fatwa Tentang Tarikat Naqsyabandiyah (Medan: Firma Islamyah, 1978).
[11] Lihat Syekh Ahmad Khatib
al-Minangkabawi, op. cit., hal.
139-141
[12] Lihat ringkasannya dalam M. Sanusi Latief, op. cit.,
hal. 422-427
[13] Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, al-Ayat al-Bayyinat lil Munshifin fi Izalati Khurafat
Ba’dh Muta’ashisibin (Mesir: at-Taqdum al- Ilmiyah
bi Darbil dalil, 1908) hal. 2-6
[14] Syekh Ahmad Khatib
al-Minangkabawi, as-Saiful Battar fi
Mahqi Kalimati Ba’dhil Ahlil Ightirar
(Mesir at-Taqdum Ilmiyah bi Bardid Dalil, 1908) hal. 2
[15] Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Fathul Mubin fima yata’allaqu bi umurid Din (Mekah: Mathba’ah
al-Miriyah, 1901) hal. 17
[16] Syekh Ahmad Khatib
al-Minangkabawi, Ad-Da’il Masmu’ fir Radd ‘ala man Yuwarits
al-Ikhwn wal Aulad akhwat ma’a wujudil Ushul wal Furu’(Mesir: Mathba’ah al-Maimuniyah, 1889) terutama bagian muqaddimah.
[17] Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, al-Minhajul Masyru’
terjemah Kitab ad-Da’il Masmu’ pada Hukum Orang yang Menyalahi Syari’at pada Pusaka dan pada ilmu Fara’idh (Mekah: Syekh Shaleh Kurdi, 1891) hal. 3
[18] Lihat Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Khuttatul Mardhiyyah fi Radd Syubhah man Qala
bibid’atin Talaffuzh bin Niyyah (Mekah:
Mathba’ah Tarqil Majdiyah, 1906) hal.
2-3
[19] Lihat Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Inilah Kitab Ar-Riyadhul Wardhiyyah fil Ushulit Tauhidiyyah wal Furu’il Fiqhiyyah
(Mesir: Mahmud Taufiq,
1891). Bagian yang membahas Tauhid yaitu dari hal. 3-20, Fiqih hal. 21- 159 dan Tanya Jawab 159-tamat.
0 Comment