MASUKNYA ISLAM KE INDONESIA
Islam masuk ke
Indonesia pada abad pertama hijriyah atau abad ke tujuh sampai abad ke delapan masehi.
Ini mungkin didasarkan kepada penemuan batu nisan seorang wanita muslimah yang
bernama Fatimah binti Maimun dileran dekat Surabaya bertahun 475 H atau 1082 M.
Sedang menurut laporan seorang musafir Maroko Ibnu Batutah yang mengunjungi
Samudera Pasai dalam perjalanannya ke negeri Cina pada tahun 1345 M.
Agama Islam yang
bermahzab Syafi’i telah mantap disana selama se abad, oleh karena itu
berdasarkan bukti ini abad ke XIII di anggap sebagai awal masuknya agama Islam
ke Indonesia. Daerah yang pertama-pertama dikunjungi ialah: Pesisir Utara pulau
Sumatera, yaitu di peureulak Aceh Timur, kemudian meluas sampai bisa mendirikan
kerajaan Islam pertama di Samudera Pasai, Aceh Utara. Pesisir Utara pulau Jawa
kemudian meluas ke Maluku yang selama beberapa abad menjadi pusat kerajaan
Hindu yaitu kerajaan Maja Pahit.
Pada permulaan
abad ke XVII dengan masuk Islamnya penguasa kerajaan Mataram, yaitu: Sultan
Agung maka kemenangan agama Islam hampir meliputi sebagai besar wilayah
Indonesia. Sejak pertengahan abad ke XIX, agama Islam di Indonesia secara
bertahap mulai meninggalkan sifat-sifatnya yang Singkretik (mistik).
BAB
II
PEMBAHASAN
PERADAPAN
ISLAM DI INDONESIA SEBELUM PENJAJAH
A. Teori Masuknya Islam di
Indonesia
Islam di Indonesia baik secara historis
maupun sosiologis sangat komplek, terdapat beberapa masalah, mislanya tentang
sejarah dan perkembangan awal Islam. Islam dalam batasan tertentu disebarkan
oleh pedagang, kemudian dilanjutkan oleh para guru agama (da’i) dan pengembara
sufi. Orang yang terlibat dalam kegiatan dakwah pertama itu tidak bertendensi
apa pun selain bertanggung jawab menunaikan kewajiban tanpa pamrih, sehingga
nama mereka berlalu begitu saja. Tidak ada catatan sejarah atau prasasti
pribadi yang sengaja dibuat mereka untuk mengabadikan pesan mereka, ditambah
lagi wilaya Indonesia yang sangat luas dengan perbadaan kondisi dan situasi.
Oleh karena itu wajar kalau terjadi perbedaan tentang kapan, dari mana, dan
dimana pertama kali Islam datang di Nusantara. Namun, secara garis besar
perbedaan pendapat itu dapat dibagi menjadi sebagai berikut:[1]
a.
Pendapat pertama di pelopori
oleh serjana-serjana orientalis Belanda, diantaranya Snouck Hurgonje yang
berpendapat bahwa Islam datang ke Indonesia pada abad ke-13 M dari Gujarat
(bukan dari Arab langsung) dengan bukti ditemukannya makam sultan Malik
as-Sholeh, raja pertama kerajaan Samudra Pasai yang dikatakan berasal dari
Gujarat.
b.
Pendapat kedua
dikemukakan oleh sarjana Muslim, di antaranya Prof Hamka, yang mengadakan
“Seminar Masuknya Islam ke Indonesia” di Medan tahun 1963. Hamka dan
teman-temannya perbendapat bahwa Islam sudah datang ke Indonesia pada abad
pertama Hijriah (abad ke-7 sampai ke-8 M) langsung dari Arab dengan bukti jalur
pelayaran yang ramai dan bersifat internasional sudah dimulai jauh sebelum abad
ke-13 (yaitu sudah ada sejak abad ke-7 M) melalui Selat Malaka yang
menghubungkan dengan Dinasti Tang di Cina (Asia Timur), Sriwijaya di Asia
Tenggara dan Bani Umayyah di Asia Barat.
c.
Sarjana Muslim
kontemporer seperti Taufik Abdullah mengkompromikan kedua pendapat tersebut.
Menurut pendapatnya memang benar Islam sudah datang ke Indonesia sejak abad
pertama Hijriah atau abad ke-7 atau ke-8 M, tetapi baru dianut oleh para
pedagang Timur Tengah di pelabuhan-pelabuhan. Barulah Islam masuk secara
besar-besaran dan mempunyai kekuasaan politik pada abad ke-13 dengan berdirinya
kerajaan Samudra Pasai. Hal ini terjadi akibat arus balik kehancuran Bagdad
menyebabkan aktivitas perdagangan ke arah Asia Selatan, Asia Timur dan Asia
Tenggara.
B. Strategi Penyebaran Islam
di Indonesia
Kedatangan Islam dan penebarannya kepada
golongan bangsawan dan rakyat umumnya, dilakukan secara damai. Apabila situasi
politik suatu kerajaan mengalami kekacauan dan kelemahan disebabkan perebutan
kekuasaan di kalangan keluarga istana, maka Islam dijadikan alat politik bagi
golongan bangsawan atau pihak-pihak yang menghendaki kekuasaan itu. Mereka
berhubungan dengan pedagang-pedagang Muslim yang posisi ekonominya kuat karena
menguasai pelayaran dan perdagangan. Apabila kerajaan Islam sudah berdiri,
penguasanya melancarkan perang terhadap kerajaan non-Islam. Hal itu bukan
karena dorongan politis untuk menguasai kerajaan-kerajaan di sekitarnya.
Menurut Uka Tjandrasasmita, saluran-saluran Islamisasi yang berkembang ada
enam, yaitu: [2]
1.
Saluran perdagangan
Pada taraf permulaan, saluran islamisasi
adalah perdagangan. Kesibukan lalu lintas perdagangan pada abad ke-7 hingga
ke-16 M. Membuat pedangang-pedagang Muslim (Arab, Persia dan India) turut ambil
bagian dalam perdagangan dari negeri-negeri bagian barat, tenggara dan Timur
Benua Asia. Saluran Islamisasi melalui perdagangan ini sangat menguntungkan
karena raja dan bangsawan turut serta dalam kegiatan perdagangan, bahkan mereka
menjadi pemilik kapal dan saham.
2.
Saluran perkawinan
Dari sudut ekonomi, para pedangang Muslim
memiliki status sosial yang lebih baik dari pada kebanyakan pribumi, sehingga
penduduk pribumi, terutama putri-putri bangsawan, tertarik untuk menjadi istri
saudagar-saudagar itu. Sebelum kawin, mereka diislamkan lebih dahulu. Setelah
mereka mempunyai keturunan, lingkungan mereka makin luas. Akhirnya, timbulah
kampapung-kampung, daerah-daerah, dan kerajaan-kerajaan Muslim. Dalam
perkembangan berikutnya, ada pula wanita Muslim yang dikawini oleh keturunan
bangsawan, tentu saja setelah yang terakhir ini masuk Islam terlebih dahulu.
Jalur perkawinan ini lebih menguntungkan apabila terjadi antara saudagar Muslim
dengan anak bangsawan atau bangsawan itu kemudian turut mempercepat proses
Islamisasi. Demikian yang terjadi antara Raden Rahmat atau Sunan Ngampel dengan
Nyai Manila, Sunan Gunung Jati dengan putri Kawunganten, Brawijaya dengan putri
Campa yang menurunkan Raden Patah (raja pertama Demak), dan lain-lain.
3.
Saluran Tasawuf
Pengajar-pengajar tasawuf atau para sufi,
mengajaran teosofi yang bercampur dengan ajaran yang sudah dikenal luas oleh
masyarakat Indonesia. Mereka mahir dalam soal-soal magis dan mempunyai
kekuatan-kekuatan menyembuhkan. Di antara mereka ada juga yang mengawini
putri-putri bangsawan setempat. Dengan tasawuf, “bentuk” Islam yang diajarkan
kepada penduduk pribumi mempunyai persamaan dengan alam pemikiran mereka yang
sebelumnya menganut agama Hindu, sehingga agama baru itu mudah dimengerti dan
diterima. Di antara ahli-ahli tasawuf yang memberikan ajaran yang mengandung
persamaan dengan alam pikiran Indonesia pra-Islam itu adalah Hamzah Fansuri di
Aceh, Syikh Lemah Abang dan Sunan Panggung di Jawa. Ajaran mistik seperti ini
masih berkembang di abad ke-19 M bahkan di abad ke-20 M. Menurut Taufik Abdullah para sufi mengajarkan
Islam melalui dua cara:[3]
a.
Dengan membentuk kader
mubalig, agar mampu mengajarkan serta menyebarkan agam Islam di daerah.
b.
Melalui karya-karya tulis
yang tersebar dan dibaca di berbagai tempat. Di abad ke-17, Aceh adalah pusat
perkembangan karya-karya keagamaan yang ditulis para ulama dan para sufi.
4.
Saluran Pendidikan
Islamisasi juga dilakukan melalui
pendidikan, baik pesantren maupun pondok yang diselenggarakan oleh guru-guru
agama, kiai-kiai dan ulama-ulama. Di pesantren atau pondok itu, calon ulama,
guru agama dan kiai mendapat pendidikan agama. Setelah keluar dari pesantren
yang didirikan oleh Raden Rahmat di Ampel Denta Surabaya dan Sunan Giri di
Giri. Keluaran pesantren Giri ini banyak yang diundang ke Maluku untuk
mengajarkan agama Islam.[4]
5.
Saluran Kesenian
Saluran Islamisasi melalui kesenian yang
paling terkenal adalah pertunjukan wayang. Dikatakan, Sunan Kalijaga adalah tokoh
yang paling mahir dalam mementaskan wayang. Dia tidak pernah meminta upah
pertunjukan, tetapi ia meminta para penonton untuk mengikutinya mengucapkan
kalimat syahadat. Sebagian besar cerita wayang masih dipetik dari cerita
Mahabharata dan Ramayana, tetapi di
dalam cerita itu disisipkan ajaran dan nama-nama pahlawan Islam.
Kesenian-kesenian lain juga dijadikan alat Islamisasi, seperti sastra (hikayat,
babad dan sebagainya), seni bangunan dan seni ukur.[5]
6.
Saluran Politik
Di Maluku dan Sulawesi Selatan, kebanyakan
rakyat masuk Islam setelah rajanya memeluk Islam terlebih dahulu. Pengaruh
politik raja sangat membantu tersebarnya Islam di daerah ini. Di samping itu,
baik di Sumatera dan Jawa maupun di Indonesia bagian timur, demi kepentingan
politik, kerajaan-kerajaan Islam memerangi kerajaan-kerajaan non-Islam.
Kemenangan kerajaan Islam secara politik banyak menarik penduduk kerajaan bukan
Islam itu masuk Islam.[6]
C. Kerajaan-Kerajaan Besar
Islam di Indonesia
Di daerah-daerah yang sedikit sekali disentuh
oleh kebudayaan Hindu-Budha seperti daerah Aceh
dan Minangkabau di Sumatera dan Banten di Jawa, agama Islam secara
mendalam mempengaruhi kehidupan agama, sosial dan politik penganut-penganutnya
sehingga daerah-daerah tersebut agama Islam itu telah menunjukkan diri dalam
bentuk yang lebih murni. Di kerajaan-kerajaan tersebut agama Islam tertanam
kuat sampai Indonesia merdeka.[7]
Kerajaan-kerajaan Islam yang berkembang di Indonesia adalah sebagai berikut:
1.
Kerajaan Samudra Pasai
Pasai didirikan pada abad ke-11 oleh
Meurah Khair. Kerajaan ini terletak dipesisir Timur Laut Aceh. Kerajaan ini
merupakan kerajaan Islam pertama di Indonesia. Pendiri dan raja pertama
Kerajaan Samudra Pasai adalah Meurah Khair. Ia bergelar Maharaja Mahmud Syah
(1042-1078). Pengganti Meurah Khair adalah Maharaja Mansyur Syah dari tahun
1078-1133. Pengganti Maharaja Mansyur Syah adalah Maharaja Ghiyasyuddin Syah dari
tahun 1133-1155. Raja Kerajaan Samudra Pasai berikutnya adalah Meurah Noe yang
bergelar Maharaja Nuruddin berkuasa dari tahun1155-1210. Raja ini dikenal juga
dengan sebutan Tengku Samudra atau Sulthan Nazimuddin Al-Kamil. Sultan ini
sebenarnya berasal dari Mesir yang ditugaskan sebagai laksamana untuk merebut
pelabuhan di Gujarat. Raja ini tidak memiliki keturunan sehingga pada saat
wafat, kerajaan Samudra Pasai dilanda kekacauan karena perebutan kekuasaan.[8]
Meurah Silu bergelar Sultan Malik-al Saleh
(1285-1297). Meurah Silu adalah keturunan Raja Perlak (sekarang Malaysia) yang
mendirikan dinasti kedua kerajaan Samudra Pasai. Pada masa pemerintahannya,
system pemerintahan kerajaan dan angkatan perang laut dan darat sudah terstruktur
rapi. Kerajaan mengalami kemakmuran, terutama setelah Pelabuhan Pasai dibuka.
Hubungan Kerajaan Samudra Pasai dan Perlak berjalan harmonis. Meurah Silu
memperkokoh hubungan ini dengan menikahi putri Ganggang Sari, anak Raja Perlak.
Meurah Silu berhasil memperkuat pengaruh Kerajaan Samudra Pasai di pantai timur
Aceh dan berkembang menjadi kerajaan perdagangan yang kuat di Selat Malaka.
Perkembangan Kerajaan Samudra Pasai didorong beberapa faktor yaitu : Letak
Samudra Pasai strategis di tepi selat Malaka dan melemahnya kerajaan Sriwijaya
yang menyebabkan Samudra Pasai berkesempatan untuk berkembang.[9]
Di bidang agama, Samudera Pasai menjadi pusat studi Islam. Kerajaan ini
menyiarkan Islam sampai ke Minangkabau, Jambi, Malaka, Jawa, bahkan ke
Thailand. Dari Kerajaan Samudra Pasai inilah kader-kader Islam dipersiapkan
untuk mengembangkan Islam ke berbagai daerah. Salah satunya ialah Fatahillah.
Ia adalah putra Pasai yang kemudian menjadi panglima di Demak kemudian menjadi
penguasa di Banten.
Raja-raja Samudra Pasai selanjutnya adalah
Sultan Muhammad Malik Zahir (1297-1326), Sultan Mahmud Malik Zahir (1326-1345),
Sultan Manshur Malik Zahir (1345-1346), dan Sultan Ahmad Malik Zahir
(1346-1383).[10] Raja
selanjutnya adalah Sultan Zainal Abidin (1383-1405). Pada masa pemerintahannya,
kekuasaan kerajaan meliputi daerah Kedah di Semenanjung Malaya. Sultan Zainal
Abidin sangat aktif menyebarkan pengaruh Islam kepulau Jawa dan Sulawesi dengan
mengirimkan ahli-ahli dakwah, seperti Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishak. Setelah
muncul Kerajaan Malaka, Samudra Pasai mulai memudar. Pada tahun 1522 Samudra
Pasai diduduki oleh Portugis. Keberadaan Samudra Pasai sebagai kerajaan maritim
digantikan oleh Kerajaan Aceh yang muncul kemudian.
2.
Kerajaan Aceh
Kerajaan Aceh berdiri menjelang keruntuhan
Samudera Pasai. Sebagaimana tercatat dalam sejarah, pada tahun 1360 M, Samudera
Pasai ditaklukkan oleh Majaphit, dan sejak saat itu, kerajaan Pasai terus
mengalami kemudunduran. Diperkirakan, menjelang berakhirnya abad ke-14 M,
kerajaan Aceh Darussalam telah berdiri dengan penguasa pertama Sultan Ali
Mughayat Syah yang dinobatkan pada Ahad, 1 Jumadil Awal 913 H (1511 M).[11]
Pada awalnya, wilayah kerajaan Aceh ini hanya mencakup Banda Aceh dan Aceh Besar
yang dipimpin oleh ayah Ali Mughayat Syah. Ketika Mughayat Syah naik tahta
menggantikan ayahnya, ia berhasil memperkuat kekuatan dan mempersatukan wilayah
Aceh dalam kekuasaannya, termasuk menaklukkan kerajaan Pasai. Saat itu, sekitar
tahun 1511 M, kerajaan-kerajaan kecil yang terdapat di Aceh dan pesisir timur
Sumatera seperti Peurelak (di Aceh Timur), Pedir (di Pidie), Daya (Aceh Barat
Daya) dan Aru (di Sumatera Utara) sudah berada di bawah pengaruh kolonial
Portugis. Beberapa faktor yang mendorong berkembangnya kerajaan Aceh, antara
lain: Jatuhnya Malaka dalam kekuasaan Portugis tahun 1511, letak kerajaan Aceh
sangat strategis pada jalur perdagangan internasional dan Kerajaan Aceh
mempunyai pelabuhan dagang yang ramai dan menjadi pusat agama Islam. [12]
Dalam bidang sosial,
letaknya yang strategis di titik sentral jalur perdagangan internasional di
Selat Malaka menjadikan Aceh makin ramai dikunjungi pedangang Islam. Terjadilah
asimilasi baik di bidang sosial maupun ekonomi.
Dalam kehidupan bermasyarakat, terjadi perpaduan
antara adat istiadat dan ajaran agama Islam. Pada
sekitar abad ke-16 dan 17 terdapat empat orang ahli tasawuf di Aceh, yaitu
Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumtrani, Nuruddin ar-Raniri, dan Abdurrauf dari
Singkil.
Sejarah mencatat bahwa, usaha Mughayat
Syah untuk mengusir Portugis dari seluruh bumi Aceh dengan menaklukkan kerajaan
kerajaan kecil yang sudah berada di bawah Portugis berjalan lancar. Secara
berurutan, Portugis yang berada di daerah Daya ia gempur dan berhasil ia kalahkan.
Ketika Portugis mundur ke Pidie, Mughayat juga menggempur Pidie, sehingga
Portugis terpaksa mundur ke Pasai. Mughayat kemudian melanjutkan gempurannya
dan berhasil merebut benteng Portugis di Pasai. Dengan jatuhnya Pasai pada
tahun 1524 M, Aceh Darussalam menjadi satu-satunya kerajaan yang memiliki
pengaruh besar di kawasan tersebut. Kemenangan yang berturut-turut ini membawa
keuntungan yang luar biasa, terutama dari aspek persenjataan. Portugis yang
kewalahan menghadapi serangan Aceh banyak meninggalkan persenjataan, karena
memang tidak sempat mereka bahwa dalam gerak mundur pasukan. Senjata-senjata
inilah yang digunakan kembali oleh pasukan Mughayat untuk menggempur Portugis.[13]
Ketika benteng di Pasai telah dikuasai
Aceh, Portugis mundur ke Peurelak. Namun, pasukan Aceh tidak memberikan kesempatan
sama sekali pada Portugis. Peurelak kemudian juga diserang, sehingga Portugis
mundur ke Aru. Tak berapa lama, Aru juga berhasil direbut oleh Aceh hingga
akhirnya Portugis mundur ke Malaka. Dalam sejarahnya, Aceh Darussalam mencapai
masa kejayaan di masa Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam (1590
1636). Pada masa itu, Aceh merupakan salah satu pusat perdagangan yang sangat
ramai di Asia Tenggara. Kerajaan Aceh pada masa itu juga memiliki hubungan
diplomatik dengan dinasti Usmani di Turki, Inggris dan Belanda. Pada masa
Iskandar Muda, Aceh pernah mengirim utusan ke Turki Usmani dengan membawa
hadiah. Kunjungan ini diterima oleh Khalifah Turki Usmani dan ia mengirim
hadiah balasan berupa sebuah meriam dan penasehat militer untuk membantu memperkuat
angkatan perang Aceh. Wilayah kekuasaan Aceh mencapi Pariaman wilayah pesisir
Sumatra Barat, Perak di Malaka yang secara efektif bisa direbut dari portugis
tahun 1575.[14]
3.
Kerajaan Minangkabau
Diperkirakan bahwa Kerajaan Minangkabau itu sudah
berdiri semenjak abad ke-7 M, yaitu dilembah sungai kampar dan Batanghari, kita
sebut sebagai Kerajaan Minangkabau Timur. Pada pertengahan abad ke-14 M,
berdiri Kerajaan Minangkabau yang berpusat di Pagaruyung Luhak Tanah Datar.
Kerajaan ini hidup sampai permulaan abad ke-19 M. Pada pertengahan abad ke-14,
yang memegang tampuk kekuasaan di wilayah Minangkabau adalah Datuk
Katumanggungan. Pada era itulah Adityawarman datang dari Majapahit, Jawa. Ibu
Adityawarman adalah seorang wanita yang berasal dari Minangkabau. Dia kemudian
dinobatkan menjadi Raja di Pagaruyung pada tahun 1349. [15]
Kerajaan Minangkabau
Pagaruyung ini pada hakekatnya telah berakhir pada tahun 1809, ketika Sultan Muningsyah I meninggalkan istana. Raja-raja yang bertahta sesudahnya
di Pagaruyung adalah Sultan Muningsyah II dan Muningsyah III serta Puti Reno
Sumpur. Akan tetapi kekuasaan masing-masing Sultan dan Puti ini tidaklah begitu
besar lagi. Puti Reno Sumpur lahir di Sumpur Kudus, tempat kedudukan resmi Rajo
Ibadat, pada tahun 1816, dan wafat di Pagaruyung pada tahun 1912 dalam usia 96
tahun. Dari pihak ibu ia adalah keturunan Rajo Ibadat Sumpur Kudus, sedangkan
dari pihak bapak ia adalah keturunan seorang Rajo Adat di Buo. Dengan demikian,
ia merupakan salah seorang keturunan asli dari Raja-raja di Minangkabau.
Sebagai keluarga istana, ia berdaulat di daerah Singingi dan Gunung Sahilan.
Setelah Sultan Muningsyah II yang bergelar Sultan Alam Bagagarsyah dibuang
Belanda ke Betawi tahun 1833 tidak ada lagi raja bertahta di Pagaruyung.
Barulah pada akhirnya abad ke-19, Puti Reno Sumpur dijemput ke Gunung Sahilan
dan didudukkan kembali di Istana Balai Janggo, Pagaruyung, sebagai Tuan Gadih,
yaitu Ratu yang tiada berdaulat. [16]
Kerajaan Minangkabau pada masa
kejayaannya pada 14 dan 15 mempunyai wilayah kekuasaan yang batas-batasnya meliputi :
1.
Sebelah Timur
antara kerajaan Palembang dan Sungai Siak.
2.
Disebelah
Barat antara kerajaan Manjuto di Muko-Muko dan Sungai Singkel.
3.
Daerah asli
kerajaan adalah Luhak Nan Tigo sekarang yaitu; Luhak Tanah Datar, Luhak Agam,
dan Luhak Limo Puluah Koto.
Raja-raja dari kerajaan inilah
yang kemudian memperbesar daerah pengaruhnya dari pantai barat sampai pantai
timur,sehingga mencakup kerajaan-kerajaan Indrapura, Indragiri, dan Pucuk Jambi
Sembilan Lurah. Raja-raja dari daerah tersebut itu mengakui raja yang
berkedudukan di Pagaruyung sebagai “Raja Alam”, yaitu sebagai maharaja di
antara mereka. Dengan kata lain dapat dikemukakan, bahwa daerah kekuasaan
Minangkabau pada masa itu mencakup seluruh daerah Propinsi sumatera Barat kini,
serta sebahagian Propinsi Riau dan sebahagian Propinsi Jambi, hampir sama
dengan daerah Propinsi Sumatera Tengah pada permulaan kemerdekaan RI.
Adityawarman adalah putra Dara
Jingga yang berasal dari keturunan Melayu Minangkabau itu, dibesarkan dalam
lingkungan istana majapahit yang beragama Hindu. Pada tahun 1340 ia diutus oleh
Raja Majapahit untuk menaklukkan Minangkabau dan mengusai daerah penghasilan
lada, karena pasukan-pasukan yang diutus sebelumnya menemui kegagalan ketika
berhadapan dengan Datuk Katumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang. Mereka
bukan kalah dalam pertempuran , melainkan kalah dalam sayembara “Batakok Kayu
Tataran Naga” dan “Adu Kerbau”.
Cerita tentang sayembara ini
memperlihatkan “kecerdikan” orang Minang saja. Pada waktu pasukan Majapahit
dengan kekuatan yang lebih unggul dari kekuatan Datuk Katumanggungan, memasuki
wilayah Minangkabau, sang Datuk menjalankan siasatnya. Komandan pasukan Majapahit diajak “beradu
pintar” dengan Datuk. Masing-masing disuruh menerka ujung dan pangkal dari sepotong kayu yang
dinamakan “Kayu Tataran Naga”. Kalau sang komandan dan rombongan berhasil
menerkanya, maka kekuasaan di Minangkabau bisa dia peroleh. Ternyata mereka
gagal menerkanya, sedang Datuk Katumanggungan berhasil dengan baik menunjukan
mana pangkal dan mana ujung dari sepotong kayu, yaitu dengan memasukan kayu itu
ke air. Bagian pangkal kayu adalah yang lebih dalam terbenamnya dibanding
bagian ujungnya, karena ia lebih berat. [17]
Rombongan pendatang mengaku
kalah dan dengan sukarela kembali ke Majapahit. Majapahit belum puas dengan
misinya. Maka pasukan dikirim lagi untuk kedua kalinya. Kedatangan pasukan ini
pun dihadapi dengan siasat lain, yaitu “beradu Kerbau”. Dan sebagaimana telah dipaparkan sebelumya, pasukan Majapahit pun kalah. Ternyata,
”orang Minang memang banyak akal”
Dia mau terimpit - asal
diatas.
Dia mau terkurung - asal di
luar.
Kalau berjalan bergandeng dua
- dia harus ditengah-tengah.
Dangakan nan di urang-lakukan
nan di awak.
“ikolah cadiak pandai
namonyo”, “psikhis resah”
Kesudahannya, sekitar
pertengahan abad ke 14, Adityawarman datang ke Minangkabau. Karena ibunya
berasal dari orang Melayu Minangkabau, maka dia terima. Dan tepat pada tahun
1347 Adityawarman berhasil mendirikan kerajaan Suwarnabbumi di daerah
Melayu/Jambi yang kaya dengan penghasilan lada. Sementara itu ia senantiasa
memperluas daerah kekuasaannya, hingga akhirnya, ia menguasai seluruh daerah
Minangkabau, dan memindahkan pusat kerajaan ke Pagaruyung di tempat yang
bernama Bukit Batu Patah. Dan ia berusaha untuk melepaskan hubungannya dengan
kerajaan Majapahit dan menjadi raja yang berdiri sendiri.
Mengingat latar belakang
kehidupan dan pendidikanya di kerajaan Majapahit yang beragama Hindu,
Adityawarman sangat terpengaruh dengan sistem pemerintahan yang otokratis dan
susunan masyarakat berkasta-kasta. Sedang di Minangkabau
didapatinya cara pemerintahan yang demokratis berdasarkan musyawarah serta
susunan masyarakat yang tidak mengenal kasta, melainkan berdasarkan prinsip
“duduk samo randah, tagak samo tinggi”. Nagari-nagari di Minangkabau lebih
mirip dengan republik-republik kecil yang berdiri sendiri sehingga kekuasaan
raja tidak dapat menjangkau urusan dalam masing-masing nagari itu. Hal ini
dipandangnya sebagai pengerbirian terhadap kekuasaan raja dan menghambat
kelancaran jalannya pemerintahan. Oleh karena itu, Adityawarman mengemukan keinginannya
supaya masyarakat di Minagkabau disusun berkasta-kasta seperti yang berlaku
dalam masyarakat Hindu, dan agar pemerintahan diatur seperti yang berlaku di
Majapahit, yaitu bertingkat-tingkat, sehingga setiap nagari dikuasai penuh oleh
raja. Keinginan ini mendapat tantangan , karena masyarakat Minangkabau tidak
menyukai hidup berkasta-kasta, dan mereka menjunjung tinggi kehidupan
demokrasi, dimana tiap-tiap nagari berhak mengatur dirinya sendiri. Dengan
kebijaksanaan para pemimpin adat, yaitu Datuk Katumanggungan dan Datuk Perpatih
Nan Sabatang, didapatlah kompromi: [18]
Pertama, bahwa pangkat-pangkat adatlah yang diatur bertingkat-tingkat,
sehingga di samping Penghulu sebagai kepala suku, diadakan pangkat Manti, Malin
dan Dubalang. Sedangkan kehidupan bersuku, berkampung
dan bernagari tetap berdasarkan kerakyatan dan musyarawah, serta duduk sama
rendah, tegak sama tinggi. Selain dari ketetapan
tersebut diatas, masih ada beberapa ketetapan lainnya yang telah disepakati
bersama. Pertama, bahwa Adityawarman hanya diberi kedaulatan di daerah Rantau, yaitu
Pasaman, Pesisir Panjang, Kuantan, batanghari, Kampar dan Rokan. Sedang di
daerah Luhak Nan Tigo (Agam, Lima Puluh Koto dan Tanah datar ) ia hanyalah sebagai
lambang kesatuan saja, sebagai penengah atau pendamai, bila terjadi
perselisihan.
Kedua, bahwa sebagai raja, ia tidak ikut dalam kehidupan bersuku karena
sebagai penengah ia harus berada di atas semua suku.
Ketiga, bahwa raja tidak mempunyai hak ulayat atas tanah karena hak
ulayat tersebut merupan hak mutlak bagi setiap nagari dan suku-suku dalam
nagari. Dengan demikian, kekuasaan Adityawarman sebagai raja Minangkabau yang bertahta
di Pagaruyung tidaklah mutlak, tidak mencakup seluruh daerah kerajaan
Minangkabau, dan tidak pula dapat menjangkau urusan-urusan dalam tiap-tiap
nagari.
4.
Kerajaan Demakah
Berdirinya Kerajaan Demak dilatarbelakangi
oleh melemahnya pemerintahan Kerajaan Majapahit atas daerah-daerah pesisir
utara Jawa. Daerah-daerah pesisir seperti Tuban dan Cirebon sudah mendapat
pengaruh Islam. Dukungan daerah-daerah yang juga merupakan jalur perdagangan
yang kuat ini sangat berpengaruh bagi pendirian Demak sebagai kerajaan Islam
yang merdeka dari Majapahit. [19]
Raden Patah adalah raja pertama Kerajaan
Demak. Ia memerintah dari tahun 1500-1518. Pada masa pemerintahan agama Islam
mengalami perkembangan pesat. Raden Patah bergelar Senopati Jimbun Ngabdurahman
Panembahan Palembang Sayidin Panatagama. Pengangkatan Raden Patah sebagai Raja
Demak dipimpin oleh anggota wali lainnya. Pada masa pemerintahannya, wilayah
kerajaan Demak meliputi daerah Jepara, Tuban, Sedayu, Palembang, Jambi, dan
beberapa daerah di Kalimantan. Pada masa pemerintahannya juga dibangun Masjid
Agung Demak yang dibantu oleh para wali dan sunan sahabat Demak. Pada masa
Kerajaan Malaka jatuh ke tangan Portugis tahun 1511, Raden Patah merasa berkewajiban
untuk membantu. Jatuhnya kerajaan Malaka berarti putusnya jalur perdagangan
nasional. Untuk itu, ia mengirimkan putrannya, Pati Unus untuk menyerang Portugis
di Malaka. Namun, usaha itu tidak berhasil. Setelah Raden Patah wafat pada
tahun 1518, ia digantikan oleh putranya Pati Unus. Pati Unus hanya memerintah
tidak lebih dari tiga tahun. Ia wafat tahun 1521 dalam usahanya mengusir
Portugis dari kerajaan Malaka. Saudaranya, Sultan Trenggono, akhirnya menjadi
raja Demak ketiga dan merupakan raja Demak terbesar. Sultan Trenggono berkuasa
di kerajaan Demak dari tahun 1521-1546. Sultan Trenggono dilantik menjadi raja
Demak oleh Sultan Gunung Jati. Ia memerintah Demak dengan gelar Sultan Ahmad
Abdul Arifin. [20]
Pada masa pemerintahan Sultan Trenggono,
Kerajaan Demak mencapai puncak kejayaannya dan agama Islam berkembang lebih
luas lagi. Sultan Trenggono mengirim Fatahilallah ke Banten. Dalam
perjalanannya ke Banten, Fatahillah singgah di Cirebon untuk menemui Syarif
Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Bersama-sama dengan pasukan Kesultanan
Cirebon, Fatahillah kemudian dapat menaklukan Banten dan Pajajaran. Setelah
wafatnya Sultan Trenggono pada tahun 1546, Kerajaan Demak mulai mengalami
kemunduran karena terjadinya perebutan kekuasaan. Perebutan tahta Kerajaan Demak
ini terjadi antara Sunan Prawoto dengan Arya Penangsang. Arya Penangsang adalah
Bupati Jipang (sekarang Bojonegoro) yang merasa lebih berhak atas tahta
Kerajaan Demak. Perebutan kekuasaan ini berkembang menjadi konflik berdarah
dengan terbunuhnya Sunan Prawoto oleh Arya Penangsang. Arya Penangsang juga
membunuh adik Sunan Prawoto, yaitu Pangeran Hadiri. Usaha Arya Penangsang
menjadi Sultan Demak di halangi oleh Jaka Tingkir, menantu Sultan Trenggono. Jaka
Tingkir mendapat dukungan dari para tetua Demak, yaitu Ki Gede Pemanahan dan Ki
Penjawi. Konflik berdarah ini akhirnya berkembang menjadi Perang Saudara. Dalam
pertempuran ini, Arya Penagsang terbunuh sehingga tahta Kerajaan Demak jatuh ke
tangan Jaka Tingkir. [21]
Jaka Tingkir menjadi raja Kerajaan Demak
dengan gelar Sultan Hadiwijya. Ia kemudian memindahan pusat kerajaan Demak ke
daerah Pajang.Walaupun sebenarnya sudah menjadi kerajaan baru, kerajaan Pajang
masih mengklaim diri sebagai penerus Kerajaan Demak. Sebagai tanda terima kasih
kepada Ki Gede Pemanahan yang telah mendukungnya, Sultan Hadiwijaya memberikan
sebuah daerah Perdidikan (otonom) yang disebut Mataram. Ki Gede
Pemanahan kemudian menjadi penguasa Mataram dan di sebut Ki Gede Mataram. Sultan
Hadiwijaya bukanlah digantikan oleh putranya, yakni Pangeran Benawa, melainkan
putra Sunan Prawoto, Aria Pangiri. Pangeran Benawa sendiri diangkat sebagai penguasa
daerah Jipang. Pangeran Benawan kurang puas dengan keputusan ini. Apalagi, pemerintahan
Aria Pangiri di Pajang juga dikelilingi oleh para bekas pejabat Kerajaan Demak.
Pangeran Benawa kemudian minta bantuan kepada Sutawijaya, putra Ki Ageng
Mataram, untuk merebut kembali tahta Kerajaan Pajang.
Pada tahun 1588, Sutawijaya dan Pangeran
Benawan berhasil merebut kembali tahta Kerajaan Pajang. Kemudian, Benawa
menyerahkan hak kuasanya pada Sutawijaya secara simbolis melalui penyerahan
pusaka Pajang pada Sutawijaya. Dengan demikian, Pajang menjadi bagian kekuasaan
Kerajaan Mataram.Di bidang keagamaan, Raden Patah dan dibantu para wali, Demak
tampil sebagai pusat penyebaran Islam. Raden Patah kemudian membangun sebuah
masjid yang megah, yaitu Masjid Demak. Dalam bidang perekonomian, Demak
merupakan pelabuhan transito (penghubung) yang penting. Sebagai pusat perdagangan
Demak memiliki pelabuhan-pelabuhan penting, seperti Jepara, Tuban, Sedayu, Gresik.
Bandar-bandar tersebut menjadi penghubung daerah penghasil rempah-rempah dan
pembelinya. Demak juga memiliki penghasilan besar dari hasil pertaniannya yang
cukup besar. Akibatnya, perekonomian Demak berkembang degan pesat.
5.
Kerajaan Mataram
Awal dari kerajaan Mataram adalah ketika
Sultan Adiwijaya dari Panjang meminta bantuan kepada Ki Panamahan yang berasal
dari daerah pedalaman untuk menghadapi dan menuntaskan pemberontakan Aria
Penangsang.[22] Kerajaan
Mataram berdiri tahun 1586 dengan raja yang pertama Sutawijaya yang bergelar
Panembahanas Senopati (1586-1601). Pengganti Penembahan Senopati adalah Mas
Jolang (1601 – 1613). Dalam usahanya mempersatukan kerajaan-kerajaan Islam di
Pantai untuk memperkuat kedudukan politik dan ekonomi Mataram. Mas Jolang gugur
dalam pertempuran di Krapyak sehingga dikenal dengan nama Panembahan Seda
Krapyak. Kerajaan Mataram kemudian diperintah Sultan Agung pada masa inilah
Mataram mencapai puncak kejayaan. Wilayah Mataram bertambah luas meliputi Jawa
Tengah, Jawa Timur dan sebagian Jawa Barat kemajuan yang dicapai Sultan Agung
meliputi :[23]
Kemajuan Bidang
Politik dicapai kerajaan Mataram, Sultan
Agung berhasil menyatukan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa dan menyerang VOC di
Batavia. Serangan Mataram terhadap VOC dilakukan tahun 1628 dan 1929 tetapi
gagal mengusir VOC. Penyebab kegagalan antara lain : Jaraknya terlalu jauh yang
mengurangi ketahanan prajurit Mataram, kekurangan persediaan makanan dan pasukan
Mataram kalah dalam persenjataan dan pengalaman perang. Bidang Ekonomi, Kerajaan Mataram mampu meningkatkan produksi beras
dengan memanfaatkan beberapa sungai di Jawa sebagai irigasi. Bidang Sosial Budaya dengan munculnya kebudayaan
kejawen yang merupakan kebudayaan asli Jawa dengan kebudayaan Islam, Sultan
Agung berhasil menyusun Tarikh Jawa dan ilmu pengetahuan juga seni berkembang
pesat, sultan Agung mengarang kita sastra Gending Nitisruti dan Astabrata. Sepeninggal
Sultan Agung tahun 1645, kerajaan mataram mengalami kemunduran sebab
penggantinya cenderung bekerjasama dengan VOC.
6.
Kerajaan Banten
Kesultanan Banten berawal ketika
Kesultanan Demak memperluas pengaruhnya ke daerah barat. Pada tahun 1524/1525,
Sunan Gunung Jati bersama pasukan Demak merebut pelabuhan Banten dari kerajaan
Sunda, dan mendirikan Kesultanan Banten yang berafiliasi ke Demak. Menurut
sumber Portugis, sebelumnya Banten merupakan salah satu pelabuhan Kerajaan
Sunda selain pelabuhan Pontang, Cigede, Tamgara (Tangerang), Sunda Kalapa dan Cimanuk.
Anak dari Sunan Gunung Jati (Hasanudin)
menikah dengan seorang putri dari Sultan Trenggono dan melahirkan dua orang
anak. Pelurusan Sejarahbahwa Pangeran Sabakingkin atau Sultan Maulana
Hasanuddin nikah dengan Putri Kintamani mempunyai Anak yang pertama bernama
Yusuf Akbar (Maulana Yusuf), pelurusan sejarah bahwa Anak Kedua Ratu Siti
Rodiah kawin dengan Sultan Mahmud Badaruddin II Kesultanan Palembang Darussalam
sedang anak ketiga Muhammad Nazaruddin (Sultan Maulana Muhammad Nazaruddin bergelar
Alamsyah) Terjadi perebutan kekuasaan setelah Maulana Yusuf wafat (1570).
Pangeran Jepara merasa berkuasa atas Kerajaan Banten daripada anak Maulana
Yusuf yang bernama Maulana Muhammad karena Maulana Muhammad masih terlalu muda.
Akhirnya Kerajaan Jepara menyerang Kerajaan Banten. Perang ini dimenangkan oleh
Kerajaan Banten karena dibantu oleh para ulama (inilah Sejarah Bikinan
Belanda). [24]
Pelurusan Sejarah bahwa Sultan Muhammad
bukan anak dari Maulana Yusuf tetapi anak ketiga dari Sultan Hasanuddin, dengan
nama lengkap Sultan Muhammad Nazaruddin "Alamsyah" dikawal oleh empat
Pengawal Kesultanan masing-masing bernama Ananta Kusuma, Daeng, Nata Kusuma dan
Jalaluddin pada saat itu Sultan Muhammad Nazaruddin yang bergelar Alamsyah
berusia 19 tahun,melakukan perjalanan ke Palembang pada masa Inggeris masuk ke
Palembang...bukan untuk memerangi palembang tetapi menyambangi keluarga
(Saudaranya yang bernama Ratu Siti Rodiah yang nikah dengan Sultan Mahmud
Badaruddin II).
Kerajaan Banten mencapai puncak
kejayaannya pada masa pemerintahan Abu Fatah Abdulfatah atau lebih dikenal dengan
nama Sultan Ageng Tirtayasa. Saat itu Pelabuhan Banten telah menjadi pelabuhan
internasional sehingga perekonomian Banten maju pesat. Wilayah kekuasaannya
meliputi sisa kerajaan Sunda yang tidak direbut kesultanan Mataram dan serta
wilayah yang sekarang menjadi provinsi Lampung. Piagam Bojong menunjukkan bahwa
tahun 1500 hingga 1800 Masehi Lampung dikuasai oleh kesultanan Banten. Pada
zaman pemerintahan Sultan Haji, tepatnya pada 12 Maret 1682, wilayah Lampung
diserahkan kepada VOC. seperti tertera dalam surat Sultan Haji kepada Mayor Issac
de Saint Martin, Admiral kapal VOC di Batavia yang sedang berlabuh di Banten.
Surat itu kemudian dikuatkan dengan surat perjanjian tanggal 22 Agustus 1682
yang membuat VOC memperoleh hak monopoli perdagangan lada di Lampung. [25]
Kesultanan Banten dihapuskan tahun 1813
oleh pemerintah kolonial Inggris. Pada tahun itu, Sultan Muhamad Syafiuddin
dilucuti dan dipaksa turun takhta oleh Thomas Stamford Raffles. Tragedi ini
menjadi klimaks dari penghancuran Surasowan oleh Gubernur-Jenderal Belanda,
Herman William Daendels tahun 1808.
7.
Kerajaan Makasar
Kerajaan Makasar yang berdiri pada abad 18
pada mulanya terdiri dari dua kerajaan yaitu kerajaan Gowa dan Tallo (Gowa
Tallo) yang beribu kota di Sombaopu. Raja Gowa Daeng Maurabia menjadi raja Gowa
Tallo bergelar Sultan Alaudin dan Raja Tallo Karaeng Matoaya menjadi patih
bergelar Sultan Abdullah. Karena
posisinya yang strategis di antara wilayah barat dan timur Nusantara, Kerajaan
Gowa dan Tallo menjadi bandar utama untuk memasuki Indonesia Timur yang kaya rempah-rempah. Kerajaan Makassar
memiliki pelaut-pelaut yang tangguh terutama dari daerah Bugis. Mereka inilah
yang memperkuat barisan pertahanan laut Makassar. Raja yang terkenal dari
kerajaan ini ialah Sultan Hasanuddin (1653-1669). Hasanuddin berhasil
memperluas wilayah kekuasaan Makassar baik ke atas sampai ke Sumbawa dan
sebagian Flores di selatan. Karena merupakan bandar utama untuk memasuki
Indonesia Timur, Hasanuddin bercita-cita menjadikan Makassar sebagai pusat
kegiatan perdagangan di Indonesia bagian Timur. Hal ini merupakan ancaman bagi Belanda
sehingga sering terjadi pertempuran dan perampokan terhadap armada Belanda.
Belanda kemudian menyerang Makassar dengan bantuan Aru Palaka, raja Bone.
Belanda berhasil memaksa Hasanuddin, Si Ayam Jantan dari Timur itu menyepakati
Perjanjian Bongaya pada tahun 1667. Isi perjanjian itu ialah: Belanda mendapat
monopoli dagang di Makassar, Belanda boleh mendirikan benteng di Makassar,
Makassar harus melepaskan jajahannya, dan Aru Palaka harus diakui sebagai Raja
Bone.[26]
Sultan Hasanuddin kemudian digantikan oleh
Mapasomba. Namun, Mapasomba tidak berkuasa lama karena Makassar kemudian
dikuasai Belanda, bahkan seluruh Sulawesi Selatan. Tata kehidupan yang tumbuh
di Makassar dipengaruhi oleh hukum Islam. Kehidupan perekonomiannya
berdasarkan pada ekonomi maritim: perdagangan dan pelayaran. Sulawesi Selatan
sendiri merupakan daerah pertanian yang subur. Daerah-daerah taklukkannya di
tenggara seperti Selayar dan Buton serta di selatan seperti Lombok, Sumbawa,
dan Flores juga merupakan daerah yang kaya dengan sumber daya alam. Semua itu
membuat Makassar mampu memenuhi semua kebutuhannya bahkan mampu mengekspor. Karena
memiliki pelaut-pelaut yang tangguh dan terletak di pintu masuk jalur
perdagangan Indonesia Timur, disusunlah Ade’Allapialing Bicarana Pabbalri’e,
sebuah tata hukum niaga dan perniagaan dan sebuah naskah lontar yang ditulis
oleh Amanna Gappa.
BAB
III
PENUTUP
Islam masuk ke
Indonesia memiliki beberapa pendapat oleh para sejarawan, ada tiga pendapat
yang sangat dominan, dianataranya adalah: Pertama, Islam datang ke Indonesia
pada abad ke-13 M dari Gujarat (bukan dari Arab langsung). Kedua, Islam sudah
datang ke Indonesia pada abad pertama Hijriah (abad ke-7 sampai ke-8 M)
langsung dari Arab. Ketiga, Islam sudah
datang ke Indonesia sejak abad pertama Hijriah atau abad ke-7 atau ke-8 M,
tetapi baru dianut oleh para pedagang Timur Tengah di pelabuhan-pelabuhan.
Barulah Islam masuk secara besar-besaran dan mempunyai kekuasaan politik pada
abad ke-13 dengan berdirinya kerajaan Samudra Pasai. Strategi penyebaran Islam di
Indoneisa memiliki berbagai macam langkah, ada enam langkah yang dikemukakan
oleh ahli sejarah, yaitu: perdagangan, perkawinan, tasawuf, pendidikan,
kesenian dan politik.
Kerajaan-kerajaan
Islam yang berkembang di Indonesia adalah sebagai berikut: kerajaan Samudera
Pasai, kerajaan Aceh, kerajaan Demak, kerajaan Mataram, kerajaan Banten dan kerajaan
Makasar. Kerajaan-kerajaan Islam ini berkembang pesat di Indonesia hal ini
disebabkan karena menguasai berbagai bidang, diantaranya bidang politik, bidang
seni, bidang sosial dan bidang ekonomi.
Baca Juga;
👉ISLAM PADA MASA KHALIFAH ABU BAKAR SIDDIQ
👉ISLAM PADA MASA KHALIFAH USMAN BIN AFFAN
👉KERAJAAN SAFAWI DI PERSIA
👉ISLAM PADA MASA DAULAH BANI UMAYYAH
👉ISLAM PADA MASA PERIODE AWAL BANI ABBASIYAH (132 H-232H/ 750-847 M)
👉KEMUNDURAN DAN KEHANCURAN DAULAH ABBASIYAH
👉Dinasti di bawah Abbasyiyah Dinasti Ghaznawi, Dinasti Buwaihi dan Dinasti Saljuk
👉Peradaban Islam di Spanyol ( Andalusia )
👉PERADABAN ISLAM DI MESIR MASA DINASTI MAMLUK
👉ISLAM PADA MASA DINASTI FATIMIYYAH MESIR
👉ABAD KEMAJUAN KERAJAAN TURKI USMANI
👉Peradaban Islam Masa Kerajaan Turki Usmani Periode Kemunduran (1517-1924)
👉ISLAM PADA MASA KERAJAAN MUGHAL DI INDIA
👉PERANG SALIB
👉PENJAJAHAN EROPA KE DUNIA ISLAM
👉PENJAJAHAN EROPA KE DUNIA ISLAM
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah,
Taufik, Sejarah Umat Islam Indonesia
(Majelis Ulama Indonesia,, 1991)
Sunanto,
Musyrifah. Sejarah Peradapan Islam
Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005)
Thohir,
Ajid. Perkembangan Peradapan di Kawasan
Dunia Islam (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2004)
Yatim,
Badri. Sejarah Peradapan Islam (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2005)
http://dahlanforum.wordpress.com/2009/05/02/kerajaan-kerajaan-bercorak-islam-di-indonesia/
http://www.daneprairie.com.
[1] Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradapan Islam Indonesia
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), h. 8-9
[2] Badri Yatim, Sejarah Peradapan Islam (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2005), h. 201-204
[3] Musyrifah Sunanto, Op.Cit, h. 11-12. Lihat Taufik Abdullah
(Ed), Sejarah Umat Islam Indonesia
(Majelis Ulama Indonesia,, 1991), h. 111
[4] Badri Yatim, Loc.Cit, h. 201-204
[5] Ibid, h. 203
[6] Ibid, h. 203-204
[7] Ajid Thohir, Perkembangan Peradapan di Kawasan Dunia
Islam (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2004), h 293
[9] http://unsilster.com/2011/02/
makalah-tentang-sejarah-proses-masuk-dan-berkembangnya-islam-di-indonesia/
[10] Badri Yatim, Op.Cit, h. 208
[11] Ibid, h. 208
[14] Badri Yatim, Op.Cit, h. 210
[15]
http://www.daneprairie.com.
[16]
http://www.daneprairie.com.
[17]
http://www.daneprairie.com.
[18]
http://www.daneprairie.com.
[20] Badri Yatim, Op.Cit, h. 211
[22] Badri Yatim, Op.Cit, h. 214
[23] http://unsilster.com/2011/02/
makalah-tentang-sejarah-proses-masuk-dan-berkembangnya-islam-di-indonesia/
[24] Badri Yatim, Op.Cit, h. 218
0 Comment