Manhaj Mufassir Indonesia
Perkembangan penafsiran terhadap al-Qur’an selalu berubah dari masa ke masa sejak dimulai dari masa Rasulullah hingga sampai pada saat ini, para ulama selalu menemukan langkah dan cara baru menafsirkan al-Qur’an untuk menjawab persoalan umat. Langkah ini terkadang langsung diterapkan untuk memberikan jawaban kepada umat dengan mengedarkan buku-buku atau karya-karya yang terkait dengan cara penafsiran terhadap al-Qur’an sesuai dengan kaidah yang telah ditentukan.
Adapun manhaj atau metode yang digunakan tersebut adalah tahlili,ijmali,muqaran dan maudhu’i. Masing-masing metode ini memiliki langkah tersendiri beserta kelebihan dan kekurangannya.Maka untuk itulah penulis akan menjabarkan secara eksplisit manhaj atau metode yang digunakan mufassir khususnya mufassir Indonesia, diantaranya adalah Manhaj Al-Nawawi Al-Banteniy dalam Tafsir Marah Labid, Manhaj Hamka dalam Tafsir al-Azhar, Manhaj Hasbi As-Shiddiqiy dalam Tafsir al-Nur, Manhaj Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah.
Manhaj Al-Nawawi Al-Banteniy dalam Tafsir Marâh Lâbid
A. Biografi
Syekh Al-Nawawi Al-Banteniy memiliki nama lengkap Abu Abd al-Mu’ti Muhammad ibn Umar Al- Tanara Al-Jawi Al-Banteniy. Ia lebih dikenal dengan sebutan Muhammad Nawawi Al-Jawi Al-Banteniy. Dilahirkan di Kampung Tanara, Serang, Banten pada tahun 1815 M/1230 H. Pada tanggal 25 Syawal 1314 H/1897 M.
Ayahnya bernama Kiai Umar, seorang pejabat penghulu yang memimpin Masjid. Dari silsilahnya, Nawawi merupakan keturunan kesultanan yang ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), yaitu keturunan dari putra Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I) yang bemama Sunyararas (Tajul ‘Arsy). Nasabnya bersambung dengan Nabi Muhammad melalui Imam Ja’far As- Shadiq, Imam Muhammad Al- Baqir, Imam Ali Zainal Abidin, Sayyidina Husen, Fatimah Al-Zahra.
Pada usia 15 tahun, ia mendapat kesempatan untuk pergi ke Mekkah menunaikan ibadah haji. Di sana ia memanfaatkannya untuk belajar ilmu kalam, bahasa dan sastra Arab, ilmu hadis, tafsir dan terutama ilmu fiqh. Setelah tiga tahun belajar di Mekkah ia kembali ke daerahnya tahun 1833 dengan khazanah ilmu keagamaan yang relatif cukup lengkap untuk membantu ayahnya mengajar para santri. Nawawi yang sejak kecil telah menunjukkan kecerdasannya langsung mendapat simpati dari masyarakat Kedatangannya membuat pesantren yang dibina ayahnya banyak didatangi oleh santri yang datang dari berbagai pelosok. Namun hanya beberapa tahun kemudian ia memutuskan berangkat lagi ke Mekkah sesuai dengan impiannya untuk menetap di sana.
Di Mekkah ia melanjutkan belajar ke guru-gurunya yang terkenal, pertama kali ia mengikuti bimbingan dari Syeikh Khatib Sambas (Penyatu Thariqat Qodiriyah-Naqsyabandiyah di Indonesia) dan Syekh Abdul Gani Duma, ulama asal Indonesia yang bermukim di sana. Setelah itu belajar pada Sayid Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini Dahlan yang keduanya di Mekkah. Sedang di Madinah, ia belajar pada Muhammad Khatib al-Hanbali. Kemudian ia melanjutkan pelajarannya pada ulama-ulama besar di Mesir dan Syam (Syiria). Menurut penuturan Abdul Jabbar bahwa Nawawi juga pemah melakukan perjalanan menuntut ilmunya ke Mesir. Guru sejatinya pun berasal dari Mesir seperti Syekh Yusuf Sumbulawini dan Syekh Ahmad Nahrawi.
Setelah ia memutuskan untuk memilih hidup di Mekkah dan meninggalkan kampung halamannya ia menimba ilmu lebih dalam lagi di Mekkah selama 30 tahun. Kemudian pada tahun 1860 Nawawi mulai mengajar di lingkungan Masjid al-Haram.
Nawawi akhirnya menghembuskan nafasnya yang terakhir di usia 84 tahun. Ia dimakamkan di Ma’la dekat makam Siti Khadijah, Ummul Mukminin istri Nabi. Sebagai tokoh kebanggaan umat Islam di Jawa khususnya di Banten, Umat Islam di desa Tanara, Tirtayasa Banten setiap tahun di hari Jum’at terakhir bulan Syawal selalu diadakan acara untuk memperingati jejak peninggalan Syekh Nawawi Banten.
B. Karya-karyanya
Karya-karya Syeikh Nawawi al Bantani dalam bidang ilmu kalam dan akhlak, antara lain ;
1. Fath al-Majid, ulasan dari kitab al-Durr al-Farid Fi al-Tauhid.
2. Al Nahjah al-Jadidah
3. Tijam al-Darari, ulasan atas kitab al-‘alim al-Allamah Syeikh Ibrahim al-Bajuri fi al-Tauhid.
4. Nasaih al-Ibad, syarah atas kitab Masa’il Abi Laits, karya Imam Abi Laits.
5. alalim al-Fudlala, ringkasan terhadap kitab Hidayatul Azkiya ila Thariqil Awliya, karya Zeinuddin ibn Ali al-Ma’bari al-Malibari.
Karya-karya Syeikh Nawawi al Bantani dalam bidang fiqih, antara lain ;
1. Sulam al-Munajah, syarah atas kitab Safinah ash-Shalah, karya Abdullah ibn Umar al-Hadrami
2. Kasyifatus Saja, syarah atas kitab Syafinah an-Najah, karya Syekh Salim ibn Sumair al-Hadrami.
3. Uqud al-Lujain fi Bayani Huquq al-Jawazain, kitab fikih mengenai hak dan kewajiban suami-istri.
4. Fath al-Mujib, kitab ini merupakan ulasan ringkas atas kitab khatib al-Syarbani fi al-Manasik.
5. Al-Tausyih, ini berisi ulasan atas kitab fath al-Qarib al-Mujib karya ibn Qasim al-Ghazi.
Karya-karya Syeikh Nawawi al Bantani dalam bidang kesusatraaan, antara lain ;
1. Syarah al-Jurumiyah, isinya tentang tata bahasa Arab
2. Lubab al-Bayan yang membahas ilmu balaghah dan merupakan ulasan atas kitab Risalat al-Isti’arat karya al-husain al-Nawawi al-maliki
3. Fath al-Ghafir al-Khattiyah yang berisi ulasan atas kitab Nuzum al-Jurumiyah Al-Musamma bi al-Kaukah al-Jaliyah karya Imam “Abdul salam ibn Mujahid al-Nabrawi
4. Al-Fhusus al-Yaqutiyyah ‘ala Raudhat al_Mahiyah fi al-Abwab al-Tashrifiyah yang membahas marfologi atau ilmu sharf
Karya-karya Syeikh Nawawi al Bantani dalam bidang sejarah, antara lain ;
1. Fath al-Shamad. Kitab ini berisi ulasan atas Kitab Maulid Al-Nabawi.
2. Bughyat al-Awam fi syarh Muwlid Sayyid al-Anam SAW, li ibn jauzi.
3. Ad-Durar al-Bahiyah fi syarh Khashaish an-Nabawiyyah.
4. Targhib al-Mustaqim berisi ulasan atas kitab Manzumat al-Sayid al-Barzanji Zan al-‘Abidin fi Mauli, karya Sayyid al-Awlin.
5. Al-Ibriz al-Dani yang berisi sejarah kehidupan Nabi Muhammad saw
Karya-karya Syeikh Nawawi al Bantani dalam bidang tafsir, antara lain ;
1. Tafsir al-munir atau juga disebut dengan tafsir marah labid
2. Hilyat ash-Shibyan fi syarh Lubab al-Hadits li as-Suyuthi.
C. Manhaj dan Contoh Tafsir Marâh Lâbid
Manhaj Tafsir Al-Munir
Yang dimaksud manhaj penafsiran adalah metode tertentu yang digunakan oleh mufassir dalam penafsirannya. Pada umumnya metode ini terbagi menjadi empat, yaitu metode ijmali, tahlili ( analitis ), muqorin ( perbandingan ), maudhu'i ( tematik ). Dan setiap metode yang digunakan pasti memiliki suatu ciri dan spesifikasi masing-masing.
Tafsir al Munir li Ma'alim at Tanzil ini dapat digolongkan sebagai salah satu tafsir dengan metode ijmali ( global ). Karena dalam menafsirkan setiap ayat, Syeikh Nawawi menjelaskannya dengan ringkas dan padat, bahasa yang digunakan mudah dimengerti dan penjelasannya pun mudah dipahami. Sistematika penulisannya pun menuruti susunan ayat-ayat dalam mushaf. Seperti penafsirnnya pada suatu ayat :
{إِنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ سَوَآءٌ عَلَيْهِمْ ءَأَنذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنذِرْهُمْ لاَ يُؤْمِنُونَ} أي الذين كفروا في علم الله متساو لديهم إنذارك إياهم بالقرآن وعدمه وهم لا يريدون أن يؤمنوا بما جئت به فلا تطمع يا أشرف الخلق في إيمانهم، ثم ذكر الله سبب تركهم الإيمان بقوله تعالى: {خَتَمَ ٱللَّهُ عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ وَعَلَىٰ سَمْعِهِمْ} أي طبع الله على قلوبهم فلا يدخلها إيمان وعلى سمعهم فلا ينتفعون بما يسمعونه من الحق ووحّد السمع لوحدة المسموع وهو الصوت
Metode ijmali ( global ) memiiki perbedaan yang sangat jelas dengan metode muqorin ( komparatif ) dan metode maudhui ( tematik ). Pada metode ijmali tidak menggunakan atau memunculkan perbedaan seperti pada metode muqorin dan tidak terkumpul dalam satu tema tertentu seperti pada metode maudhui.
Akan tetapi terdapat kesamaan antara metode ini dengan metode tahlil (analitis), namun uraian yang disampaikan pada metode analitis lebih luas dan rinci
Bagaimanapun bentuk metodologi yang dipakai, ia tetap merupakan produk ijtihadi atau hasil dari olah pikir manusia yang memiliki keterbatasan. Dan keterbatasan inilah yang menimbulkan ketidak sempurnaan, maka pada metode ini dapat kita temukan kelebihan dan kekurangan yang akhirnya menjadi ciri-ciri yang ada pada setiap metode.
Manhaj Hamka dalam tafsir al-Azhar
A. Biografi HAMKA ( Haji(Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah)
Masa hidup HAMKA (Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah) tahun 1908-1981. Beliau adalah seorang ulama, aktivis politik, sastrawan, politikus, filsuf, dan aktivis Muhammadiyah Indonesia yang amat terkenal di alam Nusantara. Beliau lahir pada 17 Februari 1908 di kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, Indonesia. Nama pemberian Ayahnya adalah Abdul Malik.
Ibunya dari keluarga bangsawan. Ayahnya, Syeikh Abdul Karim bin Amrullah atau Haji Rasul, dari keluarga ulama dan seorang pelopor gerakan pembaruan/modernis dalam Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906.
Sebutan Buya bagi HAMKA, panggilan untuk orang Minangkabau, berasal dari kata abi. Abuya (bahasa Arab), yang berarti ayahku, ata u seseorang yang dihormati.
Beliau dibesarkan dalam tradisi Minangkabau. Masa kecil HAMKA dipenuhi gejolak batin karena saat itu terjadi pertentangan yang keras antara kaum adat dan kaum muda tentang pelaksanaan ajaran Islam. Banyak hal-hal yang tidak dibenarkan dalam Islam, tapi dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Putra HAMKA bernama H. Rusydi HAMKA, kader PPP, anggota DPRD DKI Jakarta. Anak Angkat Buya Hamka adalah Yusuf Hamka, Chinese yang masuk Islam.
A. RIWAYAT PENDIDIKAN
HAMKA di Sekolah Dasar Maninjau hanya sampai kelas dua. Ketika usia 10 tahun, ayahnya telah mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ HAMKA mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. HAMKA juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto dan Ki Bagus Hadikusumo.
Sejak muda, HAMKA dikenal sebagai seorang pengelana. Bahkan ayahnya, memberi gelar Si Bujang Jauh. Pada usia 16 tahun ia merantau ke Jawa untuk menimba ilmu tentang gerakan Islam modern kepada HOS Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo, RM Soerjopranoto, dan KH Fakhrudin. Saat itu, HAMKA mengikuti berbagai diskusi dan training pergerakan Islam di Abdi Dharmo Pakualaman, Yogyakarta
HAMKA bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan. Pada tahun 1929 di Padang Panjang, HAMKA kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang dari tahun 1957- 1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta.
Sejak perjanjian Roem-Royen 1949, ia pindah ke Jakarta dan memulai kariernya sebagai pegawai di Departemen Agama pada masa KH Abdul Wahid Hasyim. Waktu itu HAMKA sering memberikan kuliah d i berbagai perguruan tinggi Islam di Tanah Air.
Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia.
Pada 26 Juli 1977 Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali, melantik HAMKA sebagai Ketua Umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudian meletakkan jabatan itu pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.
C. RIWAYAT ORGANISASI
HAMKA aktif dalam gerakan Islam melalui organisasi Muhammadiyah. Beliau mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat, bid’ah, tarekat dan kebatinan sesat di Padan g Panjang. Mulai tahun 1928 beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929 HAMKA mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Pada tahun 1953, HAMKA dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiyah.
D. AKTIVITAS POLITIK HAMKA
Kegiatan politik HAMKA bermula pada tahun 1925 ketika beliau menjadi anggota partai politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947, HAMKA diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia.
B. Karya-karyanya
C. Manhajnya
Metode penafsiran yang beliau gunakan alah tahlily yang di padukan dengan aspek sastra dan sosila budaya. Antara naqly dan aqly, beraliran salafiyah yang bernuansa sufistik.
Lebih terpengaruh dengan metode penafsiran Sayyid Qutb yang mengedepankan munasabah, mencantumkan asbabun nuzul, mufradat dan susunan kalimat.
Sebagai tafsir pribumi yang monumental dalam sejarah, sehingga banyak menjadi rujukan dalam masalah sosial dan tasawwuf, walaupun banyak aspek ilmu yang tidak terbahas di dalamnya.
D. Contoh tafsir al-Azhar
Manhaj Hasbi As-Shiddiqiy dalam tafsir al-Nur
A. Biografi
Biografi: Lahir di Lhokseumawe, 10 Maret 1904 – Wafat di Jakarta, 9 Desember 1975. Seorang ulama Indonesia, ahli ilmu fiqh dan usul fiqh, tafsir, hadis, dan ilmu kalam. Ayahnya, Teungku Qadhi Chik Maharaja Mangkubumi Husein ibn Muhammad Su’ud, adalah seorang ulama terkenal di kampungnya dan mempunyai sebuah pesantren (meunasah). Ibunya bernama Teungku Amrah binti Teungku Chik Maharaja Mangkubumi Abdul Aziz, putri seorang Qadhi Kesultanan Aceh ketika itu. Menurut silsilah, Hasbi ash-Shiddieqy adalah keturunan Abu Bakar ash-Shiddieq (573-13 H/634 M), khalifah pertama. Ia sebagai generasi ke-37 dari khalifah tersebut melekatkan gelar ash-Shiddieqy di belakang namanya.
Pendidikan agamanya diawali di pesantren milik ayahnya. Kemudian selama 20 tahun ia mengunjungi berbagai pesantren dari satu kota ke kota lain. Pengetahuan bahasa Arabnya diperoleh dari Syekh Muhammad ibn Salim al-Kalali, seorang ulama berkebangsaan Arab. Pada tahun 1926, ia berangkat ke Surabaya dan melanjutkan pendidikan di Madrasah al-Irsyad, sebuah organisasi keagamaan yang didirikan oleh Syekh Ahmad Soorkati (1874-1943), ulama yang berasal dari Sudan yang mempunyai pemikiran modern ketika itu. Di sini ia mengambil pelajaran takhassus (spesialisasi) dalam bidang pendidikan dan bahasa. Pendidikan ini dilaluinya selama 2 tahun. Al-Irsyad dan Ahmad Soorkati inilah yang ikut berperan dalam membentuk pemikirannya yang modern sehingga, setelah kembali ke Aceh. Hasbi ash-Shiddieqy langsung bergabung dalam keanggotaan organisasi Muhammadiyah.
Pada zaman demokrasi liberal ia terlibat secara aktif mewakili Partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) dalam perdebatan ideologi di Konstituante. Pada tahun 1951 ia menetap di Yogyakarta dan mengkonsentrasikan diri dalam bidang pendidikan. Pada tahun 1960 ia diangkat menjadi dekan Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Jabatan ini dipegangnya hingga tahun 1972. Kedalaman pengetahuan keislamannya dan pengakuan ketokohannya sebagai ulama terlihat dari beberapa gelar doktor (honoris causa) yang diterimanya, seperti dari Universitas Islam Bandung pada 22 Maret 1975 dan dari IAIN Sunan Kalijaga pada 29 Oktober 1975. Sebelumnya, pada tahun 1960, ia diangkat sebagai guru besar dalam bidang ilmu hadis pada IAIN Sunan Kalijaga.
Hasbi ash-Shiddieqy adalah ulama yang produktif menuliskan ide pemikiran keislamannya. Karya tulisnya mencakup berbagai disiplin ilmu keislaman. Menurut catatan, buku yang ditulisnya berjumlah 73 judul (142 jilid). Sebagian besar karyanya adalah tentang fiqh (36 judul). Bidang-bidang lainnya adalah hadis (8 judul), tafsir (6 judul), tauhid (ilmu kalam; 5 judul). Sedangkan selebihnya adalah tema-tema yang bersifat umum.
Pemikiran
Seperti halnya ulama lain, Hasbi ash-Shiddieqy berpendirian bahwa syariat Islam bersifat dinamis dan elastis, sesuai dengan perkembangan masa dan tempat. Ruang lingkupnya mencakup segala aspek kehidupan manusia, baik dalam hubungannya dengan sesama maupun dengan Tuhannya. Syariat Islam yang bersumber dari wahyu Allah SWT., ini kemudian dipahami oleh umat Islam melalui metode ijtihad untuk dapat mengantisipasi setiap perkembangan yang timbul dalam masyarakat. Ijtihad inilah yang kemudian melahirkan fiqh. Banyak kitab fiqh yang ditulis oleh ulama mujtahid. Di antara mereka yang terkenal adalah imam-imam mujtahid pendiri mazhab yang empat: Abu Hanifah, Malik, asy-Syafi’i dan Ahmad Hanbal.
Akan tetapi menurut Hasbi ash-Shiddieqy, banyak umat Islam, khususnya di Indonesia, yang tidak membedakan antara syariat yang langsung berasal dari Allah SWT, dan fiqh yang merupakan pemahaman ulama mujtahid terhadap syariat tersebut. Selama ini terdapat kesan bahwa umat Islam Indonesia cenderung menganggap fiqh sebagai syariat yang berlaku absolut. Akibatnya, kitab-kitab fiqh yang ditulis imam-imam mazhab dipandang sebagai sumber syariat, walaupun terkadang relevansi pendapat imam mazhab tersebut ada yang perlu diteliti dan dikaji ulang dengan konteks kekinian, karena hasil ijtihad mereka tidak terlepas dari situasi dan kondisi sosial budaya serta lingkungan geografis mereka. Tentu saja hal ini berbeda dengan kondisi masyarakat kita sekarang.
Menurutnya, hukum fiqh yang dianut oleh masyarakat Islam Indonesia banyak yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Mereka cenderung memaksakan keberlakuan fiqh imam-imam mazhab tersebut. Sebagai alternatif terhadap sikap tersebut, ia mengajukan gagasan perumusan kembali fiqh Islam yang berkepribadian Indonesia. Menurutnya, umat Islam harus dapat menciptakan hukum fiqh yang sesuai dengan latar belakang sosiokultur dan religi masyarakat Indonesia. Namun begitu, hasil ijtihad ulama masa lalu bukan berarti harus dibuang sama sekali, melainkan harus diteliti dan dipelajari secara bebas, kritis dan terlepas dari sikap fanatik. Dengan demikian, pendapat ulama dari mazhab manapun, asal sesuai dan relevan dengan situasi masyarakat Indonesia, dapat diterima dan diterapkan.
Untuk usaha ini, ulama harus mengembangkan dan menggalakkan ijtihad. Hasbi ash-Shiddieqy menolak pandangan bahwa pintu ijtihad tidak pernah tertutup, karena ijtihad adalah suatu kebutuhan yang tidak dapat dielakkan dari masa ke masa. Menurutnya, untuk menuju fiqh Islam yang berwawasan ke Indonesiaan, ada tiga bentuk ijtihad yang perlu dilakukan.
Pertama, ijtihad dengan mengklasifikasi hukum-hukum produk ulama mazhab masa lalu. Ini dimaksudkan agar dapat dipilih pendapat yang masih cocok untuk diterapkan dalam masyarakat kita.
Kedua, ijtihad dengan mengklasifikasi hukum-hukum yang semata-mata didasarkan pada adat kebiasaan dan suasana masyarakat di mana hukum itu berkembang. Hukum ini, menurutnya, berubah sesuai dengan perubahan masa dan keadaan masyarakat.
Ketiga, ijtihad dengan mencari hukum-hukum terhadap masalah kontemporer yang timbul sebagai akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti transplantasi organ tubuh, bank, asuransi, bank, air susu ibu, dan inseminasi buatan.
Karena kompleksnya permasalahan yang terjadi sebagai dampak kemajuan peradaban, maka pendekatan yang dilakukan untuk mengatasinya tidak bisa terpilah-pilah pada bidang tertentu saja. Permasalahan ekonomi, umpamanya, akan berdampak pula pada aspek-aspek lain. Oleh karena itu, menurutnya ijtihad tidak dapat terlaksana dengan efektif kalau dilakukan oleh pribadi-pribadi saja. Hasbi ash-Shiddieqy menawarkan gagasan ijtihad jama’i (ijtihad kolektif). Anggotanya tidak hanya dari kalangan ulama, tetapi juga dari berbagai kalangan ilmuwan muslim lainnya, seperti ekonom, dokter, budayawan, dan politikus, yang mempunyai visi dan wawasan yang tajam terhadap permasalahan umat Islam. Masing-masing mereka yang duduk dalam lembaga ijtihad kolektif ini berusaha memberikan kontribusi pemikiran sesuai dengan keahlian dan disiplin ilmunya. Dengan demikian, rumusan ijtihad yang diputuskan oleh lembaga ini lebih mendekati kebenaran dan jauh lebih sesuai dengan tuntutan situasi dan kemaslahatan masyarakat. Dalam gagasan ijtihad ini ia memandang urgensi metodologi pengambilan dan penetapan hukum (istinbath) yang telah dirumuskan oleh ulama seperti qias, istihsan, maslahah mursalah (maslahat) dan urf.
Lewat ijtihad kolektif ini, umat Islam Indonesia dapat merumuskan sendiri fiqh yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Rumusan fiqh tersebut tidak harus terikat pada salah satu mazhab, tetapi merupakan penggabungan pendapat yang sesuai dengan keadaan masyarakat. Dan memang, menurutnya hukum yang baik adalah yang mempertimbangkan dan memperhatikan kondisi sosial, ekonomi, budaya, adat-istiadat, dan kecenderungan masyarakat yang bersangkutan. Hasbi ash-Shiddieqy bahkan menegaskan bahwa dalam sejarahnya banyak kitab fiqh yang ditulis oleh ulama yang mengacu kepada adat-istiadat (urf) suatu daerah. Contoh paling tepat dalam hal ini adalah pendapat Imam asy-Syafi’i yang berubah sesuai dengan lingkungan tempat tinggalnya. Pendapatnya ketika masih di Irak (qaul qadim/pendapat lama) sering berubah ketika ia berada di Mesir (qaul jadid/pendapat baru) karena perbedaan lingkungan dan adat-istiadat kedua daerah.
Selain pemikiran di atas, ia juga melakukan ijtihad untuk menjawab permasalahan hukum yang muncul dalam masyarakat. Dalam persoalan zakat, umpamanya, pemikiran ijtihad Hasbi ash-Shiddieqy tergolong modern dan maju. Secara umum ia sependapat dengan jumhur ulama yang mengatakan bahwa yang menjadi objek zakat adalah harta, bukan orang. Oleh karena itu, dari harta anak kecil yang belum mukalaf yang telah sampai nisabnya wajib dikeluarkan zakatnya oleh walinya.
\Hasbi ash-Shiddieqy memandang bahwa zakat adalah ibadah sosial yang bertujuan untuk menjembatani jurang antara yang kaya dan yang miskin . Oleh sebab itu ia berpendapat bahwa zakat dapat dipungut dari non muslim (kafir kitabi) untuk diserahkan kembali demi kepentingan mereka sendiri. Ia mendasarkan pendapatnya pada keputusan Umar ibn al-Khaththab (581-644 M.), khalifah kedua setelah Nabi Muhammad saw. wafat, untuk memberikan zakat kepada kaum zimmi atau ahluz zimmah (orang-orang non muslim yang bertempat tinggal di wilayah negara Islam) yang sudah tua dan miskin. Umar juga pernah memungut zakat dari orang Nasrani Bani Tughlab. Pendapat ini dilandasi oleh prinsip pembinaan kesejahteraan bersama dalam suatu negara, tanpa memandang agama dan golongannya.
Menurut Hasbi ash-Shiddieqy, karena fungsi sosial zakat adalah untuk mengentaskan kemiskinan, maka prinsip keadilan haruslah diutamakan dalam pemungutan zakat. Ia berpendapat bahwa standarisasi ukuran nisab sebagai syarat wajib perlu ditinjau ulang. Ia memahami ukuran nisab tidak secara tekstual, yaitu sebagai simbol-simbol bilangan yang kaku. Ia menandaskan bahwa nisab zakat memang telah diatur dan tidak dapat diubah menurut perkembangan zaman. Akan tetapi, standar nisab ini harus diukur dengan emas, yaitu 20 miskal atau 90 gram emas. Menurutnya, emas dijadikan standar nisab karena nilainya stabil sebagai alat tukar.
Sejalan dengan tujuannya untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat, ia memandang bahwa pemerintah sebagai ulil-amri (penguasa pemerintahan di negara Islam) dapat mengambil zakat secara paksa terhadap orang yang enggan membayarnya. Ia juga berpendapat bahwa pemerintah hendaknya membentuk sebuah dewan zakat (baitulmal) untuk mengkoordinasi dan mengatur pengelolaan zakat. Dewan ini haruslah berdiri sendiri, tidak dimasukkan dalam Depertemen Keuangan atau perbendaharaan negara. Karena pentingnya masalah zakat ini, ia mengusulkan agar pengaturannya dituangkan dalam bentuk undang-undang yang mempunyai kekuatan hukum.
B. Karya-karyanya
C. Manhajnya
D. Contoh tafsir al-Nur
Manhaj Muhammad Quraish Shihab dalam al-Misbah
A. Biografi
Muhammad Quraish Shihab lahir di Rappang, Sulawesi Selatan, pada 16 Februari 1944. Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya di Ujung Pandang, dia melanjutkan pendidikan menengahnya di Malang, sambil "nyantri" di Pondok Pesantren Darul-Hadits Al-Faqihiyyah. Pada 1958, dia berangkat ke Kairo, Mesir, dan diterima di kelas II Tsanawiyyah Al-Azhar. Pada 1967, dia meraih gelar Lc (S-1) pada Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir dan Hadis Universitas Al-Azhar. Kemudian dia melanjutkan pendidikannya di fakultas yang sama, dan pada 1969 meraih gelar MA untuk spesialisasi bidang Tafsir al-Quran dengan tesis berjudul Al-I 'jaz Al-Tasyri'iy li al-Qur an al-Karim.
Sekembalinya ke Ujung Pandang, Quraish Shihab dipercayakan untuk menjabat Wakil Rektor bidang Akademis dan Kemahasiswaan pada IAIN Alauddin, Ujung Pandang. Selain itu, dia juga diserahi jabatan-jabatan lain, baik di dalam kampus seperti Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Wilayah VII Indonesia Bagian Timur), maupun di luar kampus seperti Pembantu Pimpinan Kepolisian Indonesia Timur dalam bidang pembinaan mental. Selama di Ujung Pandang ini, dia juga sempat melakukan berbagai penelitian; antara lain, penelitian dengan tema "Penerapan Kerukunan Hidup Beragama di Indonesia Timur" (1975) dan "Masalah Wakaf Sulawesi Selatan" (1978).
Pada 1980, Quraish Shihab kembali ke Kairo dan melanjutkan pendidikannya di almamaternya yang lama, Universitas Al-Azhar. Pada 1982, dengan disertasi berjudul Nazhm Al-Durar li Al-Biqa'iy, Tahqiq wa Dirasah, dia berhasil meraih gelar doktor dalam ilmu-ilmu Al-Quran dengan yudisium Summa Cum Laude disertai penghargaan tingkat I (mumtat ma'a martabat al-syaraf al-'ula).
Sekembalinya ke Indonesia, sejak 1984, Quraish Shihab ditugaskan di Fakultas Ushuluddin dan Fakultas Pasca-Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Selain itu, di luar kampus, dia juga dipercayakan untuk menduduki berbagai jabatan. Antara lain: Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat (sejak 1984); Anggota Lajnah Pentashih Al-Quran Departemen Agama (sejak 1989); Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (sejak 1989), dan Ketua Lembaga Pengembangan. Dia juga banyak terlibat dalam beberapa organisasi profesional; antara lain: Pengurus Perhimpunan Ilmu-ilmu Syari'ah; Pengurus Konsorsium Ilmu-ilmu Agama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; dan Asisten Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).
Di sela-sela segala kesibukannya itu, dia juga terlibat dalam berbagai kegiatan ilmiah di dalam maupun luar negeri.
Yang tidak kalah pentingnya, Quraish Shihab juga aktif dalam kegiatan tulis-menulis. Di surat kabar Pelita, pada setiap hari Rabu dia menulis dalam rubrik "Pelita Hati." Dia juga mengasuh rubrik "Tafsir Al-Amanah" dalam majalah dua mingguan yang terbit di Jakarta, Amanah. Selain itu, dia juga tercatat sebagai anggota Dewan Redaksi majalah Ulumul Qur'an dan Mimbar Ulama, keduanya terbit di Jakarta. Selain kontribusinya untuk berbagai buku suntingan dan jurnal-jurnal ilmiah, hingga kini sudah tiga bukunya diterbitkan, yaitu Tafsir Al-Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya (Ujung Pandang: IAIN Alauddin, 1984); Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Departemen Agama, 1987); dan Mahhota Tuntunan Ilahi (Tafsir Surat Al-Fatihah) (Jakarta: Untagma, 1988).
B. Karya-karyanya
C. Manhajnya
Mengenai penerapan metode dan corak Tafsir al-Misbah dapat dilihat dari beberapa bukti sebagai berikut:
1. Metode tafsir Tahlili, Itnabi, Ma’thur, Ra’y, dan Muqarin
Karena Penafsiran ayat 11, 12, 13 surat al-Balad tentang pembebasan budak, ayat 107 surat al-Anbiya’ tentang risalah Muhammad sebagai rahmat bagi seluruh alam, ayat 1, 2, 3 surat al-‘Asr tentang urgensi waktu, ayat 213 surat al-Baqarah tentang manusia sebagai makhluk sosial, ayat 185 surat al-Baqarah tentang ru’yat hilal untuk mengawali puasa, dan ayat 21 surat al-Ahzab tentang keteladanan Nabi Muhammad, diurai secara rinci, ayat demi ayat, surat demi surat sesuai urutannya dalam mus}haf, dengan mengemukakan beberapa sumber dari al-Qur’an, hadis, ijtihad, dan pendapat-pendapat para mufassir.
2. Corak Adabi ijtima‘i
Penasfsiran ayat 11, 12, 13 surat al-Balad menitikberatkan pada ketelitian redaksi ayat, dan mengkaitkan pembebasan budak secara bertahap pada masyarakat Arab dahulu, lalu dikembangkan makna budak dalam bentuk baru, yaitu penghapusan penjajahan pada masyarakat modern sekarang sebagai solusi untuk mewujudkan hak asasi manusia.
Penafsiran ayat 107 surat al-Anbiya’ tentang misi risalah sebagai rahmat untuk seluruh alam, semula mengungkap redaksi ayat yang singkat, tapi padat. Kemudian bila diikuti ajarannya dapat memberikan solusi hidup bahagia bagi masyarakat manusia dan makhluk lainnya.
Penafsiran ayat 1, 2, 3 surat al-‘Asr tentang urgensi waktu, semula mengungkap hikmah redaksi ayat diawali dengan sumpah dengan waktu, lalu menginformasikan solusi tentang empat hal yang menjadikan manusia tidak rugi, yaitu beriman, beramal baik, saling berwasiat akan kebenaran, dan kesabaran.
Penafsiran ayat 213 surat al-Baqarah dengan memperhatiakan rahasia penggunaan kata tunggal (al-kitab), dan mengungkap bahwa manusia termasuk makhluk sosial dan memerlukan bantuan orang lain.
Penafsiran ayat 185 surat al-Baqarah semula memperhatikan rahasia pengulangan redaksi penggalan ayat sebelumnya, kemudian memberikan solusi untuk mengurangi munculnya perselisihan di kalangan kaum muslimin dalam mengawali puasa Ramadan, atau beridul fitri bagi orang yang tidak melihat bulan sabit di suatu kawasan, tapi orang di kawasan lain melihatnya, dengan menetapkan di mana saja bulan sabit dilihat oleh orang terpercaya, maka wajib puasa atau berlebaran bagi seluruh umat Islam, selama ketika melihatnya, penduduk yang berada di wilayah yang disampaikaan kepadanya berita kehadiran bulan itu masih dalam keadaan malam.
Penafsiran ayat 21 surat al-Ahzab memperhatikan fungsi dan ungkapan redaksi ayat, lalu menjelaskan uswah (keteladanan) Rasul dan kaitannya dengan batas-batas‘ismah (terpelihara dari kesalahan/maksiat) yang menimbulkan perselisihan di kalangan ulama. Dalam menghargai perbedaan pendapat, M. Quraish Shihab memberikan solusi, bagi yang berpandangan bahwa Nabi Muhammad mendapat ‘is}mah dalam segala sesuatu, maka berarti segala apa yang bersumber dari Nabi pasti benar, tetapi bagi yang berpandangan membatasi ‘is}mah hanya pada persoalan-persoalan agama, maka keteladanan hanya pada soal-soal agama saja dan tidak termasuk soal-soal keduniaan.
0 Comment