KEMUNDURAN
DAN KEHANCURAN DAULAH ABBASIYAH
PENDAHULUAN
Bagdad sebagai ibu kota kekhalifahan Abbasiyah yang
didirikan oleh Khalifah al-Mansur mencapai puncak kejayaannya di masa ar-Rasyid
walau kota itu belum lima puluh tahun di bangun. Kemegahan dan kemakmuran
tercermin dalam istana Khalifah yang luasnya sepertiga dari kota bagdad yang
bundar itu dengan dilengkapi bangunan-bangunan sayap dan ruang audensi yang
dipenuhi berbagai perlengkapan yang terindah.
Kemajuan besar yang ditelah dicapai oleh dinasti
Abbasiyah pada periode pertama telah mendorong para penguasa untuk hidup mewah.
Setiap khalifah cendrung ingin lebih mewah dari para pendahulunya. Kehidupan
mewah khalifah ini ditiru oleh para hartawan dan anak-anak pejabat. Kondisi
inilah yang memberi peluang para tentara profesional asal Turki yang telah diangkat
pada masa kekhalifahan al-Mu’tasim untuk mengambil alih tampuk pemerintahan.
Usaha ini berhasil, sehingga kekuasaan sesungguhnya berada pada tangan mereka,
sementara kekuasaan Bani Abbas di dalam khilafah Abbasiyah yang didirikannya
mulai pudar dan ini merupakan awal dari keruntuhan dinasti ini.
Faktor-faktor
penyebab kemunduran sebenarnya tidak
datang secara tiba-tiba. Namun Benih-benihnya sudah mulai terlihat pada periode pertama, hanya saja karena
khalifah pada periode ini sangat kuat, benih-benih itu tidak sempat berkembang. Namun
pada periode berikutnya
Untuk lebih jelasnya, makalah penulis akan menjelaskan dalam bab pembahasan tentang faktor-faktor yang menjadi penyebab kemunduran Daulah Abbasiyah sehingga pada akhirnya hancur akibat dari serangan bangsa Mongol.
KEMUNDURAN DAN KEHANCURAN DAULAH ABBASIYAH
A. Faktor-faktor Kemunduran Daulah Abbasiyah
1. Faktor Militer
Pada masa keemasan
Abbasiyah, baik khalifah maupun masyarakat telah hidup serba mewah, kecuali
budak. Golongan elit ini tidak mau lagi berperang, kebiasaan berperang yang
selama ini diganti dengan kemewahan dan hidup bersenang-senang dan berfoya-foya
sehingga tidak melahirkan para panglima tangguh, baik dari kalangan istana
maupun di kalangan masyarakat.
Kelangsungan dan
stabilitas suatu imperium sangat bergantung pada kekuatan militernya.
Dikarenakan tidak adanya program ekspansi pada periode ini, para khalifah tidak
menaruh perhatian terhadap urusan kemiliteran. Hal ini juga mengakibatkan
menurunnya semangat kemiliteran pasukan muslim, dan tatkala negara diserbu oleh
pihak asing mereka sama sekali tidak memiliki kemampuan mengusir musuh.
Pada masa ini, dinasti
Abbasiyah tidak memiliki angkatan bersenjata yang besar dan professional dari
bangsa Arab. Untuk
mempertahankan kekuasaan dan propinsi-propinsi, mereka hanya membayar tentara.
Akhirnya ketergantungan mereka pada tentara bayaran semakin meningkat. Khalifah
al-Mu’tasim sebagai anak dari ibu yang berasal dari Turki mendatangkan
orang-orang Turki untuk menjadi pengawalnya. Dengan demikian pengaruh Turki
mulailah masuk ke pusat pemerintahan. Tentara pengawal Turki ini kemudian
berkuasa di istana sebagai Pasukan Elit Pengawal Istana. Akhirnya khalifah
hanya merupakan boneka dalam tangan mereka, yang pada hakikatnya memerintah
bukan lagi khalifah, melainkan perwira-perwira dan pengawal Turki itu. Khalifah hanya terbatas di
istana saja, tanpa mengetahui perkembangan Negara yang sebenarnya.[1]
Khalifah tidak
bisa melepaskan kekuasaan dari tentara Turki, maka mau tidak mau khalifah harus
memakainya dan untuk itu khalifah harus memiliki tentara yang setia. Untuk
memiliki tentara yang setia pada khalifah dan dapat menjaga pemerintahan
diperlukan uang yang banyak untuk membayar mereka, namun beban keuangan ini
makin lama makin sulit diatasi, sehingga para tentara bayaran itu berbuat
semena-mena terhadap khalifah.
2. Faktor Non Militer
Disamping
faktor militer, banyak faktor lain yang menyebabkan khilafah Abbasiyah menjadi
mundur, masing-masing faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain. Beberapa
diantaranya adalah sebagai berikut:[2]
a.
Perebutan Kekuasaan di Pusat Pemerintahan
Khilafah Abbasiyah didirikan
oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang orang Persia. Persekutuan dilatar
belakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu pada masa Bani Umayyah berkuasa. Keduanya sama-sama tertindas. Setelah khilafah Abbasiyah
berdiri, dinasti Bani Abbas tetap mempertahankan persekutuan itu. Menurut Ibnu Khaldun, ada dua sebab dinasti Bani Abbas memilih orang-orang
Persia daripada orang-orang Arab. Pertama, sulit bagi orang-orang Arab untuk melupakan Bani Umayyah. Pada masa, itu mereka merupakan warga kelas
satu. Kedua, orang-orang Arab sendiri terpecah belah dengan adanya ashabiyah (kesukuan). Dengan demikian, khilafah Abbasiyah tidak ditegakkan di atas ashabiyah
tradisional.
Meskipun demikian,
orang-orang Persia tidak merasa puas. Mereka menginginkan sebuah dinasti dengan
raja dan pegawai dari Persia pula. Sementara itu
bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang mengalir di tubuh mereka adalah darah (ras) istimewa dan
mereka menganggap rendah bangsa, non-Arab (‘ajam) di dunia Islam.
Fanatisme kebangsaan ini nampaknya dibiarkan
berkembang oleh penguasa. Sementara itu, para khalifah menjalankan sistem
perbudakan baru. Budak-budak bangsa Persia atau Turki dijadikan pegawai
dan tentara. Adalah Khalifah Al-Mu’tashim
(218-227 H) yang memberi peluang besar
kepada bangsa Turki untuk masuk dalam
pemerintahan. Mereka diangkat menjadi orang-orang penting di pemerintahan, diberi
istana dan rumah dalam kota.
Merekapun menjadi dominan dan menguasai tempat yang mereka diami, sehingga khalifah berikutnya menjadi boneka
mereka.[3]
Setelah al-Mutawakkil (232-247 H), seorang
khalifah yang lemah naik tahta, dominasi tentara Turki semakin kuat, mereka dapat
menentukan siapa yang diangkat jadi khalifah. Sejak itu kekuasaan Bani
Abbas sebenarnya sudah berakhir.
Kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki. Posisi ini kernudian direbut oleh Bani Buwaihi, bangsa Persia
pada periode ketiga (334-447 H),
dan selanjutnya beralih kepada Dinasti Saljuk, bangsa Turki pada periode
keempat (447-590 H).[4]
b.
Munculnya Dinasti-Dinasti Kecil yang Memerdekakan Diri
Wilayah kekuasaan Abbasiyah
pada periode pertama hingga masa keruntuhan sangat luas, meliputi berbagai bangsa yang
berbeda, seperti Maroko, Mesir, Syria, Irak, Persia, Turki dan India. Walaupun dalam kenyataannya banyak daerah yang tidak dikuasai oleh khalifah.
Secara rill daerah-daerah itu berada di bawah kekuasaaan gubernur-gubernur bersangkutan. Hubungan dengan khalifah hanya ditandai dengan pembayaran upeti.[5]
Ada kemungkinan penguasa Bani Abbas sudah cukup
puas dengan pengakuan nominal, dengan pembayaran upeti. Alasannya, karna
khalifah tidak cukup kuat untuk membuat mereka tunduk, tingkat saling
percaya di kalangan penguasa
dan pelaksana pemerintahan sangat rendah dan juga para penguasa Abbasiyah lebih menitik beratkan pembinaan
peradaban dan kebudayaan daripada politik dan
ekspansi. Selain itu, penyebab utama mengapa banyak daerah yang
memerdekakan diri adalah terjadinya kekacauan atau perebutan kekuasaan
di pemerintahan pusat yang dilakukan oleh bangsa Persia dan Turki.[6]
Akibatnya propinsi-propinsi tertentu di
pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa Bani Abbas. Ini bisa terjadi dengan dua
cara, pertama, seorang pemimpin lokal memimpin suatu pemberontakan dan
berhasil memperoleh kemerdekaan penuh, seperti Daulah Umayyah di
Spanyol dan Idrisiyah di Marokko.
Kedua, seorang yang ditunjuk menjadi gubernur oleh khalifah yang kedudukannya
semakin kuat, seperti Daulah Aghlabiyah di Tunisiyah dan Thahiriyyah di Khurasan.
Dinasti yang lahir dan memisahkan
diri dari kekhalifahan Baghdad pada masa Khilafah Abbasiyah, di antaranya adalah:
1.
Yang berkembasaan Persia: Thahiriyyah di
Khurasan (205-259 H), Shafariyah di Fars (254-290 H), Samaniyah di
Transoxania (261-389 H), Sajiyyah di Azerbaijan
(266-318 H), Buwaihiyyah, bahkan menguasai Baghdad
(320-447).
2.
Yang berbangsa. Turki: Thuluniyah di Mesir (254-292 H),
Ikhsyidiyah di Turkistan (320-560 H), Ghaznawiyah di Afganistan (352-585 H), Dinasti Saljuk dan cabang-cabangnya.
3.
Yang berbangsa Kurdi: al-Barzukani (348-406 H), Abu Ali (380-489
H), Ayubiyah (564-648 H).
4.
Yang berbangsa Arab: Idrisiyyah di Marokko (172-375 H),
Aghlabiyyah di Tunisia (180-289 H), Dulafiyah di Kurdistan (210-285 H), Alawiyah di Tabaristan (250-316 H), Hamdaniyah di
Aleppo dan Maushil (317-394 H), Mazyadiyyah
di Hillah (403-545 H), Ukailiyyah di Maushil (386-489 H), Mirdasiyyah di Aleppo 414-472 H).
5.
Yang Mengaku sebagai Khalifah : Umawiyah di Spanyol dan Fatimiyah
di Mesir.[7]
c.
Kemerosotan Perekonomian
Khilafah
Abbasiyah juga mengalami kemunduran di bidang ekonomi bersamaan dengan
kemunduran di bidang politik. Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbas
merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang
masuk lebih besar dari yang keluar, sehingga Baitulmal
penuh dengan harta. Perekonomian masyarakat sangat maju terutama dalam bidang pertanian, perdagangan dan
industri. Tetapi setelah memasuki masa kemunduran politik, perekonomian pun ikut mengalami kemunduran yang drastis.[8]
Setelah khilafah
memasuki periode kemunduran ini, pendapatan negara menurun sementara pengeluaran meningkat. Menurunnya pendapatan negara itu disebabkan oleh makin
menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya
terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat.
Diperingannya pajak dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri
dan tidak lagi membayar upeti sedangkan pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan para khalifah
dan pejabat semakin mewah. jenis pengeluaran makin beragam dan para pejabat melakukan korupsi.[9]
Kondisi politik yang
tidak stabil menyebabkan perekonomian negara morat-marit. Sebaliknya, kondisi ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan politik dinasti Abbasiyah kedua, faktor ini saling
berkaitan dan tidak terpisahkan.
d.
Munculnya Aliran-Aliran Sesat dan Fanatisme Keagamaan
Karena cita-cita orang Persia tidak sepenuhnya tercapai untuk menjadi penguasui, maka
kekecewaan itu mendorong sebagian mereka mempropagandakan ajaran Manuisme, Zoroasterisme dan Mazdakisme. Munculnya gerakan yang dikenal dengan gerakan zindiq
ini menggoda rasa keimanan para khalifah.
Khalifah Al-Manshur
berusaha keras memberantasnya, beliau juga
memerangi Khawarij yang mendirikan Negara Shafariyah di Sajalmasah pada tahun 140 H.[10]
Setelah al-Manshur wafat digantikan oleh putranya Al-Mandi yang lebih keras
dalam memerangi orang-orang Zindiq bahkan beliau mendirikan jawatan khusus untuk
mengawasi kegiatan mereka serta melakukan mihnah dengan tujuan memberantas
bid’ah. Akan tetapi, semua itu tidak menghentikan kegiatan mereka. Konflik antara
kaum beriman dengan golongan zindiq berlanjut mulai dari bentuk
yang sangat sederhana seperti polemik tentang ajaran, sampai kepada konflik
bersenjata yang menumpahkan darah di kedua belah pihak. Gerakan al-Afsyin dan
Qaramithah adalah contoh konflik
bersenjata itu.
Pada saat gerakan ini
mulai tersudut, pendukungnya banyak berlindung di balik ajaran
Syi’ah, sehingga banyak aliran Syi’ah yang dipandang ghulat (ekstrim) dan dianggap menyimpang oleh penganut Syi’ah
sendiri. Aliran Syi’ah memang dikenal sebagai aliran politik dalam
Islam yang berhadapan dengan
paham Ahlussunnah. Antara keduanya sering tejadi konflik yang kadang-kadang
juga melibatkan penguasa. Al-Mutawakkil misalnya, memerintahkan agar makam Husein Ibn Ali di Karballa dihancurkan.
Namun anaknya, al-Muntashir (861-862
M), kembali memperkenankan orang syi’ah “menziarahi” makam Husein tersebut.[11] Syi’ah pernah berkuasa di dalam khilafah
Abbasiyah melalui Bani Buwaih lebih dari seratus tahun. Dinasti Idrisiyah
di Marokko dan khilafah Fathimiyah di Mesir adalah dua dinasti Syi’ah yang memerdekakan diri dari Baghdad
yang Sunni.
Selain itu terjadi
juga konflik dengan aliran Islam lainnya seperti perselisihan antara Ahlusunnah dengan Mu’tazilah, yang
dipertajam oleh al-Ma’mun, khalifah ketujuh
dinasti Abbasiyah (813-833 M), dengan menjadikan mu’tazilah
sebagai mazhab resmi negara dan melakukan mihnah. Pada masa al-Mutawakkil
(847-861 M), aliran Mu’tazilah dibatalkan sebagai aliran negara dan
golongan ahlusunnah kembali naik daun. Aliran Mu’tazilah bangkit kembali
pada masa Bani Buwaih. Namun pada masa dinasti Saljuk yang menganut
paham Asy’ariyyah penyingkiran golongan Mu’tazilah mulai dilakukan
secara sistematis. Dengan didukung penguasa, aliran Asy’ariyah tumbuh subur dan bedaya. [12]
B. Kehancuran Daulah Abbasiyah :
Serangan Bangsa Mongol
1. Latar Belakang Serangan Bangsa Mongol
Serangan Mongol merupakan faktor
eksternal kehancuran bani Abbasiyah di Baghdad, disamping faktor-faktor yang
telah disebut di atas. Orang-orang
Mongolia adalah bangsa yang berasal dari Asia Tengah. Sebuah kawasan
terjauh di China. Terdiri dari kabilah-kabilah yang kemudian disatukan
oleh Jenghis Khan (603-624 H). mereka adalah orang-orang Badui sahara yang dikenal keras kepala dan suka
berlaku jahat.
Sebagai
awal penghancuran Baghdad dan Khilafah Islam, orang-orang Mongolia menguasai negeri-negeri Asia Tengah
Khurasan dan Persia dan juga menguasai Asia kecil.[13]
Sebelum
meninggal, Jengis Khan membagi daerah kekuasaannya kepada empat bagian sesuai
dengan jumlah putranya, yaitu Chagatai, Juchi, Ogotai dan Tuli. Tuli Khan
diberikan kekuasaan di daerah Khurasan. Tuli mudah sekali mengasai daerah
tersebut, karena kerajaan-kerajaan Islam sudah terpecah belah dan lemah.
Akhirnya dia dapat menguasai daerah tersebut sampai ke Irak. Setelah Ia
meninggal pada tahun 654 H/ 1256 M, ia digantikan oleh putranya Hulagu Khan
yang sekaligus sebagai raja Mongol (Khan).
Pada
awalnya Hulagu Khan meminta kepada khalifah Abbasiyah yang terakhir,
Al-Musta’sim (1242-1258 M) bekerjasama untuk menumpas gerakan Assassin atau
Ismailiyah, karena gerakan ini sering mengganggu pasukan Mongol. Akan tetapi
khalifah tidak meu menerima tawaran tersebut, akhirnya Hulagu Khan langsung
melakukan penyerangan terhadap pusat kekuasaan Assassin tersebut sehingga
pemimpin Assassin yang terakhir, Rukn al-Din tewas.[14]
Pada
bulan September 1257 M, Hulagu mengirimkan ultimatum kepada khalifah agar
menyerah dan mendesak agar tembok kota sebelah luar diruntuhkan. Tetapi khalifah tetap enggan
memberikan jawaban. Maka
pada Januari 1258 M, pasukan Hulagu bergerak untuk menghancurkan tembok ibukota.[15]
Keengganan khalifah al-Musta’sim membantu Hulagu Khan untuk menumpas gerakan Assassin dan khalifah juga tidak mau meruntuhkan tembok kota, hal ini dijadikan alasan oleh Hulagu Khan untuk menyerang kota Bagdad.
- Proses
Serangan Bangsa Mongol dan Dampaknya Bagi Peradaban Islam
Pada tanggal 4 Muharram 565 H/
17 januari 1258 M, Hulagu Khan mengawali penyerangannya dari arah Timur,
sedangkan pasukan Mongol yang dipimpin oleh panglima Baju bergerak menyeberangi
sungai Dajlah dari arah sebelah Barat.[16]
Jumlah anggota pasukan Hulaghu
mencapai 200.000 prajurit. Mereka memblokade kota itu dan terjadilah
pertempuran yang pada akhirnya pasukan Mongol dapat melewati benteng kota
sebelah Barat, lalu memasuki Bagdad dan memasang bendera Mongol di atas kastil
al ‘Ajami (salah satu kastil di benteng kota).
Dengan melihat kejadian ini
khalifah tidak ada pilihan lain kecuali menyerah. Wazir Ibn Al-Qamy ditemani
oleh seorang pendeta Kristen Nestorian diutus untuk menghadap Hulagu Khan,
memohon perdamaian beserta syarat-syaratnya, sehingga gencatan senjata dapat
diadakan. Perundingan al-Qamy berhasil, hasil pajak dibagi dua, sebahagian
untuk Hulagu Khan dan sebahagian lagi untuk khalifah. Kesepakatan ini rupanya
hanya tipu muslihat Hulagu Khan semata untuk melaksanakan niat jahatnya.
Menurut Jala al-Din al-Sayuti dalam bukunya Tarikh al-Khulafa’, wazir al-Qamy
tidak jadi menemui Hulagu Khan. Ia menipu khalifah dan mengatakan bahwa dia
telah berdamai dengan Hulagu Khan. Hulagu Khan ingin mengawinkan anak
perempuannya dengan Abu Bakr putra khalifah. Dengan demikian, Hulagu Khan akan
menjamin posisimu. Ia tidak menginginkan sesuatu kecuali kepatuhan, sebagaimana
kakek-kakekmu terhadap sultan-sultan saljuk.[17]
Khalifah menyambut gembira
berita yang dibawa oleh wazir. Maka pada tanggal 4 Shafar 656 H/10 Februari
1258 M, keluarlah khalifah al-Musta’sim bersama tiga orang anaknya diiringi
oleh sekitar 3.000 orang yang terdiri dari para Qadhi, Fuqaha’, pemuka-pemuka
agama dan para amir serta orang-orang terkemuka lainnya. dalam jumlah tersebut
hanya 17 orang yang boleh bertemu langsung dengan Hulagu Khan, antara lain
khalifah seniri, 3 orang anak-anaknya, 3 orang amir, wazir dan sebagainya.
Dengan perasaan gemetar
membuat khalifah lupa sama sekali letak kunci peti hadiah untuk Hulagu Khan,
sehingga peti tersebut terpaksa dipecahkan di hadapan Hulagu. Peti-peti itu
berisi barang-barang berharga. Akan tetapi sambutan Hulagu Khan di luar dugaan
khalifah. Hulagu Khan memaksa untuk menunjukkan simpanan khalifah. Khalifah
terpaksa menunjukkan simpanan gudang bawah tanah di halaman istana kepada
Hulagu.
Hulaghu memerintahkan seluruh
penduduk Bagdad agar keluar dari rumah tanpa membawa senajat dan berkumpul
dengan dalih sensus penduduk. Merekapun keluar hingga tanah-tanah kosong
dipenuhi mereka. Pasukan Mongol mengelilingi mereka dari segala arah, lalu
melepaskan binatang-binatang buas yang kelaparan sehingga mereka terbunuh,
termasuk anak-anak, perempuan, orang orang lemah, dan orang sakit. Akibatnya
dilaporkan bahwa korban yang terbunuh dalam pembantaian itu mencapai 1.800.000
jiwa. Peristiwa itu merupakan pembantaian terbesar yang dilakukan terhadap kaum
Muslim sepanjang sejarah, klasik maupun modern. Ketika jalan-jalan dipenuhi
bangkai yang membusuk, kota itu dilanda penyakit pes sehingga membunuh
orang-orang yang dapat melarikan diri dari pembantaian itu.[18]
- Daulah
Abbasiyah Pasca Serangan Bangsa Mongol
Setelah terjadinya menghabisi
penduduk Bagdad, Hulagu Khan mengizinkan bala tentaranya untuk memasuki Bagdad
yang telah ditinggalkan penduduk, tentara, dan khalifahnya. Di sana mereka
menyebarkan kerusakan dan menghancurkan bangunan-bangunannya. Mereka
menghancurkan masjid-masjid, membakar perpusakaan-perpustakaan besar yang menyimpan
seluruh peradaban sepanjang kejayaan Islam, meruntuhkan istana-istana, serta
menghancurkan tempat-tempat pemandian umum, ladang-ladang, dan tempat-tempat
rekreasi. Akibatnya, dalam waktu 40 hari, kota itu berubah menjadi seperti kota
tua yang menyisakan puing-puing. Padahal, sebelumnya kota itu merupakan pusat
peradaban, ilmu pengetahuan, dan sastra. Apa yang terjadi di atas Bagdad dalam
serangan tersebut tidak pernah terjadi atas kota Islam terbesar sebelumnya.
Kehilangan kota tersebut telah menggetarkan seluruh penjuru Dunia Islam.[19]
Setelah Khalifah Abbasiyah di
Baghdad runtuh akibat serangan tentara Mongol, kekuatan politik Islam mengalami
kemunduran secara drastis. Wilayah kekuasaannya tercabik-cabik dalam beberapa
kerajaan kecil yang satu sama lain bahkan saling memerangi. Beberapa
peninggalan budaya dan peradaban Islam banyak yang hancur akibat serangan
bangsa Mongol itu.
Jatuhnya kota Baghdad pada
tahun 1258 M ke tangan bangsa Mongol bukan saja mengakhiri kekuasaan khilafah
Bani Abbasiyah di sana, tetapi juga merupakan awal dari masa kemunduran politik
dan peradaban Islam, karena Bagdad sebagai pusat kebudayaan dan peradaban Islam
yang sangat kaya dengan khazanah ilmu pengetahuan itu ikut pula lenyap
dibumihanguskan oleh pasukan Mongol yang dipimpin Hulaghu Khan.[20]
PENUTUP
Perkembangan peradaban
dan kebudayaan serta kemajuan besar yang dicapai Daulah Abbasiyah pada periode
pertama telah mendorong para penguasa untuk hidup mewah, bahkan cenderung
mencolok. Setiap khalifah cenderung ingin lebih mewah daripada pendahulunya.
Kondisi ini memberi peluang kepada tentara profesional asal Turki untuk mengambil
alih kendali pemerintahan. Di
samping itu ada beberapa faktor lain yang menyebabkan kemunduran Daulah
Abbasiyah yaitu:
1. Faktor Militer
2. Faktor Non Militer
-
Perebutan Kekuasaan di Pusat Pemerintahan
-
Munculnya Dinasti-Dinasti Kecil yang Memerdekakan Diri
-
Kemerosotan Perekonomian
-
Munculnya Aliran-Aliran Sesat dan Fanatisme Keagamaan
Akhir dari kekuasaan Daulah Abbasiyah ialah ketika
Bagdad dihancurkan oleh pasukan Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan pada
tahun 656 H/ 1258 M. Bagdad
dibumihanguskan dan diratakan dengan tanah. Khalifah Bani Abbasiyah yang
terakhir beserta keluarganya dibunuh. Buku-buku yang
terkumpul di Baitul Hikmah dibakar dan dibuang ke sungai Tigris. Dengan
demikian, lenyaplah Dinasti Abbasiyah telah memainkan peran penting dalam
percaturan kebudayaan dan peradaban Islam secara gemilang.
DAFTAR PUSTAKA
al-Afifi, Abdul Hakim, Mausu’ah Alf Huduts Islami, Beirut: Auraq Syarqiyyah, 1996, terjemahan Irwan Kurniawan, 1000 Peristiwa Dalam Islam, Bandung: Pustaka Hidayah, 2002
Hitti, Philip. K, History of the Arabs, Terj. R. Cecep Lukman Yasin, Jakarta: Serambi, 2008
al-Isy, Yusuf, Tarikh ‘Ashy al-Khilafah al-Abbasiyyah, Terj. Arif Munandar, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007
Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, Jilid II, Padang: IAIN IB Press, 2002
Mufrodi, Ali, Islam Di Kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta: Logos wacana Ilmu, 1997
al-Usyairy, Ahmad, at-Tarikh al-Islami, Terj. Samson Rahman, Jakarta: Akbar, 2003
Yatim, Badari , Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiayah II, Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2000
http://archive.kaskus.us/thread/6163737, Download:
Sabtu/22 Oktober 2011
[1]Ali Mufrodi, Islam Di Kawasan
Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos wacana Ilmu, 1997), h. 107
[2] Badari Yatim , Sejarah Peradaban Islam
Dirasah Islamiayah II, (Jakarta:
Raja Grapindo Persada, 2000), h. 80
[3]Yusuf
al-Isy, Tarikh ‘Ashy al-Khilafah al-Abbasiyyah, Terj. Arif Munandar,
(Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2007), h. 102
[4]Badri Yatim , op.cit., h.
50
[5]Ibid., h. 63
[6]Yusuf al-Isy, op.cit., h. 137
[7]Badari Yatim , op.cit, h. 261
[8]Philip K. Hitti, History
of the Arabs, Terj. R. Cecep Lukman Yasin, (Jakarta: Serambi, 2008), h. 436
[9]Badari Yatim , op.cit. h.
82
[10]Ahmad al-Usyairy, at-Tarikh
al-Islami, Terj. Samson Rahman, (Jakarta: Akbar, 2003), h. 224
[11]Badari Yatim , op.cit. h. 83
[12]Ibid. h. 84
[13]Ahmad
al-Usyairy, op.cit., h. 258
[14]Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, Jilid II,
(Padang: IAIN IB Press, 2002), h. 112
[15]Philip K. Hitti, op.cit., h. 619
[16]Maidir Harun dan Firdaus, Op.cit., h. 113
[17]Ibid, 114
[18]Abdul Hakim al-Afifi, Mausu’ah Alf Huduts Islami, (Beirut: Auraq
Syarqiyyah, 1996), terjemahan Irwan Kurniawan, 1000 Peristiwa Dalam Islam,
(Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), h.
318
[19]Ibid, 319
0 Comment