PERADABAN ISLAM PADA MASA PERIODE AWAL
BANI ABBASIYAH (132 H-232H/ 750-847 M)
A.
Pendahuluan
Tradisi suksesi kepemimpinan khulafarasyidin yang diawali
dengan musyawarah mufakat berakhir, ketika perpindahan kekuasaan dari Hasan bin
Abi Thalib ke Umayyah. Penyerahan kekuasaan ini dilakukan dengan pertimbangan kemaslahatan
umat, dan itu dituangkan dalam bentuk perjanjian antara Hasan bin Abi Thalib
dengan Muawiyah, bahwa sehabis kepemimpinan Muawiyah atau Muawiyah sudah tidak
mampu menjadi khalifah, maka urusan kepemimpinan tersebut diserahkan kepada
kaum muslimin untuk menentukan pemimpin baru. Namun, Muawiyah diusianya yang
uzur menunjuk anaknya Yazid sebagai putra mahkota, yang kelak akan
menggantikannya sebagai khalifah. Penunjukkan ini menandai dimulainya Dinasti Umayyah,
yang terambil dari nama kakek mereka. Walaupun demikian pencatatan tahun
berdirinya Bani Umayyah dihitung sejak naiknya Muawiyah sebagai pemimpin kaum
muslimin pada tahun 42 H/661 M.
Penunjukkan Yazid menimbulkan reaksi dan penentangan yang keras
dari kaum muslimin, apalagi Yazid bukanlah orang yang tepat karena akhlaknya
yang buruk. Yazid tidak dapat dibendung menjadi khalifah. Dimasanya terjadi
pembantaian terhadap cucu Nabi Muhammad, Husein dan keluarganya. Apa yang
dilakukan Yazid sangat melukai hati keluarga Rasul dan kaum muslimin. Timbullah
berbagai pemberontakan dikalangan muslimin. Dari pengikut Ali timbul
pemberontakan Syiah dan Khawarij. Semua pemberontakan tersebut dibasmi dengan
kejam oleh penguasa Bani Umayyah
Perlawanan tiada henti terus dilakukan oleh pendukung Ali bin Abi
Thalib. Dimasa Khalifah Abdul Malik Bin Marwan mulai tidak ada lagi perlawanan.
Abdul Malik Bin Marwan berhasil menumpas pemberontakan Abdulllah bin Zubair.
Sejak saat itu seluruh aspek kehidupan kaum muslimin berhasil dikendalikan oleh
penguasa Bani Umayyah. Kaum muslimin dikekang haknya, hingga tiba di masa
pemerintahan Umar bin Abdul Azis. Dimasa beliau kebebasan dirasakan kaum
muslimin. Cacian terhadap sahabat di mimbar–mimbar dilarang. Perubahan politik
ini dimanfaatkan oleh berbagai kabilah untuk berupaya merebut kekuasaan. Salah
satunya keturunan Abbas bin Abdul Muthalib. Sejak pemerintahan Umar Bin Abdul
Azis tokoh politik keluarga ini telah berupaya menyusun kekuatan. Gerakan bawah
tanah adalah strateginya. Hal ini didukung dengan perubahan politik dan
perjalanan waktu. Semakin hari sejak meninggalnya Umar bin Abdul Azis,
kekuasaan Bani Umayyah di Damaskus semakin lemah. Khalifah-khalifah pengganti
Umar bin Abdul Azis tidak secakap dan sebijak beliau. Musuh-musuh politik Bani
Umayyah semakin meningkatkan perlawanannya. Begitupula dengan Abdullah As Saffah dengan strategi ingin
mengembalikan keturunan Ali ke atas singgasana kekhalifahan, Abbas berhasil
menarik dukungan kaum Syiah untuk mengobarkan perlawanan terhadap kekuasaan
Bani Umayyah. Hingga akhirnya kelompok ini berhasil menumbangkan khalifah
Marwan II bin Muhammad sebagai khalifah terakhir Bani Umayyah di Damaskus.
Abbas dengan kecerdikannya berhasil membentuk pemerintahan baru dan dia sendiri
sebagai pemimpinnya. Naiknya Abbas sebagai khalifah kaum muslimin adalah era
bergantinya kekuasaan dari tangan Bani Umayyah ke Bani Abbasiyah. Dalam makalah
ini penulis membahas lebih lanjut proses
terbentuknya Bani Abbasiyah, keberhasilan yang mereka peroleh dan peranan dari
Bani Abbasiyah periode pertama 132 H/ 750 M- 232 H/847 M dalam peradaban Islam.
B.
Pembahasan
1.
Sejarah Berdirinya Dinasti Abbasiyah
Kelahiran
Dinasti Abbasiyah, diawali dari gerakan oposisi yang dilancarkan oleh kaum
syiah yang dipimpin oleh Muhammad bin Ali. Gerakan ini dimulai sejak
terbunuhnya Husein bin Ali dan pengikutnya di Karbela. Tujuannya menjatuhkan
Bani Umayyah, karena dalam pandangan mereka yang berhak menjadi khalifah adalah
keturunan Ali bin Abi Thalib, sedangkan Bani Umaiyah bukanlah dari keturunan
Ali bin Abi Thalib. Gerakan ini pada mulanya bernama gerakan Bani Hasyim. Agar
gerakan ini mendapat dukungan yang luas, sehingga keturunan Ali bin Abi Thalib
dan Abbas bin Abdul Muthalib bergabung dengan mereka dalam memusuhi Bani
Umayyah.
Gerakan yang
dilakukan Bani Hasyim, ada dua, yaitu:
-
Gerakan bawah tanah
Tahap ini
dimulai sejak Muhammad al-Hanafiyah seorang syiah diangkat menjadi pemimpin
gerakan oposisi. Setelah beliau wafat digantikan oleh putranya Abu Hasyim bin
Muhammad al-Hanafiyah. Gerakan ini dapat diketahui oleh khalifah Bani Umayyah.
Pada Tahun 98 H, ia diundang oleh Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik (98-99 H/
715-717 M) ke istana di Damaskus. Undangan ini dipenuhi oleh Muhammad
al-Hanafiyah, namun dalam minumannya telah dibubuhi racun, sehingga setelah itu
ia menderita sakit dan meninggal dunia di kota Humaimah (sebuah kota
yang terletak antara Suria dan Hijaz, yaitu sebuah kota pusat oposisi pada saat
itu-pen). Sebelum meninggal dunia, ia telah berwasiat kepada Muhammad
bin Ali bin Abdullah bin Abbas. Dengan demikian gerakan yang dipimpin oleh kaum
syiah, telah diserahkan kepada keturunan Bani Abbas.[1]
Setelah Muhammad bin Ali wafat pada tahun 125
H/742 M, pimpinan gerakan oposisi dipegang oleh Ibrahim bin Muhammad. Pada saat
itu gerakannya sudah meluas dan mendapat dukungan dari kaum mawali (non Arab). Peningkatan gerakan ini terjadi
pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz (99-111 H).
-
Gerakan terbuka
Gerakan ini
diawali dengan tertangkapnya Ibrahim bin Muhammad yang berakhir dipenjara di
Harran[2]
sebelum dieksekusi, ia mewasiatkan kepada adiknya Abu al-Abbas untuk
menggantikan kedudukannya dan memerintahkannya untuk pindah ke kufah.[3]
Pada masa ini khalifah Bani Umayyah dibawah pimpinan Marwan bin Muhammad sudah
mulai lemah, sehingga Abul Abbas mengutus pamannya Abdulah bin Ali untuk
menumpas pasukan Marwan. Pertempuran ini terjadi di tepi sungai al-zab al-shaghir
di Iran, Marwan terdesak dan melarikan diri ke Mosul, terus ke Palestina,
Yordania dan terakhir di Mesir. Abdullah bin Ali terus mengejar pasukan Marwan
bin Muhammad sampai ke Mesir, sehingga terjadi pertempuran disana. Akhirnya
petempuran itu dimenangkan oleh Abdullah bin Ali pada tanggal 27 Zulhijjah 132
H/750 M. Untuk membuktikan kemenangan tersebut, Abdullah bin Ali mengirimkan
kepalanya ke Kufah[4].
Sejak tahun 132 H/ 750 M Daulah Abbasiyah dinyatakan berdiri dengan khalifah
pertamanya Abu Abbas As-Saffah.[5]
Disamping itu
keberhasilan mereka didukung oleh penyadaran versi mereka kepada masyarakat,
bahwa Bani Abbas adalah keluarga dekat Nabi Muhammad saw., dan bahwasanya
mereka akan mengamalkan Alquran dan sunnah Rasul serta menegakkan syariat
Allah. Oleh sebab itu, ketika As-Shaffah di baiat, sebagai khalifah di
kota Kuffah, pada tahun 132H, janji mereka ini, diiringi dengan hujatan kepada
Muawiyah yang telah berkuasa dengan menzalimi umat, maka pantas untuk ditumpas
(sehingga pemerintahannya lebih dikenal dengan al-saffah yang berarti
seorang penumpas, serta penggulingan kekuasan itu merupakan pengambilan hak
mereka kembali menjadi khalifah.[6]
Walaupun pada akhirnya janji mereka ini dilanggar sendiri.
Meskipun
demikian menurut penulis keberhasilan Daulah Abbasiyah juga didukung oleh
kecermelangan dan kecerdasan khalifah Bani Abbasiyah itu sendiri, disamping
sebab diatas. Dinamakan daulah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa
dinasti ini adalah keturunan Abbas (Bani Abbas), paman nabi Muhammad SAW.
Pendiri dinasti ini adalah Abu Abbas as-Saffah.[7]
Silsilah keturunan Bani Hasyim yang melakukan gerakan menentang Muawiyah ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Setelah Abul
Abbas resmi menjadi khalifah, dia memindahkan pusat pemerintahan dari Damaskus
ke Kuffah, dengan beberapa pertimbangan:
a.
Para pendukung Bani Umayyah masih banyak yang
tinggal di Damaskus.
b.
Kota Kuffah jauh dari Persia, walaupun
orang-orang Persia adalah tulang punggung Dinasti Bani Abbas dalam
menggulingkan Umayyah.
c.
Kota Damaskus terlalu dekat dengan wilayah
kerajaan Bizantium, yang merupakan ancaman bagi pemerintahannya. Akan tetapi
pada masa pemerintahan Khalifah al-mansur (754-775 M) dibangun kota Bagdad
sebagai ibu kota Damaskus Bani Abbas yang baru.[8]
Walaupun Abu
Abbas pendiri daulah ini, pemerintahannya singkat (750-847 M). Pembina
sebenarnya daulah ini adalah Abu Ja’far al-Mansur. Untuk mengamankan kekuasaanya,
tokoh besar sezamannya yang mungkin menjadi pesaingnya satu persatu
disingkirkannya.[9]
Abdullah bin Ali, dan Abu Muslim al-Khurasani[10]
adalah tokoh-tokoh penting, mereka tidak dibiarkan hidup. Dari tindakannya
menyingkirkan pejabat-pejabat penting yang berjasa dapat dimaklumi bahwa Abu
Ja’far tidak menginginkan ada ganjalan dan rongrongan di awal pemerintahannya.
Pemerintahan yang baru berdiri di atas rezim lama harus kokoh. Bila ada
gerakan-gerakan yang berseberangan harus segera ditindak sebelum menjadi besar.
Bahkan tampak sekali ketakutan Ja’far akan hilang pengaruhnya, kalau di
sekelilingnya terdapat pejabat yang berpengaruh seperti Abu Muslim
al-Khurasani. Tokoh satu ini di samping panglima perang yang tangguh juga
memiliki tentara yang loyal padanya.
Ditinjau dari
proses pembentukannya, sebagaimana yang dikutip oleh Ajid Thohir dari Philip K.
Hitti, bahwa Dinasti Abbasiyah didirikan atas dasar-dasar antara lain:
1.
Dasar kesatuan untuk menghadapi perpecahan
yang timbul dari dinasti sebelumnya;
2.
Dasar universal, tidak berlandaskan atas
kesukuan;
3.
Dasar politik dan administrasi menyeluruh,
tidak diangkat atas dasar keningratan;
4.
Dasar kesamaan hubungan dalam hukum bagi setiap masyarakat Islam;
5.
Pemerintah bersifat Muslim moderat, ras Arab
hannyalah dipandang sebagai salah satu bagian di antara ras-ras lain;
6.
Hak memerintah sebagai ahli waris nabi masih
tetap di tangan mereka.[11]
2. Faktor Pendukung
Berdirinya Dinasti Abbasiyah
Di antara situasi-situasi yang mendorong berdirinya Dinasti
Abbasiyah dan menjadi lemah dinasti sebelumnya adalah:
1)
Timbulnya pertentangan politik antara Muawiyah
dengan pengikut Ali bin Abi Thalib;
2)
Munculnya golongan Khawarij, akibat
pertentangan politik antara Muawiyah dengan Syiah, kebijakan-kebijakan yang
kurang adil;
3)
Timbulnya politik penyelesaian khilafah dan
konflik dengan cara damai;
4)
Adanya dasar penafsiran bahwa keputusan politik
harus didasarkan pada Alquran dan oleh golongan Khawarij, orang-orang Islam non
Arab;
5)
Adanya konsep hijrah di mana setiap orang
harus bergabung dengan golongan Khawarij yang tidak bergabung dianggapnya
sebagai orang yang berada pada dar al-harb, dan hanya golongan
Khawarijlah yang berada pada dar al-Islam;[12]
6)
Bertambah gigihnya perlawanan pengikut Syiah
terhadap Umayyah setelah terbunuhnya Husein bin Ali dalam pertempuran Karbala.[13]
Disamping faktor diatas, masih ada faktor
lain, yaitu:
1) Faktor
Geografis, Khurasan merupakan tempat gerakan oposisi itu lahir, karena
daerah ini secara geografis jauh dari pusat kota Daulah Bani Umayyah, yaitu
Damaskus. Sedangkan gerakan oposisi ini terletak di kota Humaimah, yang
letaknya dekat dengan kota Damaskus, sehingga apa yang terjadi di Damaskus
dapat dimonitori oleh gerakan oposisi.
2) Faktor
etnis, kecenderungan Bani Umayyah terlalu memberi fasilitas dan
meninggikan penduduk yang berasal dari keturunan Arab dan menomorduakan kaum Mawali.[14]
3. Persamaan dan
Perbedaan Dinasti Abbasiyah dan Umayyah
Bentuk
kerajaan yang dipilih Bani Abbas sama seperti Bani Umayyah, bedanya Bani
Umayyah memilih bentuk kerajaan Kaisar Konstantinopel, sedangkan Bani Abbas
memilih bentuk Kekaisaran Persia.[15]
Dalam pelaksanaannya pemerintahan Bani Abbas bersifat temporal pawer
sekaligus spiritual pawer, sedangkan pemerintahan dinasti umayyah hanya
bersifat temporal pawer saja, sedangkan urusan agama diserahkan kepada
ulama/qadhi. Sedangkan konsep Bani Abbas, pada hakikatnya, bertumpu pada atas
pengakuan adanya hak kekuasaan suatu keluarga tertentu dalam berhadapan dengan
suatu keluarga lainnya.[16]
Memanfaatkan perselisihan Arab dan non Arab adalah keahliannya, bahkan tak
jarang politik devide et empere
digunakan untuk menghancurkan yang mereka anggap musuh. Bahkan untuk
melanggengkan “tahtanya” Abu Ja’far Al-Mansur menyatakan bahwa kekhalifahan
Bani Abbasiyah adalah amanat (jabatan suci) dari sang pencita, yang perlu
dijaga (diwariskan kepada keturunan) bukan untuk diserahkan kepada umat
pemilihannya. Dalam social kemasyarakatan Bnai Abbas merangkul orang mawali,
ini tidak pernah terjadi sebelumnya pada zaman Bani umayyah.
4. Khalifah Bani
Abbasiyah Periode Pertama 132 H-232 H/ 750-847 M
Menurut asal-usul penguasa selama masa 508 tahun Daulah Abbasiyah
mengalami tiga kali pergantian penguasa, yaitu Bani Abbas, Bani Buwaihi dan
Bani Seljuk.[17]
Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan yang diterapkan
berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Berdasarkan
perubahan politik itu, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan masa
Bani Abbas menjadi lima periode:
1)
Periode pertama (132 H/750 M-231 H/847 M),
disebut periode pengaruh Persia pertama.
2)
Peride kedua (232 H/847 M-334 H/945 M),
disebut masa pengaruh Turki Pertama
3)
Periode ketiga (334 H/945 M-447 H/1055 M),
masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah. Periode
ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua.
4)
Periode keempat (447 H/1055 M-590 H/1194 M),
masa kekuasaan dinasti Bani Seljuk dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah,
biasanya disebut dengan masa pengaruh Turki kedua.
5) Periode kelima (590 H/1194 M-656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaanya hanya efektif disekitar kota Bagdad. [18]
Adapun khalifah Bani Abbasiyah pada periode pertama adalah:
1)
Abu Abbas as-Saffah 132-137 H/ 750-754 M
2)
Abu Ja’far al-Mansur 137-159 H/ 754-775 M
3)
Al-Mahdi 159-169
H/ 775-785 M
4)
Al-Hadi 169-170
H/ 785-786 M
5)
Harun ar–Rasyid 170-194 H/ 786-809 M
6)
Al-Amin 194-198
H/ 809-813 M
7)
Al-Ma’mun 198-218
H/ 813-833 M
8)
Al-Mu’tasim 218-228
H/ 833-842 M
9)
Al-Wasiq 228-232
H/ 842-847 M[19]
Berikut ini
secara singkat penulis uraikan masa pemerintahan Bani Abbasiyah periode
pertama:
1)
Abu Abbas as-Saffah (132-137 H/ 750-754 M)
Pada masanya
terjadi revolusi sosial atas keluarga bani Umayyah dan Ibu kota Hasimiyah
dibangun di sebelah kota Anbar di pinggir sungai efrat.[20]
2)
Abu Ja’far al-Mansur (137-159 H/ 754-775 M)
Beliau diberi
gelah al-mansur karena beliau banyak memperoleh kemenangan dari pertempuran
yang diikutinya. Pada masa beliau Abu Muslim Al-Khurasi dibunuh atas
perintahnya, ibu kota Bagdad dibangun dengan mengambil lokasi di daerah pinggir
belahan timur Sungai Tigris, agak sebelah utara Madain dan Daulah Bani Umayyah
kedua berdiri di Andalusia, merdeka dari kekuasaan Daulah Abbasiyah.[21]
Beliau juga peletak dasar-dasar pemerintahan selanjutnya.
3)
Al-Mahdi (159-169 H/ 775-785 M)
Gaya kepemimpinannya
sangat berbeda dengan dua khalifah sebelumnya, al-Mahdi hidup mewah, dan suka
mabuk-mabukkan. Pada masa ini Empress Irene penguasa Byzantium pada tahun 782
memohon perdamaian kepada Al-Mahdi dan bersedia membayar upeti sebesar 70.000
ringgit. Peristiwa ini terjadi ketika Irene melihat ibu kota Konstatinopel
telah terancam dengan pengepungan tentara dan armada Abbasiyah. Pada saat itu
panglima perang Daulah Abbasiyah adalah Harun al-Rasyid.[22]
4)
Al-Hadi (169-170 H/ 785-786 M)
Nama lengkap
beliau adalah Musa bin Muhammad al-Mahdi, ia memerintah hanya setahun tiga
bulan lamanya.[23]
5)
Harun ar–Rasyid (170-194 H/ 786-809 M)
Nama
lengkapnya adalah Harun bin Muhammad al-Mahdi, beliau diberi gelar ar-Rasyid karena
kecendikiawanannya dalam melakukan perundingan, seperti yang terjadi pada kasus
ayahnya dengan Irene.[24]
6)
Al-Amin (194-198 H/ 809-813 M)
Al-Amin adalah
Muhammad putra Harun ar Rasyid dari istrinya dari keturunan Bani Hasyim. Amin
memecat saudaranya, Al-Ma’mun sebagai putra mahkota atas desakan orang-orang
dekatnya. Oleh sebab itu, terjadilah perang saudara yang berakhir dengan kemenangan
di pihak al-Ma’mun.[25]
7)
Al-Ma’mun (198-218 H/ 813-833 M)
Al-Ma’mun adalah
Abdullah putera ar-Rasyid dari isterinya keturunan Persia. Beliau sebagai
khalifah berkedudukan di Merv, ibu kota Khurasan, sejak kecil berdomisili di
sana. Pada masa ini mazhab Negara adalah mu’tazilah, dan perjadi peristiwa mihnah,
sampai masa al-Mu’tashim dan al-Wasiq. Pada masa beliau dianggap sebagian
sejarawan sebagai masa peradaban Islam yang gemilang.[26]
8)
Al-Mu’tasim (218-228 H/ 833-842 M)
Al-Mu’tasim adalah
Muhammad bin Harun ar-Rasyid. Ketika al-Ma’mun hendak wafat ia berwasiat
kepadanya dalam dua hal:
-
Melanjutkan al-Mihnah
-
Bersikap lunak kepada kelompok alawiyah
Wasiat ini dilaksanakan dengan baik, pada masanya didirikan kota Samarra dan beliau menggantikan peran orang-orang Persia dengan orang-orang Turki, terutama ketentaraan, sebab ibunya berasal dari keturunan Turki. Sejak itu orang-orang Turki mulai berpengaruh dalam kekuasaan Daulah Abbasiyah.[27]
9)
Al-Wasiq (228-232 H/ 842-847 M)
Pada masanya terjadi peritiwa besar, yaitu perpindahan secara besar-besaran penduduk jazirah Arab bagian selatan ke pesisir Afrika bagian Timur. Disana mereka membuka Bandar-bandar baru sebagai pusat perdagangan.[28]
5. Kebijakan-Kebijakan Daulah Bani Abbasiyah Periode Pertama 132-232 H/ 750- 847 M
a.
Bidang Politik dan Pemerintahan
Pada masa awal
berdirinya pemerintahan Daulah Abbasiyah terdapat beberapa kebijakan dalam
bidang politik dan pemerintahan:
a)
Mengejar dan membunuh pengikut dan keturunan
Bani Umayyah. Abbas memulai makar dengan
melakukan pembunuhan sampai tuntas semua keluarga khalifah. Begitu dahsyatnya
pembunuhan itu, sampai ia menyebut dirinya sang pengalir darah (as-Saffah).
Dalam peristiwa itu salah seorang pewaris tahta kekhalifahan Umayyah, yaitu
Abdurrahman yang baru berumur 20 tahun, berhasil meloloskan diri ke daratan
Spanyol.[29]
b)
Menyingkirkan tokoh-tokoh yang berpengaruh di
lingkaran Bani Abbasiyah, seperti Abdullah bin Ali dan Abu Muslim Al-Khurasani.
Tujuannya untuk menghilangkan pendewaan kalangan prajurit terhadap panglimanya,
karena dikhawatirkan dapat merongrong wibawa khalifah.
c)
Membasmi Pemberontakan
Pada masa Al-Mahdi terjadi pemberontakan di
Syria tahun 161 H. Para perusuh dapat dikalahkan dan diampuni. Di Mesopotamia
timbul pula pemberontakan yang dipimpin oleh al-Yasykuri yang berusaha merusak
beberapa wilayah, namun dapat ditumpas oleh al-Mahdi dan pemimpinnya terbunuh.
d)
Memindahkan ibu kota dari Damaskus ke Bagdad. Selain
daerahnya banyak pendukungnya, juga untuk menghilangkan pengaruh Bani Umayyah
di dalam hati masyarakat. Dengan ibu kota baru akan lahirlah semangat baru dan
ide–ide baru serta menghapus kenangan lama dari pemerintahan sebelumnya.
e)
Menghapus politik kasta.[30]
Salah satu propaganda Bani Abbasiyah adalah menyuarakan persamaan antara orang
Arab dan non Arab. Dengan demikian orang non Arab memberikan dukungan kepada
Bani Abbasiyah.
f)
Merangkul orang-orang Persia, ini dalam rangka
politik memperkuat diri.[31]
Hal ini tindak lanjut dari kebijakan penghapusan kasta dalam kehidupan
masyarakat.
Selain
kebijakan-kebijakan di atas, langkah-langkah lain yang diambil dalam program
politiknya adalah:
a)
Para khalifah tetap dari Arab, sementara para
menteri, gubernur, panglima perang dan pegawai lainnya banyak diangkat dari
golongan Mawali.
b)
Kota Bagdad ditetapkan sebagai ibu kota Negara
dan menjadi pusat kegiatan politik, ekonomi dan kebudayaan;
c)
Kebebasan berpikir dan berpendapat mendapat
porsi yang tinggi.[32]
d)
Memperluas wilayah
Pada periode
awal pemerintahan Dinasti Abbasiyah masih menekankan pada kebijakan perluasan
daerah. Upaya melakukan perluasan daerah Bani Abbasiyah bisa langsung ke
bentengnya di Asia, seperti kota Malatia, wilayah Coppadacio, dan Sicilia pada tahun
775-785. Ke utara bala tentaranya melintasi Pegunungan Taurus dan mendekati
Selat Bosporus, dan berdamai dengan Kaisar Constantine V. Bala tentaranya juga
berhadapan dengan bala tentara Turki Khazar di Kaukasus, Daylarni di Laut
Kaspia, Turki di bagian lain Oskus,
serta India.[33]
b.
Bidang Ekonomi dan Perdagangan
Pada masa al-Mahdi perekonomian mulai
meningkat dengan peningkatan di sektor pertanian, melalui irigasi.
Daerah-daerah pertanian diseluruh wilayah Negara, bendungan-bendungan dan
kanal-kanal digali sehingga tidak ada daerah pertanian yang tidak terjangkau
oleh irigasi, dan peningkatan hasil pertambangan seperti perak, emas, tembaga,
dan besi. Juga perdagangan transit antara Timur dan Barat juga banyak membawa
kekayaan. Basrah menjadi pelabuhan yang penting.[34]
Kota Basrah merupakan kota pelabuhan yang ramai disinggahi oleh kapal-kapal
dagang dari timur dan barat. Kota pelabuhan ini membawa kemajuan bagi
perdagangan yang memperoleh penghasilan besar. Dalam bidang perindustrian, Bani
Abbas telah membangun pabrik sabun di Basrah, Bagdad dan Samarra. Di samping
itu dibangun pabrik kertas, sutra dan sebagainya. Kemudian dibuka pertambangan,
seperti perak, emas, tembaga, besi dan sebagainya.[35]
Devisa Negara penuh berlimpah-limpah. Khalifah
al-Mansur merupakan tokoh ekonomi Abbasiyah yang telah mampu meletakkan
dasar-dasar yang kuat dalam bidang ekonomi dan keuangan Negara.
Di sektor perdagangan, kota Bagdad di samping
sebagai kota politik, agama dan kebudayaan, juga merupakan kota perdagangan
yang terbesar di dunia saat itu. Sedangkan
kota Damaskus merupakan kota ke dua. Sungai Tigris dan Effrat menjadi
pelabuhan trasmisi bagi kapal-kapal dagang dari berbagai penjuru dunia.
Terjadinya kontak perdagangan internasional ini semenjak khalifah al-Mansur.[36]
Pada masa Khalifah Harun ar-Rasyid kekayaan Negara telah melimpah ruah. Pada
masa ini kekayaan Negara sekitar 42 milyar dinar. Ini belum termasuk uang yang
berasal dari pajak hasil bumi. Jumlah di atas merupakan hal yang luar biasa
pada masa itu. Pengeluaran uang Negara digunakan untuk kemashlahatan
Negara, seperti untuk kepentingan sosial, membayar gaji para hakim, gaji para
penguasa pemerintah, gaji pegawai Baitul Mall, gaji tentara, mendirikan
rumah sakit, biaya pendidikan, gaji dokter dan apoteker serta pendirian
pemandian-pemadian umum.[37]
Selain itu juga dikeluarkan untuk membiayai pengerukan sungai-sungai, pembuatan
irigasi, pengolahan lahan pertanian, biaya orang tahanan dan tawanan serta
honor para ulama dan sastrawan.
c.
Bidang Sosial
Bani Abbasiyah mempelopori penghapusan kasta,
yang membedakan antara Arab dan non Arab. Masa Bani Umayyah akses bagi non Arab
dalam pemerintahan tidak pernah tercapai. Daulah Bani Abbasiyah memberi peluang
kepada non Arab untuk menduduki jabatan dalam pemerintahan. Pada periode
pertama pemerintahan Bani Abbasiyah membuka pintu bagi bangsa Persia untuk
duduk dalam pemerintahan. Karena periode awal Abbasiyah ini dikenal dengan
periode pengaruh Persia pertama.[38]
Kebijakan dalam sosial ini adalah salah satu kelebihan Bani Abbasiyah dari pada
Bani Umayyah. Di masa Bani Umayyah, sebagian besar golongan Mawali, terutama di Irak dan wilayah
bagian Timur lainnya, merasa tidak puas karena status Mawali itu menggambarkan suatu inferioritas, ditambah dengan
keangkuhan bangsa Arab yang diperlihatkan pada masa itu.
d. Bidang Pendidikan / Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan sangat berkembang pada masa
Bani Abbas. Ada dua kelompok ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa Bani
Abbas, yaitu ilmu naqliah dan ilmu aqliyah.[39]
Di antara ilmu-ilmu naqliyah yang maju perkembangannya pada masa ini adalah
sebagai berikut:
1.
Ilmu Tafsir
Pada masa ini
muncul dua aliran dalam ilmu tafsir, yaitu aliran Tafsir bil Ma’tsur dan Tafsir
bir Ra’yi. Aliran pertama lebih menekankan menafsirkan ayat-ayat Alqur’an dengan
hadits dan pendapat tokoh-tokoh sahabat. Sedangkan aliran tafsir yang ke dua
lebih banyak berpijak pada logika (rasio) dari pada nash. Di antara
ulama tafsir pada masa ini adalah Ibnu Jarir al-Thabari (w.310 H)[40].
Dengan demikian dapat dipahami bahwa perkembangan ilmu tafsir sampai saat ini
tidak terlepas dari pengaruh kedua aliran ini.
2.
Ilmu Hadits
Pada masa ini
muncul ulama-ulama hadits yang belum ada
tandingannya sampai zaman sekarang. Di antara yang terkenal ialah Imam Bukhari
(w. 256H). Imam Muslim (w. 251 H) terkenal sebagai seorang ulama hadits dengan
bukunya Shahih Muslim.[41]
3.
Ilmu Fiqh
Pada masa ini
lahir fuqaha ternama yang kita kenal, seperti Imam Hanifah (700-767 M), Imam
Malik (713-795 M), Imam Syafei (767- 820 M) dan Imam Ahmad Ibnu Hambal (780-855M).[42]
4.
Ilmu Kalam
Pada periode
pertama Abbasiyah ini terjadi pembauran umat muslim Arab dengan bangsa–bangsa
yang telah tinggi peradabannya, seperti di Iskandariyah Mesir, di Yundisafur
dan sebagainya. Oleh karena itu, ulama-ulama dituntut agar dapat memberi
keterangan dan penafsiran agama yang sesuai dengan tingkat kecerdasan dan
peradaban bangsa-bangsa tersebut. Lahirlah beberapa ulama dari golongan Mu’tazilah, yang lebih meninggikan akal
(rasio), seperti Washil bin Atha’ (81-131H), Abu Huzhail (135-235 H) dan
al-Nazham (185-221 H).[43]
Kontribusi
ilmu pengetahuan terlihat pada upaya Harun ar-Rasyid dan al-Makmun ketika
mendirikan sebuah akademi pertama dilengkapi pusat peneropongan bintang,
perpustakaan terbesar dan dilengkapi dengan lembaga untuk penerjemahan.[44] Baitul Hikmah sebuah tempat kajian
ilmu pengetahuan. Bani Abbasiyah periode awal ini memiliki andil yang besar
dalam peradaban Islam dan dunia umumnya.
Sementara
dalam ilmu Aqliyah dapat kita lihat dalam kemajuan ilmu tekhnologi (sains). Di
antara Kemajuan tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Astronomi, ilmu ini melalui karya India
Sindhind kemudian diterjemahkan oleh
Muhammad Ibnu Ibrahim al-Farazi
ia adalah astronom Muslim pertama
yang membuat astrolabe, yaitu alat untuk mengkur ketinggian bintang. Di
samping itu, masih ada ilmuwan-ilmuwan Islam lainnya, seperti Ali Ibnu Isa al-Asturlabi,
al- Farghani, al-Battani, Umar al- Khayyam dan al- Tusi[45]
2.
Kedokteran, pada masa ini dokter pertama yang
terkenal adalah Ali Ibnu Rabban al-Tabari. Pada tahun 850 ia mengarang buku Firdaus al-Hikmah. Tokoh lainnya
adalah al-Razi, al-Farabi dan Ibnu Sina.[46]
3.
Ilmu kimia. Bapak ilmu kimia Islam adalah
Jabir Ibnu Hayyan (721-815 M).[47]
4.
Sejarah dan geografi. Pada masa Abbasiyah
sejarawan ternama abad ke-3 H adalah Ahmad bin al-Yakubi, Abu Ja’far Muhammad
bin Jafar bin Jarir al-Tabari. Kemudian, ahli ilmu bumi yang termasyhur adalah
ibnu Khurdazabah (820-913 M).
Sebagaimana yang dikutip oleh Ajid Thohir dari
Syed Mahmudunnasr bahwa hasil besar yang dicapai oleh Dinasti Abbasiyah
dimungkinkan karena landasannnya telah dipersiapkan oleh Umayyah dan Abbasiyah
memanfaatkannya.[48]
5.
Filsafat[49]
Khalifah Harun
al-Rasyid dan al-Makmun adalah khalifah-khalifah Bani Abbasiyah yang amat
tertarik dengan filsafat, terutama filsafat Aristoteles dan Plato. Oleh karena
itu, tidaklah terlalu mengherankan apabila pada masa pemerintahan Daulah
Abbasiyah muncul beberapa orang filosuf Islam. Di antaranya adalah Al-Kindi
(796 -873 M).
e.
Pemahaman Agama
Periode pertama Abbasiyah ini terlihat para khalifahnya condong pada paham mu’tazilah. Sehingga pada masa Khalifah Al-Makmun, mu’tazilah diakui sebagai mazhab resmi pemerintah.[50]
f.
Kesenian
Di antara
khalifah Bani Abbasiyah yang mencintai kesenian adalah Harun ar-Rasyid. Beliau
menyukai syair-syair. Di antara penyair di masa ini yang terkenal adalah Abu
Nawas, yang pada dasarnya seorang ahli hikmah.[51]
Khalifah–khalifah
Bani Abbasiyah juga menyukai seni arsitektur. Kemenangan demi kemenangan yang
dicapai khalifah sebelum ar-Rasyid dan al-Makmun, mempermudah mewujudkan kemakmur
Negara serta stabilitas politik yang stabil. Khalifah Harun dan para pembesar Negara
menikmati kemewahan dengan gaya hidup istana yang indah, seperti istana al-Khuld yang diambil dari nama Jamalul Khuld yang diterangkan dalam
al-Quran surat al-Furqan: 15. Istana as-Salam yang diambil dari ayat-ayat
al-Qur’an surat al-An’am: 127, yakni Darussalam.[52]
Dengan nama-nama itu mereka ingin mewujudkan surga di bumi ini. Memang demikianlah
sifat penguasa jika kekayaan Negara melimpah dan stabilitas politik aman,
hasrat untuk hidup bersenang-senang akan timbul dengan sendirinya. Hal ini menyebabkan
penguasa melupakan memperkuat sistem meliternya.
6. Faktor–Faktor Pendukung Perkembangan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi
Perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi pada masa Daulah Bani Abbasiyah didukung oleh
hal berikut:
1)
Perhatian pemerintah yang besar terhadap
kemajuan ilmu pengetahuan.
2)
Strategi kebudayaan rasional (kebebasan
berfikir) dikalangan umat Islam
3)
Kemakmuran dan ekonomi yang baik
4)
Stabilitas politik
5)
Motivasi ajaran agama Islam
6)
Pandangan yang tepat terhadap ilmu pengetahuan[53]
C. Penutup
Dari kajian
pemhasan diatas dapat disimpulkan. Pertama, pemerintahan Bani Abbasiyah
periode pertama telah berhasil mempelopori kemajuan peradaban manusia dewasa
ini. Dengan lembaga Darul Hikmahnya, banyak buku-buku dari Yunani diterjemahkan
ke dalam bahasa Arab. Hal ini memulainya masuknya pengaruh filsafat Yunani,
sehingga berkembanglah ilmu filsafat di dunia Islam. Seiring dengan
perkembangan filsafat, lahirlah berbagai cabang ilmu pengetahuan seperti ilmu
kedokteran, astronomi dan ilmu-ilmu lainnya.
Kedua, khalifah Abu
Ja’far al-Manshur adalah Pembina dan pengokoh sendi-sendi kekuasaan Bani
Abbasiyah. Sementara Harun al-Rasyid dan al-Makmun terkenal sebagai khalifah
yang menghiasi kekuasaan Bani Abbasiyah dengan berbagai kemakmuran dan
kesejahteraan.
Ketiga, sebagai pelanjut
kepemimpinan umat Islam sesudah era Bani Umayyah, dengan maksud menyatukan
umat, aliran Mu’tazilah ditetapkan sebagai aliran resmi negara. Hal ini
dilakukan akibat bersentuhannya kebudayaan Umat Islam dewasa itu dengan
kebudayaan bangsa-bangsa yang sudah maju zaman itu.
👉ISLAM PADA MASA KHALIFAH ABU BAKAR SIDDIQ
👉PERANG SALIB
DAFTAR KEPUSTAKAAN
A. Hasymy, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993
Asmuni, Yusran, Dirasah Islamiyah II Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan Pemikiran, Jakarta: Rajawali Grafindo Persada, 1998
Amin, M. Masyhur, Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Indonesian Spirit Fondasion, 2004
Bek, Al-Khudri, Muhadharat Tarukh al-Umam al-Islamiyat al-Daulat al-Abbasiyat, Cairo: Maktabat al-Tijariyat, 1953
Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT Intermasa, 1994
Harun, Maidir, Firdaus, Sejarah Peradaban Islam I, Padang: IAIN-IB Press, 2001
_______, Sejarah Peradaban Islam Jilid II, Padang, IAIN IB Press, 2002
Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam, al-Juz al-Awal, Cairo: Maktabat al-Nahdah Mishriyat, 1979
Madjid, Noercholis, Khazanah Intelektual Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1989
Al-Maududi, Abul A’la, Al-Khilafah wa Al-Mulk, Kuwait: Dar Alqalam, 1978M/1398H terjh. Muhammad Albaqir, Khilafah dan Kerajaan, Jakarta: Mizan, 1994
Mufrodi, Ali, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta: Logos, 1997
Nasution, Harun, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI-Press, 1985
_______, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, Jakarta: UI Press, 1985
Naufal, A. Raziq, Umat Islam dan Sains Modern, Bandung: Husaini, 1978
Salabi, Ahmad, Mausu’ah al-Tarikh al-Islami al-Hadharah al-Islamiyah, Kairo: Maktabah Al-Nadhah Al-Mishriyah, 1979, Jilid 4
Su’ud, Abu, Islamologi, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003
Thohir, Ajid, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004
Yatim, Badri, Sejarah
Peradaban Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo, 1993
[1] Maidir Harun, Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, (Padang: IAIN-IB Press, 2002), hal.4
[2] Peristiwa ini terjadi pada masa
Khalifah Marwan bin Muhammad, penangkapan ini didasari oleh isi surat Ibrahim
bin Muhamad kepada Abu Musa Al-Khurasani di Khurasan agar membunuh setiap orang
yang berbahasa Arab keturunan Bani Umayah di Khurasan. Lihat Hasan Ibrahim
Hasan, Tarikh al-Islam, al-Juz al-Awal, (Cairo: Maktabat al-Nahdah
Mishriyat, 1979), hal. 11. Lihat juga Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah
Peradaban Islam Jilid II, (Padang, IAIN IB Press, 2002), hal.2
[3] Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos, 1997), hal.88
[4] Maidir Harun, Firdaus, Opcit., hal. 5
[5] Ensiklopedi Islam, Opcit., hal.4
[6] Abul A’la Al-Maududi,
Al-Khilafah wa Al-Mulk, (Kuwait: Dar Alqalam, 1978M/1398H), terjemahan
Muhammad Albaqir, Khilafah dan Kerajaan, (Jakarta: Mizan, 1994), hal.
248
[7] Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT
Intermasa, 1994), hal. 4 lihat juga Al-Khudri Bek, Muhadharat Tarukh al-Umam
al-Islamiyat al-Daulat al-Abbasiyat,(Cairo: Maktabat al-Tijariyat, 1953),
hal. 9-10, lihat juga Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah Peradaban Islam
Jilid II, (Padang, IAIN IB Press, 2002), hal.6
[8] Maidir Harun, Firdaus, Opcit., hal. 8
[9] Ibid., hal.5
[10] Abdullah bin Ali, adalah panglima
yang telah mengalahkan pasukan Marwan bin Muhammad, maka ia merasa berhak
terhadap jabatan khalifah disamping itu beliau adalah saudara kandung dari Nabi
Muhammad saw, hal ini didukung oleh Abu Muslim al-Khurasani.
[11] Ajid Thohir, Opcit., hal. 44
[12] Noercholis Madjid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1989), hal.12-13
[13] Ajid Thohir, Opcit., h. 45
[14] Maidir Harun, Firdaus, Opcit., hal. 6-7
[15] Abul A’la Al-Maududi, Opcit.,
hal. 253 Menurut K. Ali dalam tatanan kenagaraan Bani Abbas memakai istilah
wazir untuk mengendalikan wilayah yang luas. Wazir itu ada dua macam, 1) wazir
tanfidz/kekuasaanya terbatas, 2) wazir tafwid/kekuasaanya menjadi tidak
terbatas, jika khalifah lemah, system pemerintahan semacam ini berasal dari
Persia.
[16] Ibid., hal. 254
[17] Ibid., hal. 73
[18] Bojena Gajane Stryzewska,
Tarikh al-Daulat al-Islamiyah, (Beirut: Al-Maktab Al-Tijari, tt), hal. 360.
Lihat juga Badri Yatim, Sejarah Peradaban
Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 1993), hal. 49
[19] Ensiklopedi Islam, Opcit.,
hal. 5
[20] M. Masyhur Amin, Sejarah Peradaban
Islam, Bandung: Indonesian Spirit Fondasion, 2004), hal. 107
[21] Ibid
[22] Ibid
[23] Ibid
[24] Ibid, hal 108
[25] Ibid
[26] Ibid., hal 109
[27] Ibid., hal. 110
[28] Ibid
[29] Abdurrahman memasuki Spanyol pada
tahun 138H/755M dan menjadi Amir pertama yang diberi gelat Al-Dakhil (yang
masuk Spanyol). Waktu itu Spanyol berada di bawah kekuasaan pemerintahan Islam
Bani Abbasiyah di Baghad, lihat Ahmad Salabi, Mausu’ah al-Tarikh al-Islami
al-Hadharah al-Islamiyah, Jilid 4 (Kairo: Maktabah Al-Nadhah Al-Mishriyah,
1979 M), hal. 41-50, lihat juga Abus Su’ud,
Opcit., hal. 72
[30] Ajid Rosidi, Opcit., hal. 53
[31] Ibid
[32] A. Hasymy, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hal.213
[33] Abu Su’ud, Islamologi, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003), hal.75
[34] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 1993), hal. 52
[35] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya,
(Jakarta: UI- Press, 1985), hal. 68
[36]
Ajid, Rosidi., Opcit., hal. 55
[37] Maidir Harun, Firdaus, Opcit., hal.17
[38] Badri Yatim., Opcit., hal.49
[39] Maidir Harun, Firdaus, Opcit. hal. 19
[40] Ibid., hal. 20
[41] Ibid., hal. 21
[42] Ajid Thohir, Opcit., hal. 51
[43] Maidir Harun, Firdaus, Opcit., hal. 22
[44] Ajid Thohir, Opcit., hal.50
[45] A. Hasymy, Opcit., hal. 212
[46] A. Raziq Naufal, Umat Islam dan Sains Modern, (Bandung:
Husaini, 1978), hal. 47
[47] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya,
Jilid II, (Jakarta: UI Press, 1985), h.62
[48] Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam. (
[49] Faktor-faktor yang mendorong umat
Islam menerima filsafat tersebut adalah: 1) didorong oleh ajaran Islam sendiri,
agar kaum muslimin berusaha memperkaya dirinya dengan ilmu pengetahuan, 2)
metode-metode filsafat dapat menjelaskan dan memperkaya akidah dan dengan
filsafat orang akan lebih sukses dalam berpolitik atau berapologi, 3) situasi
dan kondisinya menghendaki demikian, karena untuk berdakwah dalam masyarakat
filosof atau cerdik pandai orang harus menguasai filsafat. Lihat Yusran Asmuni,
Dirasah Islamiyah II Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan Pemikiran,
(Jakarta: Rajawali Grafindo Persada, 1998), hal. 11-12
[50] Maidir Harun, Firdaus, Loccit., hal. 22
[51] Abu Su’ud, Opcit., hal.78
[52] Ali Mufrodi, Opcit, hal. 94
[53] Maidir Harun, Firdaus, Loccit., hal. 36
0 Comment