SEJARAH PERADABAN ISLAM MASA DINASTI FATIMIYYAH MESIR
A.
PENDAHULUAN
Loyalitas
terhadap Ali bin Abi Thalib adalah isu terpenting bagi komunitas Syi’ah untuk
mengembangkan konsep Islamnya, melebihi isu hukum dan mistisme. Pada abad ke-
VII dan ke- VIII M, isu tersebut mengarah kepada gerakan politis dalam bentuk
perlawanan kepada Khalifah Umaiyah dan Khilafah Abbasiyah. Meski Khilafah
Abbasiyah mampu berkuasa dalam tempo yang begitu lama, akan tetapi periode
keemasannya hanya berlansung singkat. Puncak kemerosotan kekuasaan khalifah-khalifah
Abbasiyah ditandai dengan berdirinya khilafah-khilafah kecil yang melepaskan
diri dari kekuasaan politik Khalifah Abbasiyah.
Khilafah-khilafah
yang memisahkan diri itu salah satu diantaranya adalah Fatimiyah yang berasal
dari golongan Syi’ah sekte Ismailiyah, yakni sebuah aliran sekte di Syi’ah yang
lahir akibat perselisihan tentang pengganti imam Ja’far al-Shadiq yang hidup
antara tahun 700-756 M. Fatimiyah hadir sebagai tandingan bagi penguasa
Abbasiyah yang berpusat di Baghdad yang tidak mengakui kekhalifahan Fatimiyah
sebagai keturunan Rasulullah dari Fatimah. Karena mereka menganggap bahwa
merekalah ahlul bait sesungguhnya dari Bani Abbas.
Oleh karena itu,
dalam makalah ini penulis akan membahas tentang pusat peradaban Islam di mesir
dengan penglima perang dinasti Fatimiyah. Diantaranya :
·
Awal Pembentukan dan Perkembangan
Dinasti Fatimiyah
·
Khalifah Daulah Fatimiyah
·
Masa Kemajuan dan Kontribusi
Dinasti Fatimiyah Terhadap Peradaban Islam
· Masa Kemunduran dan Kehancuran Dinasti Fatimiyah
2.
PEMBAHASAN
A.
Awal Pembentukan
dan Perkembangan Dinasti Fatimiyah
Dr. Aiman Fuad Rasyid dalam bukunya Daulah Fatimiyah fil Misr mengatakan,
setelah meninggalnya Imam Ja’far As-Shadiq, anggota sekte Syiah Ismailiyah
berselisih pendapat mengenai sosok pengganti sang imam. Ismail, putra Ja’far
yang ditunjuk secara nash sebagai penggantinya, telah meninggal terlebih dahulu
pada saat bapaknya masih hidup. Pada saat yang sama, mayoritas pengikut
Ismailiyah menolak penunjukan Muhammad yang merupakan putra Ismail. Padahal,
menurut mereka, terdapat sosok Musa Al-Kadzhim yang dinilai lebih pantas
memegang tampuk kepemimpinan. Maka berdasarkan kesepakatan, diangkatlah Musa
Al-Khazim sebagai imam mereka, manggantikan bapaknya sendiri.[1]
Sekte Ismailiyah ini pada awalnya
tetap tidak jelas keberadaannya, sehingga datanglah Abdullah ibn Maimun yang
kemudian memberi bentuk terhadap sistem agama dan politik Ismailiyah ini.
Menurut Van Grunibaum, pada tahun 860 M kelompok ini pindah ke daerah Salamiya
di Syiria dan disinilah mereka membuat suatu kekuatan dengan membuat pergerakan
propagandis dengan tokohnya Said ibn Husein. Mereka secara rahasia menyusup
utusan-utusan keberbagai daerah Muslim,
terutama Afrika dan Mesir untuk menyebarkan Ismailiyat kepada rakyat. Dengan
cara inilah mereka membuat landasan pertama bagi munculnya Dinasti Fatimiyah di
Afrika dan Mesir.[2]
Pada tahun
874 M muncullah seorang pendukung kuat dari Yaman bernama Abu Abdullah
al-Husein yang kemudian menyatakan dirinya sebagai pelopor al mahdi. Abdullah
al-Husein kemudian pergi ke Afrika Utara, dan karena pidatonya yang sangat
baik dan berapi-api ia berhasil
mendapatkan dukungan dari suku Barbar Ketama. Selain itu, ia mendapat dukungan
dari seorang Gubernur Ifrikiyah yang bernama Zirid. Philip K Haiti menyebutkan
bahwa setelah mendapatkan kekuatan yang diandalkan ia menulis surat kepada Imam
Ismailiyat (Said ibn Husein) untuk datang ke Afrika Utara, kemudian Said
diangkat menjadi pemimpin pergerakan[3]. Pada tahun 909 M, Said
berhasil mengusir Ziadatullah seorang penguasa
Aghlabid terakhir untuk keluar dari negrinya. Kemudian, Said
diproklamasikan menjadi imam pertama dengan gelar Ubaidillah al-Mahdi. Dengan
demikian berdirilah pemerintahan Fatimiyah pertama di Afrika dan al Mahdi
menjadi khalifah pertama dari dinasti Fatimiyah yang bertempat di Raqpodah
daerah al-Qayrawan.
Pada tahun
914 M mereka bergerak kearah Timur dan berhasil menaklukkan Alexanderia,
menguasai Syiria, Malta, Sardinia, Cosrica, pulau Betrix dan pulau lainnya.
Selanjutnya pada tahun 920 M ia mendirikan kota baru di pantai Tusinia yang
kemudian diberi nama al-Mahdi. Pada tahun 934 M, al-Mahdi wafat dan digantikan
oleh anaknya yang bernama Abu al-Qosim dengan gelar al-Qoim (934 M/ 323 H).
Pada tahun 934 M al-Qoim mampu menaklukkan Genoa dan wilayah sepanjang
Calabria. Pada waktu yang sama ia mengirim pasukan ke Mesir tetapi tidak berhasil karena sering
dijegal oleh Abu Yazid Makad, seorang khawarij di Mesir. Al-Qoim meninggal,
kemudian digantikan oleh anaknya al-Mansur yang berhasil menumpas pemberontakan
Abu Yazid Makad.[4]
Pada tahun 945 M bani Fatimiyah sudah berhasil memantapkan diri di Tunisia dan menguasai beberapa daerah sekelilingnya dan Sisilia. Kemajuan-kemajuan yang paling penting terjadi selama pemerintahan al-Muiz adalah ia mempunyai seorang Jendral yang cemerlang yaitu Jauhar. Dalam bagian awal pemerintahan, Jauhar memimpin suatu pasukan penakluk ke atlentik, dan keunggulan Fatimiyah ditegakkan atas seluruh Afrika Utara. Kemudian al-Muiz mengalihkan perhatiannya ke Timur. Jelas tersirat dalam pendirian bani Fatimiyah bahwa mereka harus mencoba untuk menguasai pusat dunia Islam dan dua pendahulunya telah melakukan perjalanan penaklukan yang tidak berhasil terhadap Mesir. Sekarang, persiapan-persiapan cermat termasuk propaganda politis (yang dibantu oleh bencana kelaparan hebat di Mesir). Jauhar menerobos Kairo Lama (al-Fustat) tanpa mengalami kesulitan yang berarti dia bisa menguasai negara ini. Seorang pangeran Ikhshidiyah secara resmi masih berkuasa, tetapi rezim Ikhshidiyah sudah tidak berfungsi lagi dan tidak memberikan perlawanan pada Jauhar. Nama khalifah Abbasiyah serta merta dihilangkan dari do’a ibadah Jum’at, walaupun cara-cara ibadah Ismailiyah hanya dimasukkan secara bertahap. Jauhar segera mulai membangun sebuah kota baru bagi tentaranya yang diberi nama al-Qahirah yang berarti kota kemenangan atau disebut juga dengan Kairo. Pada tahun 973 M kota Kairo menjadi kediaman imam atau khalifah Fatimiyah dan pusat pemerintahan.[5]
B.
Khalifah Daulah
Fatimiyah
Khalifah-khalifah daulah Fatimiyah secara keseluruhan
ada empat belas orang
1. Abu Muhammad Abdullah (Ubaydillah) al-Mahdi billah (909 M - 934 M).
2. Abul-Qasim Muhammad al-Qa'im bi-Amr Allah bin al-Mahdi Ubaidillah (934 M -
946 M).
3. Abu Zahir Isma'il al-Mansur billah (946 M – 953 M).
4. Abu Tamim Ma'ad al-Mu'izz li-Dinillah (953 M – 975 M).
5. Abu Mansur Nizar al-'Aziz billah (975 M – 996 M).
6. Abu 'Ali al-Mansur al-Hakim bi-Amrullah (996 M- 1021 M).
7. Abu'l-Hasan 'Ali al-Zahir li-I'zaz Dinillah (1021 M - 1036M).
8. Abu Tamim Ma'add al-Mustansir bi-llah (1036 M – 1094 M)
9. Al-Musta'li bi-llah (1094 M – 1101 M).
10. Al-Amir bi-Ahkamullah (1101 M -1130 M).
11. 'Abd al-Majid al-Hafiz (1130 M -1149 M).
12. al-Zafir (1149 M – 1154 M).
13. al-Fa'iz (1154 M - 1160 M).
14. al-'Adid (1160 M – 1171 M).
Pekerjaan Fatimiyah yang pertama adalah mengambil
kepercayaan umat Islam bahwa mereka adalah keturunan Fatimah putri Rasul dan
istri dari Ali ibn Abi Thalib. Tugas yang selanjutnya diperankan oleh Muiz yang
mempunyai seorang Jendral bernama Jauhar Sicily yang dikirim untuk menguasai
Mesir sebagai pusat dunia Islam zaman itu. Berkat perjuangan Jendral Jauhar,
Mesir dapat direbut dalam masa yang pendek. Tugas utamanya adalah:
a.
Mendirikan Ibu Kota baru yaitu Kairo
b.
Membina suatu Universitas Islam yaitu al-Azhar
c.
Menyebarluaskan Ideologi Fatimiyah yaitu Syi’ah, ke
Palestina, Syiria dan Hijaz.[6]
Setelah itu baru khalifah Muiz datang ke Mesir tahun
362 H/973 M memasuki kota Iskandariyah, kemudian menuju Kairo dan memasuki kota
yang baru. Tiga tahun kemudian Muiz meninggal dunia dan digantikan oleh Aziz.
Sesudah itu digantikan oleh al-Hakim yang melanjutkan pembangunan daulah
Fatimiyah. Hakim memerintah selama 25 tahun, jasanya yang besar adalah
mendirikan Darul Hikmah[7] yang berfungsi sebagai
akademi yang sejajar dengan lembaga di Cordova dan Bagdad. Dilengkapi dengan
perpustakaan yang bermana Dar al-Ulum yang diisi dengan bermacam-macam buku
dengan berbagai ilmu.
C.
Masa Kemajuan dan
Kontribusi Dinasti Fatimiyah Terhadap Peradaban Islam
Sumbangan Dinasti Fatimiyah terhadap peradaban Islam
sangat besar sekali, baik dalam sistim pemerintahan maupun dalam bidang
keilmuan. Kemajuan yang terlihat pada masa kekhalifahan al-Aziz yang bijaksana
diantaranya sebagai berkut:
a.
Bidang Politik
dan Pemerintahan
Pada masa pemerintahan
Fatimiyah, kepada Negara dipimpin oleh seorang imam atau khalifah, para imam
bagi fatimi memang sesuatu yang diwajibkan, ini merupakan penerapan kekuasaan
yang turun temurun, mulai dari Nabi Muhammad, Ali bin Abi Thalib, kemudian selanjutnya
di teruskan oleh para imam. Imamah ini diwariskan dari seorang bapak kepada
anak laki-laki yang paling tua dari keturunan mereka. Dan menjadi syarat
penting yang harus dipenuhi dalam pengangkatan seorang imam adalah adanya nash
atau wasiat khusus dari imam sebelumnya.[8]
Baik wasiat yang di kemukakan di hadapan umat islam secara umum, atau hanya
diketahui oleh orang-orang tertentu sebagian dari mereka saja.
Para imam didinasti
fatimiyah, mereka anggap sebagai penjelmaan Allah di bumi, meraka menjadikan
Imam-imam sebagai tempat rujukan utama dalam syariat, dan orang paling dalam
ilmunya.
Selanjutnya dari segi
politik juga daulat fatimiyah membentuk wazir-wazir (wazir tanfiz dan wazir
tafwid). Wazir ini dibentuk pada masa Aziz billah pada bulan Ramadhan tahun 367H/979 M.[9]
Disamping itu daulat
fatimiyah juga membentuk dewan-dewan dalam pemerintahannya diantaranya, dewan
majlis , dewan nazar, dewan tahkik (sekretaris) dewan barid (pos),
dewan tartib (keamanan), dewan kharraj (pajak) dan lain-lainnya.[10]
Bentuk pemerintahan pada masa Fatimiyah merupakan
suatu bentuk pemerintahan yang dianggap sebagai pola baru dalam sejarah Mesir.
Dalam pelaksanaannya Khalifah adalah kepala yang bersifat temporal dan
spiritual. Pengakatan dan pemecatan penjabat tinggi berada di bawah kontrol
kekuasaan Khalifah.
Mentri-mentri Wazir kekhalifahan dibagi dalam dua
kelompok, yaitu kelompok Militer dan Sipil. Yang dibidangi oleh kelompok
Militer diantaranya: urusan tentara, perang, pengawal rumah tangga khalifah dan
semua permasalahan yang menyangkut keamanan. Yang termasuk kelompok Sipil diantaranya:
a. Qadi, yang
berfungsi sebagai hakim dan direktur percetakan uang
b. Ketua dakwah,
yang memimpin Darul Hikmah
c. Inspektur pasar,
yang membidangi bazar, jalan dan pengawasan timbangan
d. Bendaharawan
Negara, yang membidangi Baitul Mal
e. Wakil kepala
urusan rumah tangga Khalifah
f.
Qori, yang membaca al-Qur’an bagi Khalifah kapan saja
dibutuhkan.
Selain dari
penjabat di istana ini ada beberapa pejabat lokal yang diangkat oleh Khalifah
untuk mengelola bagian wilayah Mesir, Siria, dan Asia kecil. Ketentaraan dibagi
ke dalam tiga kelompok:
1. Amir-amir yang
berdiri dari pejabat-pejabat tinggi dan pengawal Khalifah
2. Para Obsir Jaga
3. Resimen yang
bertugas sebagai Hafizah Juyudsiah dan Sudaniyah.
b.
Pemikiran dan Filsafat
Dalam menyebarkan tentang kesyi’ahannya Dinasti Fatimiyah banyak menggunakan filsafat Yunani yang mereka kembangkan dari pendapat-pendapat Plato, Aristoteles dan ahli-ahli filsafat lainnya.[11] Kelompok ahli filsafat yang paling terkenal pada Dinasti Fatimiyah adalah ikhwanu shofa. Dalam filsafatnya kelompok ini lebih cendrung membela kelompok Syi’ah Islamiyah, dan kelompok inilah yang menyempurnakan pemikiran-pemikiran yang telah dikembangkan oleh golongan Mu’tazilah.
Beberapa tokoh filsuf yang muncul pada masa Dinasti
Fatimiyah ini adalah:
1. Abu Hatim
Ar-Rozi, dia adalah seorang da’i Ismaliyat yang pemikirannya lebih banyak dalam
masalah politik, Abu Hatim menulis beberapa buku dia ntaranya kitab Azzayinah yang terdiri dari 1200
halaman. Di dalamnya banyak membahas masalah Fiqh, filsafat dan aliran-aliran
dalam agama.
2. Abu Abdillah
An-Nasafi, dia adalah seorang penulis kitab Almashul. Kitab ini lebih banyak
membahas masalah al-Ushul al-Mazhab
al-Ismaily. Selanjutnya ia menulis kitab Unwanuddin Ushulus syar’i,
Adda’watu Manjiyyah. Kemudian ia menulis buku tentang falak dan sifat alam
dengan judul Kaunul Alam dan al-Kaunul Mujrof .
3. Abu Ya’qup as
Sajazi, ia merupakan salah seorang penulis yang paling banyak tulisannya
4. Abu Hanifah
An-Nu’man Al-Magribi
5. Ja’far Ibnu
Mansyur Al-Yamani
6. Hamiduddin Al-Qirmani.[12]
c.
Pendidikan dan
Iptek
Seorang ilmuan yang paling terkenal pada masa
Fatimiyah adalah Yakub Ibnu Killis. Ia berhasil membangun akademi-akademi
keilmuan yang mengahabiskan ribuan Dinar perbulannya. Pada masanya, ia berhasil
membesarkan seorang ahli fisika yang bernama Muhammad Attamimi. Disamping
Attamimi ada juga seorang ahli sejarah yang bernama Muhammad Ibnu Yusuf Al
Kindi dan Ibnu Salamah Al Quda’i. seorang ahli sastra yang muncul pada masa
Fatimiyah adalah Al Aziz yang berhasil membangun masjid Al Azhar.[13]
Kemajuan keilmuan yang peling fundamental pada masa
Fatamiyah adalah keberhasilannya membangun sebuah lembaga keilmuan yang disebut
Darul Hikam atau Darul Ilmi yang dibangun oleh Al Hakim pada tahun 1005 Masehi.
Ilmu astronomi banyak dikembangkan oleh seorang
astronomis yaitu Ali Ibnu Yunus kemudian Ali Al Hasan dan Ibnu Haitam. Dalam
masa ini kurang lebih seratus karyanya tentang matematika, astronomi, filsafat
dan kedokteran telah dihasilkan.
Pada masa pemerintahan Al Hakim didirikan Bait Al
Hikmah, terinspirasi dari lembaga yang sama yang didirikan oleh Al Makmun di
Bahgdad. Pada masa Al Muntasir terdapat perpustakaan yang di dalamnya berisi
200.000 buku dan 2.400 Illuminated Al-Qur’an ini merupakan bukti kontribusi Dinasti
Fatimiyah bagi perkembangan budaya Islam.
d.
Ekonomi dan
Perdagangan
Mesir mengalami kemakmuran ekonomi dan fitalitas
kultural yang mengungguli Irak dan daerah-daerah lainnya. Hubungan dagang
dengan dunia non Islam dibina dengan baik termasuk dengan India dan
negeri-negeri mediterania yang beragama Kristen.
Pada suatu festival, Khalifah kelihatan sangat cerah
dan berpakaian indah. Istana Khalifah yang dihuni oleh 30.000 orang terdiri
dari 1.200 pelayan dan pengawal juga terdapat masjid-masjid, perguruan tinggi,
rumah sakit dan pemondokan Khalifah yang berukuran sangat besar menghiasi kota
Kairo baru. Pemandian umum yang dibangun dengan baik terlibat sangat banyak
disetiap tempat di kota itu. Pasar yang mempunyai 20.000 toko luar biasa
besarnya dan dipenuhi berbagai produk dari seluruh dunia. Keadaan ini
menunjukkan bahwa kemakmuran yang begitu berlimpah dan kemajuan ekonomi yang
begitu hebat pada masa Fatimiyah di Mesir.
Disegi pertanian Dinasti
Fatimiyah juga mengalami peningkatan, keberhasilan pertanian di mesir pada masa
ini bisa di kelompokkan kepada dua sektor
1.
Daerah pinggiran-pinggiran sungai
Nil
2.
Tempat-tempat yang telah ditentukan
pemerintah untuk dijadikan lahan pertanian.
Sungai Nil merupakan sebagian pendukung bagi kelansungan hidup orang-orang Mesir, kadang-kadang sungai nil ini menuai penyusutan air sehingga masyarakat merasa kesulitan untuk mengambil air untuk diminum, untuk binatang ternak, maupun untuk pengairan tanam-tanaman mereka, namun sebaliknya adakalanya sungai nil ini pasang naik, sehingga dataran-dataran Mesir kebanjiran, menyebabkan kerusakan lahan dan tanaman. Untuk mengatasi hal tersebut mereka membikin gundukan-gundukan dari tanah dan batu sebatas tinggi air takkala banjir.[14]
Mereka membagi waktu untuk bercocok
tanam dalam dua musim :
1.
Musim dingin, (bulan Desember
sampai bulan maret) dengan aliran-aliran dari selokan sungai nil, pada musim
ini mereka biasa menanam gandum, kapas, pohon rami.
2. Musim panas, (bulan april sampai bulan juli) karena air sungai nil mulai surut, maka mereka mengairi sawah ladang dengan mengangkat air dengan alat. Pada musim ini mereka menanam padi, tebu, semangka, anggur, jeruk, dan lain-lain.[15]
Dibidang perdagangan mereka
melakukan perdagangan dengan mengunjungi beberapa daerah seperti Asia, Eropa,
dan daerah-daerah sekitar laut tengah.
Pada masa dinasti Fatimiyah mereka
menjadikan kota Fustat sebagai kota perdagangan, dari sini semua barang akan
dikirim baik dari dalam maupun dari luar Mesir.
e. Sosial Kemasyarakatan
Pada waktu orang-orang
Fatimiyah memasuki Mesir, penduduk setempat ada yang beragama Kristen Qibty,
dan ahlu sunnah. Mereka hidup dalam kedamaian, saling menghormati antara satu
dengan yang lain. Boleh dikatakan tidak terjadi pertengkaran antara suku,
maupun agama. Masyarakatnya mempunyai sosialitas yang tinggi sesama mereka.
f.
Pemahaman Agama
Sesuai dengan asal usul dinasti Fatimiyah ini adalah sebuah gerakan yang
berasal dari sekte syi’ah Ismailiyah, maka secara tidak lansung dinasti ini
sebenarnya ingin mengembangkan doktrin-doktrin syi’ah di tengah-tengah
masyarakat, namun dengan berbagai pertimbangan mereka tidak terlalu memaksa
pemahaman ini harus di ikuti oleh para penduduk, mereka bebas beragama sesuai dengan apa yang mereka yakini. Hal ini
dilakukan supaya mereka selalu mendapat dukungan dari rakyat demi berdirinya
dinasti Fatimiyah di negeri para Nabi ini.
D.
Masa Kemunduran
dan Kehancuran Dinasti Fatimiyah
Kemunduran Dinasti Fatimiyah berawal pada pemerintahan
Khalifah al-Hakim. Ketika diangkat menjadi khalifah ia baru berumur 11 tahun.
Al-Hakim memerintah dengan tangan besi, masanya dipenuhi dengan tindak
kekerasan dan kekejaman. Ia membunuh beberapa orang wazirnya, menghancurkan
beberapa gereja Kristen, termasuk sebuah gereja yang didalamnya terdapat
kuburan suci umat Kristen. Maklumat penghancuran kuburan suci ini
ditandatangani oleh sekretarisnya yang beragama Kristen, Ibn Abdun. Peristiwa
ini merupakan salah satu penyebab terjadinya perang salib. Ia memaksa umat
Kristen dan Yahudi memakai jubah hitam, dan mereka hanya diperbolehkan
menunggangi keledai. Orang-orang Yahudi dan Nasrani dibunuh dan aturan-aturan
tidak ditegakkan dengan konsisten. Ia juga dengan mudah membunuh orang yang
tidak disukainya, bahkan pernah membakar sebuah desa tanpa alasan yang jelas.
Kemudian pada tahun 381 H/991 M ia menyerang Aleppo dan berhasil merebut Homz
dan Syaizar dari tangan penguasa Arab. Peristiwa ini menimbulkan sikap oposan
dari penduduk dan menyeret Dinasti Fatimiyah dalam konflik dengan Bizantium. Walaupun
pada akhirnya al-Hakim berhasil mengadakan perjanjian damai dengan Bizantium
selama sepuluh tahun.
Al-Hakim
kemudian memilih mengikuti perkembangan ekstrem ajaran Ismailiyah, dan
menyatakan dirinya sebagai penjelmaan Tuhan. Ia meninggalkan istana dan
berkelana hingga akhirnya terbunuh di Muqatam pada 13 Pebruari 1021. Kemungkinan
ia dibunuh oleh persekongkolan yang dipimpin adik perempuannya, Siti al-Muluk,
yang telah diperhentikan tidak hormat olehnya.
Al-Hakim kemudian digantikan oleh az-Zahir, anaknya
sendiri. Ketika diangkat menjadi khalifah ia baru berusia 16 tahun. Pada
mulanya Dinasti Fatimiyah didirikan oleh bangsa Arab dan orang Barbar, tapi
ketika masa Az-Zahir situasi berubah, khalifah lebih mendekati keturunan Turki
dan suku Barbar di dalam pemerintahan Fatimiyah. Az-Zahir mendapat izin dari
Konsantin ke VII agar namanya disebutkan dimesjid-mesjid yang berada di bawah
kekuasaan sang kaisar. Ia juga mendapat izin untuk memperbaiki mesjid yang
berada di konstantinopel. Ini semua sebagai balasan terhadap restu sang
khalifah untuk membangun kembali gereja yang di dalamnya terdapat kuburan suci, dimana dulu gereja ini
dihancurkan oleh Al-Hakim.
Setelah sepeninggal Az-Zahir kemudian
digantikan oleh anaknya sendiri yang baru berusia 11 tahun, yaitu
al-Mustanshir. Mulai masa ini system pemerintahan Dinasti Fatimiyah berobah
menjadi parlementer, artinya khalifah hanya berfungsi sebagai symbol saja,
sementara pemegang kekuasaan pemerintahan adalah para mentri. Oleh karena
itulah masa ini disebut “ahdu nufuzil wazara” (masa pengaruh
mentri-mentri). Al-Mustanshir sebagaimana juga az-Zahir lebih mendekati
keturunan Turki, hingga muncul dua kekuatan besar yaitu Turki dan Barbar.
Perang saudarapun tidak dapat dielakan. Setelah meminta bantuan Badrul Jamal
dari Suriah, khalifah dan orang Turki dapat mengalahkan Barbar, dan berakhirlah
kekuasaan orang Barbar di dalam Dinasti Fatimiyah.
Pada masa al-Mustanshir ini kekuasaan Dinasti
Fatimiyah di wilayah Suriah mulai terkoyak dengan cepat. Sementara kekuatan
besar yang datang dari timur, yaitu bani Saljuk dari Turki, juga
membayang-bayangi. Pada waktu yang bersamaan propinsi-propinsi Fatimiyah di
Afrika memutuskan hubungan dengan pusat kekuasaan, bermaksud memerdekakan diri
dan kembali kepada sekutu lama mereka, Dinasti Abbasiyah. Pada tahun 1052, suku
arab yang terdiri dari bani Hilal dan bani Sulaim yang mendiami dataran tinggi
Mesir memberontak. Mereka bergerak kebagian barat dan berhasil menduduki
Tropoli dan Tunisia selama beberapa tahun.
Sementara itu pada tahun 1071, sebagian besar wilayah
Sisilia, yang mengakui kedaulatan Fatimiyah dikuasai oleh bangsa Normandia yang
daerah kekuasaannya terus meluas hingga meliputi sebagian pedalaman Afrika.
Hanya kewasan semenanjung arab yang mengakui kekuasaan Fatimiyah.
Az-Zahir kemudian digantikan oleh al-Mustansir. Di
masa ini terjadi kekacauan dimana-mana. Kericuhan dan pertikaian terjadi antara
orang-orang Turki, suku Barbar dan pasukan Sudan. Kekuasaan negara lumpuh dan
kelaparan yang terjadi selama tujuh tahun telah melumpuhkan perekonomian
Negara. Di tengah kekacauan itu, pada tahun 1073 khalifah memanggil Badr
al-Jamali, orang Armenia bekas budak dari kegurbernuran Akka dan memberinya
wewenang untuk bertindak sebagai wazir dan panglima tertinggi. Amir al Juyusi
(komando perang) yang baru ini mengambil komando dengan seluruh kekuatan yang
ia punya untuk memadamkan berbagai kekacauan dan memberikan nyawa baru pada
pemerintahan Fatimiyah. Tapi usaha ini, yang juga diteruskan oleh anak dan
penerus al-Mustansir yaitu Al-Afdhal, tidak dapat menahan kemunduran Dinasti
ini.
Tahun-tahun terakhir dari kekuasaan Dinasti Fatimiyah
ditandai dengan munculnya perseteruan yang terus menerus antara para wazir yang
didukung oleh kelompok tentaranya masing-masing. Setelah al-Mustansir wafat,
terjadi perpecahan serius dalam tubuh Ismailiyah. Perpecahan itu terjadi antara
dua kelompok yang berada dibelakang kedua anak al-Mustansir yaitu Nizar dan
al-Musta’li. Pendukung Nizar lebih aktif, ekstrim dan menjadi gerakan pembunuh.
Sedangkan pendukung al-Musta’li lebih moderat. Akhirnya yang terpilih menjadi
khalifah adalah al-Musta’li dengan ia didukung oleh al-Afdhal. Al-Afdhal
mendukung al-Musta’li dengan harapan ia akan memerintah dibawah pengaruhnya.
Akan tetapi basis spiritual Ismailiyah menjadi runtuh. Setelah al-Musta’li
wafat. Al-Amin anak al-musta’li yang baru berusia lima tahun diangkat menjadi
khalifah.
Al-Amin kemudian digantikan oleh al-Hafidz. Karena ia
meninggal kekuasaannya benar-benar hanya sebatas istana kekhalifahan saja. Anak
dan penggantinya, az-Zafir diangkat menjadi khalifah dalam usia yang masih
sangat muda, hingga merasa tidak mampu menghadapi tentara salib, khalifah
az-Zafir melalui wazirnya Ibnu Salar, meminta bantuan kepada Nuruddin az-Zanki,
penguasa Suriah di bawah kekuasaan Baghdad. Nuruddin mengirim pasukan ke Mesir
di bawah panglima Syirkuh dan Salahuddin Yusuf bin al-Ayubi yang kemudian
berhasil membendung invasi tertara salib ke Mesir. Kemudian kekuasaan az-Zafir
direbut oleh wazirnya, Ibnu Sallar. Tapi Ibnu Salar kemudian dibunuh, dan
az-Zafir juga terbunuh secara misterius, kemudian naiklah al-Faiz, anak
az-Zafir yang baru berusia empat tahun sebagai khalifah. Khalifah kecil ini
meninggal dalam usia 11 tahun dan digantikan oleh sepupunya al-Adhid yang baru
berumur sembilan tahun. Maka pada tahun 1167 M pasukan Nuruddin az-Zanki untuk
kedua kalinya kembali memasuki Mesir di bawah pimpinan Syirkuh dan Salahuddin.
Kedatangan mereka kali ini tidak hanya membantu melawan kaum salib, tetapi juga
untuk menguasai Mesir. Dari pada Mesir dikuasai tentara salib, lebih baik
mereka sendiri yang menguasainya. Apalagi perdana mentri Mesir waktu itu, telah
melakukan penghianatan. Akhirnya pasukan Nuruddin berhasil mengalahkan tentara
salib dan menguasai Mesir.
Semenjak itulah kedudukan Salahuddin di Mesir semakin mantap. Apalagi ia mendapat dukungan dari masyarakat yang mayoritas sunni. Peristiwa ini menyebabkan menguatnya pengaruh Nuruddin az-Zanki dan panglimanya Salahuddin al-Ayubi. Puncaknya terjadi pada masa al-Adid, pada masa pemerintahannya Salahuddin telah menduduki jabatan wazir. Dengan kekuasaannya Salahuddin al-Ayubi mengadakan pertemuan dengan para pembesar untuk menyelenggarakan khutbah dengan menyebut nama khalifah Abasiyyah, al-Mustadi. Ini adalah simbol dari runtuhnya dan berakhirnya kekuasaan Dinasti Fatimiyah untuk kemudian digantikan oleh Dinasti Ayubiyah.[16]
E.
Penutup
Dari uraian
diatas kita bisa mengambil beberapa intisari yang sangat menakjubkan, betapa
keberadaan dinasty Fatimiyah ini mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap
kemajuan peradaban Islam, mulai dari bidang politik pemerintahan, pemikiran dan
filsafat, pendidikan dan iptek, ekonomi dan perdagangan, sosial kemasyarakatan,
pemahaman agama dan lain-lain.
Akan tetapi penulis sangat memahari, dengan minimnya literatur yang penulis baca, maka makalah ini jauh dari sempurna. Maka demi kesempurnaan makalah ini, penulis sangat mengharapkan partisipasinya demi kesempurnaan makalah dimasa mendatang. Sekian saja terima kasih.
👉ISLAM PADA MASA KHALIFAH ABU BAKAR SIDDIQ
👉PERANG SALIB
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Zainal Abidin, Sejarah Islam dan Ummatnya, Jakarta: Bulan Bintang, 1979
Amin, Ahmad, Dhuhal al-Islam, Kairo: Lajnah Ta’wa al Nasyr
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoave, 1994
Ibrahim, Hasan, Tarikh al-Daulah al-Fatimiah, Kairo: Jannatut Ta’lif, 1958
K. Haiti, Philip, History of The Arab, London: The
Macmilland Press Ltd, 1974
Thohir, Ajid, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia
Islam, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2004
Sayyid, Aiman Fuad Daulat
Fatimiyah Fi Misr Tafsir Jadid. Dar El-Masriyah lil-Bananiyah. 1992
Watt, W.Montgomery, penterjemah Hartono
Hadikusumo, Kejayaan Islam: Kajian Kritis
dari tokoh Orientalis, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990
[1]
Dr. Aiman Fuad Sayyid. Daulat Fatimiyah Fi Misr Tafsir Jadid. Dar
El-Masriyah lil-Bananiyah. 1992. h. 30
[2] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, ( Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoave, 1994 ), h
245.
[3] Philip K. Haiti, History of
The Arab, (London: The Macmilland Press Ltd, 1974). h. 618.
[4]Ajid Thohir, Perkembangan
Peradaban di Kawasan Dunia Islam, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,
2004), h. 113
[5] W.Montgomery Watt, penterjemah Hartono Hadikusumo, Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari tokoh
Orientalis, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990), h. 216
[6]
Zainal Abidin Ahmad, Sejarah Islam dan
Ummatnya, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 109
[7]Ibid, h. 109
[8]
Dr. Aiman Fuad Sayyid. op. cit
h 249
[9] Ibid
[10] Ibid
[11] Ahmad Amin, Dhuhal al-Islam,
(Kairo: Lajnah Ta’wa al Nasyr), h. 188
[12] Hasan Ibrahim, Tarikh
al-Daulah al-Fatimiah, (Kairo: Jannatut Ta’lif, 1958), h. 469
[13] Ajid Thohir, op.cit.,h.
117
[14] Dr. Aiman Fuad Sayyid. op. cit. h 293
[15] Ibid
[16] Ibid
0 Comment