A.
PENDAHULUAN
Imam Bukhari adalah ahli
hadits yang termasyhur diantara para ahli hadits sejak dulu hingga kini bersama
dengan Imam Ahmad, Imam Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasai, dan Ibnu Majah.
Bahkan dalam kitab-kitab fiqih dan hadits, hadits-hadits beliau memiliki derajat
yang tinggi. Sebagian menyebutnya dengan julukan Amirul Mukminin fil Hadits (Pemimpin
kaum mukmin dalam hal Ilmu Hadits). Dalam bidang ini, hampir semua ulama di
dunia merujuk kepadanya.
Kemampuan dan kecerdasan Bukhari
mendapat pujian dari ulama, rekan, maupun generasi sesudahnya. Imam Abu Hatim
al-Razi misalnya, berkata: “Khurasan belum pernah melahirkan seorang yang
melebihi Bukhari. Di Irak pun tidak ada yang melebihi darinya." Demikian
juga dengan Imam Muslim pernah mencium di antara kedua mata Imam Bukhari seraya
berkata: “Guru, biarkan aku mencium kedua kakimu. Engkaulah Imam ahli hadis dan
dokter penyakit hadis.”[1]
Demikian besar jasa dan
pengaruh Imam Bukhari dalam bidang keagamaan, khususnya dalam persoalan hadis.
Maka pada makalah yang sederhana ini penulis akan mencoba membahas hal-hal yang
berkaitan dengan Imam Bukhari sang Amirul Mukminin fil Hadits.
1. Biografi Singkat Imam Al-Bukhari
Nama lengkap
tokoh ini Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim Ibn al-Mughirah ibn Bardizyah
al-Jufri al-Bukhari. Ia lahir pada hari Jum’at 13 Syawal 194 H = 21 Juli 810[2]
M di kota Bukhara (suatu kota di Uzbekistan, wilayah Uni Soviet, yang merupakan
simpang jalan antara Rusia, Persi, Hindia dan Tiongkok). Ayahnya seorang alim
dibidang hadis, mempelajarinya dari sejumlah ulama terkenal, seperti Imam Malik
ibn Anas, Hammad ibn Zaid dan Ibn al-Mubarak.[3]
Ketika al-Bukhari masih kecil ayahnya meninggal. Nasibnya masih beruntung
karena ayahnya tergolong orang yang berada (the have), sehingga hidupnya
tidak terlalu sengsara, karena mewarisi kekayaan ayahnya. Tampaknya
spesialisasi ayahnya inilah yang mengilhami al-Bukhari untuk menekuni hadis.
Kakeknya yang
nomor 3 di atasnya masih memakai nama Persi, yaitu Bardizbeh,[4]
dan belum memeluk Islam, masih beragama Zoroaster. Barulah kakeknya nomor 2
memasuki agama Islam dengan nama “Mughirah.[5]
Meskipun masa keislaman bagi keluarganya masih baru sekali, barulah dalam 3
kali keturunan, tetapi kekuatannya beragama cukup terkenal, dan sudah menduduki
tempat yang terhormat di dalam keislaman. Ayahnya bernama Ismail, termasyhur
seorang ulama, yang sangat shaleh dan bersih kehidupannya.
Bukhari mulai
belajar hadis saat masih muda, bahkan masih kurang dari 10 tahun. Pada usia 16
tahun, dia telah menghafal banyak kitab ulama terkenal, seperti Ibn al-Mubarak,
Waki’, dan sebagainya. Ia tidak berhenti pada menghafal hadis dan kitab ulama
awal, tapi juga mempelajari biografi seluruh periwayat yang ambil bagian dalam
periwayatan suatu hadis, tanggal kelahiran dan wafat mereka, tempat lahir
mereka dan sebagainya.[6]
Beliau merantau ke negeri Syam, Mesir Jazirah sampai dua kali, ke Basrah empat
kali, ke Hijaz bermuqim 6 tahun dan pergi ke Baghdad bersama-sama para ahli
hadis yang lain sampai delapan kali. Dalam salah satu perjalannya kepada Adam
bin Abu Ayas, ia kehabisan uang. Tampa uang sepeserpun, dia hidup sementara
dengan daun-daun tumbuhan liar. Dia seorang penembak jitu, dan suka latihan
agar siap berjihad sewaktu waktu.[7]
Menurut pengakuannya, kitab hadis yang ditulisnya membutuhkan jumlah guru tidak
kurang dari 1.080 orang guru hadis.[8]
Bukhari
diakui memiliki daya hapal tinggi, yang diakui oleh kakaknya Rasyid bin Ismail.
Kakak sang Imam ini menuturkan, pernah Bukhari muda dan beberapa murid lainnya
mengikuti kuliah dan ceramah cendekiawan Balkh. Tidak seperti murid lainnya,
Bukhari tidak pernah membuat catatan kuliah. Ia sering dicela membuang waktu
karena tidak mencatat, namun Bukhari diam tak menjawab. Suatu hari, karena merasa
kesal terhadap celaan itu. Bukhari meminta kawan-kawannya membawa catatan
mereka, kemudian beliau membacakan secara tepat apa yang pernah disampaikan
selama dalam kuliah dan ceramah tersebut. Tercenganglah mereka semua, lantaran
Bukhari ternyata hafal di luar kepala 15.000 hadits, lengkap dengan keterangan yang
tidak sempat mereka catat.[9]
Riwayat
popoler tentang kebesan al-Bukhari sebagai ulama hadis adalah ketika ia
memasuki kota Baghdad. Di sana terlibat dalam suatu majlis ulama hadis.
Terdapat 10 orang ulama yang masing-masing membacakan 10 hadis dengan sanad dan
matan yang dijungkir balikan. Beberapa orang dicoba untuk memberi komentar
tentang hadis yang dibacakan tadi. Tidak seorangpun melaksanakan tugas dengan
memuaskan. Akhirnya al-Bukhari tampil memberi komentar satu persatu hadis.
Hadis pertama terdapat keterbalikan sanad begini, dan matan begini, seharusnya
begini. Untuk hadis kedua juga demikian. Demikian ia berkomentar hingga orang
ke sepuluh, sehingga genap seluruhnya seratus hadis. Tidak seorang ulamapun
membantah atas komentar al-Bukhari tersebut. Karenanya tidak heran kalau hadis riwayat
al-Bukhari dinilai paling berkualitas di banding dengan riwayat lain.[10]
Yang paling menggagumkan, bukanlah ia mampu menjawab secara benar, tetapi,
bagaimana dia mampu menyebutkan hadis yang sanad dan matannya tidak karuan
seperti yang telah dibacakan sang penanya, padahal ia mendengar hanya sekali
saja.
Imam Bukhari
pernah berkata: “Saya tidak akan meriwatkan hadis yang kuterima dari sahabat
dan tabi’in, sebelum aku mengetahui tanggal kelahiran, hari wafatnya dan tempat
tinggalnya. Aku juga tidak akan meriyatkan hadis mauquf[11]
dari sahabat dan tabi’in, kecuali ada dasarnya yang kuketahui dari kitabullah
dan sunnah rasulullah saw.[12]
Al-Allamah
Al-Aini Al-Hanafi berkata, “Imam al-Bukhari adalah seorang yang hafizh, cerdas,
cerdik dan cermat. Ia memiliki kemampuan menjelaskan dengan jeli, kemampuan
mengingatnya sudah masyhur dan disaksikan para ulama yang tsiqah.[13]
Dalam melakukan
kritik terhadap hadis yang diterimanya, beliau tidak pernah memojokkan.
Diantara kritik yang sering dipakai Imam Bukhari adalah: tarakuuhu (para
ulama meninggalkan), as-saqith (hadis riwayatnya jatuh), fihi nazhar
(padanya ada yang perlu diperhatikan), sakatuu anhu (para ulama lebih
memilih diam terhadapnya) dan sebagainya. Beliau jarang sekali menggunakan
istilah wadhdha’ (pembuat hadist maudhu’) atau kadzdzab (pembohong).[14]
Oleh karena itu, pernyataan paling keras yang dapat dijumpai adalah munkar
al-hadits (hadist mungkar). Perawi-perawi hadis yang mempunyai catat/’aib
tidak pernah ia gunjingkan ataupun mencelanya di tengah umum. Tetapi kata yang
dipergunakannya: tidak terpenuhi syarat-syarat yang diperlukan untuk
mengakuinya sebagai hadis shahih.
Dia wafat pada
malam idul fitri tahu 256 H (31 Agustus 870 M) dalam usia 62 tahun kurang 13
hari. Sebelum wafat beliau berpesan agar jenazahnya dikafani tiga helai kain, tampa
baju dan sorban. Jenazahnya dimakamkan setelah shalat zhuhur di hari idul
fitri. Dia telah menempuh perjalanan hidup yang panjang dihiasi amal mulia.
Semoga Allah melimpahkan rahmat dan ridha-nya kepadanya.[15]
2.
Persyaratan Imam al-Bukhari dalam Menerima
Hadis Shahih-nya
Dalam menerima riwayat hadis, al-Bukhari tidak
menetapkan persyaratan tertentu. Imam
Bukhari dalam kitab shahihnya selalu berpegang pada tingkat keshahihan yang
paling tinggi, kecuali bagi bebarapa hadits yang bukan materi pokok, seperti
hadis mutabi[16]
dan syahid[17],
serta hadis yang diriwayatkan dari sahabat dan tabiin.
Syarat shahih yang telah disepakati oleh para
ulama terhadap penerimaan hadis Bukhari adalah sebagai berikut:[18]
a. Perawi hadis harus muslim, berakal, jujur,
tidak mudallis[19]
dan tidak mukhtalit[20],
adil, dhabit[21],
dan selalu memelihara apa yang diriwayatkan, sehat pikirannya, pancaindranya
dipakai untuk mendengar dan menghafal sedikit salahnya, dan baik aqidahnya.
b.
Sanad[22]-nya
bersambung, tidak mursal[23],
tidak munqati’[24],
tidak mu’dal.[25]
c.
Matan[26] hadis tidak
janggal dan tidak catat.
Dalam kasus persambungan sanad beliau
mensyaratkan:
a. Periwayatannya haruslah orang yang
berkepribadian sangat luhur, dan termasuk dalam golongan yang sangat tinggi
dalam penguasaan literatur dan standar akademisnya.
b. Harus ada informasi positif bahwa para
periwayat saling bertemu dan bahwa si murid belajar dari syekhnya.[27]
Ada perbedaan pendapat menyangkut point (2)
diatas antara al-Bukhari dan Muslim. Menurut Muslim, jika dua ulama hidup
bersama yang memungkinkan mereka saling belajar, maka sekalipun tidak mempunyai
informasi positif tentang pertemuan mereka, informasi hadis harus diterima.
Isnadnya yang tidak terputus membuktikan mereka tidak melakukan tadlis.
Bukhari tidak sependapat, ia menuntut bukti positif mengenai adanya hubungan
belajar mereka. Ia tidak menganggap persyaratan ini cukup, dan menuntut
penelitian lebih jauh dalam memilih sumber.[28]
3.
Guru-guru Imam al-Bukhari dan Tingkatannya (Thabaqah)
Dalam perjalanannya berbagai negeri, Imam
Bukhari bertemu dengan guru-guru terkemuka yang dapat dipercaya. Beliau
mengatakan: “Aku menulis hadis dari 1.080 guru, yang semuanya adalah ahli hadis
dan berpendirian bahwa iman itu adalah ucapan dan perbuatan.” Diantara pada
guru itu adalah Ali bin-Madini, Ahmad bin Hambal, Yahya bin Ma’in, Muhammad bin
Yusuf al-Firyabi, Maki bin Ibrahim al-Balkhi, Muhammad bin Yusuf al-Baykandi
dan Ibnu Rahawaih. Jumlah guru yang hadisnya diriwayatkan dalam kitab shahihnya
sebanyak 289 guru.[29]
Guru-guru al-Bukhari menurut Al-Hafizh
terklasifikasi menjadi 5 (tingkatan), yaitu:
Tingkatan pertama, orang yang menerima
hadis dari Tabi’in, mereka yang termasuk dalam kelas ini antara lain: Muhammad bin
Abdillah Al-Ansyari yang memperoleh hadis dari Humaid; Makki bin Ibrahim dari
Yazid bin Abi Ubaid; Abu Ashim An-Nabil dari Yazid bin Abi Ubaid; Ubaidilah bin
Musa dari Ismail bin Abi Khalid; Abu Nua’im dari Al-A’masy; Khallad bin Yahya
dari Isa bin Thuhman; dan Ayyasy dan Isham bin Khalid yang meriwayatkan hadist
dari Huraiz bin Utsman. Secara singkat, guru-guru mereka adalah Tabi’in.
Tingkatan kedua, orang lain yang semasa
dengan kelompok pertama, akan tetapi mereka tidak mendengar dari kelompok
Tabi’in yang tsiqah. Orang yang termasuk dalam kelompok ini antara lain;
Adam bin Abi Iyas, Abu Mashar Abdul A’la bin Mashar, Said bin Abi Maryam, Ayyub
bin Sulaiman bin Bilal dan lain-lain.
Tingkatan ketiga, ini merupakan
tingkatan paling tengah diantara sekian banyak guru-guru al-Bukhari. Mereka
yang termasuk ke dalam klasifikasi tingkatan ini tidak bertemu pada tabi’in.
Oleh karena itu, mereka hanya mendapatkan hadits dari kelompok tabi’at-tabi’in.
Mereka yang termasuk dalam kategori ini antara lain; Sulaiman bin Harb,
Qutaidah bin Said, Nua’im bin Hammad, Ali bin Al-Madini, Yahya bin Ma’in, Ahmad
bin Hambal, Ishaq bin Ruhawaih, Abu Bakar bin Abi Syaibah, Utsman bin Abi Syaibah
dan sejenisnya. Pada tingkatan ketiga ini, Imam Muslim juga meriwayatkan hadis
dari mereka.
Tingkatan keempat, mereka termasuk
dalam tingkat ini pada dasarnya sama dengan tingkat ketiga dalam mendapatkan
hadis. Letak perbedaannya, kalau tingkat ketiga lebih dahulu mendengar dan
mendapatkan hadits daripada tingkatan keempat ini. Orang yang termasuk dalam
klasifikasi ini antara lain; Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhuli, Abu Hatim Ar-razi,
Muhammad bin Abdirrahim Sha’iqah, Abd bin Humaid, Ahmad bin An-Nadhr dan ulama
sekelasnya.
Imam Al-Bukhari hanya meriwayatkan hadits dari
kelompok tingkatan keempat ini apabila dia tidak mendapatkan hadis dari
guru-gurunya yang berada di tingkat di atasnya, atau Imam Al-Bukhari tidak
menjumpai hadist tersebut pada gurunya yang berada di level di atasnya.
Tingkatan kelima; sekelompok orang yang
hadisnya hanya dipakai pertimbangan dalam menentukan usia para perawi hadis
maupun dalam jalur periwayatan hadis. Imam Al-Bukhari mengambil hadis dari
kelompok ini karena adanya manfaat. Mereka yang termasuk dalam klasifikasi
kelompok tingkat kelima ini antara lain; Abdullah bin Hammad Al-Amali, Abdullah
bin Al-Ash Al-Khawarizmi, Husain bin Muhammad Al-Qabbani dan yang sejenisnya.
Jumlah hadis yang diriwayatkan Imam Al-Bukhari dari guru tingkatan kelima ini
jumlahnya sangat sedikit.
4.
Murid-murid Imam al-Bukhari
Orang yang
meriwayatkan hadis dari Imam Bukhari tidak terhitung jumlahnya. Sehingga ada
yang berpendapat ada sekitar 90.000 orang yang mendengar langsung dari Imam
Bukhari.[30]
Berikut
biografi singkat diantara murid-murid Imam al-Bukhari:[31]
1)
Muslim bin Hajjaj
Nama lengkapnya adalah Muslim bin Hajjaj bin Muslim bin Wardi bin
Kawisyadz Al-Qusyairi An-Naisaburi. Nama panggilannya adalah Husain. Ia lahir
tahun 202 H dan meninggal 25 Rajab tahun 261 H di salah satu daerah di Naisabur
yang bernama Nashr Abad. Karya terbesarnya adalah Shahih Muslim.
2)
Abu Isa At-Turmidzi
Nama
lengkapnya Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin Adh-Dhahak As-Sulami. Ia
dilahirkan tahun 206 H dan meninggal tahun 279 H, diantara karyanya adalah Jami’ At-Tirmidzi dan Al-llal wa Asy-Syama’il.
3)
An-Nasa’I
Namanya adalah Ahmad bin Syuaib bin Ali bin Sinan bin Dinar. Lahir
di kota Nasa’, salah satu kota di Khurasan, pada tahun 215 H dan meninggal
tahun 304 H. Kitab yang ditulisnya as-sunan al-kubra, ia menghadiahkan
kitab tersebut kepada Walikota Ramallah. Sewaktu menerima kitab, walikota
bertanya kepada Imam An-Nasa’I, “Apakah hadits-hadits dalam kitab ini semuanya
shahih?” maka Imam
An-Nasa’I menjawab, “Tidak”. Kemudian Walikota memintanya untuk menyeleksi
hadis shahih saja. Hasil pilihannya diberi nama Al-Mujtaba yang lebih
dikenal dengan Sunan An-Nasa’i.
4)
Ad-Darimi
Namanya Abdullah bin Abdirrahman bin Al-Qufl bin Bahram bin Abd
Ash-Shamad At-Taimi Ad-Darimi. Nama panggilannya adalah Abu Muhammad. Beliau
lahir tahun 181 H dan tahun 255 H. Diantara buah karyanya yang terpenting
adalah As-Sunan.
5)
Muhammad bin Nashr Al-Marwazi
Lahir pada tahun 202 H.
6)
Abu Hatim Ar-Razi
Lahir tahun 195 H dan wafat tahun 277 H dalam usia 82 tahun. Dia
merupakan imam dalam Al-Jarh wa
At-Ta’dil.
7)
Ibnu Khusaimah
Nama lengkapnya Abu Bakar bin Ishaq bin Khuzaimah. Adz-Dzahabi
memberikan gelar kepadanya Imam
Aimmah (Imamnya pada Imam) dan Syekh Al-Islam. Dia lahir tahun 229 H dan wafat tahun 311 H.
8)
Abu Abdillah Husain bin Ismail al-Mahamili
Lahir tahun 198 H dan meninggal tahun 330 H, ia adalah orang yang
memiliki keutamaan, jujur, taat menjalankan agama dan tsiqah.
9)
Ibrahim Al-Harbi
Lahir tahun 198 H dan meninggal 285 H. dia termasuk imam besar
dalam bidang fikih, bahasa dan sastra.
10)
Abu Bakar Ibnu Abi Ashim Al-Hafizh
Lahir tahun 230 H dan meninggal tahun 278 H. dalam bidang fikih, ia
mengikuti Madzhab Ad-Dzhahiri. Dia pernah menjadi hakim di Ashfahan.
11)
Al-Farbari
Lahir tahun 231 H dan meninggal 330 H. Dia adalah orang terakhir
meninggal dari murid Imam Al-Bukhari yang meriwayatkan kitab Shahih Al-Bukhari dari Imam Al-Bukhari.
Banyak manusia dari penjuru dunia berdatangan kepadanya untuk mengambil sanad Shahih al-Bukhari.
12)
Shahih bin Muhammad Jazarah
Dia memiliki memori yang kuat. Diantara gurunya adalah Yahya bin
Ma’in, Ahmad bin Hambal, Said bin Sulaiman dan Abu Nadhr At-Tammar. Dia
meninggal tahun 292 H.
13)
Abu Ishaq bin Ma’qal An-Nasafi
Dia telah meriwayatkan shahih al-Bukhari dengan sanadnya di daerah
Maroko. Ia meninggal tahun 292 H.
5.
Metode Penulisan Kitab Hadis dan Karya-karya Imam
al-Bukhari
Sebagai
intelektual muslim yang berdisiplin tinggi, Imam Bukhari dikenal sebagai
pengarang kitab yang produktif. Karya-karyanya tidak hanya dalam disiplin ilmu
hadits, tapi juga ilmu-ilmu lain, seperti tafsir, fikih, dan tarikh.
Fatwa-fatwanya selalu menjadi pegangan umat sehingga ia menduduki derajat
sebagai mujtahid mustaqil (ulama yang ijtihadnya independen), tidak
terikat pada mazhab tertentu, sehingga mempunyai otoritas tersendiri dalam
berpendapat dalam hal hukum.
Pendapat-pendapatnya
terkadang sejalan dengan Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi, pendiri mazhab Hanafi),
tetapi terkadang bisa berbeda dengan beliau. Sebagai pemikir bebas yang
menguasai ribuan hadits shahih, suatu saat beliau bisa sejalan dengan Ibnu
Abbas, Atha ataupun Mujahid dan bisa juga berbeda pendapat dengan mereka.[32]
Diantara
puluhan kitabnya, yang paling masyhur ialah kumpulan hadits shahih yang
berjudul Al-Jami' as-Shahih, yang belakangan lebih populer dengan
sebutan Shahih Bukhari. Ada kisah unik tentang penyusunan kitab ini. Suatu
malam Imam Bukhari bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad saw., seolah-olah Nabi
saw. berdiri dihadapannya. Imam Bukhari lalu menanyakan makna mimpi itu kepada
ahli mimpi. Jawabannya adalah beliau (Imam Bukhari) akan menghancurkan dan
mengikis habis kebohongan yang disertakan orang dalam sejumlah hadits Rasulullah
saw. Mimpi inilah, antara lain yang mendorong beliau untuk menulis kitab “Al-Jami
'as-Shahih”[33]
Dalam
menyusun kitab tersebut, Imam Bukhari sangat berhati-hati. Menurut Al-Firbari,
salah seorang muridnya, ia mendengar Imam Bukhari berkata. “Saya susun kitab
Al-Jami” as-Shahih ini di Masjidil Haram, Mekkah dan saya tidak mencantumkan
sebuah hadits pun kecuali sesudah shalat istikharah dua rakaat memohon
pertolongan kepada Allah, dan sesudah meyakini betul bahwa hadits itu
benar-benar shahih”. Di Masjidil Haram-lah ia menyusun dasar pemikiran dan
bab-babnya secara sistematis.[34]
Setelah
itu ia menulis mukaddimah dan pokok pokok bahasannya di Rawdah Al-Jannah,
sebuah tempat antara makam Rasulullah dan mimbar di Masjid Nabawi di Madinah.
Barulah setelah itu ia mengumpulkan sejumlah hadits dan menempatkannya dalam
bab-bab yang sesuai. Proses penyusunan kitab ini dilakukan di dua kota suci
tersebut dengan cermat dan tekun selama 16 tahun. Ia menggunakan kaidah
penelitian secara ilmiah dan cukup modern sehingga hadits haditsnya dapat
dipertanggung-jawabkan.
Dengan
bersungguh-sungguh ia meneliti dan menyelidiki kredibilitas para perawi
sehingga benar-benar memperoleh kepastian akan keshahihan hadits yang
diriwayatkan. Ia juga selalu membandingkan hadits satu dengan yang lainnya,
memilih dan menyaring, mana yang menurut pertimbangannya secara nalar paling shahih.
Dengan demikian, kitab hadits susunan Imam Bukhari benar-benar menjadi batu uji
dan penyaring bagi sejumlah hadits lainnya.
Imam Bukhari mempunyai karya tulis cukup banyak, antara lain:
1)
Al-Jami’ Ash-Shahih
Karya ini disebut dengan nama Al-Jami’ Ash-Shahih
Al-Musnad min Hadits Rasulillah saw sunnatihi wa Ayyamihi. Al-Jami'
Al-Musnad Al-Shahih Al-Mukhtashr min Umar Rasulullah wa Sunanih wa Ayyamihi
atau biasa disebut "Shahih al-Bukhari". Yakni kumpulan hadis-hadis
shahih yang beliau persiapkan selama 16 tahun.[35]
Kitab tersebut berisikan hadis-hadis shahih
semuanya, berdasarkan pengakuan beliau sendiri, ujarnya: "saya tidak
memasukkan dalam kitabku ini, kecuali shahih semuanya."
Menurut Ibnu Shalah,
dalam kitab Muqaddimah, kitab Shahih Bukhari itu memuat 7275 hadits. Selain itu
ada hadits-hadits yang dimuat secara berulang, dan ada 4000 hadits yang dimuat
secara utuh tampa pengulangan. Penghitungan itu juga dilakukan oleh Syekh Muhyiddin
An Nawawi dalam kitab At-Taqrib. Dalam hal itu, Ibnu Hajar Al-Atsqalani dalam
kata pendahuluannya untuk kitab Fathul Bari (yakni syarah atau penjelasan atas
kitab Shahih Bukhari) menulis, semua hadits shahih yang dimuat dalam Shahih
Bukhari (setelah dikurangi dengan hadits yang dimuat secara berulang) sebanyak
2.602 buah. Sedangkan hadits yang mu'allaq (ada kaitan satu dengan yang lain,
bersambung) namun marfu (diragukan) ada 159 buah. Adapun jumlah semua hadits
shahih termasuk yang dimuat berulang sebanyak 7397 buah. Perhitungan berbeda
diantara para ahli hadits tersebut dalam mengomentari kitab Shahih Bukhari
semata-mata karena perbedaan pandangan mereka dalam ilmu hadits.[36]
Banyak ulama yang membuat syarah dari shahih Bukhari
ini, antara lain:[37]
a. Ibnu Hajar (w. 825 H) mengarang Fath Al-Bari
b. Al-'Ayni Al-Hanafi (w. 855 H) mengarang 'Umdah Al-Qari
c. Qashthallani (w. 923 H) mengarang Irsyad Al-Syari
d. Jalal Al-Din Al-Suyuthi (w. 911 H) mengarang Al-Tausyih
2)
At-Tarikh Al-Kabir
Karya ini ditulis beliau ketika usianya baru mencapai 18 tahun. Lebih
tepatnya ketika dia berada di Masjid Nabawi di Madinah pada saat rembulan
bersinar terang. Tatkala Ishaq bin Rahawaih melihat kitab ini, dia sangat
gembira sekali.
Oleh Imam Bukhari, kitab ini dihadiahkan kepada Abdullah bin Thahir
yang menjabat sebagai Amir di Khurasan. Ketika memberikan kitab ini dia berkata
kepada Amir, “Ketahuilah, aku akan menunjukkan kepadamu sesuatu yang
menakjubkan.”
3)
At-Tarikh Al-Ausath
Kitab ini tidak dicetak dan tidak diterbitkan.
4)
At-Tarikh Ash Shaghir
Kitab ini dicetak melalui riwayat Abu Muhammad Zanjawiyah bin
Muhammad An-Naisaburi. dalam kitab ini, Imam Al-Bukhari telah menyebutkan nama
orang-orang terkemuka dari pada sahabat, Tabi’in dan Tabi’At-Tabi’in berikut
nasab, pertemuan mereka dan tahun meninggalnya. Dalam kitab ini, Imam
Al-Bukhari juga sering menyebutnya Al-Jarh wa At-Ta’dil. Kitab ini
disusun berdasarkan tahun, misalnya selesai Imam Bukhari menyebutkan tahun,
maka ia akan menyebutkan tokoh ulama terkemuka, demikian seterusnya.
5)
Khalqu Af’al Al-‘ibad
Yusuf bin Raihan bin Abd Ash Shamad da Al-Allamah Al-Farabi telah
meriwayatkan kitab ini dari Imam Al-Bukhari. Dalam kitab ini terdapat bantahan
terhadap kelompok Jahmiyah dan kelompok yang tidak mau menggunakan ayat-ayat
Alquran, tidak mau menggunakan hadis-hadist Nabi saw, atsar pada sahabat dan
atsar Tabbi’in. kitab ini telah dicetak.
6)
Adh-Dhu’afa Ash-Shaghir
Imam Bukhari menulis dalam kitab ini nama para perawi hadits yang
dhaif secara urut berdasarkan abjad, dijelaskan juga sebab perawi itu
dinyatakan dhaif.
7)
Al-Adab Al-Mufradlullah Al-Jailani
Kitab ini berisi akhlak dan adab Rasulullah saw. Kitab ini telah
tercetak bersama syarahnya. Orang yang memberikan syarah kitab ini adalah Fadhlullah
Al-Jailani dengan nama Fadhlullah Ash
Shamad fi Taudhih AlAdab Al-Mufrad,cetakan Mathba’ah As-Salafiyah.
8)
Juz’u Raf’u Al-Yadain
Perawi kitab ini adalah Mahmud bin Ishaq Al-Khuza’I yang dicetak
setelah ditahqiq oleh Abu Muhammad Badi’ Ad-Din Syah Ar-Rasidi As-Sanadi dengan
nama Jala’ Al-‘Ainain bi Takhrij riwayat Al-Bukhari fi Juz’I Raf’I
Al-Yadain. Dalam kitab ini juga terdapat catatan pinggir dari Faiddh
Ar-Rahman An-Nura dan Irsyad Al-Haq Al-Atsari.
9)
Juz’u Al-Qira’ah Khalfa Al-Imam
Kitab ini merupakan risalah masyur dari Imam Al-Bukhari yang
mengukuhkan adanya bacaan bagi orang yang shalat sebagai makmum sekaligus
bantahan terhadap orang yang mengingkari adanya bacaan bagi makmum.
10)
KItab Al-Kuna
Keberadaan kitab ini berdasarkan pernyataan Abu Ahmad dalam
karyanya. Kitab ini telah tercetak di Haidar Abad.
6.
Kritik Terhadap Imam al-Bukhari
Banyak ulama
mengkritik karya Bukhari. Kritik mereka menyangkut sekitar 80 periwayatan dan
110 hadis. Kritik tersebut menunjukkan bahwa sekalipun hadis-hadis ini tidak
dipandang salah atau palsu, mereka tidak mengukur dengan standar tinggi yang
ditetapkan Bukhari.
Tirmidzi,
ketika berbicara tentang Ibn Abi Laila, berkata, Bukhari berkata, ‘ibn Abi
Laila adalah seorang yang benar, tapi saya tidak meriwayatkan suatu hadis dari
dia, karena tak diketahui mana hadisnya yang benar dan mana yang salah. Ini
berarti, ulama dari golongan inipun tak dapat diterima oleh Bukhari, kecuali
kalau ia menemukan cara untuk membedakan hadis-hadisnya. Misalnya, jika ia
mempunyai salinan lama atau asli dari guru Ibn Abi Laila, dan cocok dengan yang kemudian
diriwayatkan oleh Ibn Abi Laila, ia menerima hadis-hadis itu, karena ia yakin
Ibn Abi Laila tak melakukan kesalahan dalam periwayatannya. [38]
7.
Fitnah terhadap Imam al-Bukhari[39]
Muhammad
bin Yahya Az-Zihli berpesan kepada para penduduk agar menghadiri dan mengikuti
pengajian yang diberikannya. Ia berkata: "Pergilah kalian kepada orang
alim dan saleh itu, ikuti dan dengarkan pengajiannya." Namun tak lama
kemudian ia mendapat fitnah dari orang-orang yang dengki. Mereka menuduh sang
Imam sebagai orang yang berpendapat bahwa "Al-Qur'an adalah makhluk".
Hal
inilah yang menimbulkan kebencian dan kemarahan gurunya, Az-Zihli kepadanya.
Kata Az-Zihli: "siapa berpendapat bahwa lafadz-lafadz Al-Qur'an adalah
makhluk, maka ia adalah ahli bid'ah. Ia tidak boleh diajak bicara dan
majelisnya tidak boleh didatangi. Dan siapa masih mengunjungi majelisnya,
curigailah dia." Setelah adanya ultimatum tersebut, orang-orang mulai
menjauhinya.
Sebenarnya,
Imam Bukhari terlepas dari fitnah yang dituduhkan kepadanya itu. Diceritakan,
seseorang berdiri dan mengajukan pertanyaan kepadanya: "Bagaimana pendapat
Anda tentang lafadz-lafadz Al-Qur'an, makhluk ataukah bukan?" Bukhari
berpaling dari orang itu dan tidak mau menjawab kendati pertanyaan itu diajukan
sampai tiga kali.
Tetapi orang itu terus mendesak. Ia pun menjawab: "Al-Qur'an adalah kalam Allah, bukan makhluk, sedangkan perbuatan manusia adalah makhluk dan fitnah merupakan bid'ah." Pendapat yang dikemukakan Imam Bukhari ini, yakni dengan membedakan antara yang dibaca dengan bacaan, adalah pendapat yang menjadi pegangan para ulama ahli tahqiq (pengambil kebijakan) dan ulama salaf. Tetapi dengki dan iri adalah buta dan tuli. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Bukhari pernah berkata : "Iman adalah perkataan dan perbuatan, bisa bertambah dan bisa berkurang. Alquran adalah kalam Allah, bukan makhluk. Sahabat Rasulullah SAW, yang paling utama adalah Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali. Dengan berpegang pada keimanan inilah aku hidup, aku mati dan dibangkitkan di akhirat kelak, insya Allah." Di lain kesempatan, ia berkata: "Siapa menuduhku berpendapat bahwa lafadz-lafadz Alquran adalah makhluk, ia adalah pendusta."
C.
PENUTUP
Dari uraian di
atas dapatlah ditarik beberapa kesimpulan:
Imam
Bukhari, bernama lengkap Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin
al-Mughirah bin Bardizbah al-Ju'fi al-Bukhari. Imam Bukhari dilahirkan pada
malam Jum'at tanggal 13 Syawwal 194 H/810 M di Bukhara, sebuah kota di
Uzbekistan, bekas wilayah Uni Soviet.
Beliau
menulis al-Tarikh al-Kabir di sisi makam Rasulullah saw dan sering menulis pada
malam hari di bawah terang bulan. Dan menulis tiga kitab, al-Tarikh al-Sagir
(yang kecil), al-Awsat (yang sedang) dan al-Kabir (yang besar). Ketiga buku itu
menunjukkan kemampuannya yang luar biasa mengenai Rijal al-Hadis.
Di
antara para guru itu adalah Ali bin al-Madini, Ahmad bin Hanbal, Yahya bin
Ma’in, Muhammad bin Yusuf al-Firyabi, Maki bin Ibrahim al-Balkhi, Abdullah bin
Usman al-Marwazi, Abdullah bin Musa al-'Abbasi, Abu 'Asim al-Syaibani, Muhammad
bin Abdullah al-Anshari, Muhammad bin Yusuf al-Baykandi dan Ibnu Rahawaih.
Jumlah guru yang hadisnya diriwayatkan dalam kitab sahihnya sebanyak 289 guru.
Hal ini dapat kita peroleh dari jumlah guru beliau yang riwayatnya terdapat
dalam Shahih Bukhari.
Imam
Bukhari juga meninggalkan sederet murid-murid yang juga pakar di bidang hadits.
Diantara murid-muridnya, yang paling terkenal adalah Imam Muslim bin Hajjaj,
Imam al-Tirmizi, Imam Abu Zur'ah, Imam Ibnu Khuzaimah, Imam Abu Dawud, Imam
al-Nasa'I, Imam Muhammad bin Yusuf al-Firyabi, Ibrahim bin Mi’yal al-Nasafi,
Hammad bin Syakir al-Nasawi dan Mansur bin Muhammad al-Bazdawi.
KEPUSTAKAAN
Abu Ayuhbah, M. Muhammad, فى رحاب السنة الكتب الصحح الستة, terj. Ahmad Ustman, Kutubus Sittah, Surabaya: Pustaka Progresif, 1993
Ahmad, Zainal Abidin, Imam Bukhari Pemuncak Ilmu hadits, Jakarta: Bulan Bintang, 1975
as-shalih, Subhi, Ulum al-Hadis wa Musthalahuhu, Dar al-Iim Lil Malayin, Beirut, 1977
Azami, Muhammad Musthafa, Studies in Hadith Methodoloy and Literature, American Trust Publication, Indianapolis, 1977
Farid, Syaikh Ahmad, Min A’lam As-Salaf, terj. Masturi Ilham, 60 Biografi Ulama Salaf, Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 2008
http://1001tokohislam.blogspot.com
diakses tanggal 11 Desember 2011
http://id.wikipedia.org/wiki/Cara_Imam_Bukhari_dalam_menulis_kitab_hadits diakses pada tanggal 11 Desember 2011
http://id.wikipedia.org/wiki/Imam_Bukhari diakses pada tanggal 11 Desember 2011
http://opi.110mb.com/haditsweb/sejarah/sejarah_singkat_imam_bukhari.htm, diakses pada tanggal 11 Desember 2011
Irham, Masturi dan Asmu’I Taman, 60 Biografi Ulama Salaf, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008
Kieraha, Meth, Memahami Ilmu Hadis telaah Metodologi dan Literature Hadis, Jakarta: Lentera,1993
Ranuwijaya, Utang, Ilmu Hadis, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001
Suparta, Munzier, Ilmu Hadis, Jakarta: PT. Raja Garfindo Persada, 2002
Tim Pustaka Firdaus, Membahas ilmu-ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993
Zuhri, Muh., Hadis Nabi Telaah Historis dan
Metodologis, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1997
[1] http://1001tokohislam.blogspot.com diakses tanggal 11
Desember 2011
[2]
Zainal Abidin Ahmad, Imam Bukhari Pemuncak Ilmu hadits, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1975), cet. I, hal. 99
[3]
Muh. Zuhri, Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis, (Yogyakarta: PT.
Tiara Wacana Yogya, 1997), cet. I, hal. 166
[4]
Menurut pendapat lain bukan Bardizbah, tetapi Bazduzbah yang merupakan bahasa
daerah Bukhara yang berarti petani (lihat: Syaikh Ahmad Farid, Min A’lam
As-Salaf, Dar Al-Kidah, Kairo Cet. I 1426H/2005M, penerjemah Masturi Irham
dan Asmu’I Taman, 60 Biografi Ulama Salaf, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2008 Cet. III, hal.467).
[5]
Keislaman Al-Mughirah dinyatakannya di hadapan Walikota yang bernama Al-Yaman ibn
Ahnas Al-Ju’fy, yang karena itulah kemudian beliau dinasabkan dengan Al-Ju’fy
atas dasar wala’ al-Islam.
Sehingga dalam beberapa catatan sejarah namanya disebut dengan Ahnas Al-Ju’fy
(lihat: Munzier Suparta, Ilmu Hadis, Jakarta: PT. Raja Garfindo Persada,
2002, cet. III, hal. 237)
[6]
Muhammad Musthafa Azami, Studies in Hadith Methodoloy and Literature,
American Trust Publication, Indianapolis, 1977, penerjemah Meth Kieraha, Memahami
Ilmu Hadis telaah Metodologi dan Literature Hadis, Jakarta: Lentera,1993
cet I, hal 103).
[7] Ibid
[8]
Munzier Suparta, Op.cit
[9] http://opi.110mb.com/haditsweb/sejarah/sejarah_singkat_imam_bukhari.htm, diakses pada tanggal 11 Desember 2011
[10]
Muh. Zuhri, Op.cit
[11]
Hadis yang disandarkan kepada sahabat, dengan kata lain perkataan, perbuatan,
dan taqrir sahabat.
[12]
M. Muhammad Abu Ayuhbah, فى رحاب السنة
الكتب الصحح الستة, terj. Ahmad Ustman, Kutubus Sittah,
(Surabaya: Pustaka Progresif, 1993), h. 43
[13] Syaikh Ahmad Farid, Loc.Cit., h. 498
[14] Syaikh Ahmad Farid, Min A’lam As-Salaf, terj.
Masturi Ilham, 60 Biografi Ulama Salaf, (Jakarta: Pustaka Al-kautsar,
2008), cet. III, h. 492
[15] Ibid, h. 41
[16]
Hadis yang sanadnya menguatkan sanad lain dari hadis itu juga.
[17]
Hadis yang matannya sesuai dengan matan hadis lainnya.
[18]
M. Muhammad Abu Ayuhbah, Op.cit., h. 48
[19]
Hadis yang disembunyikan cacat sanadnya, sehingga seakan-akan tidak ada aib
didalamnya, tresingnya orangnya, sedangkan tadlis, menyembunyikan aib
yang terdapat pada isi hadis itu sendiri.
[20]
Perawi yang hafalnnya rusak karena sesuatu sebab tertentu.
[21]
Perawi yang kuat hafalannya terhadap apa yang pernah didengarnya, kemudian
mampu menyampaikan atau memproduksi hafalan tersebut kepada orang lain kapan
saja manakala diperlukan.
[22]
Sandaran hadis, yang menghubungkan antara perawi kepada sumber hadis
[23]
Hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi langsung disandarkan kepada Nabi,
tampa menyebutkan nama orang yang menceritakan kepadanya. Dengan kata lain
mursal adalah hadis yang gugur sanadnya pada thabaqah sebelum sahabat.
[24] Hadis
yan g ditengah sanadnya gugur seorang rawi atau beberapa rawi, tetapi tidak
berturut-turut.
[25] Hadis
yang dua orang perawi atau lebih gugur/putus dalam satu tempat secara
berurutan.
[26]
Isi hadis, yang meliputi perkataan, perbuatan, taqrir, dan hal ikhwal yang
disandarkan kepada Rasul saw.
[27]
Meth Kieraha, Op.cit, hal. 106 (lihat juga Utang Ranuwijaya, Ilmu
Hadis, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001, cet. 4, hal. 209 bahwa syarat
persambungan sanad (muttashil), diartikan sebagai ittishal as-sanad
dengan 2 syarat, yaitu 1) mu’asharah, antara yang menyampaikan dengan yang
menerimanya hidup semasa, 2) liqa’, terjadi perjumpaan diantara
keduanya, meskipun perjumpaan itu hanya sekali.
[28] Ibid
[29]
M. Muhammad Abu Ayuhbah, Op.Cit., h. 41-42
[30] Ibid
[31] Syaikh
Ahmad Farid, Loc.Cit h. 502-504
[32] http://id.wikipedia.org/wiki/Cara_Imam_Bukhari_dalam_menulis_kitab_hadits
diakses pada tanggal 11 Desember 2011
[33] Ibid
[34] Ibid
[35] Munzier Suparta, Op.cit,
hal. 239
[37] Subhi
as-shalih, Ulum al-Hadis wa Musthalahuhu, Dar al-Iim Lil Malayin,
Beirut, 1977 penerjemah, Tim Pustaka Firdaus, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis,
Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993 cet.I, h. 348
[38]
Meth Kieraha, Op.cit, hal. 108
[39] http://id.wikipedia.org/wiki/Imam_Bukhari
diakses pada tanggal 11 Desember 2011
0 Comment