A. Pendahuluan
Menurut
Mahmud al-Tahhan, pada mulanya ilmu Takhrij al-Hadis tidak dibutuhkan
oleh para ulama dan peneliti hadis, karena pengetahuan mereka tentang sumber
hadis ketika itu sangat luas dan baik. Hubungan mereka dengan sumber hadis juga
kuat sekali, sehingga apabila mereka hendak membuktikan ke-sahih-an
sebuah hadis, mereka dapat menjelaskan sumber hadis tersebut dalam berbagai
kitab hadis, yang metode dan cara-cara penulisan kitab-kitab hadis tersebut
mereka ketahui.[1]
Namun
ketika para Ulama mulai merasa kesulitan untuk mengetahui sumber dari suatu
hadis, yaitu setelah berjalan beberapa periode tertentu, dan setelah
berkembangnya karya-karya Ulama dalam bidang Fiqh, Tafsir dan Sejarah, yang
memuat hadis-hadis Nabi Saw yang kadang-kadang tidak menyebutkan sumbernya,
maka Ulama Hadis terdorong untuk melakukan Takhrij terhadap
karya-karya tersebut.
Mereka
menjelaskan dan menunjukkan sumber asli dari hadis-hadis yang ada, menjelaskan
metodenya dan menetapkan kualitas hadis sesuai dengan statusnya, apakah sahih
atau daif. Lalu muncullah apa yang dinamakan dengan Kutub at-Takhrij
(Buku-buku Takhrij).[2]
Kitab-kitab induk Hadis yang ada mempunyai susunan tertentu, dan berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Yang hal ini memerlukan cara tertentu secara ilmiah agar penelitian dan pencarian hadisnya dapat dilakukan dengan mudah. Cara praktis dan ilmiah inilah yang merupakan kajian pokok ilmu Takhrij.[3]
B. Pembahasan
1.
Pengertian Takhrij Hadis
Takhrij menurut
bahasa mengandung pengertian bermacam-macam, dan yang populer diantaranya
adalah al-istinbath (mengeluarkan), al-tadrib (melatih atau
membiasakan), al-tawjih (memperhadapkan).[4]
Sedangkan secara terminologi, tajhrij berarti
:
مُسْنَدَةٍ كُتُبٍ اَوْ كِتاَبٍ اِلَى
مَعْزُوَّةٍ وَلا مُسْنَدَةٍ غَيْرَ مُعَلَّقَةً المُصَنَّفاَتِ فِي تُذْكَرُ
الّتِى الاحَادِيْثِ عَزْوُ
بِالاِقْتِصَارِ وَاِمَّا اْلعِلَلِ مِنَ
مَافِيْهَا وَبَيَانِ وَقَبُوْلاً وَرَدًّا وَتَضْعِيْفًا تَصْحِيْحاً عَلَيْهَا
الْكَلاَمِ مَعَ اِمَّا
الاُصُوْلِ اِلَى الْعَزْوِ عَلَى
Mengembalikan (menelusuri kembali ke asalnya)
hadis-hadis yang terdapat di dalam berbagai kitab yang tidak memakai sanad
kepada kitab-kitab musnad, baik disertai dengan pembicaraan tentang
status hadis-hadis tersebut dari segi sahih atau daif, ditolak atau diterima,
dan penjelasan tentang kemungkinan illat yang ada padanya, atau hanya sekedar
mengembalikannya kepada kitab-kitab asal (sumbernya)nya.[5]
Para muhadisin mengartikan takhrij hadis
sebagai berikut:
1. Mengemukakan hadis pada orang banyak dengan
menyebutkan para periwayatnya dalam sanad yang telah menyampaikan hadis itu
dengan metode periwayatan yang mereka tempuh.
2. Ulama mengemukakan berbagai hadis yang telah
dikemukakan oleh para guru hadis, atau berbagai kitab lain yang susunannya
dikemukakan berdasarkan riwayat sendiri, atau para gurunya, siapa periwayatnya
dari para penyususn kitab atau karya tulis yang dijadikan sumber pengambilan.
3. ‘Mengeluarkan’, yaitu mengeluarkan hadis dari
dalam kitab dan meriwayatkannya. Al-Sakhawy mengatakan dalam kitab Fathul
Mugis sebagai berikut, “Takhrij adalah seorang muhadis mengeluarkan
hadis-hadisdari dalam ajza’, al-masikhat, atau kitab-kitab lainnya.
Kemudian hadis tersebut disusun gurunya atau teman-temannya dan sebagainya, dan
dibicarakan kemudian disandarkan kepada pengarang atau penyusun kitab itu”.
4. Dalalah, yaitu menunjukkan pada sumber hadis asli dan
menyandarkan hadis tersebut pada kitab sumber asli dengan menyebutkan perawi
penyusunnya.
5. Menunjukkan atau mengemukakan letak asal
hadis pada sumber yang asli, yakni kitab yang di dalamnya dikemukakan secara
lengkap dengan sanadnya masing-masing, lalu untuk kepentingan penelitian.[6]
Dari uraian defenisi di atas, takhrij
Hadis dapat dijelaskan sebagai berikut:
· Mengemukakan hadis pada orang banyak dengan menyebutkan para rawinya
yang ada dalam sanad hadis itu.
· Mengemukakan asal usul hadis sambil dijelaskan sumber pengambilannya
dari berbagai kitab hadis yang diperoleh oleh penulis kitab tersebut dari para
gurunya, lengkap dengan sanadnya sampai kepada Nabi Saw. Kitab-kitab tersebut
seperti; Al-Kutub al-Sittah, Muwaththa’ Malik, Musnad Ahmad, Mustadrak
Al-hakim.
· Mengemukakan hadis-hadis berdasarkan sumber pengambilannya dari
kitab-kitab yang didalamnya dijelaskan metode periwayatannya dan sanad
hadis-hadis tersebut, dengan metode dan kualitas para rawi sekaligus hadisnya.
Dari berbagai pernyataan di atas, dapat
disimpulkan bahwa hakikat dari takhrij hadis adalah penelusuran atau
pencarian hadis pada berbagai kitab hadis sebagai sumbernya yang asli yang
didalamnya dikemukakan secara lengkap matan dan sanadnya.
Penelusuran dan pencarian hadis pada sumber aslinya ini memeliki beberapa
urgensi yakni; 1). Secara metodologis pengutipan hadis pada sumber primer
adalah suatu keharusan. 2). Syarat untuk penelitian sanad. 3).
Menghindari kesalahan redaksi. 4). Menghindari kesalahan nilai hadis karena
membangsakan kualitas hadis secara tidak benar. Seperti menempatkan hadis daif
kepada hadis sahih atau sebaliknya.[7]
2. Objek Kajian
Dalam melakukan takhrij, seseorang
memerlukan kitab-kitab tertentu yang dapat dijadikan pegangan atau pedoman
sehingga dapat melakukan kegiatan takhrij secara mudah dan mencapai
sasaran yang dituju. Diantara kitab-kitab yang dapat dijadikan pedoman dalam
men-takhrij adalah: Usul al- Takhrij wa Dirasat al-Asanid oleh
Muhammad Al-Tahhan, Husul al-Tafrij bi Usul al-Takhrij oleh Ahmad ibn
Muhammad al-Siddiq al- Gharami, Turuq Takhrij Hadis Rasul Allah Saw karya
Abu Muhammad al-Mahdi ibn `Abd al-Qadir ibn `Abd al Hadi, Metodologi Penelitian
Hadis Nabi oleh Syuhudi Ismail, dan lain-lain.
Selain kitab-kitab di atas, di dalam men-takhrij
diperlukan juga bantuan dari kitab-kitab kamus atau mu’jam hadis dan mu’jam
para perawi hadis, diantaranya seperti:
·
AL-Mu`jam Al-Mufahras li Al-faz Al-Hadis An-Nabawi. Kitab ini memuat hadis-hadis dari Sembilan
kitab induk hadis seperti Sahih al-Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Turmidzi,
Sunan abu Daud, Sunan Nasa’i, Sunan ibn Majah, Sunan Darimi, Muwaththa’
Imam Malik dan Musnad Imam Ahmad.
·
Miftah Kunuz al- Sunna. Kitab ini memuat hadis-hadis yang terdapat dalam empat
belas buah kitab, baik mengenai Sunnah maupun biografi Nabi. Yaitu selain dari
Sembilan kitab induk hadis yakni; musnad al-Tayalisi, Musnad Zaid ibn Ali ibn
Husein ibn Ali ibn Abi Talib, Al-Tabaqat al-Kubra, Sirah ibn Hisyam, Al-
Magazi.[8]
Sedangkan kitab yang memuat biografi para
perawi hadis diantaranya adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Thahhan
sebagai berikut:[13]
a)
Kitab yang memuat biografi
sahabat
1. Al-Isti ab fi Ma`rifat al Asahab, oleh ibn
‘abd al-Barr al-Andalusi (w. 463 H/1071 M).
2. Usud al-Ghabah fi Ma`rifat al-Sahabah, oleh Iz al-Din Abi al-Hasan Ali ibn
Muhammadibn Al-asir al-Jazari (w. 630 H/ 1232 M)
3. Al-Ishabah fi Tamyizal-Sahabah, oleh Al-Hafiz
ibn Hajar al-asqalani (w. 852 H/ 1449).
b)
Kitab-kitab Tabaqat yaitu kitab-kitab yang membahas biografi para
perawi hadis berdasarkan tingkatan para perawi (tabaqat al-ruwat), seperti:
1. Al-Tabaqat al-Kubra, oleh `Abdullah Muhammad ibn Sa`ad
Khatibal-Waqidi (w. 230 H).
2. Tazkirat al-Huffaz, karangan Abu `Abdullah Muhammad ibn Ahmad
ibn Usman al-Zahabi (w. 748 H/ 1348 M).
c)
Kitab-kitab yang memuat para perawi hadis secara umum;
1. Al-Tarikh al-Kabir, oleh Imam Al-Bukhari (w
256 H/870 M)
2. Al-Jarh wa al-Ta`dil, karya ibn Abi Hatim (w
327 H).
3.
Kegunaan
Ilmu takhrij merupakan bagian dari
ilmu agama yang harus mendapat perhatian serius karena di dalamnya dibicarakan
berbagai kaidah untuk mengetahui sumber hadis itu berasal. Disamping itu,
didalamnya ditemukan banyak kegunaan dan hasil yang diperoleh, khususnya dalam
menentukan kualitas sanad hadis.[9]
Penguasaan tentang ilmu Takhrij sangat
penting, bahkan merupakan suatu keharusan bagi setiap ilmuwan yang berkecimpung
di bidang ilmu-ilmu kasyariahan, khususnya yang menekuni bidang hadis dan ilmu
hadis. Dengan mempelajari kaidah-kaidah dan metode takhrij, seseorang akan
dapat mengetahui bagaimana cara untuk sampai kepada suatu hadis di dalam
sumber-sumbernya yang asli yang pertama kali disusun oleh para Ulama
pengkodifikasi hadis.
Dengan mengetahui hadis tersebut dari sumber
aslinya, maka akan dapat diketahui sanad-sanadnya. Dan hal ini akan memudahkan
untuk melakukan penelitian sanad dalam rangka untuk mengetahui status dan
kualitasnya.
Dengan demikian Takhrij hadis
bertujuan mengetahui sumber asal hadis yang di takhrij. Tujuan lainnya
adalah mengetahui ditolak atau diterimanya hadis-hadis tersebut. Dengan cara
ini, kita akan mengetahui hadis-hadis yang pengutipannya memperhatikan
kaidah-kaidah ulumul hadis yang berlaku. Sehingga hadis tersebut menjadi jelas,
baik asal-usul maupun kualitasnya.
Adapun manfaat takhrij Hadis antara
lain sebagai berikut:
1. Dapat diketahui banyak sedikitnya jalur
periwayatan suatu hadis yang sedang menjadi topik kajian.
2. Dapat diketahui status hadis sahih li zatih
atau sahih li ghairih, hasan li zatih, atau hasan li ghairi. Demikian pula akan
dapat diketahui istilah hadis mutawatir, masyhur, aziz, dan gharibnya.[10]
3. Memperjelas hukum hadis dengan banyaknya
riwayatnya, seperti hadis da`if melalui satu riwayat. Maka dengan takhrij kemungkinan
akan didapati riwayat lain yang dapat mengangkat status hadis tersebut kepada
derajat yang lebih tinggi.
4. Memperjelas perawi yang samar, karena dengan
adanya takhrij, dapat diketahui nama perawi yang sebenarnya secara
lengkap.
5. Dapat menghilangkan kemungkinan terjadinya
percampuran riwayat.
6. Memperjelas perawi hadis yang tidak diketahui
namanya melalui perbandingan di antara sanad-sanadnya.
7. Dapat membatasi nama perawi yang sebenarnya.
Hal ini karena mungkin saja ada perawi-perawi yang mempunyai kesamaan gelar.
Dengan adanya sanad yang lain, maka nama perawi itu akan menjadi jelas.
8. Dapat menjelaskan sebab-sebab timbulnya hadis
melalui perbandingan sanad-sanad yang ada.
9. Dapat mengungkap kemungkinan terjadinya
kesalahan cetak melalui perbandingan-perbandingan sanad yang ada.[11]
10. Memberikan kemudahan bagi orang yang hendak
mengamalkan setelah mengetahui bahwa hadis tersebut adalah makbul (dapat
diterima). Sebaliknya, orang tidak akan mengamalkannya apabila mengetahui bahwa
hadis tersebut mardud (ditolak).
11. Menguatkan keyakinan bahwa suatu hadis adalah
benar-benar berasal dari Rasulullah Saw yang harus diikuti karena adanya
bukti-bukti yang kuat tentang kebenaran hadis tersebut, baik dari segi sanad
maupun matan.[12]
4.
Langkah-langkah
Di dalam melakukan takhrij, ada lima
metode yang dapat dijadikan sebagai pedoman, yaitu;
1.
Takhrij Melalui
Lafaz Pertama Matan Hadis
Metode ini sangat tergantung pada lafaz
pertama matan hadis. Hadis-hadis dengan metode ini dikodifikasi
berdasarkan lafaz pertamanya menurut urutan huruf hijaiyah. Misalnya, apabila
akan men-takhrij hadis yang berbunyi;
لَيْسَ الشَّدِيْدُ
بِالصُرْعَةِ
Untuk mengetahui lafaz lengkap dari penggalan
matan tersebut, langkah yang harus dilakukan adalah menelusuri penggalan
matan itu pada urutan awal matan yang memuat penggalan matan yang dimaksud.
Dalam kamus yang disusun oleh Muhammad fuad Abdul Baqi, penggalan hadis
tersebut terdapat di halaman 2014. Bearti, lafaz yang dicari berada pada
halaman 2014 juz IV.[13] Setelah
diperiksa, bunyi lengkap matan hadis yang dicari adalah;
:قَاَلَ
وَسَلَّمَ عَلَيْهِ اللّهُ صَلَّى اللّهِ رَسُوْلَ أَنَّ هُرَيْرَةَ بِيْ َ اَ عَنْ
لَيْسَ الشَّدِيْدُ
بِاالصُرْعَةِ اِنَّمَا الشَدِيْدُ الَّذِيْ يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَالغَيْبِ
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw
bersabda, “(Ukuran) orang yang kuat (perkasa) itu bukanlah dari kekuatan orang
itu dalam berkelahi, tetapi yang disebut sebagai orang yang kuat adalh orang
yang mampu menguasai dirinya tatkala dia marah”.
Metode ini mempunyai kelebihan dalam hal
memberikan kemungkinan yang besar bagi seorang mukharrij untuk menemukan
hadis-hadis yang dicari dengan cepat. Akan tetapi, metode ini juga mempunyai
kelemahan yaitu, apabila terdapat kelainan atau perbedaan lafaz pertamanya
sedikit saja, mak akan sulit unruk menemukan hadis yang dimaksud. Sebagai
contoh ;
فَزَوِّجُوْهُ خُلُقَهُ وَ دِيْنَهُ تَرْضَوْنَ مَنْ اِذاأَتَاكُمْ
Berdasarkan teks di atas, maka lafaz pertama
dari hadis tersebut adalah iza atakum (اِذا اَتَاكُمْ). Namun, apabila yang diingat
oleh mukharrij sebagai lafaz pertamanya adalah law atakum (لَوْ اَتَا كُمْ) atau iza ja’akum [14](اذاجَاءَكُمْ), maka hal tersebut tentu
akan menyebabkan sulitnya menemukan hadis yang sedang dicari, karena adanya
perbedaan lafaz pertamanya, meskipun ketiga lafaz tersebut mengandung arti yang
sama.
2.
Takhrij Melalui
Kata-Kata dalam Matan Hadis
Metode ini adalah metode yang berdasarkan
pada kata-kata yang terdapat dalam matan hadis, baik berupa kata benda
ataupun kata kerja. Dalam metode ini tidak digunakan huruf-huruf, tetapi yang
dicantumkan adalah bagian hadisnya sehingga pencarian hadis-hadis yang dimaksud
dapat diperoleh lebih cepat. Penggunaan metode ini akan lebih mudah manakala
menitikberatkan pencarian hadis berdasarkan lafaz-lafaznya yang asing dan
jarang penggunaanya.
Kitab yang berdasarkan metode ini di
antaranya adalah kitab Al-Mu`jam Al-Mufahras li Al-faz Al-Hadis An-Nabawi. Kitab
ini mengumpulkan hadis-hadis yang terdapat di dalam Sembilan kitab induk hadis
sebagaimana yaitu; Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Turmizi, Sunan Abu
Daud, Sunan Nasa’i, Sunan Ibn Majah, Sunan Darimi, Muwaththa’ malik, dan
Musnad Imam Ahmad.
Contohnya pencarian hadis berikut;
الْمُتَبَارِيَيْنِ أَنْ
يُؤْكَلَ اِنَّ النَّبِيَ صَلَّى اللّهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ طَعَامِ
Dalam pencarian hadis di atas, pada dasrnya
dapat ditelusuri melalui kata-kata naha (نَهَى) ta’am ( طَعَام), yu’kal (يُؤْكَلْ) al-mutabariyaini (المُتَبَارِيَينِ). Akan tetapi dari sekian
kata yang dapat dipergunakan, lebih dianjurkan untuk menggunakan kata al-mutabariyaini
(المُتَبَارِيَيْنِ)
karena kata tersebut jarang adanya. Menurut penelitian para ulama hadis,
penggunaan kata tabara (تَبَارَى) di dalam kitab induk hadis (yang
berjumlah Sembilan) hanya dua kali.
Penggunaan metode ini dalam mentakhrij suatu
hadis dapat dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:
Langkah pertama, adalah menentukan kata kuncinya yaitu kata
yang akan dipergunakan sebagai alatuntuk mencari hadis. Sebaiknya kata kunci
yang dipilih adalah kata yang jarang dipakai, karena semakin bertambah asing
kata tersebut akan semakin mudah proses pencarian hadis. Setelah itu, kata
tersebut dikembalikan kepada bentuk dasarnya. Dan berdasarkan bentuk dasar
tersebutdicarilah kata-kata itu di dalam kitab Mu’jammenurut urutannya
secara abjad (huruf hijaiyah).
Langkah kedua, adalah mencari bentuk kata kunci tadi
sebagaimana yang terdapat di dalam hadis yang akan kita temukan melalui Mu’jam
ini. Di bawah kata kunci tersebut akan ditemukan hadis yang sedang dicari
dalam bentuk potongan-potongan hadis (tidak lengkap). Mengiringi hadis tersebut
turut dicantumkan kitab-kitab yang menjadi sumber hadis itu yang dituliskan
dalm bentuk kode-kode sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.
Metode ini memiliki beberapa kelebihan yaitu;
Metode ini mempercepat pencarian hadis dan memungkinkan pencarian hadis melalui
kata-kata apa saja yang terdapat dalam matan hadis. Selain itu, metode
ini juga memiliki beberapa kelemahan yaitu; Terkadang suatu hadis tidak
didapatkan dengan satu kata sehingga orang yang mencarinya harus menggunakan
kata-kata lain.
3.
Takhrij
Berdasarkan Perawi Sahabat
Metode ini dikhususkan jika kita mengetahui
nama sahabat yang meriwayatkan hadis, lalu kita mnecari bantuan dari tiga macam
karya hadis yakni;
·
Al-Masanid (musnad-musnad). Dalam kitab ini disebutkan hadis-hadis yang
diriwayatkan oleh setiap sahabat secara tersendiri. Selama kita sudah
mengetahui nama sahabat yang meriwayatkan hadis, maka kita mencari hadis
tersebut dalam kitab ini hingga mendapatkan petunjuk dalam satu musnad dari
kumpulan musnad tersebut.
·
Al- ma`ajim (mu`jam-mu`jam). Susunan hadis di dalamnya berdasarkan urutan musnad
para sahabat atau syuyukh (guru-guru) sesuai huruf kamus hijaiyah.
Dengan mengetahui nama sahabat dapat memudahkan untuk merujuk hadisnya.
·
Kitab-kitab Al-Atraf. Kebanyakan kitab al-atraf disusun berdasarkan musnad-musnad
para sahabat dengan urutan nama mereka sesuai huruf kamus. Jika seorang
peneliti mengetahui bagian dari hadis itu, maka dapat merujuk pada
sumber-sumber yang ditunjukkan oleh kitab-kitab al-atraf tadi untuk
kemudian mengambil hadis secara lengkap.
Kelebihan metode ini adalah bahwa proses takhrij
dapat diperpendek. Akan tetapi, kelemahan dari metode ini adalah ia tidak dapat
digunakan dengan baik, apabila perawih yang hendak diteliti itu tidak
diketahui.
4.
Takhrij Berdasarkan Tema Hadis
Metode ini berdasrkan pada tema dari suatu
hadis. Oleh karena itu untuk melakukan takhrij dengan metode ini, perlu
terlebih dahulu disimpulkan tema dari suatu hadis yang akan ditakhrij dan
kemudian baru mencarinya melalui tema itu pada kitab-kitab yang disusun
menggunkan metode ini. Seringkali suatu hadis memiliki lebih dari satu tema.
Dalam kasus yang demikian seorang mekharrij harus mencarinya pada
tema-tema yang mungkin dikandung oleh hadis tersebut. Contoh :
الصّلاَةِ وَاِقَامِ اللَّهِ رَسُوْلُ مُحَمَّدّا وانَّ اللّهُ اِلاَّ لاَاِلهَ انْ شَهَادَةِ خَمْسٍ عَلَى الاِسْلاَمُ بُنِيَ
سَبِيْلاّ
اِلَيْهِ اسْتَطَاعَ مَنِ الْبَيْتِ وَحَجّ رَمَضَانَ وَصَوْمِ الزَّكاَةِ وَايْتَاءِ
Dibangun Islam atas lima pondasi yaitu :
Kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad itu adalah
Rasulullah, mendirikan shalat, membayarkan zakat, berpuasa bulan Ramadhan, dan
menunaikan ibadah haji bagi yang mampu.
Hadis diatas mengandung beberapa tema yaitu
iman, tauhid, shalat, zakat, puasa dan haji. Berdasarkan tema-tema tersebut
maka hadis diatas harus dicari didalam kitab-kitab hadis dibawah tema-tema
tersebut. Cara ini banyak dibantu dengan kitab Miftah Kunuz As-Sunnah
yang berisi daftar isi hadis yang disusun berdasarkan judul-judul pembahasan.
Dari keterangan diatas jelaslah bahwa takhrij
dengan metode ini sangat tergantung kepada pengenalan terhadap tema hadis.
Untuk itu seorang mukharrij harus memiliki beberapa pengetahuan tentang
kajian Islam secara umum dan kajian fiqih secara khusus.
Metode ini memiliki kelebihan yaitu : Hanya
menuntut pengetahuan akan kandungan hadis, tanpa memerlukan pengetahuan tentang
lafaz pertamanya. Akan tetapi metode ini juga memiliki berbagai kelemahan,
terutama apabila kandungan hadis sulit disimpulkan oleh seorang peneliti,
sehingga dia tidak dapat menentukan temanya, maka metode ini tidak mungkin
diterapkan.
5.
Takhrij
Berdasarkan Status Hadis
Metode ini memperkenalkan suatu upaya baru
yang telah dilakukan para ulama hadis dalam menyusun hadis-hadis, yaitu
penghimpunan hadis berdasarkan statusnya. Karya-karya tersebut sangat membantu
sekali dalam proses pencarian hadis berdasarkan statusnya, seperti hadis qudsi,
hadis masyhur, hadis mursal dan lainnya. Seorang peneliti hadis
dengan membuka kitab-kitab seperti diatas dia telah melakukan takhrij al
hadis.[15]
Kelebihan metode ini dapat dilihat dari segi
mudahnya proses takhrij. Hal ini karena sebagian besar hadis-hadis yang
dimuat dalam kitab yang berdasarkan sifat-sifat hadis sangat sedikit, sehingga
tidak memerlukan upaya yang rumit. Namun, karena cakupannya sangat terbatas,
dengan sedikitnya hadis-hadis yang dimuat dalam karya-karya sejenis, hal ini
sekaligus menjadi kelemahan dari metode ini.
Kitab kitab yang disusun berdasarkan metode
ini :
·
Al-Azhar al-Mutanasirah fi al-Akbar al-Mutawatirah karangan Al-Suyuthi.
·
Al-Ittihafat al-Saniyyat fi al-Ahadis al-Qadsiyyah oleh al-Madani.
·
Al-Marasil oleh Abu Dawud, dan kitab-kitab sejenis lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Mahmud al-Tahhan, Usul al-Takhrij wa Dirasah al Asanid,
Agus Solahudin dan Agus suyadi, Ulumul Hadis
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis,
Abu Muhammad Al-Mahdi Ibn Abd Al-Qadir Al-Hadi, Tariqu Takhrij Hadis
Rasulullah `Alaihi wasallam,
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis,
Syuhudi Ismail, Metode Penelitian Sanad Hadis,
Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis,
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis,
Agus Solahudin dan Agus suyadi, Ulumul Hadis,
Ahmad Zarkasyi Chumaidy, Takhrij Al-Hadis
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis,
Agus Solahudin dan Agus suyadi, Ulumul Hadis,
Agus Solahudin dan Agus suyadi, Ulumul Hadis,
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis,
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis,
[1] Mahmud al-Tahhan, Usul al-Takhrij wa Dirasah al Asanid,
[2] Agus Solahudin dan Agus
suyadi, Ulumul Hadis
[3] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis,
[4] Abu Muhammad Al-Mahdi Ibn
Abd Al-Qadir Al-Hadi, Tariqu Takhrij Hadis
Rasulullah `Alaihi wasallam,
[5] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis,
[6] Syuhudi Ismail, Metode Penelitian Sanad Hadis,
[7] Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis,
[8] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis,
[9] Agus Solahudin dan Agus
suyadi, Ulumul Hadis,
[10] Ahmad Zarkasyi Chumaidy, Takhrij Al-Hadis
[11] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis,
[12] Agus Solahudin dan Agus
suyadi, Ulumul Hadis,
[13] Agus Solahudin dan Agus
suyadi, Ulumul Hadis,
[14] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis,
[15] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis,
0 Comment