Filsafat ilmu adalah dasar yang menjiwai dinamika
proses kegiatan memperoleh pengetahuan dengan jalan ilmu tersebut
disistematiskan dan diorganisasikan dengan baik, sehingga terbentuk menjadi
suatu disiplin yang mempunyai kekhususan dalam objeknya. Ilmu pengetahuan
mempunyai unsur-unsur yang bisa diketahuai bahwa ilmu tersebut benar-benar ilmu
pengetahuan, diantaranya ilmu tersebut adalah empiris, sistematis, Analitis dan
lainnya.
Adapun tujuan dari ilmu pengetahuan untuk
memahami, memprediksi, dan mengatur berbagai aspek kejadian di dunia, disamping
untuk menemukan atau memformulasikan teori, dan teori itu sendiri pada dasarnya
merupakan suatu penjelasan tentang sesuatu sehingga dapat diperoleh kefahaman,
dan dengan kepahaman maka prediksi kejadian dapat dilakukan dengan probabilitas
yang cukup tinggi, asalkan teori tersebut telah teruji kebenarannya.
Selain
itu, untuk menguntrol ilmu pengetahuan dibutuhkan adanya pelurusan terhadap ilmu pengetahuan agar tidak
terjadi kenetralan tanpa batas dalam ilmu. Oleh karena itu diperlukan adanya
nilai-nilai moral, apakah ilmu tersebut termasuk dalam katagori etika,
estetika, otau yang lainnya.
Rasa keingintahuan manusia ternyata menjadi
titik-titik perjalanan manusia yang takkan pernah usai. Hal inilah yang
kemudian melahirkan beragam penelitian dan hipotesa awal manusia terhadap inti
dari keanekaragaman realitas. Proses berfilsafat adalah titik awal sejarah
perkembangan pemikiran manusia dimana manusia berusaha untuk mengorek, merinci
dan melakukan pembuktian-pembuktian yang tak lepas dari kungkungan.
Kemudian dirumuskanlah sebuah teori pengetahuan
dimana pengetahuan menjadi terklasifikasi menjadi beberapa bagian. Melalui
pembedaan inilah kemudian lahir sebuah konsep yang dinamakan ilmu. Pengembangan
ilmu terus dilakukan, akan tetapi disisi lain pemuasan dahaga manusia terhadap
rasa keingintahuannya seolah tak berujung dan menjebak manusia ke lembah
kebebasan tanpa batas. Oleh sebab itulah dibutuhkan adanya pelurusan terhadap
ilmu pengetahuan agar tidak terjadi kenetralan tanpa batas dalam ilmu. Karena
kenetralan ilmu pengetahuan hanyalah sebatas metafisik keilmuan. Sedangkan
dalam penggunaannya diperlukan adanya nilai-nilai moral.
Nilai dalam hal ini merupakan tema baru dalam
filsafat: Aksiologi, cabang filsafat yang mempelajarinya, muncul untuk pertama
kalinya pada paroh kedua abad ke-19. Dewasa ini, penelitian terhadap berbagai
nilai yang terisolasi ini menemukan makna baru manakala orang mencatat bukan
hanya jalinan yang lembut yang mengikatnya menjadi satu, namun juga sinar yang
mengarahkan semua riset atas hakikat nilai dalam proses pengkajian
masing-masing kawasan ini sebagai satu keseluruhan. Maka, etika dan estetika-warisan
filsafat kuno-belakangan ini melangkah jauh ke arah peningkatan kemampuan untuk
mengkaji nilai sebagaimana adanya.
Dalam makalah ini, akan dibahas masalah ilmu
pengetahuan dan nilai, (etika, estetika, dan yang lainnya).
Pembahasan
A.
Ilmu Pengetahuan
1. Pengertian
Ilmu
merupakan kata yang berasal dari bahasa Arab, masdar dari ‘alima – ya’lamu yang
berarti tahu atau mengetahui, sementara itu secara istilah ilmu diartikan
sebagai Idra>ku syai bi haqi>qatih (mengetahui sesuatu secara hakiki).
Dalam bahasa Inggris ilmu biasanya dipadankan dengan
kata science, sedang pengetahuan dengan knowledge. Dalam
bahasa Indonesia kata science berasal dari bahasa lati dari kata Scio,
Scire yang berarti ilmu, tapi sering juga diartikan dengan ilmu
pengetahuan, meskipun secara konseptual mengacu pada makna yang sama.[1]
Harsoyo mendefinisikan ilmu dengan melihat pada sudut
proses historis dan pendekatannya yaitu:[2]
a.
Ilmu merupakan akumulasi
pengetahuan yang disistematiskan atau kesatuan pengetahuan yang
terorganisasikan.
b.
Ilmu dapat pula dilihat sebagai
suatu pendekatan atau suatu metode pendekatan terhadap seluruh dunia empiris,
yaitu dunia yang terikat oleh faktor ruang dan waktu, dunia yang pada
prinsipnya dapat diamati oleh pancaindra manusia.
Dari pengertian di atas nampak bahwa Ilmu memang
mengandung arti pengetahuan, tapi bukan sembarang pengetahuan melainkan
pengetahuan dengan ciri-ciri khusus yaitu yang tersusun secara sistematis, dan
untuk mencapai hal itu diperlukan upaya mencari penjelasan atau keterangan,
dalam hubungan ini Moh Hatta menyatakan bahwa Pengetahuan yang didapat
dengan jalan keterangan disebut Ilmu, dengan kata lain ilmu adalah pengetahuan
yang diperoleh melalui upaya mencari keterangan atau penjelasan.
Lebih jauh dengan memperhatikan pengertian-pengertian
Ilmu sebagaimana diungkapkan di atas, dapatlah ditarik beberapa kesimpulan
berkaitan dengan pengertian ilmu yaitu:[3]
a.
Ilmu adalah sejenis
pengetahuan.
b.
Tersusun atau disusun secara
sistematis.
c.
Sistimatisasi dilakukan dengan
menggunakan metode tertentu.
d.
Pemerolehannya dilakukan dengan
cara studi, observasi, eksperimen.
Dengan demikian sesuatu yang bersifat pengetahuan bisa dapat menjadi suatu pengetahuan ilmiah bila telah disusun secara sistematis serta mempunyai metode berfikir yang jelas, karena pada dasarnya ilmu yang berkembang dewasa ini merupakan akumulasi dari pengalaman/pengetahuan manusia yang terus difikirkan, disistimatisasikan, serta diorganisir sehingga terbentuk menjadi suatu disiplin yang mempunyai kekhususan dalam objeknya.
2.
Ciri-ciri Ilmu Pengetahuan
umum dari pengertian ilmu dapat diketahui apa sebenarnya
yang menjadi ciri dari ilmu, me skipun untuk tiap definisi memberikan titik
berat yang berlainan. Menurut The Liang Gie secara lebih khusus
menyebutkan ciri-ciri ilmu sebagai berikut:[4]
a.
Empiris (berdasarkan pengamatan
dan percobaan)
b.
Sistematis (tersusun secara
logis serta mempunyai hubungan saling bergantung dan teratur)
c.
Objektif (terbebas dari
persangkaan dan kesukaan pribadi)
d.
Analitis (menguraikan persoalan
menjadi bagian-bagian yang terinci)
e.
Verifikatif (dapat diperiksa kebenarannya)
Sementara itu Beerling menyebutkan ciri ilmu
(pengetahuan ilmiah) adalah:[5]
a.
Mempunyai dasar pembenaran
b.
Bersifat sistematik
c.
Bersifat intersubjektif
Ilmu perlu dasar empiris, apabila seseorang memberikan
keterangan ilmiah maka keterangan itu harus memungkintan untuk dikaji dan
diamati, jika tidak maka hal itu bukanlah suatu ilmu atau pengetahuan ilmiah,
melainkan suatu perkiraan atau pengetahuan biasa yang lebih didasarkan pada
keyakinan tanpa peduli apakah faktanya demikian atau tidak.[6]
Upaya-upaya untuk melihat fakta-fakta memang merupakan ciri empiris dari ilmu,
namun demikian bagaimana fakta-fakta itu dibaca atau dipelajari jelas
memerlukan cara yang logis dan sistematis, dalam arti urutan cara berfikir dan
mengkajinya tertata dengan logis sehingga setiap orang dapat menggunakannya
dalam melihat realitas faktual yang ada.
Disamping itu ilmu juga harus objektif dalam arti
perasaan suka-tidak suka, senang-tidak senang harus dihindari, kesimpulan atau
penjelasan ilmiah harus mengacu hanya pada fakta yang ada, sehingga setiap
orang dapat melihatnya secara sama pula tanpa melibatkan perasaan pribadi yang
ada pada saat itu.[7] Analitis
merupakan ciri ilmu lainnya, artinya bahwa penjelasan ilmiah perlu terus
mengurai masalah secara rinci sepanjang hal itu masih berkaitan dengan dunia
empiris, sedangkan verifikatif berarti bahwa ilmu atau penjelasan ilmiah harus
memberi kemungkinan untuk dilakukan pengujian di lapangan sehingga kebenarannya
bisa benar-benar memberi keyakinan.
Dari uraian di atas, nampak bahwa ilmu bisa dilihat dari dua sudut peninjauan, yaitu ilmu sebagai produk/hasil, dan ilmu sebagai suatu proses. Sebagai produk ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang tersistematisir dan terorganisasikan secara logis, seperti jika kita mempelajari ilmu ekonomi, sosiologi, biologi. Sedangkan ilmu sebagai proses adalah ilmu dilihat dari upaya perolehannya melalui cara-cara tertentu, dalam hubungan ini ilmu sebagai proses sering disebut metodologi dalam arti bagaimana cara-cara yang mesti dilakukan untuk memperoleh suatu kesimpulan atau teori tertentu untuk mendapatkan, memperkuat/menolak suatu teori dalam ilmu tertentu, dengan demikian jika melihat ilmu sebagai proses, maka diperlukan upaya penelitian untuk melihat fakta-fakta, konsep yang dapat membentuk suatu teori tertentu.[8]
3.
Fungsi Dan Tujuan Ilmu
Pengetahuan
Lahir dan berkembangnya Ilmu Pengetahuan telah banyak
membawa perubahan dalam kehidupan manusia, terlebih lagi dengan makin intensnya
penerapan Ilmu dalam bentuk Teknologi yang telah menjadikan manusia lebih mampu
memahami berbagai gejala serta mengatur Kehidupan secara lebih efektif dan
efisien. Hal itu berarti bahwa ilmu mempunyai dampak yang besar bagi kehidupan
manusia, dan ini tidak terlepas dari fungsi dan tujuan ilmu itu sendiri.
Kerlinger dalam melihat fungsi ilmu, terlebih dahulu
mengelompokan dua sudut pandang tentang ilmu, yaitu pandangan statis dan
pandangan dinamis.[9]
Dalam pandangan statis, ilmu merupakan aktivitas yang memberi sumbangan bagi
sistimatisasi informasi bagi dunia, tugas ilmuwan adalah menemukan fakta
baru dan menambahkannya pada kumpulan informasi yang sudah ada, oleh karena itu
ilmu dianggap sebagai sekumpulan fakta, serta merupakan suatu cara menjelaskan
gejala-gejala yang diobservasi, berarti bahwa dalam pandangan ini
penekanannya terletak pada keadaan pengetahuan/ilmu yang ada sekarang serta
upaya penambahannya baik hukum, prinsip ataupun teori-teori. Dalam
pandangan ini, fungsi ilmu lebih bersifat praktis yakni sebagai disiplin atau
aktivitas untuk memperbaiki sesuatu, membuat kemajuan, mempelajari fakta serta
memajukan pengetahuan untuk memperbaiki sesuatu (bidang-bidang kehidupan).[10]
Pandangan ke dua tentang ilmu adalah pandangan dinamis
atau pandangan heuristik (arti heuristik adalah menemukan), dalam pandangan ini
ilmu dilihat lebih dari sekedar aktivitas, penekanannya terutama pada teori dan
skema konseptual yang saling berkaitan yang sangat penting bagi penelitian.
Dalam pandangan ini fungsi ilmu adalah untuk membentuk hukum-hukum umum yang
melingkupi prilaku dari kejadian-kejadian empiris atau objek empiris yang
menjadi perhatiannya sehingga memberikan kemampuan menghubungkan berbagai kejadian
yang terpisah-pisah serta dapat secara tepat memprediksi kejadian-kejadian masa
datang.[11]
Dengan memperhatikan penjelasan di atas nampaknya ilmu
mempunyai fungsi yang amat penting bagi kehidupan manusia, Ilmu dapat membantu
untuk memahami, menjelaskan, mengatur dan memprediksi berbagai kejadian baik
yang bersifat kealaman maupun sosial yang terjadi dalam kehidupan manusia.
Setiap masalah yang dihadapi manusia selalu diupayakan untuk dipecahkan agar
dapat dipahami, dan setelah itu manusia menjadi mampu untuk mengaturnya serta
dapat memprediksi (sampai batas tertentu) kemungkinan-kemungkinan yang akan
terjadi berdasarkan pemahaman yang dimilikinya, dan dengan kemampuan prediksi
tersebut maka perkiraan masa depan dapat didesain dengan baik meskipun hal itu
bersifat probabilistik, mengingat dalam kenyataannya sering terjadi hal-hal
yang bersifat unpredictable.[12]
Dengan dasar fungsi tersebut, maka dapatlah difahami bahwa tujuan dari ilmu adalah untuk memahami, memprediksi, dan mengatur berbagai aspek kejadian di dunia, disamping untuk menemukan atau memformulasikan teori, dan teori itu sendiri pada dasarnya merupakan suatu penjelasan tentang sesuatu sehingga dapat diperoleh kefahaman, dan dengan kepahaman maka prediksi kejadian dapat dilakukan dengan probabilitas yang cukup tinggi, asalkan teori tersebut telah teruji kebenarannya.
4.
Struktur Imu Pengetahuan
Dengan demikian nampak dari dua pendapat di atas bahwa
terdapat dua hal pokok yang menjadi pilar bahwa sesuatu tersebut merupakan ilmu
pengetahuan, yaitu:[13]
a.
A body of Knowledge (kerangka ilmu) yang terdiri dari fakta, konsep, generalisasi, dan
teori yang menjadi ciri khas bagi ilmu yang bersangkutan sesuai dengan boundary
yang dimilikinya.
b. A mode of inquiry. cara pengkajian/penelitian yang mengandung pertanyaan dan metode penelitian guna memperoleh jawaban atas permasalahan yang berkaitan dengan ilmu tersebut.
B.
Teori Niai
1.
Bentuk Nilai
Nilai
secar etimologi berasal dari kata value (inggris) yang berasal dari velere
(latin) yang mempunyai arti kuat, baik, dan berharga. Nilai adalah suatu yang
berharga, baik, dan berguna bagi manusia. Nilai dapat diartikan suatu
penghargaan atau suatu kulitas terhadap suatu hal yang dapat menjadi dasar
penentu tingkah laku manusia.[14]
Dalam
Encliclopedya of Philosophy dijelaskan, aksiologi Value and Valuation. Ada tiga bentuk value and Valuation, yakni:[15]
a.
Nilai, digunakan sebagai kata benda abstrak, seperti baik,
menarik, bagus dan mencakup tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran, dan kesucian.
b.
Nilai sebagai kata benda konkret. Nilai disini merupakan
sebuah nilai atau nilai-nilai yang sering dipakai untuk merujuk kepada sesuatu
yang bernilai, seperti nilainya, nilai dia, dan sistem
nilai dia. Kemudian dipakai untuk apa-apa yang memiliki nilai
atau bernilai sebagaimana berlawanan dengan apa-apa yang
tidak dianggap baik atau bernilai.
c.
Nilai juga digunakan sebagai kata kerja dalam ekspresi
menilai, memberi nilai dan dinilai. Menilai umumnya sinonim dengan evaluasi ketika hal tersebut secara aktif digunakan
untuk menilai perbuatan. Dewey membedakan dua hal
tentang menilai, ia bisa berarti menghargai dan mengevaluasi.
Nilai
itu sangat tergantung dari hasil pandangan yang
muncul dari filsafat. Nilai akan menjadi subjektif, apabila subjek sangat
berperan dalam segala hal, kesadaran manusia menjadi tolok ukur
segalanya, atau eksistensinya, maknanya dan validitasnya
tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian tanpa
mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis ataupun fisis. Dengan demikian,
nilai subjektif akan selalu memperhatikan berbagai pandangan yang
dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan, intelektualitas dan nilai hasil subjektif selalu mengarah pada sesuatu suka dan
tidak suka, senang atau tidak senang. Misalnya seorang
melihat matahari terbenam di sore hari. Akibat yang
dimunculkannya adalah menimbulkan rasa senang karena
melihat betapa indahnya matahari terbenam itu. Ini merupakan nilai
yang subjektif dari seseorang dengan orang lain akan memiliki kualitas yang
berbeda.
Nilai itu objektif, jika ia tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Nilai objektif muncul karena adanya pandangan dalam filsafat tentang objektivisme. Ini beranggapan pada tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, sesuatu yang memiliki kadar secara realitas benar-benar ada. Misalnya, kebenaran tidak tergantung pada pendapat individu, melainkan pada objektifitas fakta kebenaran tidak diperkuat atau diperlemah oleh prosedur-prosedur.[16]
2.
Jenis-jenis Nilai (etika dan
estetika)
Gagasan
aksiologi dipelopori juga oleh Lotze Brentano, Husserl Scheller, dan Nocolai
Hatmann. Scheller mengontraskannya dengan praeksologi, yaitu
pengertian umum mengenai hakikat tindakan, secara khusus
bersangkutan dengan dientologi, yaitu teori moralitas mengenai tindakan
yang benar. Dalam penilaiannya, terdapat dua bidang yang paling popular saat
ini, yaitu yang bersangkutan dengan tingkah laku keadaan
atau tampilan fisik. Dengan demikian dikenal teori nilai atau aksiologi dalam dua jenis, yaitu etika dan estetika.[17]
Etika
membahas tentang baik buruknya tingkah laku manusia sedangkan estetika membahas
mengenai keindahan. Dalam aksiologi ilmu pengetahuan, pembahasannya lebih
banyak mengarah kepada nilai etika. Hal ini dikarenakan, objek estetika
membicarakan tentang pengalaman akan keindahan secara substansi, mencari
hakikat dari keindahan, bentuk- bentuk pengalaman keindahan, menyelidiki emosi
manusia sebagai reaksi terhadap yang indah, agung, tragis, bagus, mengharukan
dan sebagainya.[18]
Nilai
atau etika dari bahasa yunani ethos yang berarti watak kesusilaan atau
adat. Secara terminologi etika adalah cabang filsafat yang membahs tentang
tingkah laku atau perbuatan manusia dalam hubungannya dengan baik atau buruk.
Secara
umum makna etika dipakai dalam dua arti. pertama, etika merupakan
kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan
manusia. Seperti seseorang yang telah belajar dan memiliki sekumpulan ilimu
etika. Kedua, merupakan predikat yang dipakai untuk menilai atau
membedakan hal-hal, perbuatan-perbuatan, atau manusia-manusia yang lain.
Seperti penilaian seseorang terhadap orang lain telah bertindak baik, buruk atau
asusila.
Ruang
lingkup etika meliputi bagaimana caranya agar dapat hidup lebih baik dan
bagaimana caranya untuk berbuat baik serta keburukan.
Etika
dapat dibagi menjadi etika deskriptif dan etika normatif. Etika deskriptif
hanya melukiskan, menggambarkan, menceritakan apa adanya, tanpa melakukan
penilaian terhadap mana yang baik dan mana yang buruk serta tanpa mengajarkan
bagaimana seharusnya berbuat, seperti mendiskripkan tentang sejarah.[19]
Sementara
etika normatif berbeda dengan etika diskriftif, karena etika ini, sudah
memberikan penilaian mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang harus
dikerjakan dan mana yang tidak seharusnya dikerjakan. Etika normatif dapat
dibagi menjadi etika umum dan etika khusus. Etika umum membicarakan
tentang prinsip-prinsip umum, seperti apakah nilai, motivasi suatu perbuatan,
suara hati dan sebagainya. Sedangkan etika khusus adalah pelaksanaan dari
prinsip-prinsip umum, seperti etika pergaulan, etika dalam pekerjaan, dan sebagainya.[20]
Etika dan moral sama artinya, tetapi dalam pemakaian sehari-hari ada sedikit perbedaan. Moral dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai. Adapun etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai yang ada.
3.
Kreteria Nilai
Standar
pengujian nilai dipengaruhi aspek psikologis dan logis.
a.
Kaum hedonist menemukan standar nilai dalam kuantitas
kesenangan yang dijabarkan oleh individu atau masyarakat.
b.
Kaum idealis mengakui sistem objektif norma rasional sebagai
kriteria.
c. Kaum naturalis menemukan ketahanan biologis sebagai tolok ukur.
4.
Hirarki Nilai
Terdapat
beberapa pandangan yang berkaitan dengan tingkatan/hierarki nilai:[21]
a.
Kaum Idealis
Mereka berpandangan secara pasti terhadap tingkatan nilai,
dimana nilai spiritual lebih tinggi daripada nilai non spiritual (niai
material).
b.
Kaum Realis
Mereka menempatkan niai rasional dan empiris pada tingkatan
atas, sebab membantu manusia menemukan realitas objektif, hokum-hukum alam dan
aturan berfikir logis.
c.
Kaum Pragmatis
Menurut mereka, suatu aktifitas dikatakan baik seperti yang lainnya, apabila memuaskan kebutuhan yang penting, dan memiliki nilai instrumental. Mereka sangat sensitive terhadap nilai-nilai yang meghargai masyarakat.
5.
Karakteristik Nilai
Ada
beberapa karakteristik nilai yang berkaitan teori nilai, yaitu:[22]
a.
Nilai objektif atau subjektif
Nilai itu objektif jika ia
tidak bergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai; sebaliknya nilai itu
subjektif jika eksistensinya, maknanya, dan validitasnya tergantung pada reaksi
subjek yang melakukan penilaian, tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat
psikis atau fisik.
b.
Nilai absolut atau berubah
Suatu nilai dikatakan absolut atau abadi, apabila nilai yang berlaku sekarang sudah berlaku sejak masa lampau dan akan berlaku serta abash sepanjang masa, serta akan berlaku bagi siapapun tanpa memperhatikan ras, maupun kelas social. Dipihak lain ada yang beranggapan bahwa semua nilai relative sesuai dengan keinginan atau harapan manusia.[23]
6.
Kebebasan Nilai dan Keterikatannya
Perkembangan
yang terjadi dalam pengetahuan ternyata melahirkan sebuah polemik baru karena
kebebasan pengetahuan terhadap nilai atau yang bisa kita sebut sebagai
netralitas pengetahuan (value free). Sebaliknya ada jenis pengetahuan yang
didasarkan pada keterikatan nilai atau yang lebih dikenal sebagai value baound.[24]
Bagi
ilmuwan yang menganut faham bebas nilai kemajuan perkembangan ilmu pengetahuan
akan lebih cepat terjadi. Karena ketiadaan hambatan dalam melakukan penelitian.
Baik dalam memilih objek penelitian, cara yang digunakan maupun penggunaan
produk penelitian.
Sedangkan
bagi ilmuwan penganut faham nilai terikat, perkembangan pengetahuan akan
terjadi sebaliknya. karena dibatasinya objek penelitian, cara, dan penggunaan
oleh nilai.[25]
Kendati demikian paham pengetahuan yang disandarkan pada teori bebas nilai ternyata melahirkan sebuah permasalahan baru. Dari yang tadinya menciptakan pengetahuan sebagai sarana membantu manusia, ternyata kemudian penemuannya tersebut justru menambah masalah bagi manusia.
Kesimpulan
Ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang bersifat pengetahuan
yang telah tersusun secara sistematis, terorganisir,
serta mempunyai metode berfikir yang jelas, sehingga
terbentuk menjadi suatu disiplin yang mempunyai kekhususan dalam objeknya. Ilmu pengetahuan bisa diketahui melalui ciri-cirinya (empiris, sistematis,
objektif, analitis, dan verifikatif), fungsi dan tujuan ilmu pengetahuan, serta
sturuktur ilmu pengetahuan (kerangka ilmu, cara pengkajjian/penelitian).
Adapun nilai adalah suatu yang berharga, baik, dan berguna bagi manusia. Nilai dapat diartikan suatu penghargaan atau suatu kulitas terhadap suatu hal yang dapat menjadi dasar penentu tingkah laku manusia. Nilai secara garis besar mempunyai pandangan tersendiri dalam memahami ilmu pengetahuan. Diantaranya adalah jenis-jenis nilai (etika dan estetika), kreteria nilai, hirarki nilai, krakteristik nilai, serta kebebasan nilai dan keterikatannya.
Daftar Pustaka
Hatta, Muhammad. Pengantar
ke Jalan Ilmu Pengetahuan. Jakarta: t.p. 1954
Sadulloh,Uyoh. Pengantar
Filsafat Pendidikan. Bandung: CV.
Alfabeta, 2007
Pudjawinata, Pembimbing ke Arah
Filsafat, Jakarta: Balai Pustaka, 1963
Bakhtiar,Amsal. Filsafat Ilmu,
Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2004
Budianto, Irmayanti M. Filsafat
dan Metodologi Ilmu pengetahuan; Refleksi Kritis Atas Kerja Ilmiah, Depok:
Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 2001
Salam, Burhanuddin. Logika
Materil; Filsafat lmu pengetahuan, Jakarta: Rineka Cipta, 1997
Suriasumantri, Jujun S. Filsafat
Ilmu, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995
Keraf, A. Sonny.
Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Kanisius, 2001
Ahmad,Mudlor. Ilmu
Dan keinginan Tahu; Epistemologi Dalam Filsafat, Bandung: Trignda Kaya,
1994
Wiramihardja, Sutardjo
A. Pengantar Filsafat, Bandung: Rafika Aditama, 2009
Abu Bakar, Nor Hasidah. Bahan Pengajaran IPK 503,
Kuala Lumpur: Pusat Pemikiran dan Kefahaman Islam, Unit ICT, tt
[1]Nor Hasidah Abu
Bakar, Bahan Pengajaran IPK 503, (Kuala Lumpur:
Pusat Pemikiran dan Kefahaman Islam, Unit ICT, tt). 30
[2]Ibid.,
[3]Sutardjo A.
Wiramihardja, Pengantar Filsafat, (Bandung: Rafika Aditama, 2009), 129.
[4]Mudlor Ahmad, Ilmu
Dan keinginan Tahu; Epistemologi Dalam Filsafat, (Bandung: Trignda Kaya,
1994), 25.
[5]Ibid.,
[6]Ibid., 26.
[7]A. Sonny Keraf, Mikhael
Dua, Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), 81
[8]Ibid.,
[9]Jujun S. Suriasumantri, Filsafat
Ilmu, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), 104
[10]Ibid.,
[11]Ibid., 106
[12]Ibid.,
[13]A. Sonny Keraf, Mikhael
Dua, Ilmu Pengetahuan…, 90.
[14]Burhanuddin Salam, Logika
Materil; Filsafat lmu pengetahuan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), 168
[15]Ibid.,
[16]Irmayanti M. Budianto, Filsafat
dan Metodologi Ilmu pengetahuan; Refleksi Kritis Atas Kerja Ilmiah, (Depok:
Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 2001), 73.
[17]Amsal Bakhtiar, Filsafat
Ilmu, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), 165
[18]Pudjawinata, Pembimbing
ke Arah Filsafat, (Jakarta: Balai Pustaka, 1963), 60.
[19]Amsal Bakhtiar, Filsafat
Ilmu…, 165.
[20]Ibid., 166.
[21]Muhammad Hatta, Pengantar
ke Jalan Ilmu Pengetahuan (Jakarta: t.p. 1954), 39-40.
[22]Uyoh Sadulloh, Pengantar
Filsafat Pendidikan (Bandung: CV.
Alfabeta, 2007), 71-72
[23]Ibid.,
[24]A. Sonny Keraf, Mikhael
Dua, Ilmu Pengetahuan…, 149
[25]Ibid.,
0 Comment