A.
Pendahuluan
Ilmu
pengetahuan dan masyarakat adalah dua hal yang tidak bisa terpisahkan, salah
satu dari keduanya saling ketergantungan, ilmu pengetahuan tidak mungkin ada
kalau tidak ada manusia yang mempelajarinya, sedangkan masyarakat tidak akan bisa
disebut kumpulan manusia kalau tidak berpengetahuan. Ilmu pengetahuan merupakan
pencerah bagi segenap manusia, karena dengan hal itu manusia bisa membedakan
serta menilai segala sesuatu yang membawa manfaat dan bencana bagi diri dan
lingkungannya.
Efek
ilmu pengetahuan sangat terasa sekali bagi kehidupan. Jika dibandingkan antara
peradaban di zaman modern sekarang ini dan zaman batu dahulu, maka bisa
diketahui bahwa yang menyebabkan perbedaan tersebut terletak pada sejauh mana
manusia dahulu dan sekarang menguasai ilmu pengetahuan. Seperti itu juga
julukan terhadap keberadaaan negara dengan istilah negara maju, negara
berkembang, dan negara terbelakang seringkali diukur dengan tingkat pengetahuan
penduduknya. Hanya dengan ilmu pengetahuan manusia bisa mencapai peradaban yang
mapan dan dengan ilmu pengetahuan seorang manusia bisa bermartabat. Oleh karena
itu, ilmu pengetahuan merupakan sebuah keniscayaan bagi manusia.
Ada
tiga hal pokok bahwa ilmu pengetahuan merupakan sebuah keniscayaan.[1] Pertama,
manusia tidak bisa hidup di alam yang tanpa proses. Manusia tidak bisa seperti
binatang. Binatang bisa melangsungkan kehidupannya jika ia sudah sesuai dengan
habitatnya, kambing bisa hidup asal ada rumput dan pasangan seksualnya, kambing
tidak pernah peduli rumput itu milik siapa atau lawan jenisnya itu kerabat, anak,
tetangga dan sebagainya. Sedangkan manusia tidak bisa melangsungkan
kehidupannya kecuali dengan melalui proses pengolahan. Manusia tidak cukup
hanya dengan makan padi, tapi padi harus diolah menjadi beras, beras harus
diolah dan dimasak menjadi nasi, nasi pun harus dilengkapi dengan lauk pauk,
sebelum makan pun kadang harus didahului dengan upacara mulai dari duduk di
kursi, tidak boleh berbicara, berdoa dan lain sebagainya.
Kedua,
manusia merupakan makhluk yang tidak pernah puas dengan segala pencapaiannya,
sehingga ia selalu bernafsu untuk membuat sebuah inovasi terbaru. Ketiga, manusia
memiliki kebutuhan atas jawaban mengenai pertanyaan tentang makna sebagai
sesuatu yang bersifat immaterial dan batin, misalnya pertanyaan tentang makna
hidup, tujuan hidup, apa yang terjadi setelah kematian dan lain sebagainya.
Kesemuanya ini merupakan kebutuhan alami yang dibutuhkan dan harus dipenuhi
oleh setiap manusia.
Namun
seiring dengan perjalanan waktu, kemajuan ilmu pengetahuan yang melahirkan
temuan dan diwujudkan dengan bentuk teknologi, mengharuskan masyarakat untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Kemajuan IPTEK telah menciptakan budaya
dan tradisi tersendiri. Kemajuan ini cenderung membawa dampak yang mendasar
bagi kehidupan masyarakat, bahkan ia juga bisa merubah paradigma sosial.
Bagaimana zaman Yunani kuno dulu ketika masih terkungkung dengan dunia mitos
sungguh sudah berubah ketika filsafat mulai muncul dan mulai menyangkal.
Bagaimana kegelapan di Eropa sungguh berbeda ketika Renaissance ada.
Faktor pengetahuan sungguh sangat signifikan dalam menentukan cara pandang sosial
kemasyarakatan.
B.
Pembahasan
Ilmu
pengetahuan merupakan upaya menyingkap realitas secara tepat dengan merumuskan
objek material dan objek formal. Upaya penyingkapan realitas dengan memakai dua
perumusan tersebut adakalanya menggunakan rasio dan empiris atau mensintesikan
keduanya sebagai ukuran sebuah kebenaran (kebenaran ilmiah). Penyingkapan ilmu
pengetahuan ini telah banyak mengungkap rahasia alam semesta dan
mengeksploitasinya untuk kepentingan manusia.
Dewasa
ini, ilmu pengetahuan yang bercorak empiristik dengan metode kuantitatif
(matematis) lebih dominan menduduki dialektika kehidupan masyarakat. Hal ini
besar kemungkinan karena banyak dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran positivistiknya
Auguste Comte yang mengajukan tiga tahapan pembebasan ilmu pengetahuan.[2] Pertama,
menurut Auguste Comte ilmu pengetahuan harus terlepas dari lingkungan teologik
yang bersifat mistis. Kedua, ilmu pengetahuan harus bebas dari lingkungan
metafisik yang bersifat abstrak. Ketiga, ilmu pengetahuan harus menemukan
otonominya sendiri dalam lingkungan positifistik.
Positifistik
ini membuat masyarakat berkecenderungan menilai segala sesuatunya dengan ukuran
pancaindera. Realitas yang tidak sesuai dengan persepsi pancaindera tidak
termasuk sebuah kebenaran. Sehingga kebenaran yang bersifat teologis seringkali
dikesampingkan dari kehidupan, pembicaraan terhadap sebuah nilai seringkali
juga diabaikan. Dengan gaya kehidupan ini, masyarakat lebih banyak tidak peduli
dengan hal-hal yang bersifat intuisi dan mengenyampingkan nilai etik
kemasyarakatan.
Bentuk Ilmu Pengetahuan
Menurut
beberapa pakar, ilmu pengetahuan didefinisikan sebagai rangkaian aktifitas
berfikir dan memahami dengan mengikuti prosedur sistematika metode dan memenuhi
langkah-langkahnya.[3]
Dengan pola tersebut maka akan dihasilkan sebuah pengetahuan yang sistematis mengenai
fenomena tertentu, dan mencapai kebenaran, pemahaman serta bisa memberikan
penjelasan serta melakukan penerapan.
Secara
garis besar, ilmu pengetahuan dibagi menjadi dua bentuk, yakni ilmu eksakta dan
ilmu humaniora. Ilmu eksakta adalah spesifikasi keilmuan yang menitikberatkan
pada hukum sebab akibat. Penilaian terhadap ilmu-ilmu eksakta cenderung memakai
metode observasi yang digunakan sebagai cara penelitiannya dan mengukur tingkat
validitasnya. Dengan model tersebut, penelitian terhadap ilmu-ilmu eksakta
sering mendapatkan hasil yang objektif. Sedangkan ilmu humaniora merupakan
spesifikasi keilmuan yang membahas sisi kemanusian selain yang bersangkutan
dengan biologis maupun fisiologisnya. Hal-hal yang berkaitan dengan kemanusiaan
ini lebih tertitik tekan dalam masalah sosiologis dan psikologisnya.
Menurut
Jujun, cabang atau bentuk ilmu pada dasarnya berkembang dari cabang utama,
yakni filsafat alam yang kemudian berafiliasi di dalamnya ilmu-ilmu alam (the
natural sciences) dan filsafat moral yang kemudian berkembang menjadi
menjadi cabang ilmu-ilmu social (the social sciences).[4] Dari
kedua cabang tersebut, klasifikasi keilmuan menjadi kian tak terbatas.
Diperkirakan sampai sekarang ini, terdapat sekitar 650 cabang keilmuan yang
masih belum banyak dikenal.[5]
Kepesatan kemajuan perkembangan ilmu ini demikian cepat, hingga tidak menutup
kemungkinan sepuluh tahun ke depan, klasifikasi keilmuan bisa mencapai ribuan
jumlahnya.
Sekian banyak jumlah
cabang keilmuan tersebut, bermula dari ilmu alam yang membagi diri menjadi dua
kelompok, yakni ilmu alam (the physical sciences) dan ilmu hidup (hayat/the
biological sciences).[6] Ilmu
alam ini bertujuan untuk mempelajari zat yang membentuk alam semesta. Ilmu ini
kemudian membentuk rumpun keilmuan yang lebih spesifik, misalnya sebagai ilmu
fisika yang mempelajari tentang massa dan energi, ilmu kimia yang membahas
tentang substansi zat, ilmu astronomi yang berusaha memahami kondisi
benda-benda langit dan ilmu-ilmu lainnya. Dari rumpun keilmuan ini kemudian
membentuk ranting-ranting baru, seperti kalau dalam fisika ada yang namanya
mekanik, hidrodinamika, bunyi dan seterusnya yang masih banyak lagi
ranting-ranting kecil.
Demikian
juga dalam bidang filsafat moral, walaupun perkembangan cabang keilmuan ini sedikit
agak lambat jika dibandingkan dengan cabang keilmuan yang dilahirkan dari
filsafat alam, namun ia juga mengerucut ke bidang-bidang yang lebih spesifik.[7] Filsafat
moral bermetamorfosis menjadi ilmu-ilmu sosial, misalnya antropologi yang
mempelajari manusia dalam perspektif waktu dan tempat, psikologi yang
memperhatikan proses mental dan kelakuan manusia, sosiologi yang membahas
struktur organisasi sosial manusia, ekonomi yang memahami manusia dalam
memahami kebutuhan kehidupannya, ilmu politik yang mempelajari sistem dan
proses dalam kehidupan manusia berpemerintahan dan bernegara.
Disiplin
keilmuan tersebut di atas terlahir dari beberapa sumber. Ilmu pengetahuan yang
terlahir dari sumber yang berdampak pada perbedaan dari masing-masing jenis
keilmuan. Meskipun demikian tidak semua orang mempercayai dan mengakui keilmuan
seseorang yang kebetulan muncul dari sumber yang tidak diyakini oleh kebanyakan
masyarakat. Misalnya ilmu ladunniy yang diyakini adanya di kawasan Timur
namun tidak dipercaya di daerah Barat.
Dalam
buku Filsafat Ilmu karya Amsal Bakhtiar dikatakan bahwa ada beberapa pendapat
yang menyatakan bahwa sumber ilmu pengetahuan keluar dari empat hal.[8] Pertama
adalah Empirisme, menurut aliran ini seseorang bisa memperoleh pengetahuan
dengan pengalaman inderawinya. Dengan indera manusia bisa menghubungkan hal-hal
yang bersifat fisik ke medan intensional, atau menghubungkan manusia dengan
sesuatu yang kongkret-material. Kedua adalah Rasionalisme, aliran ini
menyatakan bahwa akal merupakan satu-satunya sumber kepastian pengetahuan.
Pengetahuan yang diakui benar semata-mata hanya diukur dengan rasio.
Ketiga
adalah intuisi. Menurut Henry Bergson yang dikutip oleh Bakhtiar, intuisi
adalah hasil evolusi dari pemahaman yang tertinggi. Intuisi ini bisa dikatakan
hampir sama dengan insting, namun berbeda dalam tingkat kesadaran dan
kebebasannya. Untuk menumbuhkan kemampuan ini, diperlukan usaha dan kontinuitas
latihan-latihan. Ia juga menambahkan bahwa intuisi mengatasi sifat lahiriah
pengetahuan simbolis yang meliputi harus adanya analisis, menyeluruh, mutlak
dan lain sebagainya. Karena itu, intuisi adalah sarana untuk mengetahui secara
langsung dan seketika. Keempat adalah wahyu, sumber ini hanya khusus diperoleh
melalui para Nabi yang menerima pengetahuan langsung dari Tuhan semesta alam.
Para Nabi memperoleh pengetahuan tanpa upaya dan tanpa memerlukan waktu
tertentu. Pengetahuan mereka terjadi atas kehendak Tuhan.
Jika
sumber pengetahuan tersebut dihubungkan dengan struktur realitas (objek) dan
struktur keilmuan, maka pengklasifikasiaanya sebagaimana dalam tabel berikut:[9]
Sumber Ilmu |
Struktur Realitas (objek) |
Struktur Keilmuan |
Intuisi,
rasio, indera, wahyu |
Transenden |
Ilmu
Agama (kitab suci) |
Rasio,
indera, intuisi |
Manusia |
Ilmu
filsafat |
Rasio,
indera, intuisi |
Masyarakat |
Ilmu
sosial, budaya, ekonomi, politik dsb |
Rasio,
indera, intuisi |
Sebab-akibat,
proses |
Ilmu
fisika, kimia dsb |
Intuisi |
Pertahanan
hidup |
Ilmu
kelangsungan hidup |
Indera |
Fisiko-kemis |
Pengetahuan
sederhana |
Jika melihat klasifikasi yang terdapat
dalam tabel di atas, maka untuk sementara bisa diambil kesimpulan sementara
bahwa kebenaran bisa bersifat multidimensional. Artinya ada beberapa bidang
keilmuan bisa lahir dari semua sumber pengetahuan.
Paradigma Masyarakat
Bagi
yang mempercayai keberadaan manusia purba, yang kemudian berkembang menjadi
manusia modern sekarang karena berproses melalui beberapa tahapan. Tingkat pengetahuan
manusia kuno tentu sangat berbeda sekali dengan pengetahuan manusia masa kini.
Perbedaan pengetahuan antara manusia kuno dan masa kini tentu mempengaruhi pola
hidup dan peradabannya. Misalnya sebelum manusia mengenal besi, ia memakai batu
sebagai alat untuk mendapat serta memotong makanan, atau sebelum mengenal api
sebagai alat untuk memasak, manusia kuno langsung menkonsumsi makanan yang
mereka dapat tanpa ada proses pematangan.
Pengetahuan
yang melingkupi kehidupan sosial cenderung memberikan pengaruh terhadap cara
pandang masyarakatnya. Pola sikap dan tatanan kemasyarakatan terbentuk dari
ciri-khas metode berfikir yang digunakan. Ketika dalam semua komunitas
didonimasi oleh cara berfikir linier, maka apapun yang terjadi akan dinalar
secara linier juga. Seperti di Indonesia yang masyarakatnya melebihkan
kecerdasan intelektual (logika), dengan sendirinya mereka akan memakai metode
kuantitatif dalam mengukur semua hal, termasuk menilai kondisi sosial.
Kebenaran apapun akan dinalar seperti perhitungan ilmu ukur, yang jaminan
ketepatannya terletak pada penilaian logika, yaitu hubungan logis yang sesuai
aksiomata.[10]
Padahal kalau dipakai untuk menilai manusia sebagai makhluk yang dinamis,
paradoksal dan multidimensional akan memperoleh hasil yang jauh dari kebenaran
yang tepat.
Ilmu
ukur sering diperbandingkan dengan permainan catur. Permainan ini harus sesuai
dengan hukum-hukum permainan yang telah dirumuskan sebelumnya untuk masing-masing
alat permainannya. Aksiomata catur dirumuskan dengan raja, panglima, kuda dan
lain sebagainya.[11]
Demikian ilmu ukur yang terbatas pada dimensi linier tidak bisa dibuat ukuran
pada kehidupan sosial yang dinamis.
Lambat
laun, cara berfikir kualitatif ini mempengaruhi semua lini aktifitas masyarakat.
Segalanya hanya akan diukur dengan penalaran logika. Penilaian terhadap benar
dan salah, baik dan buruk semata-mata hanya melalui pertimbangan rasio.
Aktifitas atau kejadian yang tidak bisa dijelaskan dengan logika akan ditolak
dan dicampakkan, karena kebenaran yang diterima adalah sesuatu yang dirasa bisa
dicerna dengan akal atau masuk di akal. Cara pandang ini menghilangkan cara
berfikir yang lain, yang bisa jadi lebih mendekati kebenaran yang lebih
sempurna.
Jika
diperhatikan, cara pandang seperti ini muncul sejak abad ke 17 M, yakni ketika
peradaban modern dimulai. Sejak mulainya peradaban modern ini, karakter
peradaban dicirikan dengan meluas dan mendalamnya pengaruh paradigma Cartesian-Newtonian[12]
terhadap cara pandang, pola pikir, visi, dan sistem nilai modern pada umumnya.[13] Cara
pandang kedua tokoh ini telah menyatu dengan kehidupan masyarakat dan
berlangsung sedemikian rupa dalam berbagai sistem dan dimensi kehidupan modern.
Paradigma
ini menjadi dominan setelah paradigma teologis organismik Aristotelean yang
dominan di Abad Pertengahan mulai dipertanyakan orang. Tepatnya, setelah
terjadi revolusi Copernicus yang mendobrak kosmologi heliosentris dan
menggantikannya dengan pandangan kosmologis yang geosentris.[14]
Paradigma Aristotelean yang menitikberatkan sesuatu kepada keyakinan mistis
dirubah menjadi paradigma yang menitikberatkan kebenaran pada rasio.
Paradigma
Cartesian-Newtonian tidak hanya berbicara pada masalah yang bersifat ilmiah
belaka. Namun, paradigma di sini berarti suatu pandangan-dunia (world view),
atau cara pandang yang sudah menjadi pervasif dan terkandung di dalamnya
asumsi-asumsi ontologis dan epistemologis tertentu, visi realitas, dan sistem
nilai.[15]
Paradigma ini merupakan pandangan dunia yang menjadi kesadaran kolektif dan
dianut bersama oleh suatu komunitas masyarakat modern.
Penyebutan
paradigma yang tidak hanya berbicara pada masalah ilmiah dan paradigma yang
menjadi pandangan dunia dalam paragraph di atas, akan lebih jelas jika
dikatakan bahwa paradigma mengandung dua komponen utama.[16] Pertama
mengandung prinsip-prinsip dasar, yaitu asumsi teoritis yang mengacu kepada
sistem metafisis, ontologis dan epistemologis tertentu. Kedua mengandung
kesadaran intersubjektif, yakni kesadaran terhadap prinsip-prinsip dasar itu
dianut secara bersama sehingga dapat melangsungkan komunikasi yang memiliki frame
of reference yang sama. Misalnya, konsep maju (progress) menurut
paradigma Cartesian-Newtonian adalah bertambahnya kepemilikan dan penguasaan
manusia terhadap alam. Dengan demikian, bangsa yang mampu mengeksploitasi alam
melalui industri disepakati untuk digolongkan sebagai bangsa maju atau dunia
pertama, meskipun bangsa itu melakukan praktik-praktik dehumanisasi.
Sebaliknya, negara yang industrinya terbelakang digolongkan sebagai negara yang
tidak maju/negara berkembang/negara ketiga, meskipun negara itu damai dan
beradab.
Asumsi-asumsi
paradigma Cartesian-Newtonian di antaranya sebagai berikut:[17] (1)
Subjektivisme-antroposentrik;[18] (2)
Dualisme;[19]
(3) Mekanistik-deterministik;[20] (4)
Reduksionisme-atomistik;[21] (5)
Instrumentalisme;[22] (6) Materialisme-saintisme.[23] Semua
asumsi ini dijadikan dasar pandangan untuk semua dimensi dan sistem kehidupan
manusia modern. Pandangan masyarakat dunia tidak melepaskan salah satu dari ke
enam asumsi tersebut, sehingga dengan asumsi-asumsi tersebut di atas menjadi
ciri khas pandangan masyarakat modern. Bahkan dalam permasalahan sosial pun, ke
enam asumsi tersebut masih seringkali di pakai sebagai standard kebenaran.
Asumsi-asumsi
di atas meyakini akan adanya kebenaran yang betul-betul objektif dan tidak
tergantung pada perspektif dan autoritas subjektif. Dengan demikian paradigma
Cartesian-Newtonian menjadi juru selamat bagi masyarakat luas karena pendekatan
ilmiah dan rasionalitasnya. Paradigma ini menawarkan jalan keluar bagi
pengetahuan ilmiah dari kepentingan-kepentingan manusiawi karena mengandung
empat asas universal, yakni keyakinan akan adanya kebenaran objektif, keyakinan
akan adanya metode-metode untuk mendekati kebenaran, keyakinan akan kemungkinan
adanya konsensus mengenai kebenaran itu sendiri dan keyakinan bahwa konsensus
itu bisa dicapai tanpa adanya paksaan.[24] Empat asas
ini menjadi dasar suatu sistem yang mengatur kehidupan masyarakat.
Namun
demikian, paradigma yang menjadi pandangan umum ini bukan berarti terlepas
total dari adanya kelemahan. Meskipun ia bisa melepaskan diri dari unsur
otoritas subjektivitas, tetapi bukan berarti ia bisa membuat penilaian dengan
segala asumsi dan asas keuniversalannya. Rasionalitas yang menjadi jantung
kehidupan modern tidak cukup memberikan kepuasan bagi masyarakat secara lebih
mendalam. Kehidupan yang mendasarkan sistemnya hanya kepada rasio, hanya akan
menumbuhkan kehampaan mental masyarakatnya. Sehingga tidak jarang ditemui dalam
masyarakat modern ini orang-orang yang merasa sepi di tengah keramaian.
Kinerja
rasio hanya terbatas pada rasionalitas instrumental saja, ia hanya bisa
menetapkan fakta namun tidak sampai pada nilai. Menurut Weber yang dikutip oleh Hardiman
mengatakan bahwa rasio tidak mampu berhadapan dengan tujuan atau nilai-nilai,
rasio hanya bisa menjawab pertanyaan bagaimana cara terbaik untuk mencapai
tujuan, sementara tujuan itu sendiri harus disimpulkan berdasarkan landasan
lain yang bukan rasio.[25]
Desisionisme mengatakan bahwa tujuan atau nilai tertinggi hanya bisa diterima
berdasarkan pada suatu keputusan non-rasional.[26]
Seseorang bisa memilih Nasionalisme yang lain Humanisme, seseorang bisa memilih
seni sebagai agama, Islam, Kristen, Yahudi, Ateis dan lain sebagainya tanpa ada
landasan rasional untuk bisa mengatakan bahwa keputusan seseorang itu lebih
baik dari yang lain.[27] Rasio
tidak bisa menentukan nilai-nilai yang lahir dari kepercayaan keagamaan.
Demikian
jika diberi sedikit kesimpulan bahwa ilmu pengetahuan dan masyarakat mempunyai
keterkaitan yang sangat erat sekali. Sistem dan metode yang dipakai oleh
pengetahuan akan mempengaruhi paradigma masyarakatnya. Seperti yang telah
disinggung diatas bahwa peradaban manusia tergantung dengan sistem dan metode
pengetahuannya. Paradigma Aristotelian mempengaruhi cara pandang masyarakat
pada waktu itu karena lebih condong pada hal-hal yang bersifat teolog dan
mistis, paradigma Cartesian-Newtonian mempengaruhi masyarakat modern karena
cara fikir yang dominant dengan rasio. Kiranya untuk perjalanan kehidupan ke
depan akan muncul paradigma baru yang berhasil mempertanyakan dan menyangsingkan
paradigma Cartesian-Newtonian ini.
C.
Kesimpulan
Ilmu
pengetahuan dan masyarakat mempunyai keterkaitan yang tidak terpisah antara
satu dan yang lainnya. Ilmu pengetahuan tidak terlepas dengan masyarakat dan
begitu juga sebaliknya. Ilmu pengetahuan adalah entitas yang mewajibkan
eksistensi masyarakat demikian juga masyarakat merupakan entitas untuk
mewujudkan eksistensi ilmu pengetahuan.
Dengan
sistem dan metodenya, ilmu pengetahuan sangat bisa mempengaruhi cara pandang
masyarakat. Hal ini bisa terlihat dari perjalanan dunia, atau sudah terlihat
sejak sistem kehidupan masyarakat dimulai. Secara garis besar bisa dikatakan
bahwa cara pandang masyarakat zaman kuno berbeda dengan masyarakat modern,
begitu juga pastinya cara pandang masyarakat modern akan berbeda dengan cara
pandang masyarakat postmodern. Demikian seterusnya, masyarakat akan mempunyai
cara pandang sesuai dengan di mana ilmu pengetahuan cenderung berpijak.
D.
Daftar Pustaka
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu, Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2004.
Hardiman, F.
Budi. Melampaui Positivisme dan Modernitas, Yogyakarta: Kanisius, 2003.
_________________.
Visi-Visi Postmodern, Yogyakarta: Kanisius, 2005.
Heriyanto,
Husain. Paradigma Holistik, Jakarta: TERAJU, 2003.
Gie, The Liang. Pengantar Filsafat
Ilmu, Yogyakarta: Liberty, 2004.
Snidjer,
Adelbert. Manusia & Kebenaran, Yogyakarta: Kanisius, 2006.
Suriasumantri,
Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 2003.
Zubair, Achmad Charris. Dimensi Etik dan Asketik
Ilmu Pengetahuan Manusia, Yogyakarta: LESFI, 2002.
[1]Achmad Charris Zubair, Dimensi Etik dan Asketik Ilmu Pengetahuan
Manusia (Yogyakarta: LESFI, 2002), 3-4.
[2]Ibid, 39.
[3]The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Liberty,
2004), 93.
[4]Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 2003), 93.
[5]Ibid.
[6]Ibid.
[7]Ibid, 94.
[8]Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2004), 98-110.
[9]Zubair, Dimensi Etik… 17. Pemilahan sumber ilmu dan
pemasangannya dengan struktur realitas serta keilmuan dalam tabel di atas tidak
mutlak seperti itu adanya.
[10]Adelbert Snidjer, Manusia & Kebenaran (Yogyakarta:
Kanisius, 2006), 7.
[11]Ibid.
[12]Modus pemikiran dua tokoh ini yang dijadikan sebagai tulang punggung
dinamika modernisme telah menjadi kesepakatan di antara para cendikiawan.
Seperti Alferd North Whitehead, Fritjof Capra, Sayyed Hossein Nasr, Thomas
Kuhn, Gregory Bateson, Arne Naess dan Morris Berman merupakan beberapa
cendikiawan dan filsuf yang menyebut Rene Descartes (1596-1650 M) dan Isaac Newton
(1642- M) sebagai pembangunan fondasi pandangan dunia paradaban modern (Husain
Heriyanto, Paradigma Holistik [Jakarta: TERAJU, 2003], 27).
[13]Heriyanto, Paradigma Holistik… 25.
[14]Ibid. xiii.
[15]Ibid, 29.
[16]Ibid.
[17]Ibid, 43.
[18]Di sini dikatakan bahwa manusia merupakan pusat dunia. Kesadaran
subjektivisme ini dasarkan pada prinsip pertama Descartes yang menyatakan aku berfikir maka aku ada (cogito ergo sum).
Prinsip ini merupakan bentuk kesadaran subjek yang mengarah kepada dirinya
sendiri, dan hal ini merupakan basis ontologism terhadap eksistensi
realitas eksternal di luar diri sang subjek.
[19]Paradigma ini membagi realitas menjadi subjek dan objek, manusia dan
alam, dengan menempatkan superioritas subjek atas objek. Pandangan ini
menganggap bahwa manusia (subjek) dapat memahami dan mengupas realitas yang
terbebas dari konstruksi mental manusia, subjek dapat mengukur objek tanpa
mempengaruhinya, dan sebaliknya tanpa dipengaruhi oleh objek.
[20]Paradigma ini ditegakkan atas dasar asumsi kosmologis bahwa alam
raya merupakan sebuah mesin raksasa yang mati dan statis. Bukan alam saja,
bahkan semua yang di luar kesadaran subjek dianggap sebagai mesin yang bekerja
menurut hukum matematika yang kuantitatif, termasuk tubuh manusia sendiri. Hal
ini adalah konsekwensi alamiah dari paham dualisme yang menghidupkan subjek dan
mematikan objek. Karena subjek hidup dan sadar sedangkan objek berbeda secara
diametral dengan subjek. Maka seharusnylah objek mati dan tidak berkesadaran.
[21]Alam semesta semata-mata dipandang sebagai mesin yang mati tanpa
makna simbolik dan kualitatif, tanpa nilai, tanpa cita rasa etis dan estetis.
Alam menurutnya betul-betul hampa dan kosong dari nilai spiritualitas.
[22]Kebenaran suatu pengetahuan diukur dari sejauh mana ia dapat
digunakan untuk memenuhi kepentingan material dan praktis. Oleh karena itu,
sains modern menjadi terkait erat dengan teknologi. Dengan teknologi manusia
modern makin dapat mendominasi dan mengeksploitasi alam.
[23]Alam semesta terus bergerak seperti sebuah mesin yang diatus oleh
hokum-deterministik, dan Tuhan tidak diperlukan lagi kehadiran-Nya dalam kosmos
ini.
[24]F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas (Yogyakarta:
Kanisius, 2003), 174.
[25]F. Budi Hardiman, Visi-Visi Postmodern (Yogyakarta: Kanisius,
2005), 21.
[26]Ibid.
[27]Kritik terhadap modernitas ini sangat panjang sekali jika ingin
untuk diteruskan, terutama jika merujuk pada postmodernisme.
0 Comment