Mempelajari Ilmu hadits tidak terlepas dari mengetahui
sanad, matan dan yang meriwayatkan hadits (perawi). Hal ini menjadi pembahasan untuk
mengetahui apakah suatu hadits itu
shahih atau cacat. Mengaitkan dengan kalimat ini penulis akan mencoba mengurai
masalah pembahasan tentang ketercelaan dan keterpujian seorang perawi dalam
meriwayatkan hadits, disebut dengan Al-Jarh
Wa At-Ta’dil.
Pertumbuhan al-jarh
wa at-ta’dil seiring dengan tumbunya periwayatan hadits. Perkembangan yang
lebihnya semenjak terjadinya al-fitnah
al-kubra (Pembunuhan terhadap khalifah Usman bin Affan pada tahun 36 H).
Pada masa ini kaum muslimin terbagi menjadi beberapa aliran-aliran, mereka
merasa memiliki legitimasi atas tindakan yang mereka lakukan apabila mengutip
hadits-hadits Nabi SAW. Jika tidak ditemukan, maka mereka membuat hadits palsu.
Sejak itulah para ulama hadits menyeleksi hadits-hadits Rasulullah SAW, tidak hanya dari segi matan atau materinya saja tetapi, mereka juga melakukan kritik terhadap sanad serta para perawi yang menyampaikan hadits tersebut. Ilmu al-jarh wa at-ta’dil sudah lahir sejak zaman sahabat, berkembang sejalan dengan perkembangan periwayatan hadits dalam Islam. Para ulama menciptakan berbagai kaidah, menyusun berbagai istilah, serta membuat berbagai metode untuk menyelamatkan hadits dari noda-noda yang menyesatkan.
AL JARH WA AT TA’DIL DAN ‘ADALAT AL SHAHABAH
A. Pengertian Al-Jarh Wa At-Ta’dil
Al-Jarh
secara bahasa merupakan bentuk masdar dari kata jaraha-yajrahu, yang berarti “melukai”. Apabila kata jaraha dipakai oleh hakim pengadilan
yang ditunjukan kepada kesaksian, maka kata tersebut mempunyai arti
“menggugurkan keabsahan saksi”. Menurut istilah ilmu hadits, kata al-jarh berarti tampak jelasnya sifat
pribadi periwayat yang tidak adil, atau yang buruk di bidang hafalannya dan
kecermatannya, yang keadaan itu menyebabkan gugurnya, atau lemahnya riwayat
yang disampaikan oleh periwayat
tersebut. Kata at-tajrih menurut
istilah berarti pengungkapan keadaan periwayatan tentang sifat-sifatnya yang tercela
yang menyebabkan lemahnya atau tertolaknya riwayat yang disampaikan oleh
periwayat itu.[1] Nur
Al-Din ‘Itr dalam buku Manhaj Al-Naqdi fi
‘Ulumul Hadits mengatakan al-jarh sebagai
berikut:
الطعن فى
راوى الحد يث بما يسلب أويخل بعدالته أوضبطه
“Kecacatan pada perawi Hadits disebabkan oleh sesuatu yang dapat
merusak keadilan atau kedhabitan perawi”[2]
Adapun kata at-ta’dil,
asal katanya adalah masdar dari kata
kerja ‘addala artinya: mengemukakan
sifat-sifat adil yang dimiliki oleh seseorang. Menurut istilah ilmu hadits,
kata at-ta’dil mempunyai arti:
mengungkapkan sifat-sifat bersih yang ada pada perawi, sehingga dengan demikian
tampak jelas keadilan pribadi periwayat itu dan karenanya riwayat yang
disampaikannya dapat diterima. Sedangakan menurut. Nur Al-Din ‘Itr dalam
bukunya mengatakan at-ta’dil sebagai
berikut:
عكسه هوتزكية الراوي والحكم هليه بأنه
عدل أو ضابط
“Lawan
dari aj-jarh, yaitu: pembersihan atau
pensucian perawi dan ketetapan, bahwa ia adil atau dabit”[3]
Ulama lain mendefenisikan al-jarh dan at-ta’dil dalam satu definisi, yaitu:
علم يبحث عن الرواة من حيث ماورد فى
شأنهم مما يشنيهو أويزكيهم بالفاظ مخصوصة
“Ilmu
yang membahas tentang para perawi Hadits dari segi yang dapat menunjukkan
keadaan mereka, baik yang dapat mencacatkan atau membersihkan mereka, dengan
ungkapan atau lafaz tertentu”.[4]
Muhammad ‘Ajaj al-Khafib dalam
bukunya mengataka al-jarh wa at-ta’dil sebagai
berikut:
العلم
الذي يبحث في أحوال الرواة من حيث قبول رواياتهم أوردها
“Ilmu
yang membahas hal ihwa para perawi dari segi diterima atau ditolak riwayat
mereka”.[5]
Dapat diambil kesimpulan bahwa Al-Jarh Wa At-Ta’dil adalah: Ilmu yang
membahas para perawi hadits dari segi dhabit dan kecacatan atau ditolak dan
diterima riwayat dinilai dari ungkapan atau lafaz tertentu.
B. Syarat-Syarat Al-Jarh Wa At-Ta’dil
Imam-imam yang terjun dalam bidang
penjelasan hal ihwal perawi dan berusaha menjaga sunnah dengan membedakan
antara yang shahih dan yang cacat, di samping menggunakan hidup mereka secara
maksimal dan penuh kejujuran, juga menggunkan hidup mereka secara maksimal
dalam bidang tersebut. Mereka mengetahui sebab-sebab keadilan, sebab-sebab
jarh. Karena itu, ulama sependapat atas kewajiban terpunuhi syarat-syarat itu
dalam diri pent’adil dan pentarjih. Siapa saja yang menekuni bidang ini hurus
memenuhi kriteria alim, bertakwa, wira’i, jujur, tidak terkena jarh, tidak
fanatik terhadap sebagian perawi dan mengerti betul sebab-sebab jarh dan ‘adil.
Dan yang tidak memenuhi syarat-syarat itu, maka kritiknya terhadap perawi tidak
bisa diterima.[6]
Jumhur tokoh-tokoh
hadits dan fikih sepakat bahwa seseorang yang bisa diterima periwayatannya
adalah seorang rawi yang ’âdil
(karakteristik moralnya baik), yaitu ia harus seorang muslim, telah
baligh, berakal sehat, terbebas dari kefasikan dan hal-hal yang bisa
menyebabkan harga dirinya jatuh dan ia meriwayatkan dalam keadaan sadar. Ia harus seorang yang menguasai hafalannya, jika ia
meriwayatkan hadits dari hafalannya. Ia juga dituntut untuk menguasai isi
kitab, jika ia meriwayatkan haditsnya dari kitab itu. Ia pun harus mengetahui
hal-hal yang dapat mengganggu kandungan makna hadits yang diriwayatkannya, pada
saat ia meriwayatkannya.[7]
Pendapat Ulama
tentang Syarat-syarat (kriteria) Rawi yang ’Adil
No |
Nama Ulama |
Syarat-syarat Rawi yang ’Adil |
Keterangan |
|||||||||||||||
A |
B |
C |
D |
E |
F |
G |
H |
I |
J |
K |
L |
M |
N |
O |
Jm |
|||
1 |
Al-Hakim |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
3 |
A = islam |
2 |
Ibn al-Salah |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
5 |
B = baligh |
3 |
Al-Nawawiy |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
5 |
C = berakal |
4 |
Ibn Hajar al-’Asqalany |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
5 |
D = taqwa |
5 |
Al-Harawiy |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
5 |
E = memelihara muru’at |
6 |
Al-Syawkaniy |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
5 |
F = teguh agama |
7 |
Al-Tirmisiy |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
5 |
G = tidak dosa besar |
8 |
Ahmad M. Syakir |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
6 |
H = menjauhi dosa kecil |
9 |
Nur al-Din ’Itr |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
7 |
I = tidak bid’ah |
10 |
M. ”Ajjaj al-Khatib |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
4 |
J = tidak maksiat |
11 |
Al-Gazaliy |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
5 |
K = tidak fasik |
12 |
Ibn Qudamah |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
4 |
L = menjauhi hal yg dibolehkan, yang merusak muru’at |
13 |
Al-Amidiy |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
4 |
M = baik akhlaknya |
14 |
Al-Jurjaniy |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
4 |
N = dipercaya |
15 |
Al-Khudariy Bik |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
4 |
O = biasanya benar |
Jumlah Ulama yg menunjuk butir syarat |
6 |
5 |
5 |
5 |
14 |
2 |
9 |
8 |
3 |
1 |
7 |
3 |
1 |
1 |
1 |
|
Jm = jumlah |
Sumber
: Dr. M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis. (Bulan Bintang, Jakarta.2005)
Kembali kepada Syarat-syarat bagi rawi yang telah
diungkapkan para ulama diatas dapat disimpulkan (khusus orang yang men-ta’dil-kan dan men-tajrih-kan), yaitu :
a.
Alim dan berilmu
pengetahuan
b.
Takwa
c.
Wara’ (selalu menjauhkan perbuatan maksiat, syubhat, dosa kecil
dan makruhat-makruhat).
d.
Jujur
e.
Menjauhi
fanatik golongan
f.
Mengetahui
sebab-sebab untuk menta’dilkan dan untuk mentajrihkan
Seorang rawi memiliki banyak aib, umumnya aib seorang rawi berkisar 5
macam :
a.
Bid’ah (melakukan tindakan tercela diluar ketentuan syari’at).
b.
Mukhalafah (berbeda dengan periwayatan orang yang lebih tsiqah)
c.
Ghalath (banyak kekeliruan dalam periwayatan)
d.
Jahalatu’l-Hal (tidak dikenal identitasnya)
e.
Da’wa’l-inqitha’ (diduga keras sanadnya tidak bersambung)
Terkait dengan jumlah orang yang berhak mentarjih
atau menta’dil para perawi terdapat perbedaan di kalangan ulama hadits yaitu:
1.
Menimal
dua orang dalam soal syajadah
(kesaksiaan) maupun dalam soal riwayah.
2.
Cukup
seorang saja dalam hal riwayah, dan
tidak dalam soal kesaksian karena bilangan tidak menjadi sayarat dalam
penerimaan hadits. Hal itu juga berlaku terhadap yang mentarjrih atau menta’dil
rawi.
3.
Cukup
seorang saja, baik dalam hal riwayah
maupun syahadah.
Apabila orang yang mentarjih atau menta’dilkan
diakui kredibilitas dan kapasitas intelektualnya, tanpa ada unsur fanatisme
maka penilaian jarh dan ta’dil dapat dilakukan oleh seorang saja. Akan tetapi
bila hal itu tidak memungkinkan, maka penilaiannya berdasarkan padangan
masyarakat secara kolektif sehingga penilian dapat dakuo secara mutawatir.
C. Kaidah Al-Jarh Wa Al-Ta’dil
Kaidah-kaidah umum Syri’at menunjukkan kewajiban memelihara sunnah, menjelaskan hal ihwal para perawi merupakan sarana yang lurus untuk menjaga sunnah. Allah SWT berfirman:[8]
Artinya: Hai
orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu
berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah
kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal
atas perbuatanmu itu.(QS. Al-Hujurat: 6)
Juga terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 282 yaitu:
Artinya:
…dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu).
jika tak ada dua orang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang
perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang
seorang mengingatkannya.(QS. Al-Baqarah: 282)
Yang
dimaksud dengan saksi yang diridhai adalah seorang yang kita ridhai agama dan
kejujurannya. Pengutipan dan periwayatan hadits tidak kurang dari bentuk
kesaksiaan itu. Oleh karena itu hadits tidak diterima kecuali dari orang-orang
tsiqah.
Berkenaan
dengan al jarh, Rasulullah SAW
bersabda:
بئس أخو العشيرة
Artinya:
“Seburuk-buruk keluarga adalah dia”.
Dan
berkenaan dengan ta’dil, Rasul juga
bersabda:
نعم عبدالله خالد ابن الوليد سيوف الله
Artinya: “Sebaik-baik hamba Allah SWT adalah Khalid ibn al-Walid, sebilah pedang dari pedang-pedang Allah SWT”.
Pernyataan-pernyataan
ulama tentang tajrih dan ta’dil terhadap orang yang sama bisa
saling bertentangan. Sebagian men-tajrih-kannya,
sebagian lain men-ta’dil-kan. Bila keadaannya seperti itu, diperlukan
penelitian lebih lanjut tentang keadaan sebenarnya.
Dalam
masalah ini, para ulama terbagi dalam beberapa pendapat, sebagai berikut :[9]
a.
Al-jarh harus
lebih didahulukan secara mutlak, walaupun jumlah mu’adil-nya lebih
banyak dari pada jarh-nya. Sebab, jarih tentu mempunyai kelebihan
ilmu yang tidak diketahui oleh mu’adil, dan kalau jarih dapat membenarkan
mu’adil tentang apa yang diberitakan menurut lahirnya saja, sedangkan jarih
memberitakan urusan batiniah yang tidak diketahui oleh si mu’adil.
Inilah pendapat yang dipegang oleh mayoritas ulama.[10]
b.
Ta’dil
didahulukan dari pada jarh, bila yang men-ta’dil-kan lebih banyak
karena banyaknya yang men-ta’dil bisa mengukuhkan keadaan rawi rawi yang
bersangkutan. Menurut ‘Ajjaj Al-Khatib, pendapat ini tidak bisa diterima, sebab
yang men-ta’dil, meskipun lebih banyak jumlahnya, tidak memberitahukan
apa yang menyanggah pertanyaan yang men-tajrih.
c.
Bila jarh dan
ta’dil bertentangan, salah satunya tidak bisa didahulukan, kecuali dengan
adanya perkara yang mengukuhkan salah satunya, yakni keadaan dihentikan
sementara, sampai diketahui mana yang lebih kuat diantara keduanya.
d.
Tetap dalam ta’arudh bila
tidak ditemukan yang men-tajrih-kan.
Melihat
perbedaan tersebut, sekarang kita bisa mengetahui bahwa konsep الجرح مقدم على
التعديل (mendahulukan jarh dari pada ta’dil)
bukan merupakan konsep yang mutlak, tetapi merupakan konsep dari mayoritas
ulama.
D. Tingkatan Al-Jarh wa At-Ta’dil
1.
Tingkat-tingkat Al Ta’dil[11]
Pertama,
kata-kata yang menunjukkan mubalaghah
(intensitas maksimal) dalam hal ta’dil dengan bentuk Af al At-Tafdhil dan sejenisnya. Misalanya kata-kata: اوتق الناس(yang
paling tsiqah ) اضبط الناس (yang paling dhabit) ليس له نظير (tiada bandingannya)
Kedua, misalnya pernyataan : فلا لا يسال عن مثله , فلا لا
يسال عنه (fulan
tidak dipertanyakan, orang semisal fulam
tak perlu dipertanyakan)
Ketiga, kata-kata yang mengukuhkan kualitas yang
tsiqah dengan salah satu sifat di antara sekian sifat adil dan tsiqah, baik
dengan kata yang sama atau kata yang searti. Misalnya:
ثقة
حافظ , ثقة ما من , ثقة ثقة
Keempat,
kata-kata yang menunjukan sifat adil dengan kata
yang menyiratkan kedhabitan. Misalnya:
عدل
ضابط , عدل إمام حجة , ثبت
Kelima,
kata-kata yang menunjukkan sifat adil, tetapi menggunkan kata yang tidak
meniratkan kedhabitan. Misalnya:
صدوق
, مامون , لاباس به
Disamakan dengan tingkat ini adalah kata-kata
yang menunjukkan kejujuran perawi dan tidak kejujuran perawi dan
ketidakdhabitannya. Misalnya:
محله الصد ق , حسن الحديث
Sebagian ulama menyamakan kedua kata itu dengan
tingkatan keempat.
Keenam,
kata-kata yang sedikit menyiratkan makna tarjih, seperti penyertaan kata-kata
diatas dengan kalimat masyi’ah.
Misalnya
صدوق إن شاء الله , صو يلح ,
مقبول حديثه
2. Tingkatan
tajrih[12]
Pertama,
dengan kata-kata yang menunjukkan mubalaghah dalam
jarh. Misalnya:
اكذب
الناس , ركن الكذ ب
Kedua,
jarh dengan kedustaan atau pemalsuaan. Misalnya:
كذاب , وضا ع
Yang merupakan kata-kata yang menunjukan
mubalghah tetapi masih di bawah tingkat
pertama.
Ketiga,
kata-kata yang menunjukkan ketertuduhan perawi sebagai pendusta, pemalsu atau
yang sejenis. Misalnya:
متهم
با لكذ ي , متهم با لو ضع , يسرق الحديث
Disamakan dengan tingkatan ini
adalah kata-kata yang menunjukkan ditinggalkan haditsnya. Misalnya:
ليس بثقة , هالك , متروك
Keempat,
dengan kata-kata yang menunjukkan kedha’ifan yang sangat. Misalnya:
ضعيف
جدل ردحديثه , طرح حديثه , ليس بشى ء , لا يكتب حديثه
Kelima,
kata-kata yang menunjukan penilaian dha’if atas perawi atau kerancuan
hafalannya. Misalnya:
ضهفوه
, لايحتج به , مضطرب الحد يث , ضعيف , له منا كير
Keenam,
menyifati perawi dengan sifat-sifat yang menunjukan kedha’ifannya, akan tetapi
dekat dengan ta’dil. Misalnya:
فيه ضعف فيه مقا ل ليس بحجة ليس بذ لك القوي , غيره أوثق منه
Ulama
menggunakan hujjah
hadits-hadits yang diriwayatkan oleh perawi-perawi yang berada pada keempat
tingkat ta’dil. Adapun yang berada pada tingkatan kelima dan keenam yang
menunjukkan ketidakdhabitan perawinya, haditsnya ditulis dan di-i’tibar-kan dengan hadits yang lainnya.
Orang
yang diberi keterangan
dengan keempat tingkat al-jarh yang
pertama tidak bisa dibuat hujjah. Sedang yang disifati dengan tingkat kelima
dan keenam, haditsnya bisa ditakhrij untuk digunakan sebagai i’tibar.
E.
Adalat al-Shabah
dan Kontraversinya
Keadaan
sahabat Nabi tidak sama dalam menerima hadits, ada yang langsung dan ada yang
tidak langsung. Demikian pula ada yang kuat hafalannya dan ada pula yang tidak.
Kondisi inilah mungkin yang menjadi salah satu faktor untuk merangukan mereka
dalam periwayatan hadits. Namun, jika hal ini dijadikan satu-satunya alasan
untuk meragukan peranan besar para sahabat itu sesungguhnya buka dari golongan
Islam.
Hal
ini sebagaimana telah diramalkan oleh Rasulullah sendiri sebagaimana
diriwayatkan oleh al-Syafi’i yang bersumber dari imam Malik sebagai berikut:
ان الله اختر نى واختار اصحابى فجعلهم اصهارى وجعلهم انصارى وانه سيجئ فى
اخى الز مان قوم ينتقصونهم الأ فلا تنا كحوا هم الا فلا تناكحوا اليهم الا نصلوا
معهو الا فلا تصلوا عليهو حلة العنة
Artinya: sesungguhnya Allah telah memilih aku dan
memilah sahat-sahabatku, Allah menjadikan mereka sebagai kerabat dan
pembantu-pembantuku. Dan sesungguhnya kelak pada akhir zaman akan ada satu
kelompok yang mendiskreditkan para sahabat, maka ingatlah. Janganlah kamu
sekalian mengawini mereka, dan jangan pula anak-anak kalian dikawinkan kepada
mereka. Ingat janganlah kamu sekalian shabat bersama-sama mereka, jangan pula
shalati (jenazah) mereka. Karena atas mereka halal untuk dikhianati. (HR. Al-Syafi’i).[13]
Sahabat
secara etimologi merupakan kata bentukan dari kata al-shuhbaah (persahabatan), yang tidak mengandung persahabatan
dalam ukuran tertentu, tetapi berlaku untuk orang yang menyertai orang lain,
sedikit atau banyak.[14]
Menurut al-Jurjani sahabat adalah orang yang pernah melihat Nabi dan bergaul
dengannya, baik pergaulan itu berlangsung lama atau dalam waktu singkat,
meskipun tidak meriwayatkan suatu hadits dan mati dalam keadaan Islam. Oleh Muhammad
Ajjaj al-Khatib, menyatakan bahwa sahabat adalah seorang muslim yang pernah
melihat Nabi SAW bergaul dengannya serta mati dalam keadaan Islam. Pengertian
tersebut kemudian dipertegar oleh imam Ahmad bahwa pergaulan itu tanpa batas
minimal, sesaatpun sudah termasuk dalam pengertian bergaul.
Muhammad
Ajjaj al-Khatib berkesimpulan bahwa jumhur ulama mendukung pendapat ulama yang
tidak memberikan batasan tetapi memandang pengertian secara umum, sehingga
sahabat sangat banyak jumlahnya. Sedangkan ulama ushul lebih cendrung
membatasinya, seperti pandangan Ibn Hazm dan Said ibn Musayyab.
Pada
zaman sahabat yaitu zaman setelah Rasulullah wafat, periwayatan hadits semakin
meluas. Para sahabat meriwayatkan hadits kepada sesama sahabat atau kepada
tabi’in, yaitu: generasi yang hanya bertemu dengan sahabat, tidak bertemu
dengan Nabi. Dari sini muncul kontroversi terhadap peranan sahabat dalam
periwayatan hadits, sebab tidak adanya justifikasi hukum bila terjadi perbedaan
periwayatan yang menyangkut materi hadits yang dulu dipegang Rasul.
Karena
kedudukan Rasul tidak bisa digantikan oleh siapapun. Sebagai penggantinya dalam
menyelesaikan perbedaan periwayatan itu, satu-satunya adalah dengan cara
musyawarah di antara para sahabat dan menilai kasusnya dari perkataan keakraban
antara sahabat dengan Nabi, siapa sesungguhnya yang lebih dekat dan lebih
mengetahui sikap Rasul mengenai persoalan yang di perbandingkan.
1. Penilaian
Terhadap Keadilan Sahabat
Secara
etimologi kata ’adalah berakar dari
kata عد ل - يعد ل - عدالة yang mengandung
kemungkinan arti: menyatakanسوي tegak lurus, استقم berbuat adil dan jujur. Lawan ’adalah ialah اظلم
Al-Jurjanji mengatakan bahwa al-’adalah menpunyai arti lurus, sedang,
pertengahan, dan cendrung kepada kebenaran.[15]
Pengertian
’adalah menurut ilmu hadits ialah sengaja menjauhkan diri dari kebohongan dalam
meriwayatkan hadits serta menjaga diri dari kepasikan dan kerusakan.
Khatib
al-Bagdadi mengartikan ’adalah dengan orang-orang yang terkenal ketaatannya menjalankan
perintah Allah, menjauhi larangannya, menjauhi diri dari perbuatan keji.
Memerihara hak dan kewajiban dalam segala tindakan dan pergaulan, menjaga lidah
dari kata-kata yang dapat merusak agama. Orang yang telah memiliki sifat-sifat
tersebut, maka ia disebut ’adil dalam agama dan dikenal benar dalam tutur
katanya.
Sifat-sifat sahabat Nabi banyak dilukiskan dalam ayat-ayat al-Qur’an dan hadits, sebagai golongan manusia yang mengetahui isi syari’at Islam. Dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa mereka adalah umat yang terbaik. Surat Ali Imaran 110
Artinya: Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.
Merurut
Ibn Hibban, hadits-hadits ini sebenarnya dalil yang menunjukan bahwa semua
sahabat itu adil dan tidak satupun di antara mereka yang tercela dan lemah. Ibn
Abbas Berkata:
لا تسو بو اصحاب محمد صلى الله
عليه وسلم فلقام احد هم ساعة يعنى مع النبى صلى الله عليه وسلم خير من عمل احدكم
اربعين سنه (رواه ابن باتوتة)
Artinya: Jangalah kalian mencaci maki para sahabat
Rasulullah SAW sesungguhnya kedudukan salah seorang dari mereka bersama
Rasulullah sesaat (sejam) itu lebih dari amal seorang dari kalian selama empat
puluh tahun.
لا يدخل النار احد فمن بايع تحت الشجر
Artinya: Tidak akan masuk nereka seorangpun dari
orang-orang yang berbai’at di bawah pohon (Hudaibiyah). (HR. Ahmad, Abu
Dawud, Tirmizi dan Muslim).
لا يدخل النار جل النا رجل شهيد بدرا والحديبية
Artinya: tidak akan masuk neraka seseorang yang ikut
serta dalam perang badar dan perjanjian Hudaibiyah. (HR. Ahmad dari Jabir).
Para
ahli berpendapat bahwa dalil-dalil di atas menunjukkan keutamaan para sahabat
Nabi, namun tidak langsung menunjukkan keadilan mereka. Dari sinilah ada
beberapa masalah yang kemudian menimbulkan perbedaan pemasalahan dan penilaian,
karena sifat utama belum tentu menunjukkan sifat adil, sebaliknya sifat adil
belum tentu memiliki sifat utama. Meskipun sifat utama ini lebih tinggi
nilainya dari pada sifat adil. Oleh karenanya ada beberapa pandangan yang
mengatakan mengenai tentang penilaian keadilan sahabat ini, antara boleh
dikritik dan tidak boleh dikritik.
Ahmad
Amin menyatakan bahwa sebagian besar kritikus hadits berpendapat, bahwa umunnya
para sahabat jujur. Tak seorangpun diantara mereka mencela dan mendustakannya.
Namun segolongan ulama yang lain berpendapat bahwa terdapat para sahabat itu
perlu diadakan penelitian sebagaimana terhadap orang lain. Dan segolongan lain
pula berpendapat bahwa pra sahabat itu seluruhnya jujur, terkecuali sejak
tibulnya perang saudara antara Ali dengan Muawiyah. Atas dasar pengertian
inilah Imam al-Ghazali memberi pengertian tentang sahabat yaitu orang yang
banyak bergaul dengan Nabi.
Secara
rinci dapat dijelaskan bahwa penilaian tentang keadilan sahabat yang dianggap
kontroversi tersebut dilatarbelakangi oleh setting sejarah yang hitam, yang
terjadi dan mengitari di sekitar kehidupan para sahabat. Seperti perang jamal
dan perang Shiffin. Disatu pihak adanya sikap yang berbeda terhadap para
sabahat ini, sesungguhnya juga yang menjadi pokok perbedaan penilaian para
sahabat ini, sesungguhnya juga yang menjadi pokok perbedaan penilaian ini
terletak pada latar belakang pemahaman agama yang berbeda. Alasan yang terakhir
inilah tampaknya yang lebih dominan mewarnai penilaian tersebut.
Penilaian
ini lebih cendrung untuk menyudutkan salah seorang sahabat Nabi, dengan matif
dan tujuan tertentu. Misalnya menguatkan isu keagamaan dan aliran yang
dianutnya. Namun disini ada beberapa pandangan dan penilaian terhadap keadilan
para sahabat seperti Suni, Syi’ah, Khawarij dan Mu’tazilah.
Menurut
ahlu sunnah bahwa semua sahabat Nabi
itu adil tanpa terkecuali. Pandangan ini mengacu kepada dalil-dalil naqli dan aqli. Menurut Mu’tazilah
berpandangan bahwa seluruh sahabat itu adil, kecuali yang memerangi Ali yang
dipandang sebagai fasik. Menurut Khawrij
berpendapat bahwa para sahabat itu harus dinilai adil, sehingga timbul kekacauan
di anatara mereka. Maka sesudah kekacauan itu haruslah diteliti keadilan mereka
ketika menerima riwayatnya. Menurut Syi’ah berpendapat bahwa tidak semua
sahabat itu adil. Karena menurut pandangan mereka seperti Abu Bakar, Umar,
Utsman adalah orang-orang yang rampas kekuasan Ali.
Secara
subtansi para ulama kritis hadits berpendapat bahwa tidak seluruh sabahat Nabi
itu adil. Bahkan di antara mereka ada yang menetapkan seperti yang dikemukakan
oleh al-Mukbili, yang menyatakan hanya manyoritas dari sahabat saja, bukan
keseluruhan. Karena pada hakikatnya sahabat itu manusia yang bisa terkena
salah, lupa dan juga terbawa hawa nafsu sebagaimana terkena kepada manusia
lainnya.
PENUTUP
Al-Jarh
Wa At-Ta’dil adalah: Ilmu yang membahas para
perawi hadits dari segi dhabit dan kecacatan atau ditolak atau diterima riwayat
dinilai dari ungkapan atau lafaz tertentu. Kembali kepada Syarat-syarat bagi rawi yang telah
diungkapkan para ulama diatas dapat disimpulkan (khusus orang yang men-ta’dil-kan dan men-tajrih-kan), yaitu : Alim dan berilmu
pengetahuan, takwa, wara’ (selalu menjauhkan perbuatan maksiat, syubhat, dosa kecil
dan makruhat-makruhat), jujur, menjauhi fanatik golongan dan mengetahui sebab-sebab
untuk menta’dilkan dan untuk mentajrihkan. Tingkatan
Al-Jarh Wa At-Ta’dil ada
enam, ulama menggunakan hujjah hadits-hadits yang
diriwayatkan oleh perawi-perawi yang berada pada keempat tingkat ta’dil. Adapun
yang berada pada tingkatan kelima dan keenam yang menunjukkan ketidakdhabitan
perawinya, haditsnya ditulis dan di-i’tibar-kan
dengan hadits yang lainnya. Orang yang diberi keterangan
dengan keempat tingkat al-jarh yang
pertama tidak bisa dibuat hujjah. Sedang yang disifati dengan tingkat kelima
dan keenam, haditsnya bisa ditakhrij untuk digunakan sebagai i’tibar.
Keadilan sahabat
memilih kepada pendapat yang mempunyai dasar yang kuat. Allah SWT dan
Rasulullah SAW menilai sahabat sebagai orang yang adil. Hal ini berdasarkan apa
yang mereka lakukan, yakni membela agama, membantu dan menolong Rasulullah SAW,
hijrah bersama beliau, mengorbankan harta dan jiwa, memiliki komitmen terhadap
persoalan agama, melaksanakan hukum dan aturan aturannya, bersikap ketat dalam
memenuhi perintah Allah dan larangan-Nya.
DAFTAR
PUSTAKA
‘Ajjaj
Al-Khatib, Muhammad. Ushul al-Hadits.
Terjemah M. Qodirun Nur dan Musyafiq, Ahmad. (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001)
Ismail, M. Syuhudi. Kaidah Kesahihan
Sanad Hadis. (Bulan Bintang: Jakarta, 2005)
Ismail,
M. Syuhudi. Metodologi Penilitian Hadis Nabi. (Jakarta: PT. Bulan Bintang,
1992)
Munzier
Suparta, Ilmu Hadis. (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2006)
Soetari,
Endang. Mengkaji Ilmu Hadis Menegakkan Budaya Kritik, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2004)
Waristum
Munawir, Ahmad. Kamus Al-Munawir
(Arab-Indonesia), (Bandung: Progresif Pustaka, 1997)
[1] M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penilitian Hadis Nabi.
(Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1992) h. 72-73
[2] Munzier Suparta, Ilmu Hadis. (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2006) h. 31. Lihat Nur al-Din Itr, Manhaj
Al-Naqdi fi ‘Ulumul Hadits, h 92
[3] Ibid, 31
[4] Ibid, h. 32
[5] Muhammad ‘Ajjaj
Al-Khatib Ushul al-Hadits. Terjemah M.
Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), Cet 2, h 233
[6] Ibid, h. 240
[7] M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis.
(Bulan Bintang: Jakarta,
2005), h. ttd
[8] Muhammad ‘Ajjaj
Al-Khatib, Op.Cit, h 234-235
[9] Ibid, h. 241
[11] Ibid, h. 246-247
[12] Ibid, h. 247-248
[13] Endang Soetari,
Mengkaji Ilmu Hadis Menegakkan Budaya Kritik, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2004) h. 100
[14] Muhammad ‘Ajjaj
Al-Khatib, Op.Cit, 377
[15] Ahmad Waristum Munawir,
Kamus Al-Munawir (Arab-Indonesia), (Bandung:
Progresif Pustaka, 1997) h. 905
0 Comment