Masa Rasulullah saw perhatian
sahabat terhadap sunnah sangat besar. Demikian juga perhatian generasi
berikutnya seperti tabi’in, tabi’ tabi’in, dan generasi setelah tabi’ tabi’in.
Mereka memelihara hadits dengan cara menghafal, menulis, menghimpun, dan
mengodifikasikannya ke dalam kitab-kitab hadits yang tidak terhitung jumlahnya.
Akan tetapi, di samping gerakan pembinaan hadits tersebut timbul pula kelompok
minoritas atau secara individual berdusta membuat hadits yang disebut hadits
mawdhu’ (hadits palsu). Maksudnya menyandarkan sesuatu yang bukan dari nabi
kemudian dikatakan dari nabi saw.
Kondisi hadits pada masa perkembangan sebelum pengodifikasian dan filterisasi pernah mengalami pembauran dan kesimpangsiuran di tengah jalan sekalipun hanya minoritas saja. Oleh karena itu, para ulama bangkit mengadakan riset-riset hadits yang beredar dan meletakkan dasar kaidah-kaidah atau peraturan yang ketat bagi seseorang yang meriwayatkan hadits yang nantinya ilmu ini disebut ilmu hadits.
B.
PENGERTIAN ILMU
HADITS
Secara bahasa ilmu (العلم) berarti al idrak (الادراك) yaitu menghasilkan,
sedangkan hadits (الØديث) berarti baru, atau bisa juga berarti khabar (berita).[1]
Maka ilmu hadits dalam pengertian bahasa adalah menghasilkan sesuatu yang baru.[2]
Ilmu juga berarti pengetahuan, knowledge
dan science. Dan hadits berarti segala sesuatu yang disandarkan
kepada nabi Muhammad saw baik dari perkataan, perbuatan maupun persetujuan.[3]
Dari defenisi di atas dapat
dijelaskan bahwa ilmu hadits adalah ilmu yang membicarakan tentang keadaan atau
sifat para perawi dan yang diriwayatkan. Perawi adalah orang-orang yang
membawa, menerima, dan menyampaikan berita dari nabi, yaitu mereka yang ada
dalam sanad suatu hadits. Bagaimana sifat-sifat mereka, apakah bertemu langsung
dengan pembawa berita atau tidak, bagaimana sifat kejujuran dan keadilan mereka
dan bagaimana daya ingat mereka apakah sangat kuat atau lemah. Sedangkan maksud
yang diriwayatkan (marwi) terkadang guru-guru perawi yang membawa berita
dalam sanad suatu hadits atau isi berita (matan) yang diriwayatkan,
apakah terjadi keganjilan jika dibandingkan dengan sanad atau matan perawi yang
lebih kredibel. Dengan mengetahui hal tersebut dapat diketahui mana hadits yang
shahih dan yang tidak shahih.[4]
Bagi kalangan para ulama-ulama
hadits, ilmu hadits dikenal dalam dua bentuk penyebutan. Pertama dikenal dengan
ilmu hadits riwayah atau ilmu riwayatul hadits. Dan yang kedua dikenal
dengan ilmu hadits dirayah atau ilmu dirayatul hadits. Yang pada
dasarnya kedua penyebutan tersebut merupakan pokok pembahasan utama dalam ilmu
hadits.
Ilmu hadits riwayah menurut Dr.
Muhammad Ujaj al-Khatib adalah ilmu yang membahas tentang pemindahan segala
sesuatu yang disandarkan kepada nabi saw berupa perkataan atau perbuatan atau
ketetapan atau sifat nabi saw dalam hal bentuk fisik maupun akhlak atau
kepribadian beliau secara detail dan terperinci.[5]
Ilmu hadits riwayah membahas tentang
periwayatan, perpindahan hadits dari sahabat ke tabi’in, dari tabi’in ke tabi’
tabi’in. Ilmu ini tidak lagi dipelajari karena telah selesai sejak hadits
dibukukan. Adapun ilmu hadits yang ada sampai saat ini adalah ilmu hadits
dirayah.
Ilmu hadits dirayah dikalangan para ulama mempunyai pengertian yang berbeda-beda. Diantaranya seperti yang disampaikan oleh Syaikhul Islam al-Hafizh ibn Hajar, bahwa ilmu hadits dirayah adalah ilmu untuk mengetahui kaidah-kaidah tentang pengetahuan terhadap keadaan rawi dan marwi.[6] Sedangkan menurut imam Izzuddin bin Jama’ah ilmu dirayatul hadits adalah ilmu yang di dalamnya terdapat kaidah-kaidah untuk mengetahui keadaan sanad dan matan.[7]
C.
SEJARAH
PERKEMBANGAN ILMU HADITS
Sesuai dengan perkembangan hadits,
ilmu hadits selalu mengiringinya sejak masa Rasulullah saw sekalipun belum
dinyatakan sebagai ilmu secara eksplisit. Pada masa nabi masih hidup di
tengah-tengah sahabat, hadits tidak ada persoalan karena jika menghadapi suatu
masalah atau skeptis dalam suatu masalah mereka langsung bertemu dengan beliau
untuk mengecek kebenarannya. Pemalsuan hadits pun tidak pernah terjadi menurut
pendapat ulama ahli hadits.[8]
Setelah Rasulullah meninggal,
kondisi sahabat sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadits karena
konsentrasi mereka kepada al-qur’an yang baru dikodifikasikan pada masa Abu Bakar tahap awal dan masa
Utsman tahap kedua. Masa ini dikenal dengan masa taqlil ar-riwayah
(pembatasan periwayatan), para sahabat tidak meriwayatkan hadits kecuali dengan
disertai saksi dan bersumpah bahwa hadits yang ia riwayatkan benar-benar dari
Rasulullah. Pada masa awal Islam belum diperlukan sanad dalam periwayatan
hadits karena orangnya masih jujur-jujur, saling mempercayai satu dengan yang
lain. Tetapi setelah terjadinya konflik fisik (fitnah) antar elit politik yakni
antar pendukung Ali dan Muawiyah dan umat berpecah menjadi beberapa sekte;
Syi’ah, Khawarij, dan Jumhur Muslimin. Setelah itu mulailah terjadi pemalsuan
hadits (hadits mawdhu) dari masing-masing sekte dalam rangka mencari dukungan
politik dari massa yang lebih luas.[9]
Melihat kondisi seperti hal di atas
para ulama bangkit membendung hadits dari pemalsuan dengan berbagai cara di
antaranya mencek kebenaran hadits dan mempersyaratkan kepada siapa saja yang
mengaku mendapat hadits harus disertai dengan sanad. Sanad adalah merupakan
syarat mutlak bagi yang meriwayatkan hadits, maka dapat disimpulkan bahwa pada
saat itu telah timbul pembicaraan periwayat mana yang adil dan mana yang cacat
(al jarh wa at-ta’dil), sanad mana yang terputus (munqathi) dan
yang bersambung (muttashil), dan cacat (illat) yang tersembunyi,
sekalipun dalam taraf yang sederhana karena pada masa itu masih sedikit sekali
di antara periwayat yang cacat keadilannya.[10]
Perkembangan ilmu hadits semakin
pesat ketika ahli hadits membicarakan tentang daya ingat para pembawa dan
perawi hadits kuat apa tidak (dhabith), bagaimana metode penerimaan dan
penyampaiannya (tahammul wa ada’), hadits yang kontra bersifat menghapus
(nasikh dan mansukh) atau kompromi, kalimat hadits yang sulit dipahami (gharib
al-hadits), dan lain-lain. Akan tetapi, aktivitas seperti itu dalam
perkembangannya baru berjalan secara lisan (syafawi) dari mulut ke mulut
dan tidak tertulis. Ketika pada pertengahan abad kedua hijriah sampai abad
ketiga hijriah ilmu hadits mulai ditulis dan dikodifikasikan dalam bentuk yang
sederhana, belum terpisah dari ilmu-ilmu lain, belum berdiri sendiri, masih
tercampur dengan ilmu-ilmu lain.[11]
Sesuai dengan pesatnya perkembangan
kodifikasi hadits yang disebut pada masa kejayaan atau keemasan hadits yaitu
pada abad ketiga hijriah perkembangan ilmu hadits juga pesat, karena
perkembangan keduanya secara beriringan. Namun, penulisan ilmu hadits masih
terpisah-pisah belum menyatu dan menjadi ilmu yang berdiri sendiri ia masih
dalam bentuk bab-bab saja. Orang yang pertama kali menulis ilmu hadits adalah Ali bin al-Madini syaikhnya
al-Bukhari, Muslim dan at-Tirmidzi.[12]
Perkembangan ilmu hadits mencapai
puncak kematangan dan berdiri sendiri pada abad ke-4 H yang merupakan penggabungan
dan penyempurnaan berbagai ilmu yang berkembang pada abad-abad sebelumnya
secara terpisah dan berserakan. Al-Qadhi Abu muhammad al-Hasan bin Abdurrahman
bin Khalad ar-Ramahurmuzi adalah orang yang pertama kali memunculkan ilmu
hadits yang berdiri sendiri dalam karyanya al-Muhaddits al-Fashil bain
ar-Rawi wa al-Wai.
D.
OBJEK KAJIAN
ILMU HADITS
Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, ilmu hadits riwayah saat ini sudah tidak dipakai lagi karena objek
pembahasannya yang menyangkut tentang periwayatan telah selesai dipelajari
sejak hadits dibukukan. Ilmu hadits yang ada pada saat ini adalah ilmu hadits
dirayah.
Berdasarkan pengertian dari ilmu
hadits dirayah itu, dapat diketahui bahwa objek kajian dari ilmu hadits itu
adalah sanad dan matan atau rawi dan marwi.
E.
CABANG-CABANG
ILMU HADITS
1.
Ilmu Rijal
al-Hadits
Ilmu rijal al-hadits adalah ilmu
yang membahas tentang para perawi hadits, baik dari sahabat, dari tabi’in,
maupun dari angkatan sesudahnya. Dengan ilmu ini dapat diketahui keadaan para
perawi yang menerima hadits dari Rasulullah dan keadaan para perawi yang
menerima hadits dari sahabat dan seterusnya.[13]
Melalui ilmu ini dapat diketahui
keterangan dari riwayat hidup para perawi, baik yang dipercaya, yang lemah,
atau bahkan pembuat hadits mawdhu.
Ilmu rijal al-hadits ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu ilmu tarikh
ar-ruwah dan ilmu al-jarh wa at-ta’dil.[14]
-
Ilmu Tarikh
ar-Ruwah
Yaitu ilmu yang mempelajari tentang
sejarah hidup hingga wafatnya seorang perawi, para guru mereka, serta sejarah
mereka menerima hadits dari guru-guru mereka, sejarah perjalanan mereka ke
daerah lain dalam mencari hadits, dan lain sebagainya.[15]
-
Ilmu al-Jarh wa
at-Ta’dil
Adalah ilmu yang membahas tentang
para perawi dari segi apa yang datang dari keadaan mereka, dari apa yang
mencela mereka atau yang memuji mereka dengan kata-kata khusus. Jadi ilmu ini
membahas tentang nilai cacat (al-jarh) seorang perawi dengan menggunakan
kata-kata tertentu dan memiliki hierarki tertentu.[16]
2.
Ilmu Ilal
al-Hadits
Ilmu ilal al-hadits adalah ilmu yang
membahas sebab-sebab tersembunyi yang membuat cacat pada hadits sementara
lahirnya tidak nampak adanya cacat tersebut. Tujuan mempelajari ilmu ini adalah
untuk mengetahui siapa diantara periwayat hadits yang terdapat illat dalam
periwayatannya, dalam bentuk apa dan di mana illat tersebut terjadi, dan pada
sanad atau pada matan.[17]
3.
Ilmu Gharib
al-Hadits
Ilmu gharib al-hadits adalah ilmu
yang menerangkan tentang makna kalimat yang terdapat dalam matan hadits yang
sukar diketahui maknanya dan yang kurang terpakai oleh umum.[18]
Tujuan ilmu ini untuk mengetahui mana kata-kata dalam hadits yang tergolong
gharib dan bagaimana metode para ulama memberikan interpretasi kalimat gharib
dalam hadits tersebut.[19]
4.
Ilmu Mukhtalif
al-Hadits
Ilmu mukhtalif al-hadits adalah ilmu
yang membahas tentang hadits-hadits yang secara zahir tampak saling
bertentangan, untuk kemudian dikumpulkan dan dijelaskan hakikat sebenarnya
sehingga hal-hal yang bentuknya bertentangan tersebut justru saling mendukung
satu dengan yang lainnya.[20]
5.
Ilmu Nasikh wa
Mansukh
Ilmu nasikh wa mansukh adalah ilmu
yang membahas hadits-hadits yang berlawanan yang tidak memungkinkan untuk
dipertemukan karena materi (yang berlawanan) yang pada akhirnya terjadilah
saling menghapus, dengan ketetapan bahwa yang datang terdahulu disebut mansukh
dan yang datang kemudian dinamakan nasikh.[21]
Untuk mengetahui nasikh dan mansukh ini bisa melalui beberapa cara,
yaitu:[22]
a.
Dengan
penjelasan dari nash atau syar’i sendiri, yang dalam hal ini adalah Rasulullah
saw.
b.
Dengan
penjelasan dari para sahabat.
c.
Dengan
mengetahui tarikh keluarnya hadis serta sabab wurud hadits. Dengan demikian
akan diketahui mana yang datang lebih dulu dan mana yang datang kemudian.
6.
Ilmu Asbab
Wurud al-Hadits
Ilmu asbab wurud al-hadits adalah
ilmu yang menjelaskan tentang sebab-sebab datangnya hadits, latar belakang dan
waktu terjadinya. Tujuan mengetahui ilmu ini adalah untuk mengetahui
sebab-sebab dan latar belakang munculnya suat hadits, sehingga dapat mendukung
dalam pengkajian makna hadits yang dikehendaki.[23]
7.
Ilmu Tashhif wa
Tahrif
Ilmu tashhif wa tahrif adalah ilmu yang menerangkan tentang hadits-hadits yang sudah diubah titik atau syakalnya (mushahhaf) dan bentuknya (muharraf). Tujuannya untuk mengetahui kata-kata atau nama-nama yang salah dalam sanad atau matan hadits dan bagaimana sesungguhnya yang benar sehingga tidak terjadi kesalahan terus menerus dalam penukilan dan mengetahui derajat kualitas kecerdasan seorang perawi.[24]
DAFTAR PUSTAKA
Atar, Nuruddin, Minhajun Naqd Fi Ulumul Hadits, (Suria:
Darul Fikri, 1997)
al-Khatib, Muhammad Ujaj, Ushulul Hadits Ulumuhu wa
Musthalahuhui, (Suria: Darul Fikri, 1989)
Khon, Abdul Majid, Ulumul Hadits, (Jakarta: AMZAH, 2009)
Ash Shiddieqy, M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits,
(Jakarta: Bulan bintang, 1991)
Suparta, Munzier, Ilmu Hadits, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2006)
as-Suyuthi Abdurrahman Abu Bakar, Tadrib ar Rawi fi Syarh Taqrib
an Nawawi, (Riyadh: Maktabah Riyadh)
[1]Nuruddin Atar, Minhajun Naqd Fi Ulumul Hadits, (Suria: Darul
Fikri, 1997), h. 26
[2]Ibid, h. 30
[3]Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, (Jakarta: AMZAH, 2009), h. 68
[4]Ibid
[5]Muhammad Ujaj al-Khatib, Ushulul Hadits Ulumuhu wa Musthalahuhui,
(Suria: Darul Fikri, 1989), h. 7
[6]Abdurrahman Abu Bakar as-Suyuthi, Tadrib ar Rawi fi Syarh Taqrib an
Nawawi, (Riyadh: Maktabah Riyadh), h. 5
[7]Nuruddin Atar, op Cit, h. 32
[8]Abdul Majid Khon, op Cit, h. 78
[9]Ibid, h. 79
[10]Ibid, h. 80
[11]Ibid, h. 81
[12]Ibid
[13]M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu hadits,
(Jakarta: Bulan bintang, 1991), h. 153
[14]Muhammad Ujaj al-Khatib, op Cit, h. 260-261
[15]Ibid
[16]Abdul Majid Khon, op Cit, h. 85
[17]Ibid, h. 86-87
[18]M. Hasbi Ash Shiddieqy, op Cit, h. 161
[19]Abdul Majid Khon, op Cit, h. 87
[20]Muhammad Ujaj al-Khatib, op Cit, h. 283
[21]Munzier Suparta, Ilmu Hadits, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2006), h. 38
[22]Ibid
[23]Abdul Majid Khon, op Cit, h. 90
[24]Munzier Suparta, op Cit, h. 41
0 Comment