HUBUNGAN PENGEMBANGAN ILMU DAN DUNIA POLITIK
Ilmu merupakan salah satu cabang pengetahuan yang
berkembang dengan sangat pesat. Hal itu disebabkan karena ilmu pengetahuan mempunyai tujuan memberikan pemahaman tentang apa dan
bagaimana hakekat, sifat dan kedudukan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam
cakrawala pengetahuan manusia.
Ada dua hal yang menyebabkan ilmu pengetahuan berkembangan: Pertama, pengaruh ilmu pengetahuan terhadap
teknologi dan industri melalui apa yang disebut dengan ilmu terapan. Dalam diri
para ilmuwan yang sedang mengembangkan ilmu pengetahuan modern dan sibuk
merancang cara-cara penerapan hasil ilmu-ilmu itu. Kedua, pengaruh ilmu
terhadap - atau dalam - masyarakat dan peradaban. Dalam diri kebanyakan orang
yang hidup dalam dunia modern, mau tidak mau secara mendalam dipengaruhi dan
dikuasai oleh hasil perkembangan ilmu pengetahuan alam dan teknologi modern.
Dewasa ini, ilmu pengetahuan sering disebut sebagai
kurun ilmu dan teknologi, hampir seluruh aspek kehidupan dipengaruhi oleh
keberadaannya. Salah satu contoh, bahwa ilmu pengetahuan tersebut mempengaruhi
segala aspek ialah tentang politik. Seseorang bisa berpolitik dan berkuasa
disebabkan dia mempunyai ilmu pengetahuan. Dia bisa membawa suatu negara
menjadi baik apabila ilmu pengetahuaannya digunakan dengan baik dan benar, akan
tetapi apabila ilmu pengetahuannya digunakan untuk hal-hal yang negatif, maka
dia akan membawa negaranya kepada kehancuran.
Masalah-masalah dalam filsafat sebagai induk
dari segala ilmu pengetahuan dapat digolongkan menjadi empat,
yaitu[1]:
Pertama, masalah-masalah ilmu pengetahuan epistemologi, logika, filsafat
ilmu dan filsafat bahasa. Kedua, masalah-masalah realitas atau
eksistensi metafisika, ontologi, kosmologi. Ketiga, masalah-masalah
nilai aksiologi, estetika, etika, filsafat agama, dan keempat,
masalah-masalah masyarakat, filsafat sosial, ekonomi dan politik. Masalah besar
filsafat adalah bagaimana cara mepersatukan semua bagian yang berbeda-beda itu
menjadi keseluruhan yang komprehensif.
Untuk mengatasi gap antara ilmu yang
satu dengan ilmu yang lainnya, dibutuhkan suatu bidang ilmu yang dapat menjembatani
serta mewadahi perbedaan yang muncul. Oleh karena itu, maka bidang filsafatlah
yang mampu mengatasi hal tersebut. Hal ini senada dengan pendapat Immanuel Kant[2] yang menyatakan bahwa filsafat merupakan disiplin ilmu yang mampu
menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan manusia secara tepat.
Oleh sebab itu Francis Bacon[3]
menyebut filsafat sebagai ibu agung dari ilmu-ilmu the great mother of the
sciences.
Filsafat ilmu adalah salah satu
cabang dari filsafat yang berkaitan dengan masalah-masalah ilmu pengetahuan.
Filsafat ilmu pun sesungguhnya dapat dibagi lagi menjadi sejumlah filsafat ilmu
yang lebih khusus, seperti filsafat matematika, filsafat ilmu-ilmu fisika,
filsafat biologi, filsafat linguistik, filsafat psikologi, filsafat ilmu-ilmu
sosial, politik dan filsafat ilmu-ilmu lainnya.
Dalam makalah ini akan dibahas secara khirarki pengerti filsafat, filsafat ilmu hubungan dengan dunia politik.
A.
Pengertian Filsafat dan Filsafat
Ilmu
Filsafat secara etimologis berarti
cinta kebijaksanaan love of wisdom dalam arti yang sedalam-dalamnya.
Kata filsafat pertama kali digunakan oleh Pythagoras 582-496 SM dan kemudian
diikuti oleh kaum sophist dan juga Socrates 470-399 SM. Ada juga yang
berpendapat bahwa filsafat mengandung arti kegandrungan mencari hikmah
kebenaran dan kebijaksanaan dalam hidup dan kehidupan.[4]
Dengan begitu, filsafat berarti mencintai kebijaksanaan dan mendambakan
pengetahuan.
Ilmu filsafat adalah ilmu yang
menunjukkan bagaimana upaya manusia yang tidak pernah menyerah untuk menentukan
kebenaran atau kenyataan secara kritis, mendasar, dan integral. Karena itu
dalam berfilsafat, proses yang dilalui adalah refleksi, kontemplasi, abstraksi,
dialog, evaluasi, menuju suatu sintesis jawaban atas dasar pilihan keyakinan
sendiri-sendiri, yang disana-sini tidak sama, berbeda, bahkan saling
bertentangan, yang muncul dalam setiap tahap atau pun kurun waktu[5].
Filsafat ilmu merupakan refleksi
secara filsafati akan hakekat ilmu yang tidak akan mengenal titik henti dalam
menuju sasaran yang hendak dicapai, yaitu kebenaran dan kenyataan. Memahami
filsafat ilmu berarti memahami seluk-beluk ilmu pengetahuan hingga segi-segi
dan sendi-sendinya yang paling mendasar, untuk dipahami pula perspektif ilmu,
kemungkinan pengembangannya, keterjalinannya antar cabang ilmu yang satu dengan
yang lainnya.
Tujuan filsafat ilmu adalah
memberikan pemahaman tentang apa dan bagaimana hakekat, sifat dan kedudukan
ilmu pengetahuan dan teknologi dalam cakrawala pengetahuan manusia. Di
samping itu filsafat ilmu juga memperluas wawasan
ilmiah sebagai kesiapan dalam menghadapi perkembangan ilmu dan teknologi yang
berlangsung dengan begitu cepat, spektakuler, mendasar, yang secara intensif
menyentuh semua segi dan sendi kehidupan dan secara intensif merombak budaya
manusia.
Filsafat ilmu dengan begitu, merupakan penerusan pengembangan
filsafat pengetahuan. Objek dari filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan. Oleh
karena itu setiap saat ilmu itu berubah mengikuti perkembangan zaman dan
keadaan tanpa meninggalkan pengetahuan lama. Pengetahuan lama tersebut akan
menjadi pijakan untuk mencari pengetahuan baru. Hal ini senada dengan ungkapan
dari Archie J.Bahm[6] bahwa ilmu pengetahuan sebagai teori
adalah sesuatu yang selalu berubah.
Dengan memahami hakekat ilmu itu,
menurut Poespoprodjo, dapatlah dipahami bahwa perspektif-perspektif ilmu,
kemungkinan-kemungkinan pengembangannya, keterjalinannya antar ilmu, simplifikasi
dan artifisialitas ilmu dan lain sebagainya, yang vital bagi penggarapan ilmu
itu sendiri. Lebih dari itu, dikatakan bahwa dengan filsafat ilmu, ilmuwan akan
didorong untuk memahami kekuatan serta keterbatasan metodenya, prasuposisi
ilmunya, logika validasinya.
Dalam perkembangan filsafat ilmu
juga mengarahkan pada strategi pengembangan ilmu, yang menyangkut etik dan
heuristik, bahkan sampai pada dimensi kebudayaan untuk menangkap tidak saja
kegunaan atau kemanfaatan ilmu, akan tetapi juga arti maknanya bagi kehidupan
umat manusia[7].
Oleh karena itu, diperlukan perenungan kembali secara mendasar tentang hakekat
dari ilmu pengetahuan itu, bahkan hingga implikasinya ke bidang-bidang kajian lain, seperti ilmu-ilmu kealaman.
Adapun perkembangan ilmu pengetahuan menurut
Bahm ada dua: Pertama, pengaruh ilmu pengetahuan terhadap
teknologi dan industri melalui apa yang disebut dengan ilmu terapan. Dalam diri
para ilmuwan yang sedang mengembangkan ilmu pengetahuan modern dan sibuk
merancang cara-cara penerapan hasil ilmu-ilmu itu. Kedua, pengaruh ilmu
terhadap - atau dalam - masyarakat dan peradaban. Dalam diri kebanyakan orang
yang hidup dalam dunia modern, yang mau tidak mau secara mendalam dipengaruhi
dan dikuasai oleh hasil perkembangan ilmu pengetahuan alam dan teknologi
modern.
Dampak perkembangan ilmu pengetahuan
pada perkembangan manusia dan dunianya menimbulkan semacam kecenderungan yang
khas dan tak bisa dipisahkan dari suatu ilmu yang sedang maju[8].
Kecenderungan pertama ialah kecenderungan yang terjalin pada jantung
setiap ilmu pengetahuan untuk maju terus tanpa henti dan tanpa batas. Setelah
suatu penemuan atau suatu perumusan tercapai, ketika itu juga tampaklah kemauan
dan kemungkinan untuk maju selangkah lagi, entah itu menuju dasar yang lebih
dalam ataupun ke arah cakramawala yang lebih luas. Kecenderungan kedua
ialah hasrat untuk selalu menerapkan apa yang dihasilkan ilmu pengetahuan, baik
dalam dunia mikro maupun makro. Semakin suatu ilmu maju, semakin keinginan itu
meningkat sampai memaksa, merajalela dan bahkan membabi buta. Ilmu pengetahuan
dan hasilnya menjadi tidak manusiawi lagi, justru memperbudak manusia sendiri
yang telah merencanakan dan menghasilkannya.
Secara umum kegiatan keilmuan dan
pengembangan ilmu terkait dengan dua pertimbangan, yaitu pertimbangan
objektivitas dan pertimbangan nilai kemanusiaan. Pertimbangan objektivitas
mengharuskan ilmu pengetahuan menetapkan kebenaran sebagai landasan dan pola
dasarnya. Sedang pertimbangan nilai kemanusiaan menunut ilmu pengetahuan untuk
bekerja dengan pertimbangan pada tahap pra-ilmu dan sekaligus pasca-ilmu,
artinya perlu mempertimbangkan asumsi dasar, latar belakang dan tujuan dari
kegiatan tersebut.
Jika demikian, sebagai konsekuensi
dari pertimbangan itu, para ilmuwan terpolarisasi menjadi dua, tak lain karena
dua pertimbangan itu belum dapat berjalan seiring dan masih berat sebelah. Maka
berdasarkan pertimbangan demikian, pandangan para ilmuwan dapat dibedakan
menjadi 2 golongan[9]:
Pertama, Para ilmuwan yang hanya menggunakan satu pertimbangan, yaitu nilai kebenaran
dengan mengesampingkan pertimbangan-pertimbangan nilai-nilai metafisika yang
lain, seperti nilai etika, kesusilaan dan kegunaannya akan sampai pada prinsip bahwa
ilmu pengetahuan harus bebas nilai. Prinsip tentang ilmu pengetahuan yang bebas
nilai akan menjadikan kebenaran sebagai satu-satunya ukuran dan segala-galanya
bagi seluruh kegiatan ilmiah, termasuk penentuan tujuan bagi ilmu pengetahuan.
Kedua, Para ilmuwan yang memandang sangat perlu memasukkan pertimbangan
nilai-nilai etika, kesusilaan dan kegunaan untuk melengkapi pertimbangan nilai
kebenaran, yang akhirnya sampai pada prinsip bahwa ilmu pengetahuan harus
terkait dengan nilai.
Dengan demikian, dapat diperoleh kejelasan bahwa
hanya dengan menjaga jarak antara ilmu dan ideologi, maka pertimbangan etika
bagi ilmu pengetahuan menjadi mungkin untuk dilaksanakan, yakni demi
kepentingan masyarakat. Dalam lingkungan budaya dan kontelasi sosial politik
tertentu, pertimbangan ilmu dapat saja berubah, tetapi tidak pada sistem ilmu
itu sendiri.
Memang harus diakui, perlu ada
pembatasan, pada saat mana ilmu bebas nilai dan saat bagaimana terkait nilai.
Pengembangan ilmu pengetahuan memerlukan dua pertimbangan, yaitu pertimbangan
dari segi ilmu yang statis dan segi ilmu yang dinamis. Segi statis ilmu adalah
ciri sistem yang tercermin dalam metode ilmiah, sedangkan segi dinamisnya
adalah semacam pedoman, asas-asas yang perlu diperhatikan oleh para ilmuwan
dalam kegiatan ilmiahnya.[10]
Kontekstualisasi filsafat ilmu dengan kondisi aktual yang sedang alami dewasa ini juga menjadi semakin dirasakan urgensinya. Hal itu seiring dengan perkembangan masyarakat yang sedang mengalami dekadensi dalam berbagai bidang kehidupan.[11]
B.
Politik dalam Perspektif Filsafat
Ilmu dan Kajian Budaya
Ketika membahas tentang politik, sesungguhnya sangat dekat dengan
kajian budaya, bahkan bisa jadi lebih dekat ketimbang dengan ilmu politik
sendiri. Sejarah perkembangan kajian budaya adalah sejarah perlawanan terhadap
dominasi kekuasaan sebuah tradisi ilmu pengetahuan. Kajian budaya muncul dari
pemikiran sekelompok orang yang meyakini bahwa bangunan teori adalah sebuah praktek politik
sehari-hari manusia.[12]
Ilmu pengetahuan bagi kajian budaya selanjutnya adalah sesuatu yang tidak netral,
objektif, melainkan sesuatu yang berhubungan dengan posisi tempat seseorang
berbicara, kepada siapa sasaran pembicaraannya dan situasi tertentu yang
melingkari.
Politik yang dirujuk oleh kajian
budaya bukan politik sebagaimana yang dipelajari dalam ilmu politik.[13]
Operasi kekuasaan dalam ilmu politik telah tergumpal dalam persoalan mencapai
sistem demokrasi yang ideal. Impian menuju demokrasi mewujud dalam kajian
tentang aktor-aktor politik lembaga atau individu, kualitas lembaga kepresidenan, lembaga perwakilan, partai
politik, atau kualitas warganegara seperti elit dan warganegara biasa. Atau
juga dalam bentuk kajian tentang produk-produk kebijakan, dan lain-lain.
Kekuasaan telah tersistematisasi dalam wilayah-wilayah yang sangat definitif.
Selanjutnya, pendukung penting bagi
keberhasilan demokrasi adalah sebuah kebudayaan politik, satu kajian khusus
dalam ilmu politik. Kebudayaan bermakna sebagai orientasi, nilai dan
seperangkat kepercayaan tertentu yang dimiliki oleh warganegara. Dari sini
tampak jelas bahwa kebudayaan bagi ilmu politik adalah suatu produk jadi, given.
Political
culture sebagai sebuah fokus kajian makin kukuh setelah dua
ilmuwan terkenal dari Universitas Chicago melakukan penelitian di lima negara, Amerika, Inggris, Jerman, Italia
dan Meksiko.[14]
Politiknya kajian budaya sama sekali
berbeda dengan ilmu politik mainstream. Kajian budaya justru ingin
menelusuri bagaimana sebuah nilai dan orientasi terbentuk, operasi kekuasaan
seperti apa yang berlangsung, dalam situasi apa pula ia berlangsung dengan
proses hegemoni atau dominasi, atau bahkan korelasi dalam proses produksi nilai
tersebut, pengetahuan seperti apa yang menopang atau tidak menopangnya, dan
seterusnya.[15]
Karakteristik ilmu politik mainstream
yang demikian tidak bisa dilepaskan dari sejarah perkembangan disiplin sebelum
perang dunia II[16].
Periode itu merupakan masa pembentukan identitas politik sebagai sebuah
disiplin keilmuan. Sebagai ilmu yang lahir di tengah-tengah dominasi ilmu alam,
pertanyaan bernada gugatan yang meragukan eksistensi keilmuan sangat mengganggu
dan menggelisahkan. Semangat zaman yang serba naturalis kala itu menjadi
dasar interogasi disiplin ini terhadap keilmuan
lainnya. Ilmu politik dalam pandangan tradisi tersebut, khususnya dari kalangan
ilmuwan sosial kala itu, dianggap bukanlah ilmu yang sebenar-benarnya, dengan alasan tiadanya subject
matters yang jelas. Ilmu politik hanya memakai disiplin ilmu lain untuk
menjelaskan fenomena kekuasaan.
Respons para pengusung ilmu politik
kala itu adalah mengikuti logika keilmiahan saat itu. Jadilah politik sebuah
ilmu dengan meminjam tradisi positivistik dalam melihat fenomena politik
sekaligus untuk membedakan dirinya dengan periode sebelumnya yang dianggap
terlalu di atas langit, yang melihat politik sebagai idealisme-idealisme
kosong. Semua fenomena dikuantifikasikan, terukur dan karenanya terprediksi
semua kemungkinannya, khususnya terhadap perilaku individu. Tradisi ini dikenal
sebagai tradisi behavioralis, atau dikenal juga sebagai mazhab Chicago, tempat
kajian dilakukan.
Berbagai kritik terhadap tradisi ini
muncul silih berganti. Kritik ini direspons dengan terus memperbaiki perangkat
metode tanpa melepaskan dasar keinginan menjadikan ilmu politik sebagai ilmu
yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah[17].
Kritik terhadap cara pandang ilmuwan
politik yang melihat seperangkat nilai hanya sebatas produk adalah Antonio
Gramsci[18].
Lewat konsepsi hegemoni, Gramsci sesungguhnya ingin mengatakan bahwa ada
operasi kekuasaan yang berlangsung baik dalam proses maupun produk sebuah
kebudayaan politik, karenanya membatasi kajian politik hanya sebatas pada
produk akhir sangat mereduksi kompleksitas fenomena politik. Kritik Gramsci dan
ilmuwan politik di kampus-kampus di Amerika sendiri mulai menimbulkan
wacana-wacana tandingan dalam bidang ini.
Adapun kajian politik di Indonesia masih
didominasi oleh tradisi behavioralis atau logico-positivisme. Hal ini bisa
dipahami dengan melihat kenyataan puluhan mahasiswa yang belajar di
universitas-universitas bertradisi behavioralis di Amerika membawa pulang main
set behavioralis setidaknya dalam tesis atau disertasi mereka. Akhirnya
studi ilmu politik di kampus-kampus utama di Indonesia terwarnai habis-habisan
oleh tradisi ini sampai sekarang. Kurikulum-kurikulum jurusan ilmu politik
masih dalam makna politik dalam kerangka klasik.[19]
Kenyataan ini tidak bisa dipisahkan
dari target pendidikan untuk mahasiswa strata satu di negeri ini. Target bahwa
mahasiswa dapat berpikir logis dan fokus pada bidang yang dikajinya membuat
peluang melakukan perkawinan-perkawinan antara berbagai pendekatan menjadi
sangat minim. Kajian budaya dengan sendirinya keluar dari peluang pilihan.
Tujuan pendidikan seperti itu sesungguhnya telah merugikan kemajuan ilmu
politik di Indonesia hampir separuh abad. Perkembangan studi disiplin yang sama
tidak bisa begitu saja direspons di dalam negeri sendiri, termasuk perkembangan
fenomena politik yang sangat pesat ditandai dengan kemunculan studi-studi
seperti feminimisme. Perselisihan
di daerah berbasis etnis dan mewujud dalam gerakan etnonasionalisme berlangsung
cukup merata di tanah air. Dan sangat tidak memadai menjelaskan hal ini dari
tradisi behavioralis, mengingat kompleksnya persoalan ini karena menyangkut
pula asal-usul sosial.
Pada saat yang sama karya monumental
rezim Orde Baru yang otoritarian selama lebih dari 30 tahun telah tidak hanya
membatasi partisipasi warga negara, melainkan juga membelasuknya kekuasaan ke dalam ruang-ruang yang tak
terbayangkan sebelumnya. Politik masuk ke tempat tidur karena
program Keluarga Berencana yang mewajibkan berapa banyak anak
yang boleh dimiliki oleh pasangan suami istri. Politik masuk dapur dan
menggelisahkan ibu-ibu muslim karena label halal sebuah produk bumbu masak
diragukan keabsahannya, akibat inkonsistensi dalam lembaga sertifikasi produk
halal. Fenomena keseharian seperti itu sekali lagi tidak memadai kalau masih
mau dilihat dengan cara yang lama.[20]
Studi politik Indonesia yang
didominasi oleh kajian-kajian klasik politik tidak bisa dilepaskan dari
hiruk-pikuk politik nasional. Jauh lebih menantang dan laku sebagai komoditas
untuk menebak-nebak susunan kabinet Gotong Royong Megawati ketimbang mengurusi
bagaimana siasat massa rakyat NU dalam menerima kekalahan Abdurrahman Wahid
yang telah mereka anggap sebagai wakil Tuhan di dunia.
Dalam keterbatasan ini ilmu politik
dapat bertemu dengan kajian budaya. Ilmu politik di Indonesia perlu insyaf dengan melebarkan makna kekuasaan
di luar pagar-pagar format kelembagaan. Di sisi lain kajian budaya bisa lebih
berdamai akan keperluan praktis studi politik atas keperluan perangkat kerja
yang terinci. Bukan demi mereproduksi gaya berpikir positivistik, melainkan
demi mengikuti semangat kehati-hatian tradisi ini yang telah teruji. Dan tentu
saja demi membuka selebar-lebarnya ruang pluralitas dalam pendekatan ilmu
politik di negeri sendiri.[21]
Keterkaitan politik dan kajian budaya tersebut dengan sendirinya juga memerlukan pemahaman hakekat masing-masing ilmu dan kajian tersebut. Poespoprodjo, menyatakan dengan filsafat ilmu akan dapat dipahami perspektif-perspektif ilmu, kemungkinan-kemungkinan pengembangannya, keterjalinannya antar ilmu, simplifikasi dan artifisialitas ilmu dan lain sebagainya, yang vital bagi penggarapan ilmu itu sendiri. Hal itu berarti, dengan filsafat ilmu, kita akan didorong untuk memahami kekuatan serta keterbatasan metodenya, logika validasinya, struktur pemikiran ilmiah dalam konteks dengan realitas in conreto sedemikian rupa, sehingga seorang ilmuwan politik dan pengkaji budaya dapat terhindar dari kecongkakan serta kerabunan intelektualnya.
Kesimpulan
Filsafat
ilmu, perkembangan ilmu pengetahuan dan dunia politik mempunyai keterkaitan
yang tidak dapat dipisahkan. Artinya,
bahwa antara yang satu dengan yang lain menjalin hubungan yang saling
mendukung perkembangan satu dengan yang lain. Dengan
memahami hakekat ilmu itu, menurut Poespoprodjo, dapatlah dipahami bahwa
perspektif-perspektif ilmu, kemungkinan-kemungkinan pengembangannya, keterjalinannya antar ilmu,
simplifikasi dan artifisialitas ilmu dan lain sebagainya, yang vital bagi
penggarapan ilmu itu sendiri. Lebih dari itu, dikatakan bahwa dengan filsafat ilmu,
kita akan didorong untuk memahami kekuatan serta keterbatasan metodenya,
prasuposisi ilmunya, logika validasinya, struktur pemikiran ilmiah dalam
konteks dengan realitas in conreto sedemikian rupa sehingga seorang
ilmuwan dapat terhindar dari kecongkakan serta kerabunan intelektualnya.
Dari pengembangan ilmu itu juga maka lahirlah ilmu
politik yang dijadikan pijakan oleh para politisi, namun demikian tidak selamanya
dunia politik berpijak pada ilmu pengetahuan, akan tetapi ilmu pengetahuan bisa
juga lahir dari dunia politik praktis.
DAFTAR PUSTAKA
Almond dan Verba, Budaya Politik: Tingkah Laku Politik dan
Demokrasi di Lima Negara, Jakarta: Bina Aksara, 1984
Bahm, Filsafat Perbandingan: Filsafat Barat, India, Cina dalam
Perbandingan. Yogyakarta: Kanisius, 2003
Bahm, What Is Science, Reprinted from My Axiology; The Science Of
Values; 44-49, World Books, New Mexico: Albuquerqe, 1980
Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1991
Gie, The Liang. Pengantar Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Liberty, 1999
Koento,Wibisono, S. Hubungan Filsafat Ilmu Pengetahuan dan Budaya,
Paper Pelengkap Materi Kuliah Filsafat Ilmu Program S3 Kajian Budaya Unud,
Denpasar: 2004
Kuhn, Peran Paradigma dalam Revolusi Sains, terj.Tjun Surjaman, Bandung: Remadja Karya CV, 1989
Lasiyo dan Yuwono, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Penerbit Liberty, 1985
Savirani, Dari Negara ke Coca Cola: Merintis Kajian Budaya dalam Ilmu Politik
di Indonesia (serial online), Oct-Des. 2004. Available from: URL:
http:/www.kunci/eid.htm.
Simon, Gagasan-gagasan Politik Gramsci, (penerj. Kamdani dan Himam Baihaqi),
Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004
Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Grasindo, 1992
Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Sinar
Harapan, 1985
Verhak dan Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah Atas Cara
Kerja Ilmu-ilmu, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1991
Wibisono S. dkk, Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu
Pengetahuan, Klaten: Intan
Pariwara, 1997
[1]Bahm, Filsafat Perbandingan: Filsafat Barat, India,
Cina dalam Perbandingan, (Yogyakarta: Kanisius, 2003), 17.
[2]Wibisono S. dkk, Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu
Pengetahuan, (Klaten: Intan
Pariwara, 1997), 6-7.
[3]The Liang Gie., Pengantar Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Liberty, 1999), 93.
[4]Lasiyo dan Yuwono, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Penerbit Liberty, 1985),
1.
[5]Wibisono, S. Koento, Hubungan Filsafat Ilmu
Pengetahuan dan Budaya, Paper Pelengkap Materi Kuliah Filsafat Ilmu Program
S3 Kajian Budaya Unud, (Denpasar: 2004), 4-5.
[6]Bahm., What Is Science, Reprinted from My Axiology;
The Science Of Values; 44-49, World Books, (New Mexico, Albuquerqe, 1980),1.
[7]Wibisono, Filsafat Ilmu…, 13.
[8]Verhak dan Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah Atas Cara
Kerja Ilmu-ilmu, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1991), 230.
[9]Pembahasan mengenai
ini dapat dilihat dalam Peursen …. 4-5.
[10]Kuhn, Peran Paradigma dalam Revolusi Sains, terj.Tjun Surjaman, (Bandung: Remadja Karya CV, 1989), 57.
[11]Kisah perjalanan hidup Sang Mahatma dituangkan dalam Gandhi Sebuah
Otobiografi: Kisah Eksprimen-eksprimenku dalam Mencari Kebenaran, Pnerj.
Gedong Bagoes Oka, (Jakarta: Sinar Harapan, 1985), 40
[12]Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Sinar Harapan, 1985), 63-229.
[13]Dalam ilmu politik, politik diartikan sebagai
interaksi antara pemerintah dan masyarakat, dalam rangka proses pembuatan dan
pelaksanaan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang
tinggal dalam suatu wilayah tertentu. Lihat Surbakti, Memahami
Ilmu Politik, (Jakarta: Grasindo, 1992), 10-11
[14]Almond dan Verba, Budaya Politik: Tingkah
Laku Politik dan Demokrasi di Lima Negara, (Jakarta: Bina Aksara, 1984), 120
[15]Savirani, Dari Negara ke Coca Cola: Merintis Kajian Budaya dalam Ilmu Politik di Indonesia (serial online), Oct-Des. 2004. Available from: URL: http:/www.kunci/eid.htm.
[16]Sejarah perkembangan ilmu politik dapat dilihat dalam
Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1991), 1-3
[17]Karakteristik dari mazhab positivisme dalam ilmu
politik dapat dilihat dalam Gaffar, Dua Tradisi Keilmuan, Diktat Kuliah
Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM.
[18]Simon, Gagasan-gagasan Politik Gramsci, (penerj. Kamdani dan Himam Baihaqi), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 30
[19]Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik…, 4.
[20]Ibid.,
[21]Ibid., 5.
0 Comment