17 Februari 2023

 HUBUNGAN FILSAFAT DENGAN AGAMA

       I.         PENDAHULUAN

Filsafat dan Agama adalah dua entitas yang menduduki posisi penting dalam filsafat ilmu. Keduanya merupakan objek yang menarik untuk diperbincangkan. Posisi kedua cabang disiplin ilmu tersebut saling memberikan nilai positif dalam menjawab persoalan-persoalan kehidupan dan kemanusiaan. Hal itu disebabkan oleh fitrah manusia sebagai mahluk berfikir yang selalu menghendaki rasionalitas. Manusia juga mengalami dan menyaksikan problema-problema yang terkait dengan dimensi-dimensi misteri dalam kehidupan yang tidak dapat dipecahkan kecuali dengan merujuk pada agama, sehingga eksistensi agama—yang selain—sebagai sistem kepercayaan yang mengharuskan adanya kebenaran, juga sebagai tindakan praktis terhadap aplikasi kepercayaan (iman) yang telah diakui kebenaraanya melalui metodologi filsafat yang telah disepakati kebenarannya.

Dalam makalah ini, dibahas tentag relasi Filsafat dan Agama yang menitik beratkan pada nilai-nilai Filsafat sebagai sebuah metodologi Rasional serta posisi Agama sebagai sistem dogmatik yang berusaha menjalin harmonisasi hubungan antara keduanya. Pembahasan ini penulis deskripsikan secara ringkas menurut pandangan Islam. 

II.      FILSAFAT

A.  Definisi Filsafat

Kata Filsafat berasal dari bahasa Yunani Filosofia, yang diturunkan dari kata kerja Filosofein, yang berarti : mencintai kebijaksanaan. Dalam pengertian Filosofein terkandung gagasan, bahwa orang yang mencintai kebijaksanaan (filosof) dengan aktif berusaha memperoleh kebijaksanaan[1]. Dalam bahasa arab kata Filsafat disebut juga dengan h}ikmah, kedua istilah tersebut dalam pandangan Ibnu Rusyd menunjuk pada dua substansi yang sama dan tidak ada bedanya.[2] Phitagoras berpendapat, bahwa al-h}ikmah (kebijaksanaan) adalah milik Tuhan semata, adapun bagi manusia untuk mengetahuinya dapat ditempuh dengan cara kesungguhan dan dengan kemampuannya ia menjadi cinta terhadap kebijaksanaan dan mencari hakikat kebenaran.[3]

Dalam bahasa arab kata al-h}ikmah (kebijaksanaan) dan al-h}aki>m (Filosof atau orangg yang arif atau bijaksana) menunjuk makna umum dan universal. Ahmad Amin berpendapat, bahwa kata Su>fu>s (al-H}aki>m) pada dasarnya bermakna setiap orang yang memiliki kesempurnaan dalam segala hal, baik sempurna akal maupun materi. Termasuk dalam kategori ini adalah Seniman, Juru masak (Tukang roti), pelaut dan Tukang kayu.[4]

Pengertian filsafat ditinjau dari kandungan maknanya memiliki sekian banyak rumusan, diantaranya adalah sebagai berikut:

Harold H. Titus merumuskan filsafat menjadai empat pengertian; (1). Filsafat adalah satu sikap tentang hidup dan tentang alam semesta., (2). Filsafat adalah satu metode pemikiran reflektif dan penyelidikan ‘aqliyah. (3). Filsafat adalah satu perangkat masalah. (4). Filsafat adalah satu perangkat teori atau sistem pikiran. Adapun Hasbullah Bakry merumuskan, bahwa Filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta, dan manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai oleh akal manusia dan bagaimana sikap manusia itu seharusnya setelah mencapai pengetahuan itu.[5] Al-khawarizmi mengartikan falsafah (diarabkan) adalah ilmu tentang hakikat sesuatu dan beramal dengan sesuatu yang paling membawa kemaslahatan.[6] Adapun ibnu Sina (980-1037M) mendefinisikan filsafat sebagai suatu usaha untuk menyempurnakan jiwa malalui konseptualisasi atas segala hal dan pembuktian atas realitas-realitas teoritis dan praktis berdasarkan kemampuan manusia.[7] 

B.  Pembagian Filsafat

Secara umum Filsafat dapat dibagi menjadi tiga bagian pokok, yaitu:

1.    Ontologi —berasal dari bahasa perancis dan Jerman yaitu eime be dan logos, yang memiliki arti kata atau pengetahuan—yakni, ilmu yang berkaitan dengan esensi dari benda atau mahluk secara abstrak, atau studi tentang hakikat tertinggi dari yang ada atau realitas.

2.    Epistemologi—Greek:epsteme, pengetahuan dan logos—yakni, teori tentang metode atau dasar dari pengethuan, atau studi tentan hakikat tertinggi, kebenaran dan batasan ilmu manusia.

3.    Axiologi—Greek: Axio, menarik faidah dari sesuatu—yakni, studi tentang hakikat tertinggi, realitas dan arti dari nilai-nilai (kebaikan, keindahan dan kebenaran). Axiologi dibagi menjadi dua; (1). Filsafat Etika atau Moral, adalah studi mengenai idealisme yang tertinggi atau norma-norma tingkah laku. (2). Estetika atau Filsafat Keindahan, adalah studi tentang idealisme yang tertinggi atau norma-norma seni.[8]

    Aristotelian (para pengikut aristoteles) membagi Filsafat menjadi dua bagian, yaitu: Pertama; Falsafah Naz}ariyyah (Filsafat Teoritis) dan Kedua; Falsafah ‘Amaliyyah (Filsafat Praktis). Sebagian pendapat-pendapat yang bersifat Teoritis terdapat dalam al-millah al-fa>d}ilah  (agama utama) yaitu yang terkait dengan ‘Aqi>dah (Dzat Allah dan Sifat-Nya, Malaikat, Rasul dan Hari akhir). Adapun pendapat-pendapat yang terkait dengan konsepsi kehendak (Ira>diyah) adalah bersifat Praktis, khususnya Ibadah.  Secara umum, al-Fa>raby menetapkan, bahwa argumentasi-argumentasi ‘amaliyah (praktis) yang terdapat dalam al-millah al-fa>d}ilah dapat ditemukan makna universalnya di dalam Filsafat Praktis (Akhlak dan politik). Hal yang sama—juga—pendapat-pendapat Teoritis yang ada dalam agama adalah dapat ditemukan bukti-buktinya (Bara>hi>n) di dalam Filsafat Teoritis tanpa mengambil argumentasi dari luar. Maka kedua bentuk argumentasi tersebut memposisikan agama di bawah naungan filsafat[9] yang berfungsi sebagai pemberi bukti terhadap permasalahan yang ada dalam agama.[10] 

C.  Tujuan, Fungsi dan Guna Filsafat

Menurut Harold H. Titus, Filsafat—sebagaimana diketahui—adalah  suatu usaha untuk memahami alam semesta, maknanya dan juga nilainya. Menurutnya, apabila tujuan ilmu adalah deskripsi dan kontrol, dan apabila tujuan seni adalah kreatifitas, kesempurnaan bentuk, keindahan, komunikasi dan ekspresi, maka tujuan filsafat adalah pengertian dan kebijaksanaan (understanding and wisdom).[11] Menurutnya, tujuan filsafat harus membantu seseorang untuk membangun keyakinan keagamaan atas dasar yang matang secara intelektual. Filsafat dapat mendukung kepercayaan keagamaan seseorang dengan syarat kepercayaan tersebut tidak bergantung pada konsepsi yang pra-ilmiyah, yang usang, yang sempit, dan yang dogmatis. Urusan (concern) utama agama adalah harmoni, pengaturan, ikatan, pengabdian, perdamaian, kejujuran, pembebasan dan Tuhan.[12]

Dr Oemar A. Hoesin berpendapat, bahwa Ilmu memberi kepada manusia pengetahuan, dan filsafat memberikan hikmah. Filsafat memberi kepuasan kepada keinginan manusia akan pengetahuan yang tersusun dengan tertib akan kebenaran. Plato merasakan berfikir dan memikirkan sebagai nikmat yang luar biasa, sehingga filsafat dinamakan keinginan yang maha berharga.[13]

Menurut Radhakrishnan, tugas filsafat bukanlah sekedar mencerminkan semangat masa dimana manusia hidup, melainkan membimbingnya maju. Fungsi filsafat adalah kreatif, menetapkan nilai, menetapkan tujuan, menentukan arah dan menuntun pada jalan baru. Filsafat hendaknya mengilhamkan keyakinan kepada manusia untuk menopang dunia baru, mencetak manusia-manusia yang menjadikan penggolongan-penggolongan berdasarkan cita mulia kemanusiaan. Filsatat tidak ada artinya adabila tidak universal, baik dalam ruang lingkupnya maupun dalam semangatnya.[14] 

D.  Batas dan Relativitas Filsafat

Pada hakikatnya, sejak kemunculan Filsafat sampai zaman kontemporer ini, pemikiran filsafat hanya berkutat pada masalah pertentangan antara pengetahuan yang bermula dari rasio akal[15] (pengetahuan metafisika) dan pengetahuan yang diperoleh melalui indra[16] (pengetahuan ilmiyah). Dari masalah tersebut, muncul berbagai aliran Filsafat yang kemudian memunculkan pertanyaan : apakah pengetahuan yang datang kepada manusia itu melalui akal dan dengan metode deduktif (Rasionalism); ataukah melalui indra dengan metode induktif (Empiricism); ataukah malalui intuisi (intuition); ataukaj melalui pengalaman atau percobaan (experience); ataukah melalui jiwa atau roh (spirit); atau melalui materi (matter)?.[17]

Menurut Dr. Shri Krishna Saksena, pengetahuan filsafat tidak menghasilkan keyakinan disebabkan alat filsafat untuk tugas tersebut tidak mencukupi. Satu-satunya alat yang dipergunakan oleh filsafat adalah akal. Sedangkan akal hanya merupakan satu bagian dari rohani manusia dan tidaklah mungkin suatu keseluruhan dapat dimengerti dengan suatu bagian. Keseluruhan kebenaran bisa diketahui dengan keseluruhan rohani manusia (perasaan, akal, intuisi, pikiran, naluri, pendek kata seluruh kediriannya).[18] Menurut Pudjawijatna, Filsafat pada prinsipnya dapat dimungkinkan menjawab segala persoalan yaitu dengan terus diusahakan melalui pikiran. Tetapi filsafat tidak sama dengan agama. oleh karena itu ada kemungkinan agama memberi pengetahuan yang lebih tinggi dari filsafat, pengetahuan yang tidak tercapai oleh budi biasa karena demikian tingginya hal itu hingga hanya dapat diketahui karena diwahyukan.[19] 

III.   AGAMA

A.  Definisi Agama

Kata agama dalam bahasa inggris disebut “Religion”, dalam bahasa belanda disebut “Religie”. Kedua kata tersebut terambil dari bahasa induk yaitu bahasa latin yang memiliki arti “Religare”[20], to treat carefully (Ciicero), Relegere, to bind together (Lactantius), atau Religare, to recover (Agustinus).[21]

Dalam bahasa Arab, kata Agama disebut dengan “al-Di>n” yang terambil dari akar kata “Da>na-Yadi>nu” yang berarti : (1). Cara atau adat kebiasaan; (2). Peraturan; (3). Undang-undang; (4). Ta’at atau patuh; (5). Menunggalkan Tuhan; (6).Pembalasan; (7). Perhitungan; (8). Hari kiamat; dan (9). Nasihat.

Menurut Fachruddin alkahiri, kata agama dalam bahasa indonesia berasal dari bahasa sangsekerta yang terdiri dari dua kata, yaitu: “a” yang berarti “Tidak” dan “Gama” yang berarti “berantakan”. Jadi kata “Agama” adalah tidak berantakan, atau dalam pengertian lain berarti teratur. Yang dimaksud agama adalah suatu peraturan yang mengatur keadaan manusia, maupun sesuatu yang gaib, ataupun mengenai budi-pekerti, pergaulan hidup bersama dan lainnya.[22]  

Aljurjani menerangkan persamaan dan perbedaan antara al-Di>n, pada satu pihak,dengan al-Millah dan al-Madhhab pada pihak lain. Menurut beliau al-Di>n, Millah ataupun al-Madhhab bersamaan dalam materinya. Perbedaan terletak dalam kesannya: al-Di>n dinisbatkan kepada Allah, seperti Di>n Alla>h, al-Millah dinisbatkan kepada nabi tertentu, seperti Millat ibra>hi>m, dan al-Madhhab dinisbatkan kepada mujtahid tertentu, seperti madhhab Syafi’i>.[23] Adapun dalam pandangan Ibnu Rushd, istilah al-Di>n dan al-Millah terkandung substansi yang sama, yakni syari’at atau agama yang diturunkan Tuhan kepada Rasul-Nya.[24]

Menurut Husain Ismail, agama adalah jalan atau metode yang bersumber dari Sang Pencipta untuk mengetahui sifat, perbuatan dan tujuan diri-Nya menciptakan makhluk secara umum dimana manusia termasuk di dalamnya.[25]

Di dalam al-Qur’an kata al-Di>n digunakan, baik untuk islam maupun non islam, termasuk juga kepercayaan terhadap berhala-berhala dan sesembahan lainnya.[26]  

B.  Pembagian Agama

Pembagian Agama menurut ahmad Abdullah al-masdoosi dapat dikelompokkan menjadi Tiga:[27]

1.    Revealed and non-Revealed Religions

Revealed Religion (Agama wahyu) adalah agama yang menghendaki iman kepada Tuhan, kepada para rasul-Nya, dan kepada Kitab-kitab-Nya serta pesannya untuk disebarkan kepada segenap ummat manusia. Sedangkan non-revealed religion adalah agama yang tidak memandang esensial penyerahan manusia kepada kepada tata aturan ilahi. Menurut al-masdoosi, yang termasuk revealed religion adalah Yudaisme, Kristen, dan Islam.

2.    Agama Missionary dan Agama non-missionary

Sir TW. Arnold memasukkan budhisme, Kristen, dan Islam pada golongan agama missionary, sedangkan Yudaisme, Brahmanisme, dan Zoroasterianissme dimasukkan pada golongan non-missionary. Adapun menurut al-masdoosi, baik agama Nasrani maupun Budhisme, ditinjau dari segi ajarannya yang asli, bukanlah tergolong agama missionary, sebagaimana juga agama lainnya (selain Islam). Menurutnya hanya Islam-lah ajaran yang asli merupakan agama missionary. Namun dalam perkembanganya ternyata bahwa baik agama Nasrani maupun Budhisme menjadai agama missionary.

3.    Geoghraphical-racial and universal

Ditinjau dari segi rasial dan geografikal, agama-agama di dunia dapat dikelompokkan menjadi tiga: (1). Semitik; ialah agama Yahudi, agama Nasrani dan agama Islam; (2). Arya; ialah Hinduisme, Jainisme, Sikhisme, dan Zoroasterianisme; (3). Non semitik Monggolian; ialah Confusianisme, Taoisme, dan Sinthoisme.

4.    Agama Samawi dan Agama Non-Samawi

Agama merupakan satu sistem credo (tata keimanan) dan sistem ritus (tata peribadatan), juga suatu sistem norma (tata kaidah) yang mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia dan hubungan manusia dengan alam lainnya, sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata peribatan.

Ditinjau dari segi sumbernya, maka agama dapat dibedakan menjadi dua: (1). Agama samawi; adalah agama langit, agama wahyu, agama profetis, revealed religion, Di>n al-Samawy; (2). Agama Budaya; adalah agama bumi, agama filsafat, agama ra’yu, non-revealed religion, natural religion, Di>n al-T}abi’i>, Di>n al-Ard}. 

C.  Tujuan, Guna, dan Fungsi Agama

Pada dasarnya, manusia memerlukan suatu bentuk kepercayaan yang dapat melahirkan nilai-nilai guna menopang kehidupannya. Selain kepercayaan itu dianut karena kebutuhan, dalam waktu bersamaan juga harus merupakan suatu kebenaran. Demikian juga cara berkepercayaan-pun harus benar. Disebabkan kepercayaan itu diperlukan, maka dalam dunia nyata ditemukan bentuk-bentuk kepercayaan yang berbeda. Hal itu dapat menimbulkan  kepercayaan yang mungkin semua salah atau salah satu diantaranya benar.[28] Adapun salah satu kepercayaan yang dapat diakui kebenaraannya adalah kepercayaan terhadap agama.

Agama sebagai sistem kepercayaan (iman), memiliki dua pengertian: (1). Kepercayaan  (iman) sebagai institusi, yaitu iman yang merupakan bagian (paling pokok) dari agama sendiri, yang berposisi sebagai bentuk kepercayaan yang tertinggi yang diakui kebenarannya. Seperti rukun iman dalam islam; (2). Kepercayaan (iman) sebagai sikap jiwa, sikap jiwa mempercayai dan menerima sesuatu sebagai benar, yaitu sikap jiwa sami’na> wa at}a’na>  (kami mendengar dan mematuhi), serta mematuhi firma ilahi dengan sepenuh kedirian, memusatkan segala pengabdian hanya kepada-Nya, menyerahkan diri, hidup dan mati semata-mata untuk-Nya.[29]

Eksistensi agama—selain—sebagai sistem kepercayaan yang mengharuskan adanya kebenaran, juga sebagai tindakan praktis terhadap aplikasi kepercayaan (iman) yang telah diakui kebenaraanya. Dalam hal ini Ibnu Sina memiliki dua aspek missi, yaitu missi teoritis dan praktis. Missi teoritis berfungsi mengarahkan jiwa manusia menuju kebahagiaan abadi dengan mengajarkan ajaran dasar keimanan terhadap eksistensi Tuhan, realitas wahyu, dan kenabian serta kehidupan sesudah mati. Adapun missi praktis mengajarkan aspek-aspek praktis agama sebagai tindakan ritual untuk dilaksanakan oleh seseorang yang beriman.[30] 

D.  Kebenaran Agama

Peran agama sebagai bentuk kepercayaan mengharuskan adanya keyakinan terhadap prinsip-prinsip dan norma-norma agama yang diakui kebenarannya. Keyakinan tersebut haruslah bersumber dari kebenaran yang hakiki dan tidak ada keraguan.

Di dalam doktrin agama, terdapat beberapa landasan yang menunjukan, bahwa—di samping—ada kebenaran yang muthlak yang langsung dari Allah swt. diakui pula eksistensi kebenaran relatif yang merupakan hasil usaha pencapaian budaya manusia[31], seperti: kebenaran spekulatif filsafat dan kebenaran positif ilmu pengetahuan serta kebenaran pengetahuan biasa di dalam kehidupan sehari-hari.[32]

Menyangkut konsep kebenaran, ada dua hal yang tidak bisa dipisahkan, yaitu: sumber otoritas atau justifikasi dan metode untuk memperolehnya. Kebenaran agama sumber otoritasanya adalah wahyu dari Tuhan. Oleh karenanya, konsep kebenaran dalam pemahaman agama selalu dirujukan kepada apa yang dikatakan wahyu. Adapun justifikasi sebuah kebenaran ilmiyah terletak pada prosedur dan hasil pengujian, bukan pada keyakinan metafisis seperti kebenaran wahyu.[33] Sejalan dengan pendapat ini, Muhammad al-Husaini ismail mengatakan, bahwa Permasalahan-permasalahan yang menyagkut agama telah menjadi “permasalahan muthlak”, bukan “permasalahan relatif”.[34] 

IV.   HUBUNGAN FILSAFAT DENGAN AGAMA

Dari beberapa penjelaskan di atas terkait aktifitas filsafat dan agama dapat diambil beberapa persamaan yang mengindikasikan adanya harmonisasi diantara keduanya adalah sebagai berikut : 

A.   Agama Mewajibkan Manusia Mengetahui Tuhan

Petunjuk Syari’at (agama) telah mendorong manusia untuk merenungkan segala mawju>d dengan akal. Petunjuk syari’at ini terkadang mengarah pada hukum wajib dan juga terkadang mengarah pada hukum sunnah. Perintah syari’at untuk mempelajari dan mengetahui mawju>d dengan akal tidak hanya ditunjukkan oleh satu ayat, tetapi oleh banyak ayat yang terdapat dalam kitab Allah yang maha tinggi, seperti: Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, wahai orang-orang yang mempunyai wawasan.[35] Ayat ini mengandung perintah atas wajibnya menggunakan qiyas rasional (al-qiya>s al-‘aqly ) dan qiyas syar’i (al-qiya>s syar’iy) secara bersamaan.[36]

Menurut Ibnu Rushd, Ayat ini berbicara tentang dua hal: (1). Ayat al-Qur’an yang mendorong manusia merenungkan mawju>d-mawjud>;[37] (2). Ayat al-Qur’an yang menganjurkan penggunaan akal dalam merenungkan (al-I’tiba>r) mawjud-mawjud. Seperti ayat “….dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi….”[38] Dan “maka ambillah ibarat wahai ulil Abs}a>r[39]. Ungkapan “memikirkan” dalam ayat tersebut menandakan keharusan penggunaan akal. Adapun kata “i’tiba>r” menurut istilah ahli kalam dan fuqaha>’ disebut qiya>s, yaitu “mengambil i’tiba>r dari sesuatu yang sudah diketahui kepada sesuatu yang belum diketahui”, “dari hukum asal yang nyata dan diketahui kepada hukum cabang yang gaib yang belum diketahui’. [40] 

B.  Adanya Kesamaan Metodologis antara Filsafat  dengan Agama.

Salah satu hubungan yang tidak dapat dipisahkan antara filsafat dan agama adalah terdapat pada aspek metodologi keduanya dari segi konsep dan pembuktian. Kesamaan metodologi tersebut dijabarkan sebagai berikut:

1.    Metode filsafat

Ilmu filsafat terdiri dari dua bagian, yaitu konsep (tas}awwur) dan pembuktian (tas}di>q). Keduanya saling terkait satu sama lain sehingga tanpa adanya yang satu, maka status ilmunya menjadi salah. Sejatinya setiap pembuktian selalu didahului oleh dua konsep. Tanpa didahului oleh dua konsep, maka seseorang tidak akan benar dalam mengetahui sesuatu. Misalnya, jika seseorang tidak memahami konsep tentang “alam” dan “baru” maka dia tidak akan dapat menggambarkan adanya pembuktian bahwa “alam adalah baru”.[41]

2.    Metode syari’at (agama)

Seperti halnya ilmu fisafat, secara metodologis, dalam pandangan ibnu Rushd, syari’at (agama)—juga—mengajarkan dua bagian keilmuan, yaitu konsep (tas}awwur) dan pembuktian (tas}di>q). dalam syari’at, terdapat dua metode keilmuan yang berkaitan dengan konsep : (1) sesuatu yang menunjuk pada dirinya sendiri, dan (2) sesuatu yang menyerupai sesuatu itu sendiri (simbol). Ibnu Rushd juga mengaitkan metode pembuktian dalam syari’at dengan kemampuan berpikir masyarakat sehingga syari’at sejalan dengan tingkatan masyarakat. Untuk memperkuat argumennya, ibnu Rushd mendasarkan pemikirannya pada ayat al-Qur’a>n: “ajaklah ke jalan Tuhanmu dengan cara yang bijaksana, nasihat yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan yang baik.”[42]  Ayat ini menjelaskan tiga model berpikir dalam menghadapi ummat yang hendak diajak untuk mengikuti ajaran syari’at. “cara yang bijaksana” sama dengan metode demonstrative, “nasihat yang baik” sama dengan metode retorika, dan “berdebatlah dengan cara yang baik” sama dengan metode dialektika.[43]

Menurut pandangan al-Farabi dan Ibnu Sina di dalam teori kenabian, bahwa metodologi filsafat dan agama saling menjelaskan. Metode filsafat adalah ‘aql (nalar), sedangkan agama adalah jalan imajinasi. Adapun tujuan dari kedua unsur tersebut adalah satu, yaitu realisasi dan manifestasi kebahagiaan.[44]Hal senada diungkapkan oleh Ibnu Hazm, bahwa relasi Agama dan Filsafat dalam pandangan ulama filsafat dan ulama shari’at (agama) adalah bahwa keduanya memiliki tujuan praktis, yaitu untuk kemaslahatan manusia yang dapat diimplementasikan dalam kehidupan di dunia demi mencapai keselamatan akhirat, serta memperbaiki tatanan poitik dan kenegaraan.[45] 

C.  Syari’at (Agama) Mengghendaki Manusia Berpikir Filosofis

Filsafat praktis bertujuan untuk memperbaiki kehidupan praktis manusia, sedangkan filsafat teoritis bertujuan menumbuhkan keyakinan mendalam terhadap persoalan-persoalan teoritis, terutama terkait dengan pengetahuan terhadap wujud muthlak. Dengan kata lain, filsafat teoritis bertujuan untuk menumbuhkan “keyakinan” mendalam terhadap kondisi mawjud-mawjud yang eksistensinya tidak berhubungan dengan perbuatan manusia, misalnya ilmu tauhid. Sedangkan filsafat praktis bertujuan menemukan kebenaran tentang suatu perkara yang eksistensinya berhubungan dengan manusia agar ia mencapai sesuatu yang “lebih baik” dalam kehidupan praktis[46]. Filsafat teoritis bertujuan untuk menemukan kebenaran tentang Tuhan, sedangkan filsafat praktis bertujuan mencapai kebaikan.[47] 

D.  Subjek Yang Membahas Agama Dan Filsafat Adalah—Sama-Sama-- Manusia, Adapun Objek Pembahasan Agama Dan Filsafat Adalah Ketuhanan.

Dalam agama, masalah ketuhanan dibahas sesuai dengan petunjuk wahyu, sedangkan dalam filsafat masalah ketuhanan berdasarkan pada pencarian rasional tentang wujud Tuhan. Pendekatan agama lebih berciri deduktif, sedangkan pendekatan filsafat berciri induktif. Implikasi dari dua pendekatan itu juga berbeda. Tuhan dalam pembahsan agama menonjolkan personifikasi Tuhan, yakni Tuhan yang telah ‘mempribadi’ (personal God), sedangkan Tuhan dalam filsafat tidak menonjolkan Tuhan yang mempribadi (impersonal God).[48] 

V.   SIMPULAN

Tuhan telah menempatkan manusia di tengah alam semesta, yang di dalamnya dimensi ruang dan waktu diberlakukan. Sebagai mahkluk berfikir, sejatinya manusia dapat bergaul dan bersahabat dengan alam semesta untuk kemaslahatn dalam hidup dan kehidupan. Relasi Agama dan Filsafat menghendaki bahwa Agama menitik beratkan pada hukum-hukum yang berlaku dalam kehidupan dan alam material. Begitu pula  filsafat sebagai sebuah metode berfikir harus membantu dalam membangun keyakinan keagamaan atas dasar yang matang secara intelektual. Wa Alla>h A’lam bi Al-S}awa>b.


BIBLIOGRAFI 

Aksin Wijaya, Teori Interpretasi al-Qur’an Ibnu Rusyd, Yogyakarta: LkiS, 2009

Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999

Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama, Surabaya: Bina Imu, Cet.7, 1987

Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat I, Yogyakarta: Kanisius, 1980

Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999

Hassan Hanafi,  Islamologi I, Dari Teologi Statis ke Anarkis, Yogyakarta: LkiS, Cet.II, 2007

H.G. Sarwar, Filsafat al-Qur’an, Rajawali Pers, 1988

Ibnu Rushd, Fas}l al-maqa>l Fi> Taqri>ri Ma> Baina al-Shari>’ah wa al-H}ikmah Min al-Ittis}a>l, Beirut: Markaz Dira>sa>t al-Wih}dah al-‘Arabiyyah, 2007

Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agamam, Jakarta: Paramadina, 1996

Muhammad al-Husain Isma’il, Kebenaran Mutlak,  Jakarta: SAHARA, 2006

Muhammad al-Husain Isma’il, Kebenaran Mutlak, 305-306

Mus}t}afa> ‘Abd al-Ra>ziq, Tamhi>d Lita>ri>khi al-Falsafah al-Isla>miyah, Kairo: Lajnt al-Ta’li>f wa al-Tarjamah wa al-Nashr, 1959

Sulaima>n Dunya>, al-Tafki>r al-Falsafi> al-Isla>mi>, (Mesir: Maktabah al-Khana>nji>,  1967

Sayyed Hosein Nasr , Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam (Jogjakarta: IRCiSoD, 2006), 200

________, The Heart of Islam, Bandung: Mizan, 2003

 



[1]Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat I, (Yogyakarta: Kanisius, 1980), 7

[2]Aksin Wijaya, Teori Interpretasi al-Qur’an Ibnu Rusyd, (Yogyakarta: LkiS, 2009), 71

[3]Sulaima>n Dunya>, al-Tafki>r al-Falsafi> al-Isla>mi>, (Mesir: Maktabah al-Khana>nji>,  1967), 16.

[4]Ibid.16

[5]Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama, (Surabaya: Bina Ilmu, 1987), 84

[6]Aksin Wijaya, Teori Interpretasi al-Qur’an Ibnu Rusyd, 94

[7]Ibid. 101

[8]H.G. Sarwar, Filsafat al-Qur’an, (Jakarta: Rajawali Pers, 1988), 22

[9]Penulis memahami, bahwa antara teoritis dan praktis merupakan dua unsur yang tidak dapat dipisahkan. Kedua unsur tersebut membutuhkan satu konklusi yaitu tercapainya maksud kedua unsur tersebut (Argumentasi ‘amaliyah dan naz}ariyyah) yang keberadaanya di bawah wilayah filsafat segabai metode bagi tercapainya realitas dari aktifitas keberagamaan. Sebagai contoh adalah Usaha yang dilakukan oleh Ibnu arabi dalam melintasi bentuk-bentuk luar wahyu dalam rengka mencapai batinnya, hal ini tidak berarti penolakan “dari bawah” terhadap bentuk-bentuk luar tersebut, yakni penolakan untuk menerima ritus-ritus lahiriyah dan bentuk-bentuk dogmatik agama. Tetapi, ia berusaha melampaui tingkatan eksoterik dengan menyelusup masuk ke dalam jantung ritus-ritus dan praktik-praktik eksoterik yang ia sendiri merupakan aspek integral dari agama. Melalui aspek formal agama (aspek eksoterik) dan tanpa menggantinya itulah Ibnu Arabi berjuang untuk mencapai makna batin dan universal pada Wahyu. Lihat Sayyed Hosein Nasr , Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam (Jogjakarta: IRCiSoD, 2006), 200

[10]Ibnu Rushd, Fas}l al-maqa>l Fi> Taqri>ri Ma> Baina al-Shari>’ah wa al-H}ikmah Min al-Ittis}a>l, (Beirut: Markaz Dira>sa>t al-Wih}dah al-‘Arabiyyah, 2007), 37

[11]Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama, 99

[12]Ibid, hal.102

[13]Ibid. hal.99

[14]Ibid. hal.102

[15]Pengetahuan metafisika adalah pemikiran yang dimulai dari zat atau percobaan akal yang berasal dari intuisi dan renungan yang disandarkan pada pernyataan yang tidak memerlukan pembuktian. Aliran ini mengacu pada pemikiran plato, ia menekankan olah pikir daripada apa yang dapat dialami atau ditangkap oleh panca indra. Dengan kata lain Plato lebih berpegang pada akal dan idea, serta mengabaikan empirisme. Corak berpikir Plato ini menjadi benih rasionalisme dalam menerangkan sesuatu, dan menjadi idealisme apabila berkaitan dengan nilai. Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), 8

[16]Pengetahuan Ilmiyah adalah pemikiran yang dimulai dari dunia di luar manusia dan dengan percobaan yang obyektif. Corak berpikir ini mengacu pada pandangan Aristoteles yang menyenangi kehidupan material, lebih menekankan kepada cara berpikir realis, karena itu ia menjunjung tinggi empirisme. Ibid. Hal.9  

[17]Muhammad al-Husain Isma’il, Kebenaran Mutlak, (Jakarta: SAHARA, 2006), 523

[18]Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama, 107

[19]Ibid.108

[20]Seyyed Hossein Nasr mengartikan Religare dengan arti “mengikat” sebagai lawan dari “membebaskan”. Dalam agama-agama india, kebebasan diidentifikasi dengan pelepasan dari ikatan semua keterbatasan, atau yang disebut ummat hindu “moksa” , dan dari perputaran roda kesusahan yang berulang-ulang, dari dari mata rantai kelahiran dan kematian di dunia yang berubah, yang ditekankan dalam agama budha. Dalamkebanyakan kitab suci, kebebasan diidentifikasi dengan melepaskan diri dari keterbatasan eksistensi kita sendiri dan bukan kebebasan individu, yaitu “ego”. Seperti yang telah dikatakan oleh banyak orang suci muslim, agama adalah untuk membuat kita mampu meraih kemerdekaan  dari kekuasaan diri dan bukan untuk menimbulkan kebebasan diri. Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam, (Bandung: Mizan, 2003), 355

[21]Ibid. 119

[22]Ibid.122

[23]Ibid, 121

[24]Aksin Wijaya, Teori Interpretasi al-Qur’an Ibnu Rusyd, 72

[25]Muhammad al-Husain Isma’il, Kebenaran Mutlak, 304

[26]Al-Qur’a>n, 42 (al-Shu>ra>):13, 21; 48 (al-Fath):28; 109 (al-Ka>firu>n): 6. dll.

[27]Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama, 126-129

[28](1).Ibid.138-139., (2). Dalam beberapa kasus, yang disebabkan oleh kebutuhan manusia terhadap kepercayaan yang  benar, seringkali terdapat segolongan orang yang berganti-ganti kepercayaan, salah satu contoh adalah Auguste Conte (1798-1857, seorang ahli matematika dan filsafat dari perancis dan pelopor filsafat Positivisme) yang mengetahui bahwa pengalamannya dengan agama yang dianutnya (agama kristen) telah mengalami kegagalan sehingga berakibat pada sikap penolakan dirinya terhadap semua agama yang kamudian ia sendiri membuat sebuah agama baru yang bernama “Agama Kemanusiaan”. Baca, Muhammad al-Husain Isma’il, Kebenaran Mutlak. Hal. 24-26

[29]Ibid. 143

[30]Baca, Seyyed Hossein Nasr, Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam, hal. 80-82

[31](1). Hikmah adalah barang  yang  hilang milik orang yang beriman; dimanapun mereka menemukan hikmah itu, mereka paling berhak memilikinya. (2). Firman Allah: “Berilah kabar gembira hamba-hamba-Ku, yang  mau mendengarkan “al-Qaula” (idea, pendapat), kemudian mengikuti yang paling baik”. QS. Az-Zumar : 17-18.

[32]Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama, 147

[33]Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agamam (Jakarta: Paramadina, 1996), 160

[34]Muhammad al-Husain Isma’il, Kebenaran Mutlak, 305-306

[35]Al-Qur’an, 59 (al-Hashr): 2

[36]Ibnu Rushd, Fas}l al-maqa>l Fi> Taqri>ri Ma> Baina al-Shari>’ah wa al-H}ikmah Min al-Ittis}a>l, 86

[37]Seperti, Al-Qur’an, 7 (al-a’ra>f):185; 88 (al-gha>shiyah):17

[38]Al-Qur’an, 3 (a>li-Imra>n): 191

[39]Al-Qur’an, 59 (al-Hashr):2

[40]Aksin Wijaya, Teori Interpretasi al-Qur’an Ibnu Rusyd, 118

[41]Ibid.120

[42]Al-Qur’an, 16 (al-Nahl): 125

[43]Ibid. 122-123

[44]Hassan Hanafi, Islamologi I, Dari Teologi Statis ke Anarkis (Yogyakarta: LkiS, Cet.II, 2007), 62-63

[45]Mus}t}afa> ‘Abd al-Ra>ziq, Tamhi>d Lita>ri>khi al-Falsafah al-Isla>miyah (Kairo: Lajnt al-Ta’li>f wa al-Tarjamah wa al-Nashr, 1959), 73

[46]Menurut ibnu Rushd, tujuan syari’at adalah semata-mata mengajarkan dua aspek: (1) ilmu yang benar. Ilmu yang benar adalah mengetahui (ma’rifat) Allah dan seluruh wuju>d sesuai dengan kenyataannya, terutama wuju>d yang mulia diantara wuju>d-wuju>d tersebut, dan mengetahui kebahagiaan maupun kesengsaraan di akhirat; (2) Amal yang benar, yaitu  mengerjakan perbuatan-perbuatan yang membawa kebahagiaan dan menjauhi perbuatan-perbuatan yang membawa kesengsaraan.. Ibnu Rushd, Fas}l al-maqa>l Fi> Taqri>ri Ma> Baina al-Shari>’ah wa al-H}ikmah Min al-Ittis}a>l,71

[47]Aksin Wijaya, Teori Interpretasi al-Qur’an Ibnu Rusyd, 128

[48]Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama  (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 19

0 Comment