Ikhtilaf adalah pertentangan antara dua nash; baik nash al-Qur'an maupun nash hadits-hadits. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa di syariat Islam tidak mungkin ditemukan adanya dua nash yang sederajat dan nilai yang saling berlawanan antara yang satu dengan yang lainnya dan tidak dapat pula ditarjihkan (dikuatkan) salah satu dari keduanya.
Ternyata ada juga yang menemukan sebuah hadits yang bertentangan dengan hadits. Bila kita definisikan hadits adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi. Berarti Rosulullah melarang atau menyampaikan sebagian hadits – haditsnya saling berlawanan kepada umatnya. Persoalan inilah yang akan dicarikan pemecahannya dengan pendekatan ilmu hadits dan pemahaman menurut para ulama dan juga berusaha menyelesaikan permasalahan yang terdapat di dalam hadits-hadits mengenai hadits-hadits Tanawwu'al – Ibadah.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hadits Mukhtalif
Al-Nawawiy, sebagaimana dikutip oleh al-Suyuthiy, menyebut hadits-hadits mukhtlif sebagai:[1]
Jika Anda tidak tahu apa yang terjadi di sini, Anda akan mendapatkan banyak uang.
Artinya : (hadits-hadits mukhtalif) ialah dua buah hadits yang saling bertentangan pada makna lahiriahnya (namun makna sebenarnya bukanlah bertentangan, untuk mengetahui makna sebenarnya tersebut) maka keduanya dikompromikan atau di-tarjih (untuk mengethui mana yang kuat di antaranya)
Dan tidak semua hadits mukhtalif perlu dikaji untuk dapat ditemukan penyelesaiannya, melainkan hanya apabila hadits-hadits tersebut sama-sama kategori maqbul . Apabila salah satunya maqbul
dan yang lain mardud , maka dalam hal seperti ini pertentangan yang tampak tidak perlu diindahkan. Cukuplah yang dipegang yang maqbul dan ditinggalkan yang mardud.
Oleh karena itu ulama hadits menambahkan batasan dalam kategori maqbul[2]sebagaimana dikemukakan oleh Tahanuwiy sebagai berikut:[3]
Artinya ; hadits-hadits muktalif adalah dua buah hadist (sama-sama dalam kategori maqbul yang saling bertentangan pada makna lahiriahnya (namun sebenarnya bukanlah hal yang bertentangan karena) maksud yang dituju oleh satu dengan lainnya dapat dikompromikan dengan cara yang wajar (tidak dicari-cari).
Hadis-hadits muktalif bersifat relatif artinya adakalanya hadits-hadits tertentu oleh sebagian orang dipandang mengandung makna yang tampak kontradiktif, sedangkan menurut pandangan yang sebagian lain sama sekali tidak bertentangan. Hal ini tergantung pada keluasan ilmu yang dimiliki seseorang untuk mempelajari hadits dan memahami hadits-hadits Rosulullah. Imam Syafi'I mengeluarkan pernyataannya dengan mengatakan: “kami tidak pernah menemukan ada hadits-hadits Rosulullah yang saling bertentangan satu dengan yang lainnya, melainkan ada jalan keluar penyelesaiannya”. Pernyataan mungkin juga keinginan oleh Abu Bakar ibn Khuzaimah dengan mengatakan, “Aku tidak mengetahui ada hadits-hadits Rosulullah yang benar-benar bertentangan dengan yang lainnya. Oleh karena itu,[4]
Kajian tentang masalah yang menyangkut hadits-hadits mukhtalif, ternyata telah melahirkan suatu cabang ilmu dalam disiplin ilmu hadits yang disebut Ilmu Mukhtalif al-Hadits. Sebagian Ulama menyebut ilmu ini dengan Musykil al Hadits, ada juga yang menamainya dengan ilmu Ta'wil Hadits dan sebagian yang lain menyebutnya dengan ilmu Talfiqul Hadits. Semuanya memiliki pengertian yang sama.
Menurut DR. Muhammad 'Ajaj Al-Khatib Ilmu Mukhtalif al Hadits dapat didefinisikan sebagai berikut:[5]
الاْحاديث الهي ظاهرها معارض فيزيل λ اضاْ = اْوفق A اْ ا memp orang اْ memp bersepatan اض mempura اْ memp kepada epon olo ا orang ا orang ا, اض memp A.
“Ilmu yang membahas hadits-hadits yang tampaknya saling bertolak belakang, lalu menghilangkan pertentangan itu atau mengkompromikannya, disamping membahas hadits yang sulit dipahami atau dimengerti, lalu menghilangkan kesulitan itu dan menjelaskan hakekatnya”.
Edi Safri dalam bukunya al-Imam al-Syafi'iy mendefinisikan bahwa ilmu mukhtalif al-hadits sebenarnya merupakan teori atau cara-cara yang dirumuskan oleh para ulama untuk menyelesaikan hadits-hadits yang secara lahiriah tampak saling bertentangan agar dapat ditemukan pengkompromiannya atau penyelesaiannya sehingga maksud sebenarnya yang dituju oleh hadits-hadits itu dapat dipahami dengan baik.[6]
Adapun yang dimaksudkan dengan hadits –hadits mukhtalif adalah hadits-hadits shahih atau hasan yang secara lahiriah tampak saling bertentangan dengan hadits lainnya yang berkualitas sama, makna namun yang sebenarnya atau maksud yang dituju oleh hadits-hadist tersebut tidak bertentangan karena satu atau lainnya sebenarnya dapat dikompromikan atau dicari penyelesaiannya dalam bentuk nasakh atau
tarjih.
Dari definisi diatas, pada dasarnya makna yang bertentangan hanyalah zahirnya[7], jika diketahui makna sebenarnya, maka dengan sendirinya hadits mukhtalif iu tidak ada, karena pertentangannya hanya dari segi zahirnya saja bukan makna dan maksud yang dituju.
Maka, diperlukan Ilmu Mukhtaliful Hadits ialah ilmu yang membahas hadits-hadits yang menurutnya tampak saling berlawanan, untuk menghilangkan perlawanannya itu atau mengkompromikan keduanya, sebagaimana membahas hadits-hadits yang sukar dipahami atau diambil isinya, untuk menghilangkan kesukarannya dan menjelaskan hakikatnya.
Ulama telah memberikan perhatian serius terhadap ilmu Mukhtalif al-Hadits sejak masa sahabat, yang menjadi rujukan utama segala persoalan setelah Rosulullah wafat. Mereka melakukan ijtihad mengenai berbagai hukum, memadukan berbagai hadits, dan menjelaskan maksudnya. sehingga banyak ulama yang menyusun karya dalam bidang ini.
Ada yang mencangkup hadits-hadits yang tampak bertentangan secara keseluruhan dan ada yang hanya membatasi karyanya itu pada pengkompromian hadits-hadits yang tampak kontradiktif atau hadits yang sulit dipahami lalu menghilangkan kesulitan ini dengan menjelaskan maksudnya. Karya-karya dalam bidang Mukhtalif al-Hadits[8]
1)
Kitab Ikhtilaf al-Hadits karya Imam Muhammad ibn Idris asy-Syafi'iy (150-204H)
2)
Kitab Ta'wil Mukhtalif al-Hadits Karya Imam al-Hafidz Abdullah bin Muslim bin Qutaibah ad-dainuriy (213-276H)
Dan yang terpopuler di antara karya-karya yang sampai kepada kita adalah
3)
Kitab Musykil al-Atsar karya Imam al-Muhaddtis al Faqih Abu Ja'far Ahmad ibn Muhammad ath-Thahawiy (239-321H) yang terdiri dari empat jilid, dan dicetak di India tahun 1333 H
4) Juga kitab Musykil al-Hadits Wa Bayanuhu karya Imam al-Muhaddits Abu Bakar Muhammad ibn al-Hasan (ibn Furak) yang wafat tahun 406 H.
B.
Hadits antara Muhkam dan Mukhtalif
Hadist Muhkam yaitu hadits yang tidak memiliki saingan dengan hadits lain atau hadits yang tidak mungkin dapat dikatakan ikhtilaf, yang dapat mempengaruhi artinya. Dikatakan dengan muhkam (dapat dipakai berhukum) karena dapat di amalkan secara pasti, tanpa subhat sedikitpun.
Al-Hakim Abu 'Abdillah An-Nisabury, mengumpulkan hadits-hadits muhkam dalam satu bab dan menjeniskannya dalam Ilmu Hadits. Contoh[9]
Apa yang Harus Dilakukan?
“Dari 'Umar bin Al-Khaththab ra mengabarkan, dia berkata: “Aku mendengar Rasulullah melihat sepi: “Allah itu tidak akan menerima sembahyang tanpa bersuci dan tidak pula sedekah hasil dari penghianatan.” (Riwayat Muslim)
Sedangkan Hadits Mukhtalif (tampak berlawanan ) yang dapat dikompromikan. Kalau keduanya bisa dikumpulkan, hendaklah diamalkan kedua-duanya.[10]
Contoh Hadits yang diriwayatkan oleh 'Abdullahbin 'Amr ra:
اذابلغ اْلماء قلتين لم يحمل الخبث
“Bila air itu sebanyak doa kullah[11]tidak dapat menjadi (air) najis' (Riwayat 4 orang rawy pemilik kitab Sunan dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah)
Hadits tersebut, nampaknya bertentangan dengan hadits Abu Sa'id Al-Khudry,
قال رسول الله صلعم : ( خلق الله الماء طهورالاينجسه شي الا ما غير طعمه أوريحه)
“Rasulullah saw pernah melihat : “Allah telah menjadikan air itu suci, tidak bisa menjadi najis, selain bila berubah rasa, warna atau baunya.” (Riwayat 3 orang rawy Abu Daswud, At-Turmudzy dan An Nasa'iy dan dishahihkan oleh Ahmad )
Penjelasannya:
Hadits pertama tersebut menetapkan kesucian air sebanyak dua kullah secara mutlak. Baik berubah sifatnya, rasa dan baunya maupun tidak berubah sama sekali. Sedangkan hadits yang kedua membangkitkan kesucian air yang tidak berubah sifat-sifatnya, baik air itu sebanyak doa kullah maupun kurang dari dua kullah
Pertentangan diantara kedua Hadits diatas dengan cara pengkompromikannya ialah dengan mentakhsishkan keumuman Hadits tersebut, yaitu:
A)
Keumuman Hadits Pertama, bahwa setiap air yang mencapai jumlah doa kullah adalah suci, ditakhsishkan oleh hadits kedua, sebagai hasil pengkompromiannya ialah bahwa air yang sebanyak doa kullah itu dapat menjadi najis bila berubah rasa, warna dan baunya.
B) Keumuman Hadits kedua, tentang Kesucian air yang tidak berubah sifat-sifatnya, ditakhsish oleh hadits pertama, hingga melahirkan suatu ketetapan, bahwa air itu dapat menjadi najis, bila jumlahnya kurang dari dua kullah.
C.
Metode Pemahaman Hadits-Hadits Mukhtalif Menurut Syafi'yah dan Hanafiyah
Imam Al-syafi'iy sebagai peletak dasar Ilmu Mukhtalif al-hadits menetapkan suatu kaedah, yang selanjutnya diikuti oleh para ulama lainnya. Yaitu[12]
لا تجعل عن رسول الله حديثين مختلفين أبداإذا وجد السبيل إلى أن كونا مستعملين فلا تعطل منهما واحد لأن علينا في كلما علينا في صاحبه و لا تجعل المختلف إلا فيما لا يجوز أن يستعمل أبدا إلا بطرح صاحبه
“Jangan sekali-kali mempertentangkan hadits-hadits rosulullah yang satu dengan hadits yang lainnya selama mungkin ditemukan jalan (untuk mengkompromikannya) agar hadits-hadits tersebut dapat sama-sama diamalkan. Jangan telantarkan suatu hadits karena hadits yang lain karena kita punya kewajiban yang sama untuk mengamalkan masing-masingnya. Oleh karena itu, jangan jadikan (nilai) hadits-hadits sebagai pertentangan kecuali apabila tidak mungkin diamalkan selain harus meninggalkan salah satunya”.
Dari kaedah diatas pemahaman hadits mukhtlif menurut imam Syafi'I adalah tidak mungkin Rosulullah menyampaikan hadits-hadits yang satu dengan yang bertentangan lainnya. Kalaupun ada maka ada dua kemungkinan, pertama kekeliruan dalam menilai hadits tersebut dan kedua adalah hadits tersebut tidak disarankan lagi untuk diamalkannya
Para ulama dalam menyelesaikan hadits-hadits mukhtalif, khususnya dalam menerapkan naskh sebagai solusi penyelesaiannya memiliki pandangan yang berbeda. Perbedaan pandangan dikalangan ulama itu dapat dimasukkan ke dalam dua kelompok, sebagai berikut:
A.
Imam Syafi'i
Imam Syafi'I menyingkapi dalil yang tampak bertentangan menempuh langkah-langkah langka sebagai berikut[13]
1)
Anggota melakukan penggabungan sesama hadits-hadits yang tampak bertentangan dengan mencoba mencari berbagai aspek yang memungkinkan untuk penggabungan. Argumentasinya adalah beramal atau menerapkan kedua hadits itu jauh lebih utama daripada meninggalkan salah satunya.
Dan bentuk penyelesaian kompromi ini dapat dilakukan dengan cara penyelesaian, yaitu:
A.
Berdasarkan pemahaman dengan kaidah ushul ialah memahami hadits-hadits Rosulullah dengan memperhatikan dan mempedomani ketentuan atau kaidah-kaidah ushul terkait yang telah dirumuskan oleh para ulama.[14]
B.
Penyelesaian berdasarkan pemahaman kontekstual adalah memahami hadits-hadits Rosulullah dengan memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya dengan peristiwa atau situasi yang melatar belakangi munculnya hadits-hadits tersebut atau dengan kata lain, dengan memperhatikan dan meninjau konteksnya,[15]
C.
penyelesaian berdasarkan pemahaman korelatif maksudnya adalah hadits-hadits mukhtalif yang tampak saling bertentangan (menyangkut suatu masalah), ditinjau bersama dengan hadits lain yang terkait, dengan memperhatikan keterkaitan makna satu dengan yang lain, agar maksud atau konten yang dituju dapat dipahami dan pertentangan yang tampakdapat ditemukan pengkomromiannya .[16]
D.
Dan dengan cara
ta'wil yakni dengan cara menakwilkannya dari makna lahiriah yang tampak bertentangan dengan makna lainnya.
2)
Memberlakukan nasakh
Jika sekiranya dua hadits yang bertentangan ini tidak dapat di komrpromikan dan kedua hadits tersebut sama-sama kuat, maka dipergunakanlah prinsip nasikh
dan mansukh ; dimana salah satu dari kedua hadits itu dipandang nasikh
(terpakai) dan yang lainnya ditelah mansukh (kadaluwarsa), yaitu dengan melihat aspek sejarah yang lebih dahulu muncul dan yang kemudian datang.
3)
Memberlakukan tarjih
Bila tidak diketahui nasakh- nya maka dipakailah cara yang ketiga yakni dilihat derajat atau kekuatannya. Maka dilihat derajat atau kekuatan masing-masing dalil tersebut bila tidak sama sama dalam keadaan demikian dengan sendirinya dalil yang lebih kuat itu dijadikan sebagai dalil yang rajih sedangkan yang kurang kuat itu dijadikan dalil yang marjuh .
B.
Ulama Hanafiyah
Ulama Hanafiyah yang antara lain tokohnya adalah Abu Yusuf Muhammad bin Ahmad bin Abu Sahal as-Sarakhsi dan al-Bazdawi, menempuh cara yang berbeda dengan Imam Syafi'I dalam metode penyelesaian hadits-hadits Mukhtalif. Menurut al-Hafnawi kelompok Hanafiyah dalam memyelesaikan hadits-hadits bertentangan terlihat dengan langkah-langkah sebagai berikut :[17]
1)
Memberlakukan an-Naskh
mayoritas ulama pengikut mazhab Hanafiyah berpendapat bahwa bila seseorang melihat dengan jelas adanya pertentangan antara dua hadits, maka langkah pertama orang tersebut harus mengkaji dari aspek kronologis sejarahnya; bila dia sudah menemukan data bahwa hadits itu ada yang datang terlebih dahulu dan ada yang datang kemudian, maka dia harus menetapkan hadits yang datang terlebih dahulu itu adalah mansukh, sedangkan dalil yang datang kemudian adalah nasikh.
Dengan catatan bahwa kedua dalil tersebut memang sama derajatnya dan kekuatannya. Contoh sama-sama ayat al-Qur'an atau sama-sama hadits, maka harus sama pula kekuatannya seperti sama-sama shahih atau hasan.
2)
Memberlakukan tarjih
Pemberlakuan tarjih ini oleh ulama Hanafiyah, baru ditempuh pada saat tidak ditemukannya informasi tentang waktu munculnya dua dalil yang bertentangan
3)
Memberlakukan penggabungan dan pengkompromian
Kerena tidak diketahui naskh dan tidak dapat dikenakan tarjih
pada hadits-hadits yang terlihat bertentangan, maka dalam keadaan demikian barulah diusahakan penggabungan dan kompromian sepanjang memungkinkan
4)
Bertawaqquf
Maksud bertawaqquf ialah meninggalkan kedua dalil yang bertentangan. Langkah ini ditempuh setelah diupayakan untuk menempuh langkah ketiga sebelumnya, namun ternyata selalu menemui kegagalan.
C. Analisa dan perbandingannya
Analisa perbandingan sebagaimana telah dikemukakan bawah penerapan an-naskh terhadap hadits-hadits bertentangan ternyata memang sangat mendasar. Bila imam Syafi'I dan menjadikan an-naskh
sebagai langkah kedua dalam penyelesaian hadits-hadits yang tampak bertentangan, maka ulama Hanafiyah justru menjadikannya sebagai langkah pertama
Dilihat dari urutan langkah yang disusun oleh imam Syafi'i dalam penyelesaian hadits-hadits yang tampak bertentangan dan menempatkan nasakh sebagai langkah kedua setelah pengkompromian. Kelihatannya sudah tepat terutama dalam kaitannya dengan pemeliharaan dan pengamalan hadits sebagai sumber hukum yang kedua setalah al-Qur'an dan terpeliharalah hadits maqbul .
Urutan langkah yang disusun ulama Hanafiyah dalam menyelesaikan hadits yang tampak bertentangan lebih mendahulukan naskh dari pada al-tarjih, al-jam'u, dan
a-tawaquf sangat penting sebab dengan begitu mereka bisa menerapkan atau dapat langsung mengetahui informasi tentang mana hadits yang datang terlebih dahulu dan datang kemudian diantara hadits –hadits yang tampak bertentangan. Sehingga menjadi jelas mana hadits yang nasikh hadits yang masih tetap berlaku dan diamalkan dan mana hadits
yang mansukh , hadits-hadits tersebut sudah dibatalkan sehingga tidak dapat lagi diamalkan.[18]
Dengan demikian agaknya pendapat ini mampu memelihara orang dari kekeliruan karena ditekankan kepada dalil yang sudah dibatalkan, walaupun sebenarnya tidak perlu nasakh terhadap hadits yang tampak bertentangan. Dan mendahukan
nasakh dari pada al jam'u berakibat ada ketentuan hukum yang tidak dapat diamalkan lagi yang terdapat pada hadits hadits yang memenuhi persyaratan kriteria maqbul.
Masalah lain yang menyangkut teori Syafi'I ialah bahwa dalam teori tersebut tidak terdepat prinsip tawaqquf yang oleh para ulama lain umumnya dijadikan sebagai alternatif terakhir untuk ditempuh dalam kala menghadapi hadits-hadits yang bertentangan yang tidak dapa. t dikompromikan dan tidak pula dapat disesaikan baik dengan cara nasakh
maupun dengan cara tarjih .[19]
Setelah menganalisis kekuatan dan kelemahan metode keduanya maka pemakalah menggunakan langkah-langkah yang ditempuh imam Syafi'I dalam menyelesaikan hadits-hadits yang tampak bertentangan dengan alasan bahwa teori atau cara penyelesaian hadits-hadits mukhtalif yang dirumuskan oleh imam Syafi'I tampak mermiliki argumen yang logis .
D.
Metode Penyelesaian Hadits-hadits Mukhtalif dan Tanawwu' al Ibadah
Yang dimaksud dengan metode disini adalah cara atau langkah-langkah, jadi cara atau langkah-langkah dalam menyelesaikan hadits mukhtalif. Ada beberapa cara dalam menyelesaikan hadits-hadits mukhtalif yaitu menurut imam Syafi'i dan ulama Hanafiyah.
Imam Syafi'I melihat dari tulisan-tulisannya secara khusus membahas hadits-hadits mukhtallif tetapi ia juga memasukkan hadits-hadits terkait tanawwu al-ibadah ke dalam kategori hadits-hadits mukhtalif. Jumlah hadits-hadits mukhtalif yang terbanyak ditemukan oleh imam Syafi'i, kebetulan di bidang Ibadah karena masalah fiqh terbanyak yang timbul di kalangan masyarakat muslim adalah masalah tanawwu al-ibadah (keberagaman pelaksanaan ibadah) dan imam syafi'i mencarikan penyelesaian bagi hadits-hadits ibadah yang berupa hadits mukhtalif.[20]
Hadits-hadits tanawwu'al – Ibadah adalah hadits-hadits yang menerangkan praktek ibadah tertentu yang mengajarkan Rosulullah, akan tetapi antara satu dengan lainnya terdapat perbedaan sehingga menggambarkan adanya keragaman ajaran dalam pelaksanaan ibadah tersebut.[21]
Jadi, dapat diambil dari kesimpulan pengertian diatas hadits-hadits tanawwu'al-ibadah merupakan bagian dari hadits-hadits mukhtalif hanya saja hadits-hadits tanawwu'al ibadah khusus membahas tentang masalah Ibadah dan hadits-hadits mukhtalif membahas permasalahan yang umum.
Sebelum membicarakan penyelesaian hadits-hadits tanawwu' al-ibadah, sangat perlu diselesaikan kategori sehingga hadits-hadits tersebut dapat digolongkan pada hadits-hadits tanawwu' al-ibadah .
Pertama hadits tersebut harus bernilai maqbul (berkualitas shahih atau hasan) , sehingga hadits tersebut dapat dijadikan hujjah, diterima, dan diamalkan. Kedua, ajaran yang dibawa oleh masing-masing hadits tersebut, sekalipun terdapat perbedaan, namun pertentangan itu tidak membawa pertentangan yang tidak dapat dikompromikan atau dicarikan titik temunya. Dengan demikian hadits tanawwu' al-ibadah merupakan hadits-hadits-hadits maqbul yang keragaman ajarannya tidak bertentangan secara mutlakuler. [22]
Maka dari itu ada tiga langkah penyelesaian hadits-hadits tanawwu' al-ibadah yang dapat dilakukan, yaitu:[23]
1)
Memperhatikan kualitas atau nilai dari msing-masing hadis, apakah hadits tersebut berkuallitas maqbul ( shahih atau hasan ).jika ternyata hadits itu tidak sesuai dengan persyaratan diatas maka hadits tersebut tidak dapat dicantumkan sebagai hadits tanawwu' al ibadah.
2)
Apabila hadits tersebut telah melewati tahap pertama tadi dan telah memenuhi persyaratan. Barulah dikaji ajaran yang dibawa oleh masing-masing hadits tersebut dan perbedaan yang ada memilki pertentangan yang tidak dapat lagi dikompromikan. Bila terdapat kontradiksi seperti itu, maka hadits-hadits tersebut perlu dikaji lagi untuk mengetahui adanya kemungkinan di nasakh. Sebab tidak mungkin ada hadits-hadits Rosulullah yang bertentangan sedangkan umat islam dituntut untuk mengemalkannya.
3)
Jika telah dipastikan tidak ada kontradiksi, maka umat Islam diperbolehkan mengikuti dan mengamalkan salah satu hadits tanawwu al-ibadah yang telah dipilihnya, sebagaimana yang telah mengajarkan Rosulullah. Hal ini sesuai dengan kaedah yang ditetapkan oleh para ulama:
Tempat Pembuangan Air Bersih
Hukum asal dalam masalah ibadah yang menerima dan mengikuti ( sebagai orang yang diajarkan oleh Rosulullah SAW)
Beramal dengan hadits-hadits Tanawwu' al Ibadah
Menurut Imam Syafi'I, jika seseorang ingin mengamalkan cara dan bacaan yang lebih utama, maka perlu melihat kualitas suatu hadis. Diantara lain sebagai berikut:
1.
Melihat yang lebih banyak sanadnya
2.
Melihat riwayat yang lebih banyak menunjukkan tata cara tertentu;
3.
Melihat riwayat sanad yang termasuk ke dalam kelompok silsilah al-dzahab (dianggap lebih shahih)
Pemilihan salah satu cara atau bacaan dalam hadits yang berbeda hanyalah atas pertimbangan keyakinan seseorang, bukan karena hadits itu lemah amalannya dianggap tidak sah. Menurut imam Syafi'I, bacaan dan tata cara dalam shalat bisa saja berbeda asal didasarkan pada hadits yang shahih, karena semuanya ini berasal dari Rosulullah SAW.[24]
KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan
1.
Hadits –hadits mukhtalif adalah hadits-hadits shahih atau hasan yang secara lahiriah tampak saling bertentangan dengan hadits lainnya yang berkualitas sama, namun makna yang sebenarnya atau maksud yang dituju oleh hadits-hadist tersebut tidak bertentangan karena satu atau lainnya sebenarnya dapat dikompromikan atau dicari penyelesaiannya dalam bentuk nasakh atau tarjih.
2.
Langkah-langkah penyelesaian yang ditempuh Imam Syafi dan Ulama Hanafiyah ternyata mempunyai pandangan yang berbeda jika Imam Syafi'I mengawali langkah penyelesaiannya dengan cara pengkompromian, kemudian dengan cara nasakh dan setelah itu baru dengan cara tarjih, sedangkan ulama Hanafiyah pertama sekali mencari penyelesaian dengan cara nasakh , kemudian dengan cara tarjih setelah itu barulah mencoba dengan mengompromikannya.
3.
Hadits-hadits tanawwu'al-ibadah merupakan bagian dari hadits-hadits mukhtalif hanya saja hadits-hadits tanawwu'al ibadah khusus membahas tentang masalah Ibadah yang mengajarkan Rosulullah, akan tetapi antara satu dengan lainnya terdapat perbedaan sehingga menggambarkan adanya keragaman dalam pelaksanaan ibadah tersebut dan hadits-hadits mukhtalif membahas permasalahan yang umum.
B.
Saran
Setelah apa yang telah dipaparkan didalam makalah ini, semoga kawan-kawan malakukan kajian terhadap permasalahan hadits terutama dalam hal hadits-hadits yang tampak bertentangan Dan pemakalah meminta saran dan kritikan yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
'Ajaj al-Khatib, Muhammad, Ushul Al-Hadits , Terj.M. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007).
Rahman, Fatchur, Ikhtishar mushthalahul Hadits , (Bandung:PT Alma'arif,1991).
Ritonga, A. Rahman, Studi Ilmu-ilmu Hadits ,(Yogyakarta: Interepena Yogyakarta,2011).
Safri, Edi, al- Imam al-Syafi'iy, Metode Penyelesaian Hadits-hadits Mukhtalif (Padang: IAIN Imam Bonjol Press Padang, 1999).
Suhefri , Naskh al-Hadits Menurut Imam Asy-Syafi'I, ( Jakarta: Bina Pratama, 2006)
Qardhawi, Yusuf, Studi Kritis As-Sunah , terj.Bahrun Abubakar, (Bandung: Trigenda Karya, 1995).
Zulheldi, MemahamiHadis-hadis yang “bertentangan” Kajian kritis Tehadap hadis-hadis Basmalah dalam Shalat Jahr dan Solusinya dari Perspektif Ilmu Hadis , (Padang: Nuansa Madani, 2001).
[1]Edi Safri, al- Imam al-Syafi'iy, Metode Penyelesaian Hadits-hadits Mukhtalif (Padang: IAIN Imam Bonjol Press Padang, 1999), Cet. ke-1, h. 81
[2] Hadits maqbul adalah hadits yang kebenaran orangnya telah terbukti kuat. Hukumnya wajib digunakan sebagai hujjah dan diamalkan. Para ulama membagi hadits maqbul kepada dua bagian yaitu shahih dan hasan
[3]Edi Safri, op.cit ., h. 82
[4]
Ibid., h. 91
[5]
Muhammad 'Ajaj al-Khatib, Ushul Al-Hadits , Terj.M. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq (Jakarta: Gaya Media Pratama,2007), cet ke- 4, h.25
[6] Edi Safri, op.cit ., h. 92
[7]Terlihat secara Zahir maksudnya pengamatan secara kasat mata. Pengamatan kasat mata ini bisa jadi berbeda kesimpulannya dengan hasil pemahaman ulama.
[8]Ajaj al-Khatib, op.cit ., h.255
[9]Fatchur Rahman, Ikhtishar mushthalahul Hadits , (Bandung:PT Alma'arif,1991), cet ke-7, h. 122
[10]Fatchur Rahman, op.cit., h. 127-128
[11]1 kullah + = 250 kati, 2 kullah = 500 kati atau sepenuh tempat yang berukuran panjang, lebar dan masing-masing 1 1/4 hasta
[12]Zulheldi, MemahamiHadis-hadis yang “bertentangan” Kajian kritis Tehadap hadis-hadis Basmalah dalam Shalat Jahr dan Solusinya dari Perspektif Ilmu Hadis , (Padang: Nuansa Madani, 2001), h. 35-36
[13]Edi Safri, op.cit ., h. 97-130
[14] Ibid., h. 98
[15] Ibid., h. 103
[16]Ibid., h. 111
[17]Suhefr i, Naskh al-Hadits Menurut Imam Asy-Syafi'I, (Jakarta: Bina Pratama, 2006), h. 69-0
[18] Ibid ., h.72
[19]Edi Safri, op.cit ., h. 142
[20] Ibid ., 85
[21]Edi Safri, op.cit ., h. 84
[22]Zulheldi, op.cit ., h. 45
[23]Ibid., h. 46
[24]A. Rahman Ritonga, Studi Ilmu-ilmu Hadits,(Yogyakarta: Interepena Yogyakarta,2011), h.257
0 Comment