Allah SWT telah mengutus Rasulullah dengan persiapan
yang matang untuk memikul amanat untuk memperbaiki Akhlak manusia di permukaan
bumi, untuk itu ditanamkanlah aqidah yang mantap dan di ajarkan tentang
hukum-hukum di dalam islam kepada manusia. Untuk itu di turunkanlah Al qur’an
sebagai pedoman dan petunjuk kepada manusia melalui Rasulullah SAW.
Rasulullah diperintahkan untuk menjelaskan semua
tentang apa yang diturunkan Allah SWT kepadanya. Dan Rasulullah menjelaskan
kepada umatnya melalui sunnah dan hadis-hadis. Kedudukan hadis-hadis ini dalam
kehidupan kaum muslimin sangat besar pengaruhnya. Karena itu ada sebahagian
dari golongan orang yang ingin menggunakan hadis-hadis ini untuk mendukung
kepentingan diri dan kelompok tertentu. Sehingga bermunculanlah hadis-hadis
palsu yang disebut dengan hadis maudhu’ yang menimbulkan kekacauan ditengah
umat.
Untuk lebih memahami hadis maudhu’ dan karakteristik dari kemaudhu’annya, maka penulis akan mencoba menjelaskan tentang hadis maudhu’, latar belakang kemunculan serta karakteristik dari hadis tersebut.
PEMBAHASAN
1. Pengertian
Hadis Maudhu’
Kata maudhu’ adalah isim maf’ul dari يضع -يضع - وضع.yang menurut bahasa berarti الإسقاط letakkan atau menyimpan), والإتلاق الإفتراء (mengada-ada
atau membuat-buat), المتروك أي الترك ditinggalkan).
Sedangkan secara terminologis, hadis maudhu’ di definisikan sebagai
berikut:
عمدا .مص الله رسول على المكذوب
المصنوع المختلق
“Hadis yang dibuat-buat atau di ciptakan, yang didustakan atas nama
Rasulullah SAW secara sengaja.”
يقره أو يفعله أو يقله لم مما وكذبا إختلاق مص اللهرسول
إلى مانسب
“ Hadis yang di sandarkan kepada Rasulullah SAW secara dibuat-buat dan
dusta, padahal Beliau tidak mengatakan, melakukan atau menetapkan”[1].
Dari definisi diatas, dapat di ambil kesimpulan bahwa apa saja yang di nisbahkan, atatu di sandarkan kepada Rasulullah, baik yang bersifat positif seperti untuk kepentingan dakwah dan ibadah, maupun yang bersifat negatif seperti sengaja untuk menyesatkan orang lain atatu untuk kepentingan egoisme kelompok, jika Rasul sendiri tidak menyabdakannya, itu adalah Hadist maudhu’. Bahkan ada ulama yang mengatakan, bahwa yang termasuk kategori hadis ini bukan hanya yang disandarkan kepada Rasulullah SAW saja, akan tetapi juga keada para sahabat dan Tabi’in. seperti pada definisi dibawah ini:
إلى أو عليه اإفراء مص الله رسول على المنسوب المكذوب المختلقالخبر
إلى أو الصحابي
“Berita yang dibuat-buat yang disandarkan kepada Rasulullah SAW dengan
sengaja berdusta atas namanya, atatu atas nama sahabat dan tabi’in.”[2]
2. Sejarah
kemunculan, latar belakang dan perkembangannya
Selama umat islam umat Islam berada dibawah pimpinan
empat khalifah Rasyidin, hadis Nabi masih murni dan tidak termasuki kedustaan
sama sekali. Ketegangan antara Ali bin Abi Thalib dan muawiyah berdampak besar
terhadap pecahnya umat dan munculnya aliran keagamaan. Masing-masing ingin
melegitimasi pendapat mereka dengan Al Qur’an dan sunnah. Karena mereka tidak
menemukan legitimasi tersebut sebahagian dari mereka mencoba mentakwilkan Al
Qur’an dan penafsirkan hadis-hadis dengan pengertian yang sebenarnya tidak
dikandungnya. Dan ketika sebagian dari mereka tidak menemukan apa yang mereka
cari karena banyaknya para pakar yang hapal Al Qur’an dan As sunnah, maka
mereka peralih pada pola pemalsuaan dan pendustaan atas diri Rasulullah SAW.
Sejak saat itu muncullah hadis-hadis tentang keutamaan Khalifah Rasyidin yang
empat dan lain-lainya dari para pemimpin dan pemuka aliran, dan juga hadis
pengukuhan kelompok dan aliran tertentu. Perlu digaris bawahi bahwa pemalsuaan
hadis belum mencapai puncak pada abad pertama dan kedua hijriah. Hadis-hadis
maudhu’ ini makin bertambah banyak dengan bertambahnya bid’ah dan pertikaian.[3]
Berdasarkan data sejarah yang ada, pemalsuan hadis tidak hanya dilakukan oleh orang-orang islam, akan tetapi juga dilakukan oleh orang-orang non-Islam. Ada beberapa motif yang mendorong mereka membuat hadis, antara lain:
a.
Pertentangan
Politik
Perpecahan
umat Islam yang diakibatkan politik yang terjadi pada masa kekhalifahan “Ali
bin Abi Thalib” besar sekali pengaruhnya terhadap perpecahan umat ke dalam
beberapa golongan dan kemunculan hadis-hadis palsu. Masing-masing golongan
berusaha mengalahkan lawan dan memmpengaruhi orang-orang dengan membawa-bawa Al
Qur’an dan sunnah.
Masing-masing
kelompok yang berusaha mencari dalil kedalam Al Qur’an dan sunnah, dalam rangka
mengunggulkan kelompok atau mazhabnya masing-masing. Ketika tidak ditemuinya,
maka mereka mulai membuat pernyataan-pernyataan yang disandarkan pada Nabi SAW.
Dari sinilah Hadis palsu mulai berkembang. Materi hadis palsu yang pertama
mengangkat tentang keunggulan seseorang dan kelompoknya.[4]
Menurut
Ibnu Abi Al Haddad dalam ‘Syarah Nahj Al Balaghah”, sebagaimana dikutip oleh
Mushthafa Al Siba’i, bahwa pihak yang pertama-tama membuat hadis palsu adalah
dari golongan syi’ah dan golongan Ahlu Al Sunnah (Jumhur Ulama) menandinginya
dengan hadis-hadis lain yang juga maudhu’.[5]
Pada
waktu itu karena peretentangan politik, terdapat 3 kelompok besar, yaitu:
syi’ah, Khawarij, dan Ahlu al sunnah(jumhur ulama). Sedangkan yang paling
banyak memalsukan hadis adalah sekte Rafidhah dari kelompok Syi’ah.[6]
Sedangkan
kaum Khawarij tidak terdapat riwayat yang tegas yang menyatakan bahwa kaum
Khawarij membuat hadis palsu. Bahkan menurut pendapat yang kuat, bahwa latar
belakang ketidakan mereka dalam membuat hadis palsu adalah keyakinan mereka
bahwa pelaku dosa besar adalah kafir, dan berdusta termasuk dosa besar. Bahkan
banyak kabar yang mengukuhkan bahwa mereka merupakan kelompok yang paling jujur
dalam meriwayatkan hadis. Dalam hal ini abu Daud mengatakan:”Di antara pengikut
hawa nafsu, tidak ada aliran yang lebih shahih hadisnya di bandingkan
Khawarij.”[7]
b.
Usaha
Kaum Zindik
Pada masa itu negara Islam telah mampu meruntuhkan dua
negara adikuasa, yaitu Kisra dan Qaishar dan mampu meredam raja-raja dan
amir-amir yang bertindak sewenang-wenang terhadap wilayah kekuasaan mereka
dengan cara menyiksa, menjarah harta benda dan menjadikan budak warganya. Di
antara para penguasa itu ada kelompok-kelompok khusus, yaitu pihak-pihak yang
mengambil keuntungan dan mereka bersikap ekstrem. Tatkala Islam telah tersebar
luas, maka masyarakatnya mulai merasakan nikmatnya kemerdekaan dan mendapat
perlakuan yang manusiawi. Pada saat yang sama penguasa yang kehilangan
kekuasaannya tidak kunjung mendapatkan posisi. Karenanya mereka mendekati Islam
dan tunduk.Karena penguasa ini tidak mampu merealisasikan keinginannya dengan
senjata, maka mereka mencoba menjauhkan masyarakat dari akidah yang baru ini,
dan menggambarkan Islam dan ajaran-ajaranya dengangambaran yang buruk, baik
dalam akidah maupun dalam ibadahnya, serta pemikiran-pemikirannya. Mereka
muncul dengan tampilan yang beragam dan berada dalam kelompok yangberagam pula.
Hanya saja, upaya-upaya mereka itu luluh di hadapan kekuatan Islam, keluhuran
tujuan-tujuannya, kesucian aqidahnya, dan kecermatan syari’ahnya, serta
dihadapan kegigihan para ulamanya.[8]
Seorang zindik
yang telah memalsukan banyak hadis adalahAbd Al Karim Ibn Auja yang di hukum
mati oleh Muhammad bin Sulaiman bin
‘Ali, Waliwilayah Basrah. Ketika Hukuman akan di laksanakan dia mengatakan
”Demi Allah saya telah membuat hadis palsu sebanyak 4000 hadis”.Hadis palsu ini
telah tersebar ditengah masyarakat. Hammad bin Zaid mengatakan “Hadis yang dibuat
kaum zindiq ini berjumlah 12.000 hadis”.[9]
Contoh hadis palsu yang mereka buat:
a. Tuhan
akan turun di hari ‘Arafah pada sore hari, naik unta yang berwarna
kehijau-hijauan. Dia menyalami penunggang unta dan merangkul pejalan kaki.
b. Allah
swt menciptakan malaikat dari bulu pangkal tangan dan bulu dada-Nya.[10]
Akan tetapi hadis-hadis palsu itu tidaklah tersamar
dari tokoh-tokoh hadis. Sehingga mereka menjelaskannya dan melacak para
pendusta yang memalsukannya.[11]
c.
Perbedaan
Ras, dan Fanatisme Suku, negara dan Imam.
Penguasa Bani Umayyah dalam menjalakan roda pemerintahaan dan memudahkannya, sebahagian bertumpu pada bangsa Arab pada khususnya. Sebahagian mereka sangat fanatik terhadap bangsa arab sehingga memandang kaum muslimin non arab dengan pandangan yang tidak sejalan dengan jiwa Islam, dan kaum mawali (kaum muslimin non Arab) merasakan sikap tersebut. Akhirnya mereka mengupayakan persamaan antara mereka dengan orang-orang arab, dan mengadakan pergerakan untuk mencapai hal tersebut. Di samping itu, mereka juga membalas pandangan bangsa Arab dengan angkuh dan sombong untuk mengangkat martabat mereka.Contoh Hadis palsunya[12], yaitu:
a.
“Sesungguhnya
percakapan mereka yang ada di sekitar ‘Arasy adalah dengan Bahasa Parsi” [13]
b.
“Percakapan
yang paling dibenci oleh Allah adalah dengan Bahasa Persi, dan percakapan para
penghuni surga adalah dengan bahasa Arab[14]”
Selain itu ada di
antara meraka yang memalsukan hadis karena negara dan imam, contoh hadis
palsunya:
c.
“Empat
kota yang termasuk kota-kota di surga adalah Makkah, Madinah, Baitul Maqdis dan
Damaskus” [15]
d.
“
Di kemudian hari, akan datang seorang umat-Ku yang bernama Abu Hanifah bin
Mu’man. Ia ibaratlan obor bagi umatku”[16]
e.
“Di
kemudian hari akan datang seorang umat-Ku yang bernama Muhammad bin Idris(imam
Syafi’i), ia akan lebih menimbulkan mudarat kepada umat-Ku di bandingkan
iblis.”[17]
d.
Mempengaruhi
kaum awam dengan kisah dan nasehat atau para tukang cerita.
Sebahagian tukang cerita tidak memiliki keinginan
selain sekadar mengumpulkan orang-orang. Lalu membuat hadis-hadis palsu yang
membuat mereka lega dan tertarik, menggerakan keinginan-keinginan mereka dan
memberikan harapan-harapan bagi mereka. Di antara tikangcerita tersebut ada
yang melakukan hal-hal tersebut untuk mendapatkan pemberian-pemberian dari
pendengarnya. Mereka tidak mengindahkan adanya dosa sama sekali. Dan anehnya
para tukang cerita itu mendengarkan telinga-telinga yang akan mendengarkan
ceritanya, membenarkan dan membela mereka dari orang-orang bodoh yang tidak
punya keinginan untuk mencek dan menelitinya.[18] Contoh hadis palsunya:
”barang siapa yang mengucapkan La Ilaha Illallah maka Allah akan
menciptakan satu burunng dari setiap katanya, yang paruhnya dari emas dan
bulunya dari marjan”
e.
Senang
dengan kebaikan tanpa adanya pengetahuan agama yang cukup.
Sebahagian orang shaleh dan zhahid melihat kesibukan
masyarakat terhadap dunia dan meninggalkan akhirat. Lalu mereka membuat hadis
palsu berkenaan dengan tarhib dan targhib, dengan harapan mendapat pahala dari
Allah SWT. Seandainya mereka menelaah sebagaian dari hadis nabawi, tentulah
mereka merasa tidak perlu membuat hadis palsu. Rasulullah bersabda,” Barang
siapa berdusta atas diriku secara sengaja, maka hendaklah mereka mempersiapkan
tempatnya di neraka.”
Diantara hadis palsu yang mereka hasilkan aalah
Hadis-hadis tentang keutamaan surat dalam Al Qur’an, Sebahagian masalah
perdukunan, dll[19].
f.
Menjilat
Penguasa
Ada di antara pakar hadis memalsukan hadist untuk
menyenangkan kecenderungan para khalifah. Ini pernah terjadi pada masa Khalifah
bani Abbbasyiah. Diantara hadis palsu yang di buat adalah: “ Tidak ada
perlombaan kecuali pada panah, muzah(sayap burung), dan kuku kuda”. Hadis ini
dibuat oleh Ghiyat denga maksud untuk mendapatkan simpati atau Hadiah dari
Khalifah Al Mahdy. Setelah mendengar hadits tersebut Al Mahdi memberikannya
hadiah 10.000 dirham. Namun Ketika Ghiays Hendak Membalik pergi, Al Mahdi
menegurnya seraya berkat” Aku yakin itu sebenarnya adalah dusta atas nama
Rasulullah”. Menyadari hal tersebut, saat itu juga Khalifah memerintahkan untuk
membunuh burung merpatinya.[20]
Para
ulama mengambil langkah untuk memerangi pemalsuan hadits dan menghindarkan
upaya para pemalsu. Untuk itu mereka menggunakan metode yang cukup unik yang
kesimpulannya sebagai berikut:
a.
Meneliti
karakteristik para rawi dengan mengamati tingkah laku dan riwayat mereka,
sehingga untuk meneliti tersebut mereka rela meninggalkan keluarga dan tanah
airnya. Mereka rela dengansedikit bekal dan pakaian usang dalam mencari sunnah
dan mengenal para rawinya. Sehingga mereka dapat membedakan anatara rawi yang
tsiqat dan rawi yang jujur tapi mengalami kekacauan hapalannya, serta rawi yang
pendusta dan fasik.
b.
Memberi peringatan keras pada para pendusta
dan mengungkapkan kejelekan mereka, mengumumkan kedustaan mereka kepada para
pemuka masyarakat.
c. Mencari
sanad hadis, sehingga mereka tidak menerima hadis yang tidak bersanad,bahkan
hadis yang demikian mereka anggap batil.
d. Menguji
kebenaran hadis dengan membandingkan dengan riwayat yang melalui jalur lain dan
hadis-hadis yang telah di akui keberadaannya.
e.
Menetapkan
pedoman-pedoman untuk mengungkapkan hadis maudhu’
f. Menyusun
kitab himpunan hadis-hadis maudhu’ untuk memberi menerangan dan peringatan
kepada masyarakat tentang keberadaan hadis-hadis tersebut.[21]
Di kalangan ulama, terdapat beberapa perbedaan pandangan dalam
menentukan bobot kemaudhu’an. Perbedaan ini timbul karena adanya, perbedaan
pendekatan atau metode panilaian. Menurut Imam Adz Dzahabi, hadis maudhu
mempunyai 3 tingkatan, yaitu:
a. Hadis
maudhu’ yang nilai kemaudhu’annya di sepakati secara bulat oleh muhaddisin.
Biasanya di ketahui dari pengakuan perawi atatu berdasarkanhasil pengujian dari
berbagai aspek.
b. Hadis
maudhu’ yang nilai kemaudhu’annya ditetapkan berdasarkan kesepakatanmayoritas
ulama,bukan kesepakatan bulat seluruh ulama. Sementara,sebahagian ulama lain
menilai hadis itu bukan maudhu’ tetapi hadis yang di antara sarat shahihnya ada
yang gugur saja.
c. Hadis maudhu’ yang kemaudhu’annya diperselisihkan oleh muhaddisin.Jmhur ulama menilai hadis yang seperti ini sebagaihadis yang diduga maudhu’(Wahm al maudhu). Sebahagian muhaddisin lain menilai hadis yang dusta(kidzb).[22]
3.
Karakteristik kepalsuan hadis pada sanad
(munzier:
189)Ada beberapa patokan yang bias dijadikan alat untuk mengidentifikasibahwa
hadis itu palsu atau sahih, di antaranya:
a.
Dalam
Sanad
1.
Atas
dasar pengakuan pembuata hadis palsu.
Sebagaimana
pengakuan Abu’Ishmah Nuh bin Abi Maryam bahwa dia telah membuat hadis tentang
Fadhillah membaca Al Qur’an, surat demi surat, Ghiyas bin Ibrahim, dan
lain-lain. Dalam kaitannya dengan masalah ini Al Suyuthi mengatakan, bahwa
surat-surat Al Qur’an yang di dapati dalam hadis-hadis sahih mengenai
keutamaannya hanyalah surat Al Fatihah, Al Baqarah, Ali Imran, Al an ‘am dan
tujuh surat yang panjang ( dari surat Al baqarah sampai surat Al Bara’ah),
surat Al Kahfi, surat Yasin, Al Dukhan, Al Mulk, Al Zalzalah, An Nur, Al
Kafirun, Al Ikhlas dan al Mu’awidzatain. Selain terhadap surat tersebut
hadisnya bukanlah hadis shahih.
2.
Adanya
Qarinah (dalil) yang menunjukkan kebohongannya.
Seperti menurut
pengakuannya ia meriwayatkan dari seorang syekh, tapi ternyata ia belum pernah
betemu secara langsung; atau pernah menerima hadis di suatu daerah, tapi ia
belum pernah melakukan rihlah (perjalanan) ke daerah tersebut. Atau pernah
menerima hadis dari seorang syekh tapi syekh tersebut di ketahui telah
meninggal dunia ketika ia masih kecil, dan lain sebagainya.
3. Meriwayatkan Hadis sendirian, sementara diri
rawi dikenal sebagai pembohong. Sementara itu tidak di temukan dalam riwayat
lain. Maka yang demikian itu ditetapkan sebagai hadis Maudhu’. [23]
4. Karakteristik
kepalsuan hadis pada matan
Dalam
matan
1. Buruknya
redaksi Hadis, padahal Nabi Muhammad SAW adalah seseorang yang fasih dalam
berbahasa, santun dan enak dirasakan. Dari redaksi yang jelek ini akan
berpengaruh terhadap makna atau pun maksud dari Hadis Nabi SAW. Kecuali apabila
si perawi menjelaskan bahwa hadis itu benar-benar menunjukan datangnya dari
Nabi SAW.
2. Maknanya
rusak.
Ibnu
Hajar menerangkan bahwa kejelasan lafaz ini dititikberatkan pada kerusakan arti.
3. Matannya
bertentangan dengan akal atau kenyataan, bertentangan dengan al Qur’an atatu
hadis yang lebih kuat, atau ijma’. Seperti hadis yang menyebutkan bahwa umur
dunia 700 tahun. Hadis itu bertentangan dengan QS. Al A’raf ayat 187, yang
intinya bahwa umur dunia hanya diketahui oleh Allah SWT.
4. Matannya
menyebutkan janji yang sangat besar atas perbuatan yang kecil atau ancaman yang
yang sangat besar atas perbuatan yang kecil. Seperti hadis yang menyatakan
bahwa anak hasil perzinaan tidak masuk surge hingga tujuh turunan. Ini
menyalahi QS. Al an’am ayat 164 yang menyatakan bahwa:
Artinya:
“ Tidaklah seseorang memikul dosa orang lain”
5. Hadis
yang bertentangan dengan kenyataan sejarahyang benar-benar terjadi di masa
Rasulullah SAW, yang jelas tampak kebohonannya. Seperti hadis tentang ketentuan
jizyah (pajak) pada penduduk Khaibar. Ada beberapa hal yang menjadi kelemahan
hadis tersebut. Pertama, dikatakan bahwasannya hal itu diriwayatkan dari Sa’ad
ibn Mu’adz, padahal Sa’ad telah meninggal sebelum perang Khandaq. Kedua, kewajiban
jizyah saat itu belum di terapkan.
6. Hadis
yang terlalu melebih-lebihkan salah satu sahabat, seperti hadis:
Bahwasannya Nabi SAW memegang tangn Ali bin Abi Thalib di suatu majlis di anatara para sahabat yang lain….kemudian Nabi bersabda: “Inilah wasiatku dan Saudaraku, dan Khalifah setelahku.”Kemudian sahabat yang lain sepakat.Hadis tersebut jelas kepalsuannya.[24](munzier 190-191)
Karya-karya
yang populer di bidang hadis maudhu’
Upaya ulama dalam menjaga hadis dari kepalsuan tampak
dalam berbagai karya, baik berkenaan dengan nama-nama sahabat, sejarah para
perawi, nama-nama asli, kun-yah, laqab dan nisbat, al Jarh wa at ta’dil, para
pemalsu hadis-hadis dan hadis-hadis hasil pemalsuan mereka. Di
antara karya-karya yang terpopuler tentang hadis maudhu’ adalah:
- Tadzkirah al
Muadhu’at karya Abu al Fadhl Muhammad Ibn Thahir al
Maqdisiy(448-507H).Meliau menyusun secara alfabetis, berisi hadis beserta
imam yang menjarh perawinya. Di cetak di Mesir pada tahun 1323H.
- Al Muadhu’at Al Kubra karya abu al Faraj
Abdurrahman Ibn al Jauziy(508-598H), terdiri dari 4 jilid. Beliau terlalu
longgar dalam memberikan penilaian maudhu’ atas sebagian hadis. Oleh
karena itu ulama banyak mengkritik karya ini.
- Al ba’its ala al
khalash min hawadits al Qashshash karya al Hafizs Zainuddin Abdurrahim al
Iraqiy(725—806H). As Suyuthy telah meringkasnya di dalam karyanya Tahzir
al khawash Min Akhadzib al Qashashash, pada sub bab ke sembilannya dan
memberikan beberapa tambahan. Kitab As Suyuthiy itu telah di cetak di
Mesir pada tahun 1351 H.
- Al La’aliy al
mashnu’ah fi al ahadis al-maudhu’ah
karya al Hafidz Jalaluddin as Suyuthiy (849-911H), yang telah di cetak
beberapa kali.
- Tanzih asy
Syari’ahal Marfhu’ah’an al Akhbar Asy Syani’ah al maudhu’ah karya Abu Al
Hasan Ali Ibn Muhammad (ibn Iraqiy) Al Khannaniy yang wafat tahun 963H,
merupakan karya lengkap yang berisi tambahan dan susunan atas karya
As-Suyuthiy. Di cetak di Mesir pada tahun 1378 H, terdiri dari 2 jilid.
- Al Fawa’id al
Majmu’ah Fi al-Ahadist al-Maudhu’ah karya al-Qadhiy Abu Abdillah Muhammad
Ibn Ali asy-Syaukaniy (1173-1255H). Beliau banyak mengutip karya-karya
terdahulunya. Hanya saja beliau terlalu longgar dalam menilai maudhu’
sebagian hadits. Didalamnya beliau memasukkan sebagian hadist maqbul. Hal
ini di ingatkan oleg SayyidAbdul Hayyi al-laknawiy di dalamkitab Dzafar
al-amaniy. Kitab al-Fawa’id dicetak di Mesir pada tahun 1389H/1960M.
- Di samping
karya-karya itu, ulama juga menyusun berbagai karya tentang hadis yang
populer ditengah masyarakat dengan memberikan penjelasan mana yang kuat
dan mana yang lemah, dan mana pula yang maudhu’. Yang terkenal antara lain
Al Maqashish Al Hasanah Fi Bayan Katsir Min al Ahadist al Musytaharah Ala
al Alsinah karya al Hafidz al-Mu’arrikh Muhammad Ibn Abdurrahmanas
Sakhawiy (831-902H), yang di susun secara alfabetis dan sistematis,
merupakan kitab yang baik dan banyak mengandung faedah, di cetak di Mesir
tahun 1375 H.[25] (ajad al khatib: 371-372)
PENUTUP
Dari
penjelasan-jelasan dalam bahasan tadi dapat disimpulkankan bahwa hadis maudhu’
timbul karena adanya:
1.
Pertentangan
Politik
2.
Usaha
Kaum Zindik
3.
Perbedaan
Ras, dan Fanatisme Suku, negara dan Imam.
4.
Membuat
cerita untuk mempengaruhi kaum awam dengan kisah dan nasehat (para tukang
cerita).
5.
Senang
dengan kebaikan tanpa adanya pengetahuan agama yang cukup.
6.
Menjilat
Penguasa
Dan
secara umum, salah satu cara untuk dapat mengetahui hadis-hadis palsu ini
adalah melalui:
1.
Karakteristik
sanadnya.
2.
Karakteritik
matannya.
Sebagai
penutup, penulis mohon maaf atas segala keterbatasan, baik itu dalam metode
penulisan maupun isinya. Besar harapan menulis agar pembaca memberikan kritikan
dan saran agar ada perbaikan kearah yang lebih baik. Mudah-mudahan tulisan ini
bermanfaat.
[1] Muhammad, ‘Ajjaj
Al-Khathib, Pokok-pokok Ilmu Hadits,
Judul asli Ushul Al Hadits, Terj.
Qodirun Nur, Jakarta: Gaya Media
Pratama, 1998 ,h.352
[2] Utang, Ranuwijaya, Ilmu Hadis, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996,h.187
[3] Muhammad, ‘Ajjaj Al-Khathib, Pokok-pokok Ilmu Hadits, Judul asli Ushul Al Hadits, Terj. Qodirun Nur,
Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998 ,h.353
[4] Munzier, Suparta, Ilmu Hadis, Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada,1993,h.181-189
[5] Munzier, Suparta, Ilmu Hadis, Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada,1993,h.181-189
[6] Zainimal, Ulumul Hadis, Padang: The Minangkabau Foundation, 2005,h.211
[7] Muhammad, ‘Ajjaj
Al-Khathib, Pokok-pokok Ilmu Hadits,
Judul asli Ushul Al Hadits, Terj.
Qodirun Nur, Jakarta: Gaya Media
Pratama, 1998 ,h.357
[8] Muhammad, ‘Ajjaj Al-Khathib, Pokok-pokok Ilmu Hadits, Judul asli Ushul Al Hadits, Terj. Qodirun Nur,
Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998 ,h.358
[9] Munzier, Suparta, Ilmu Hadis, Jakarta: PT.RajaGrafindo
Persada,1993,h.184
[10] Zainimal, Ulumul Hadis, Padang: The Minangkabau Foundation, 2005,h.214
[11] Muhammad, ‘Ajjaj Al-Khathib, Pokok-pokok Ilmu Hadits, Judul asli Ushul Al Hadits, Terj. Qodirun Nur,
Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998 ,h.358
[12] Muhammad, ‘Ajjaj Al-Khathib, Pokok-pokok Ilmu Hadits, Judul asli Ushul Al Hadits, Terj. Qodirun Nur,
Jakarta: Gaya Media
Pratama, 1998 ,h.358-359
[13] Muhammad, ‘Ajjaj Al-Khathib, Pokok-pokok Ilmu Hadits, Judul asli Ushul Al Hadits, Terj. Qodirun Nur,
Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998 ,h.359
[14] Muhammad, ‘Ajjaj Al-Khathib, Pokok-pokok Ilmu Hadits, Judul asli Ushul Al Hadits, Terj. Qodirun Nur,
Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998 ,h.359
[15] Muhammad, ‘Ajjaj Al-Khathib, Pokok-pokok Ilmu Hadits, Judul asli Ushul Al Hadits, Terj. Qodirun Nur,
Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998 ,h.359
[16] Zainimal, Ulumul Hadis, Padang: The Minangkabau Foundation, 2005,h.215
[17] Munzier, Suparta, Ilmu Hadis, Jakarta: PT.RajaGrafindo
Persada,1993,h.185
[18] Muhammad, ‘Ajjaj Al-Khathib, Pokok-pokok Ilmu Hadits, Judul asli Ushul Al Hadits, Terj. Qodirun Nur,
Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998 ,h.360
[19] Muhammad, ‘Ajjaj Al-Khathib, Pokok-pokok Ilmu Hadits, Judul asli Ushul Al Hadits, Terj. Qodirun Nur,
Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998 ,h.363
[20] Munzier, Suparta, Ilmu Hadis, Jakarta: PT.RajaGrafindo
Persada,1993,h.188
[21] Nuruddin, ‘itr, ‘Ulum Al-Hadits 2, Judul asli Manhaj An-Naqd Fii’Uluum Al-Hadits,
Terj. Mujiyo, Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 1997.h. 76-78
[22] Mohammad, Najib, Pergolakan Poitik Umat Islam Dalam
Kemunculan Hadis Maudhu, Bandung: Pustaka Setia, 2001,h. 48
[23] Munzier,
Suparta, Ilmu Hadis, Jakarta:
PT.RajaGrafindo Persada,1993,h.189
[24] Munzier, Suparta, Ilmu Hadis, Jakarta: PT.RajaGrafindo
Persada,1993,h.190-191
[25] Muhammad, ‘Ajjaj
Al-Khathib, Pokok-pokok Ilmu Hadits,
Judul asli Ushul Al Hadits, Terj.
Qodirun Nur, Jakarta: Gaya Media
Pratama, 1998 ,h.371-372
0 Comment