Hadits adalah sumber hukum kedua setelah Kitabullah,
Al-Qur’an. Posisi penting ini didudukinya tak lain karena fungsinya sebagai
penjelas, perinci dan petunjuk praktis penerapan Al-Qur’an dalam kehidupan
sehari-hari. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan bila dikatakan pengamalan
hadits merupakan salah satu bentuk ketaatan kepada Allah SWT.
Namun sebelum kita merealisasikan ketaatan kita kepada
Allah SWT dalam bentuk pengamalan dari hadits-hadits, perlu bagi kita untuk
mengenali terlebih dahulu derajat suatu hadits. Secara garis besar, hadits
dibagi menjadi dua yaitu shahih dan dha’if, meskipun ada ulama yang membaginya
menjadi tiga, disamping shahih dan dha’if, ada yang disebut hasan.
Jika suatu hadits itu shahih, maka tidak dipermasalahkan dalam hal pengamalannya, begitu pula dengan hadits hasan. Tetapi berbeda dengan hadits dha’if. Ada sebagian ulama membolehkannya dan ada juga yang menolak untuk mengamalkan hadits dha’if ini. Berikut akan dibahas masalah-masalah yang berkaitan dengan hadits dha’if, pengertian, juga pembagiannya, serta kehujjahannya.
HADITS DHA’IF
A.
Pengertian Hadits Dha’if
Kata dha’if menurut bahasa, berarti yang lemah,
sebagai lawan kata dari qawiy, yang kuat. Sebagai lawan kata dari shahih, kata dha’if juga berarti saqim
(yang sakit). Jadi secara bahasa hadits dha’if berarti hadits yang lemah, yang
sakit, atau yang tidak kuat.[1]
Secara terminologis, para ulama mendefenisikannya sebagai
berikut:
a.
An-Nawawi mendefenisikan dengan
:
ما لم يو جو جد فيه شر و ط الصحة و لا شرو ط الحسن
b.
Menurut Dr. Nuruddin ‘Itr
ما فقد شرطا من شر و ط الحد يث المقبول
-
Rawinya adil
-
Rawinya dhabith, meskipun tidak
sempurna
-
Sanadnya bersambung
-
Padanya tidak terdapat suatu
kerancuan
-
Padanya tidak terdapat ‘illat
yang merusak
-
Pada saat dibutuhkan, hadits
yang bersangkutan menguntungkan (tidak mecelakakan).[3]
B.
Sebab-sebab Hadits
Dinilai Dha’if: Versi Muhammad ‘Ajjaj Al-Khatib dan Versi Nuruddin ‘Itr
Menurut Muhammad ‘Ajjaj Al-Khatib, sebab-sebab
kedha’ifan bisa dikembalikan kepada salah satu diantara dua sebab pokok, yaitu:
ketidakmuttashilan dan selain ketidakmuttashilan sanad.[4]
Pertama, hadits-hadits dha’if karena
ketidakmuttashilan sanad, yaitu :
1.
Hadits Mursal
Hadits mursal adalah hadits yang
dimarfu’kan oleh seorang tabi’iy kepada Rasul SAW, baik berupa sabda, perbuatan
maupun taqrir, baik tabi’i itu kecil atau besar.
Hadits mursal menurut ulama fiqih dan
ushul adalah hadits yang perawinya melepaskannya tanpa menjelaskan sahabat yang
ia ambil riwayatnya.
Ahli hadits berpendapat bahwa hadits yang diriwayatkan oleh sahabat-sahabat kecil, seperti Ibn Abbas dan lain-lain yang tidak mereka dengar atau tidak mereka saksikan langsung dari Nabi SAW, tetapi mereka meriwayatkan dari sahabat lain dari Nabi SAW, termasuk mursal, bila mereka tidak menyebutkan perawi-perawi yang mereka ambil riwayatnya. Mereka menyebutkan sebagai mursal shahabiy. Ahli hadits menilai bahwa mursal shahabiy dihukumi maushul. Sebab kadang-kadang, sebagian sahabat meriwayatkan dari sebagian yang lain. Dan seluruh mereka bersifat adil, sehingga kemajhulan mereka tidak membawa pengaruh negatif.[5]
2.
Hadits Munqathi’
Hadits Munqathi’ adalah hadits yang dalam sanadnya gugur satu orang perawi dalam satu tempat atau lebih, atau didalamnya disebutkan seorang perawi yang mubham. Dari segi gugurnya seorang perawi, ia sama dengan hadits mursal, hanya saja, kalau hadits mursal gugurnya perawi dibatasi pada tingkatan sahabat, sementara dalam hadits munqathi’ tidak ada batasan seperti itu. Jadi, setiap hadits yang dari sanadnya gugur satu orang perawi baik di awal, di tengah ataupun di akhir disebut munqathi’. Dengan demikian, hadits mursal masuk dalam salah satu bentuk hadits munqathi’.
3.
Hadits Mu’dhal
Yaitu hadits yang dari sanadnya gugur
dua atau lebih perawinya secara berturut-turut. Termasuk jenis ini adalah
hadits yang dimursalkan oleh tabi’
at-Tabi’iy. Hadits ini sama, bahkan lebih rendah dari hadits munqathi’.[6]
Salah satu contoh:
Diriwayatkan dari sebagian ahli
hadits perkataan para penulis fiqh:
“Rasululah SAW bersabda begini-begini. Hadits ini mu’dhal karena diantara para penulis itu dengan Rasulullah SAW, terdapat dua perawi atau lebih. Padahal sebagian besar penulis fiqh ada pada masa-masa sesudah abad tabi’in.
4.
Hadits Mudallas
Tadlis, secara etimologis berasal dari akar kata “ad-Dalas” yang berarti “adz-Dzulmah” (kezaliman). Tadlis dalam jual beli berarti menyembunyikan aib barang dari pembelinya. Dari sinilah diambil pengertian tadlis dalam sanad. Karena keduanya memiliki kesamaan alasan, yakni menyembunyikan sesuatu dengan cara diam tanpa menyebutkannya.
Tadlis ada 2 :
-
Tadlis al-Isnad
Yaitu seorang perawi (mengatakan) meriwayatkan sesuatu
dari orang semasanya yang tidak pernah ia bertemu dengan orang itu, atau pernah
bertemu tetapi yang diriwayatkannya itu tidak didengarnya dari orang tersebut,
dengan cara yang menimbulkan dugaan mendengar langsung.
-
Tadlis asy-Syuyukh
Seorang perawi meriwayatkan hadits dari gurunya, kemudian dalam meriwayatkan kembali hadits tersebut ia menggunakan nama samaran bagi gurunya sehingga tidak dikenal.
5.
Hadits Mu’allal
Yaitu hadits yang tersingkap di dalamnya ‘illah qadihah, meski lahiriahnya tampak terbebas darinya. ‘Illatnya kadang-kadang pada sanad, kadang-kadang pada matan dan kadang-kadang pada sanad dan matan sekaligus. Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib memasukkan jenis mu’allal ini karena umumnya ‘illat ada pada sanad.
Kedua, hadits-hadits
dha’if karena sebab selain ketidakmuttashilan sanad:
1.
Hadits Mudha’af
Yaitu hadits yang tidak disepakati kedha’ifannya.
Sebagian ahli hadits menilainya mengandung kedha’ifan, baik di dalam sanad atau
dalam matannya, dan sebagian lain menilainya kuat. Akan tetapi penilaian dha’if
itu lebih kuat, bukannya lebih lemah.
2.
Hadits Mudhtharib
Yaitu hadits yang diriwayatkan dengan beberapa bentuk yang saling berbeda, yang tidak mungkin mentarjihkan sebagiannya atas sebagian yang lain, baik perawinya satu atau lebih.
3.
Hadits Maqlub
Yait hadits yang mengalami pemutarbalikan dari diri
perawi mengenai matannya, nama salah satu perawi dalam sanadnya tau suatu sanad
untuk matan lainnya.
4.
Hadits Syadz
Yang mula-mula memperkenalkan jenis ini adalah Imam
as-Syafi’iy. Yang dimaksud hadits syadz adalah bila diantara sekian perawi
tsiqat ada diantara mereka yang menyimpang dari lainnya. Selanjutnya generasi
setelah Imam asy-Syafi’iy sepakat bahwa hadits syadz dalah hadits yang
diriwayatkan oleh perawi maqbul dalam keadaan menyimpang dari perawi lain yang
lebih kuat darinya.
5.
Hadits Munkar
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi dha’if yang
berbeda dengan perawi-perawi (lain) yang tsiqat. Oleh karena itu, criteria
hadits munkar adalah penyendirian perawi dha’if dan mukhalafah.
6.
Hadits Matruk dan Mathruh
-
Hadits matruk yaitu hadits yang
diriwayatkan oleh seorang perawi yang “muttaham bi al-kidzbi” (yang tertuduh
melakukan dusta) dalam hadits nabawiy, atau sering berdusta dalam
pembicaraannya, atau yang terlihat kefasikannya melalui perbuatan maupun
kata-katanya ataupun yang sering sekali salah dan lupa.
-
Hadits Mathruh
Menurut Syeikh Thahir al-Jaza’iriy bahwa hadits mathruh adalah hadits yang diriwayatkan secara menyendiri oleh perawi yang tertuduh berdusta dalam hadits, termasuk orang yang dikenal sering berbuat dusta dalam selain hadits.
Menurut Nuruddin ‘Itr, alasan pemberian predikat dha’if
kepada hadits bila tidak memenuhi salah satu syarat diterimanya sebuah hadits
yaitu apabila pada suatu hadits tidak terpenuhi syarat-syarat hadits maqbul.[7]
Kehati-hatian muhadditsin dalam menerima hadits sehingga
mereka menjadikan tidak adanya petunjuk keaslian hadits itu sebagai alasan yang
cukup untuk menolak hadits dan menghukuminya sebagai hadits dha’if. Karena ada
kekhawatiran yang cukup kuat terhadap kemungkinan terjadinya kesalahan dalam
periwayatan hadits yang dimaksud, maka mereka menetapkan untuk menolaknya.
Demikian pula kedha’ifan suatu hadits karena tidak
bersambungnya sanad. Hadits yang demikian dihukumi dha’if karena identitas rawi
yang tidak tercantum itu tidak diketahui sehingga boleh jadi ia adalah rawi
yang tsiqat dan boleh jadi ia adalah rawi yang dha’if. Seandainya ia rawi yang
dha’if, maka boleh jadi ia melakukan kesalahan dalam meriwayatkannya.[8]
C.
Cacat Karena
Keterputusan Sanad dan Illat Pada Sanad
-
Keterputusan Sanad
Suatu hadits menjadi dha’if karena sanad-sanadnya tidak
bersambung-sambung (tidak muttashil), rawi murid tidak bertemu dengan rawi
guru, sehingga terdapat inqitha’ (gugur rawi) pada sanad.
Keguguran sanad dalam hal ini ada
yang gugur pada awal sanad, atau akhirnya, atau tengahnya. Para ulama
memberikan nama hadits yang sanadnya gugur secara zahir tersebut dengan istilah
sesuai dengan tempat dan jumlah perawi yang gugur.[9]
Adapun hadits yang tergolong dha’if
karena keterputusan sanad tersebut adalah :[10]
a. Hadits Mu’allaq, ialah hadits
yang gugur rawinya seorang atau lebih dari awal sanad, yakni guru mudawin.
b. Hadits Mursal ialah hadits yang
gugur rawi pertama atau akhir sanadnya, yakni tabi’in menisbahkan kepada Nabi
SAW tanpa menyebutkan dari sahabat mana ia menerima hadits tersebut.
Hadits Mursal ada tiga macam:
- Mursal Jali, yaitu bila
pengguguran yang telah dilakukan oleh rawi (tabi’in) adalah jelas sekali dapat
diketahui, ia tidak hidup sezaman dengan orang yang digugurkan yang mempunyai
berita.
- Mursal Shahabi, yaitu
pemberitaan sahabat yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW atau menyaksikan
apa yang ia beritakan, namun di saat Rasulullah SAW hidup ia masih kecil atau
terakhir masuknya ke dalam Islam.
-
Mursal Khafi, yaitu hadits yang
diriwayatkan oleh tabi’in, tabi’in yang meriwayatkan hidup sezaman dengan
sahabat, tetapi ia tidak pernah mendengar sebuah haditspun darinya.
c. Hadits Munqathi’, ialah hadits
yang gugur rawi di satu tempat atau gugur dua orang pada dua tempat dalam
keadaan tidak berturut-turut.
d. Hadits Mu’dhal, ialah hadits yang rawi-rawinya dua orang atau lebih secara berturut-turut dalam thabaqah sanad, baik sahabat bersama tabi’in, maupun dua orang sebelum sahabat dan tabi’in.
-
Illat Pada Sanad
Pengertian ‘illat menurut istilah ilmu hadits,
sebagimana yang dikemukakan oleh Ibn al-Shalah dan al-Nawawiy, ialah sebab yang
tersembunyi yang merusak kualitas hadits. Keberadaannya menyebabkan hadits yang
pada lahirnya tampak berkualitas sahih menjadi tidak sahih.[11]
Ulama hadits umumnya menyatakan, ‘illat hadits
kebanyakan berbentuk:
1.
Sanad yang tampak muttashil dan
marfu’, ternyata muttashil tetapi mawquf
2. Sanad yang tampak muttashil dan
marfu’, ternyata muttashil tetapi mursal (hanya sampai ke at-tabi’iy)
3. Terjadi percampuran hadits
dengan bagian hadits lain
4. Terjadi kesalahan penyebutan periwayat, karena lebih dari seorang periwayat memiliki kemiripan nama sedang kualitasnya tidak sama-sama siqat.
Dua bentuk ‘illat yang disebutkan pertama berupa sanad
hadits terputus sedang dua bentuk ‘illat yang disebutkan terakhir berupa
periwayat tidak dhabith.[12]
Hadits yang tergolong dha’if karena terdapat ‘illat disamping
karena keterputusan sanad, yaitu:
- Hadits Mudallas
Mudallas adalah isim maf’ul dari “at-tadlis”, dan tadlis
dalam bahasa adalah penyembunyian aib barang dagangan dari pembeli. Diambil
dari kata “ad-dalsu” yaitu kegelapan atau percampuran kegelapan, maka
seakan-akan seorang mudallas karena penutupannya terhadap orang yang memahami
hadits telah menggelapkan perkaranya maka lalu hadits menjadi gelap.[13]
- Hadits Mursal
Menurut bahasa adalah isim maf’ul dari “al-irsal” yang berarti “al-ithlaq” (melepaskan), seakan seorang pelaku irsal (mursil) membiarkan sanad tidak bersambung. sedangkan “khafi” (tersembunyi) lawan kata dari “jaliy” (nampak), karena irsal ini tidak nampak, maka tidak dapat diketahui kecuali dengan penelitian.[14]
D.
Cacat Karena Periwayat:
Tidak Adil dan Tidak Dhabith dan Syadz
Pada periwayat, terdapat kecacatan baik mengenai
keadilannya maupun mengenai kedhabitannya:[15]
a.
Dusta, yakni berdusta dal
membuat hadits walaupun hany sekali dalam seumur hidup. Hadits dha’if yang
karena rawinya dusta disebut hadits mawdhu’, yaitu hadits yang diciptakan serta
dibuat oleh seseorang (pendusta), yang ciptaan itu dinisbahkan kepada
Rasulullah SAW secara palsu dan dusta, baik hal itu disengaja maupun tidak.
b.
Tertuduh berdusta, yakni rawi
yang terkenal dalam pembicaraan sebagai pendusta, tapi belum dapat dibuktikan
bahwa ia pernah berdusta dalam membuat hadits. Hadits ini disebut hadits
Matruk, yaitu hadits yang menyendiri dalam periwayatannya yang diriwayatkan
oleh yang tertuduh dusta dalam perhaditsan.
c.
Fasiq, ialah kecurangan dalam
amal, bukan kecurangan dalam I’tikad, juga mereka berbuat maksiat.
d.
Lengah dalam hafalan dan salah.
Lengah biasanya terjadi dalam penerimaan hadits, sedangkan banyak salah terjadi
dalam penyampaiannya.
Hadits yang rawinya fasiq, lengah dalam hafalan dan banyak
salah, disebut hadits munkar, yaitu hadits yang menyendiri dalam periwayatan
yang diriwayatkan oleh orang yan banyak kesalahannya banyak kelengahannya, atau
jelas kefasiqannya yang bukan karena dusta.
e.
Banyak faham (purbasangka),
yakni salah sangka seola-oleh hadits tersebut tidak ada cacat baik pada matn
maupun pada sanad. Hadits yang demikian disebut hadits Mu’allal, yaitu hadits
yang setelah diadakan penelitian dan penyelidikan, tampak adanya salah sangka
dari rawinya, dengan me-waham-kan (menganggap bersambung suatu sanad) hadits
yang munqathi’ (terputus) atau memasukkan sebuah hadits padasuatu hadits yang
lain, atau yang semisal dengan itu.
f.
Menyalahi riwayat orang
kepercayaan
-
Membuat suatu sisipan, baik
pada sanad maupun pada matn, mungkin perkataannya sendiri atau perkataan orang
lain, baik sahabat maupun tabi’in yang dimaksudkan untuk menerangkan makna
kalimat-kalimat yang sukar atau men-taqyid-kan makna yang mutlak. Hadits ini
disebut hadits mudraj, yaitu hadits yang disadur dengan sesuatu yang bukan
hadits atas perkiraan, bahwa saduran itu termasuk hadits.
- Memutarbalikkan, yakni
mendahulukan sesuatu pada satu tempat dan mengakhirkanna pada tempat yang lain,
adakalanya pada matn dan adakalahnya pada sanad, ini disebut hadits maqlub,
yaitu hadits yang terjadi mukhalafah (menyalahinya dengan hadits lain), disebabkan
mendahulukan dan mengakhirkan.
- Menukar-nukar rawi, disebut
hadits mudhtharib, yaitu hadits yang mukhalafahnya (menyalahinya dengan hadits
lain) terjadi dengan pergantian pada satu segi yang paling dapat bertahan,
dengan tidak ada yang dapat ditarjihkan.
- Perubahan syakal-huruf, yakni
tanda hidup (harakat) dan tanda mati (sakanat), sedang bentuk tulisannya tidak
berobah, seperti basyir dibaca busyair, hadits disebut muharaf, yaitu hadits
yang mukhalafahnya (bersalahnya dengan hadits riwayat orang lain), terjadi
disebabkan karena perobahan syakal kata, dengan masih tetapnya bentuk tulisan.
- Perubahan tentang titik-titik kata, seperti Dirubah menjadi (sittan jadi syaitan). Hadits ini disebut Mushahhaf, yaitu hadits yang mukhalafahnya karena perubahan titik kata, sedang bentuk tulisannya tidak berubah.
g. Tidak diketahui identitasnya
(jahalah), kadang-kadang tidak disebutkan namanya, atau disebutkan tapi tidak
dijelaskan siapa sebenarnya yang dimaksud nama itu, atau hanya disebutkan hubungan
keluarganya (Ibn, ummun, abun dan lain-lain) yang belum menunjukkan nama
pribadinya. Hal ini bias terjadi pada matn atau pada sanad, hadits ini disebut
hadits mubham, yaitu hadits yang didalam matn atau sanadnya terdapat seorang
rawi yang tidak dijelaskan, apakah ia laki-laki atau perempuan.
Bila nama seorang rawi disebutkan dengan jelas, akan
tetapi ternyata ia bukan tergolong orang yang sudah dikenal keadilannya dan
tidak ada rawi yang tsiqat, yang meriwayatkan darinya selain seorang saja, maka
haditsnya disebut Majhul.
Jika seorang rawi dikenal keadilannya dan kedhabitannya
atas dasar periwayatan orang-orang yang tsiqat, akan tetapi penilaian
orang-orang tersebut belum mencapai kebulatan suara, maka haditsnya disebut
Mastur.
h.
Penganut bid’ah, yakni ada
kecurangan dalam ’itikad, mereka mengitikadkan sesuatu itikad yang berlawanan
dengan yang diterima Nabi SAW dengan dasar syubhat. Bid’ah adakala
mengkafirkan, adakala memfasikkan. Jika bad’ahnya mengkafirkan, jumhur ulama
tidak menerima haditsnya, dan haditsnya disebut hadits Mardud. Jika tidak
mengkafirkan, maka sebagian ulama menerimanya.
i.
Tidak baik hafalannya
-
Menyalahi riwayat orang yang
lebih rajih. Hadits ini disebut Syadz, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh
seorang yang maqbul (tsiqah) menyalahi riwayat orang yang lebih rajah, lantaran
mempunyai kelebihan-kelebihan atau banyaknya sanad atau lain sebagainya dari
segi-segi pentarjihannya.
-
Buruk hafalan karena lanjut
usia, tertimpa bahaya, terbakar atau hilang kitabnya. Yang dimaksud dengan su’u
al-hifzhi ialah kalau salahnya lebih banyak dari pada betulnya, lupanya lebih
banyak dari pada hafalnya, hadits ini disebut Mukhtalith, yaitu hadits yang
rawinya buruk hafalannya, disebabkan sudah lanjut usia, tertimpa bahaya,
terbakar atu hilang kitab-kitabnya.
E.
Cacat Karena Syudzudz
Pada Matn
Syudzudz, secara bahasa dapat diartikan: yang jarang,
yang menyendiri, yang asing, yang menyalahi aturan, yang menyalahi orang
banyak.[16]
Menurut al-Syafi’iy, suatu hadits baru kemungkinan
mengandung syadz, apabila memiliki dua syarat. Pertama, terkait dengan
periwayat, yakni tsiqat dan kedua, terkait dengan riwayat, yakni
pertentangannya dengan riwayat para periwayat lain. Dia menegaskan bahwa hadits
syadz tidak disebabkan oleh kesendirian periwayat saja, yang dalam ilmu hadits
dikenal dengan istilah fard muthlaq. Periwayatnya tidak menyendiri dalam
periwayatannya, tetapi bertentangan dengan selainnya. Ini terjadi karena
penambahan, pengurangan dalam sanad dan atau matn dan antara kedua tidak dapat
dikompromikan.[17]
Para ilmuan mengelompokan hadits yang cacar karena
syudzudz pada matn ebagai berikut:
a.
Hadits Maqlub
Yaitu suatu hadits yang mengalami pemutarbalikan dari
diri perawi mengenai matannya, nama salah satu perawi dalam sanadnya atau suatu
sanad untuk matannya.[18]
b.
Hadits Mudthorib
Yaitu hadits yang diriwayatkan dari seorang rawi atau
lebih dengan beberapa redaksi yang berbeda dan dengan kualitas yang sama,
sehingga tidak ada yang dapat diunggulkan dan tidak dapat dikompromikan.[19]
c.
Hadits Mudraj
Yaitu hadits yang didalamnya terdapat penambahan, baik
pada sanad maupun pada matnnya.[20]
Atau hadits yang disisipkan ke dalam matannya sesuatu
perkataan orang lain, baik orang itu sajabat ataupun tabi’I untuk menerangkan
maksud makna.
d.
Mushahhaf
Tashhif menurut bahasa adalah mengubah redaksi suatu kalimat sehingga makna yang dikehendaki semula menjadi berubah. Tashhif pada asalnya bermakna kesalahan.[21]
F.
Cacat Karena ‘Illat Pada
Matn Kehujjahan Hadits Dha’if
Secara bahasa kata ‘Illat dapat berarti “cacat,
kesalahan, penyakit dan keburukan. Hadits yang cacat karena adanya ‘Illat pada
matn dinamakan hadits ma’lul, namun ada sebagian para ahli hadits yang
menamakan al-mu’al, ma’lul dan mu’allal.
Ada dua syarat yang harus dipenuhi sehingga suatu matn
dapat dinilai ber-‘illat, yaitu[22]:
1.
Sebab-sebab tersebut
tersembunyi dan samar.
2. Sebab-sebab tersebut merusak dan mempengaruhi kualitas ke-shahih-an hadits.
Menemukan cacat (illat) hadits ini membutuhkan
pengetahuan yang luas, ingatan yang kuat dan pemahaman yang cermat. Sebab,
illat itu sendiri samara lagi tersembunyi, bahkan bagi orang-orang yang
menekuni ilmu hadits. Ibnu Hajar berkata: “menemukan illat ini termasuk bagian
ilmu hadits yang paling samara dan paling rumit. Yang bias melaksanakannya
hanyalah orang yang oleh Allah SWT diberikan pemahaman yang tajam, pengetahuan
yang sempurna terhadap urutan-urutan perawi, dan kemampuan yang kuat terhadap
sanad-sanad dan matan-matan.
Sementara menurut Al-Hakim, syarat utama yang harus dimiliki orang yang melakukan penelitian ‘illat hadits adalah hafalan, pemahaman dan pengetahuan yang luas tentang hadits. Dengan persyaratan yang cukup berat untuk melakukan penelitian ‘illat hadits menunjukkan bahwa penelitian ‘illat hadits sangat sulit.[23]
Kehujjahan hadits Dha’if
Ada tiga pendapat di kalangan ulama mengenai penggunaan hadits
dha’if[24]:
1.
Hadits dha’if tidak bisa
diamalkan secara mutlak, baik mengenai fadha’il maupun ahkam. Ini diceritakan
oleh Ibnu Sayyidinnas dari yahya Ibn Ma’in. dan pendapat inilah yang dipilih
oleh Ibnu al-Arabiy. Tampaknya, ia juga merupakan pendapat Imam Bukhari dan
Imam Muslim, berdasarkan krtiteria-kriteria yang kita pahami dari keduanya.
2.
Hadits dha’if bisa diamalkan
secara mutlak. Pendapat ini dinisbatkan kepada Abu daud dan Imam Ahmad.
Keduanya berpendapat bahwa hadits dha’if lebih kuat dari pada ra’yu
perseorangan.
3.
Hadits dha’if bisa digunakan
dalam masalah fadha’il, mawa’idz, atau yang sejenis bila memenuhi beberapa
syarat. Ibnu hajar menyebutkan syarat-syarat itu sebagai berikut:
- Kedha’ifannya tidak terlalu.
Sehingga tidak tercakup di dalamnya seorang pendusta atau yang tertuduh
berdusta yang melakukan penyendirian, juga orang yang terlalu sering
melakukan kesalahan. Al-Ala’iy meriwayatkan kesepakatan ulama mengenai
syarat ini.
- Hadits dha’if itu masuk dalam
cakupan hadits pokok: yang bisa diamalkan.
- Ketika mengamalkannya tidak
meyakini bahwa ia berstatus kuat, tetapi sekadar berhati-hati.
PENUTUP
Kesimpulan
Hadits dha’if adalah hadits yang tidak memenuhi
syarat-syarat shahih ataupn syarat-syarat hasan, serta tidak terdapat pula
syarat-syarat maqbul. Secara umum sebuah hadits dinilai dha’if dikarenakan dua
sebab yaitu dilihat dari ketidakmuttashilan sanad dan selain ketidakmuttashilan
sanad.
Sedangkan kehujjahan hadits dha’if itu sendiri, di kalangan muhadditsin, ada yang mengatakan tidak boleh mengamalkannya secara mutlak, ada yang membolehkannya dengan syarat tertentu, dan ada yang boleh mengamalkannya pada fadha’il ‘amaliah, al-mawa’idz wa al-qishash.
Saran
Dengan mempelajari kajian kecacatan hadits dha’if ini, ketika mengamalkan sebuah hadits harus diteliti benar kualitas hadits tersebut, agar tidak terjadi kesalahan dalam mengamalkan hadits tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Buchari. M., Kaidah Ke-shahih-an Matn Hadits, Padang: Suryani Indah, 2004
Bustamin dan M. Isa H.A. Salam, Metodologi Kritik Hadits, Jakarta: Raja Grafindi Persada, 2004
Ismail, H.M. Syuhudi, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1988
Al-Khatib, Muhammad ‘Ajjaj, Ushul Al-Hadits, Pokok-pokok Ilmu Hadits, Terj. Qadirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998
Al-Qaththan, Manna, Mabahits Fi Ulumul Hadits. Terj. Mifdhol Abdurrahman, Jakarta: Pustaka al-Kausar, 2005
Ranuwijaya, Utang, Ilmu Hadits, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996
Soetari, Endang AD, Ilmu Hadits, Bandung: Amal Bakti Press, 1997
‘Itr, Nuruddin, Manhaj
An-Naqd Fii ‘Uluum Al-Hadits, Terj. Mujiyo, Bandung: Rosda Group, 1994
[1]Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaya Media Pratama,
1996), cet. I, h. 176
[2]Ibid., h. 176
[3]Nuruddin ‘Itr, Manhaj An-Naqd Fii ‘Uluum Al-Hadits, Terj.
Mujiyo, (Bandung: Rosda Group, 1994), h. 51
[4]Muhammad ‘Ajjaj Al-Khatib, Ushul Al-Hadits, Pokok-pokok Ilmu
Hadits, Terj. Qadirun Nur dan Ahmad Musyafiq, (Jakarta: Gaya Media Pratama,
1998), h. 304
[5]Ibid. h. 305
[6]Ibid., h. 306
[7]Lihat. h.2
[8]Nuruddin ‘Itr, Op.cit., h. 52
[9]Manna Al-Qaththan, Mabahits Fi Ulumul Hadits. Terj. Mifdhol
Abdurrahman, (Jakarta: Pustaka al-Kausar, 2005), h. 132
[10]Endang Soetari AD, Ilmu Hadits, (Bandung: Amal Bakti Press,
1997), cet-II, h. 136
[11]H.M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1988), h. 147
[12]Ibid., h. 149
[13]Manna ‘Al-Qaththan, Op.cit., h. 139
[14]Ibid., h. 143
[15]Endang Soetari AD, Op.cit., h. 143-148
[16]Buchari. M., Kaidah Ke-shahih-an Matn Hadits, (Padang:
Suryani Indah, 2004), h. 211
[17]Ibid, h. 212
[18]Muhammad ‘Ajjaj Al-Khatib, Op.cit., h. 310
[19]Nuruddin ‘Itr, Op.cit., h. 235
[20]Buchari. M., Op.cit., h. 167
[21]Nuruddin ‘Itr, Op.cit., h. 249
[22]Buchari M., Op.cit., h. 254
[23]Bustamin dan M. Isa H.A. Salam, Metodologi Kritik Hadits,
(Jakarta: Raja Grafindi Persada, 2004), h. 58
[24]Muhamad ‘Ajjaj Al-Khatib, Op.cit., h. 315
0 Comment