Al-Qur’an keseluruhanya bersifat qath’i al
wurud (kepastian datang dari sumber pertama yaitu
Allah) dan kemurnianya telah dijamin Allah mulai dari awal turunya sampai dunia
ini berakhir, baik di dalam hafalan para hafiz maupun tulisan para khattah. Berbeda dengan kualitas hadist yang bersifat dzani al-wurud (kepastianya berada antara positif dan
negatif), disamping itu kemurninya juga tidak dijamin Allah SWT.
Dengan demikian tidak ada jaminan hadist dapat terhindar dari intervensi-intervensi luar
yang bersifat destruktif, terutama adanya upaya untuk memalsukanya. Dalam
rentan waktu pengkodifikasian hadist yang cukup lama, yakni kurang lebih 200
tahun semenjak kewafatan Nabi, tak dapat dipungkiri lagi telah banyak keluar hadist-hadist
palsu dengan berbagai motivasi hingga sampai abad ini. Oleh sebab itu para
ulama hadist mencoba mengkaji kulitas hadist yang bermunculan di kalangan umat
islam.
Dilihat dari segi kualitasnya,
hadits-hadits dipilah menjadi shahih, hasan, dha'if dengan berbagai ragam tingkatanya dan banyak
lagi sudut tinjauan yang dihadapkan pada hadits tersebut. Menurut M. Quraish
Shihab mengatakan bahwa hadits dari segi klasifikasinya tidak kurang 381
macam.dalam pembahasan ini penulis mencoba menyahuti, tentang pembagian
haditsdilihat dari segi kualitasnya. Didalam berbagai literature kitab ilmu
hadits, kajian tentang kualitas atau mutu hadits ini hanya ditujukan pada
hadits-hadits ahad (termasuk
didalamnya hadits masyhur). Sesuai dengan ke-qath'iy al-wurud-annya,
hadits mutawatir tidak diragukan lagi kualitas kehujjahannya. Pada mulanya
hadits ahad, dari segi kualitas diklasifikasikan kepada hadits shahih
dan hadits dha'if. Namun oleh karena datangnya Imam Al-Thurmudzi yang datangnya
belakangan kerena memunculkan klasifikasi ke-tiga yakni hadits hasan.
Pada makalah ini penulis mencaba mengkaji klasifikasi hadist ditinjau dari kualitasnya khusus tentang hadist shahih dan hadist hasan.
KAJIAN TENTANG HADIST SHAHIH DAN
HASAN
A.
Pengertian
Hadist Shahih
Secara etimologi shahih berasal dari
kata صح – يصح – ا لصح / ا
لصحة / ا لصحا ح / صحيح yang berarti: ا لبراءة من كل عيب و ريب yang berarti terhindar dari setiap aib dan keraguan, atau ها ب المريض ذ yaitu hilangnya sakit atau خلا ف السقيم yaitu lawan dari
sakit[1].
Ini adalah makna hakiki pada jasmani. Sedangkan dalam penggunaan pada hadist
dan makna-makna yang lain ini adalah makna majazi.[2]
Secara terminologi beberapa ulama
mendefenisikan hadis shahih sebagai berikut:
1.
Menurut
Nuruddin ‘Itr :
الحديث الصحيح هوالحديث الذي اتصل سنده بنقل العدل الضابط عن العدل
الضابط الى منتهاه ولايكنون شاذاولامعلا[3]
“Hadist shahih adalah hadist
yang muttasil, yang diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabith dari rawi yang
juga adil dan dhabith sampai akhir sanadnya, dan hadist itu tidak syaz serta
tidak mengandung illat”.
2.
Menurut Ibnu
Ash-Shalah :
الحديث الصحيح هوالحديث المسند الذى يتصل اسناده بنقل العدل الضابط عن
العدل الضابط الى منتهاه ولايكنون شاذاولامعلا[4]
“Hadist shahih adalah musnad yang sanadnya muttasil melalui
periwayatan orang yang adil lagi dhabith dari orang yang adil lagi dhabith pula
sampai ujungnya, tidak syaz dan tidak illat”.
3.
Menurut Imam
Nawawiy:
هوما اتصل سنده با لعدول الضابطون من غير شذوذ ولا علة[5]
“hadist shahih adalah hadist yang muttasil
sanadnya melalui (periwayatan) orang-orang yang adil lagi dhabith tanpa syadz
dan illat”.
4.
Menurut
Muhammad ‘Ajaj Al Khatib.
هوما اتصل سنده برواية الثقة عن الثقة من اوله الى منتهاه من غير شذوذ
ولا علة[6]
“ Hadist yang muttasil
sanadnya melalui periwayatan perawi tsiqat dari perawi yang tsiqat pula, sejak
awal sampai akhir sanad tanpa syudzuz dan tanpa illat”.
Dari defenisi hadist shahih di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa
hadist shahih itu adalah hadist yang muttashil, yang diriwayatkan oleh orang
yang adil, dhabith, tidak syadz
dan tidak mengandung illat.
B.
Pendalaman
Syarat-Syarat Hadist Shahih.
Adapun pendalaman tentang
syarat-syarat hadist shahih berdasarkan pendapat para ulama hadist di atas
adalah sebagai berikut:
1.
Sanadnya
bersambung
Yang dimaksud dengan ketersambungan sanad yaitu bahwa setiap rawi
hadist yang bersangkutan benar-benar menerima dari rawi yang berada di atasnya
dan begitu selanjutnya sampai kepada pembicara yang pertama.[7]
Jadi, seluruh rangkaian periwayatan dalam sanad, mulai dari periwayatan yang
disandari oleh al-mukharrij (penghimpun riwayat hadist dalam karya tulisnya)
sampai kepada periwayat tingkat sahabat yang menerima hadist yang bersangkutan
dari Nabi, bersambung dalam periwayatan.[8] Dengan adanya syarat ini dikecualikan hadist
muqati’, mu’dal, mu’alaq, madallas dan jenis-jenis lain yang tidak memenuhi
kriteria muttashil ini.[9]
Dalam hal muttasil maka Nabi muhammad SAW pernah bersabda:
تسمعون
ويسمعو منكم ويسمع ممن سمع منكم (روه ابو دود ممن ابن عباس و ابن حاتم الرازى عن
ثابت بن قيس و ابن عا بس)
“Kalian
mendengar (hadist dari saya), kemudian dari kalian hadist itu didengar orang
lain dan dari orang lain tersebut hadist yang berasal dari kalian itu didengar
oleh orang lain.” (Hadist diriwayatkan oleh Abu
Dawud dari Ibnu Abbas dan diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim al-Raziy dari Stabit
bin Qays dan Ibnu Abbas).
Untuk mengetahui bersambung atau tidaknya suatu sanad, biasanya
ulama hadist menempuh tata kerja penelitian sebagai berikut:
a.
Mencatat semua
nama periwayat dalam sanad yang diteliti;
b.
Mempelajari
sejarah hidup masing-masing periwayat:
1.
Melalui
kitab-kitab rijal al hadist, misalnya kitab tahzib al-tahzib susunan
Ibnu Hajar al-Asqalaniy, dan kitab al-Kasyif
susunan Muhammad bin Ahmad al-Dzahabiy
2.
Dengan maksud
mengetahui;
a. Apakah periwayat yang dikenal dalam sanad itu dikenal sebagai orang
yang adil dan dhabith, serta tidak suka melakukan penyembunyian cacat (tadlis);
b. Apakah antara periwayat yang terdekat dalam sanad itu terdapat
hubungan:1. Sezaman pada masa hidupnya; dan 2. Guru-murid dalam periwayatan
hadist;
c. Meneliti kata-kata yang menghubungkan antara periwayat dengan
periwayat yang terdekat dalam sanad,
yakni apakah kata-kata yang terpakai berupa haddasaniy, haddasana, akhbarana,
‘an, anna, atau kata-kata lainya.[10]
Jadi jelaslah bahwasanya syarat pertama dalam penetapan hadish
shahih adalah ketersambungan sanadnya yaitu bahwa setiap periwayatan hadist
yang bersangkutan benar-benar menerimanya dari periwayat yang ada diatasnya dan
begitu selanjutnya sampai kepada pembicara yang pertama.
2.
Periwayat
bersifat adil
Secara etimologi adil diartikan sebagai: (1)tidak berat sebelah
(tidak memihak), (2) sepatutnya; tidak sewenang-wenang;[11] Kata adil ini berasal dari bahasa arab yaitu dari kata: عدل- يعدل- عدل - عدول yang artinya:ما قا م في النفوس انه مستقيم
sesuatu yang lurus, atau:ضد الجور lawan dari
curang[12].
Keadilan rawi merupakan faktor penentu bagi diterimanya suatu
riwayat, karena keadilan itu merupakan suatu sifat yang mendorong seseorang
untuk bertakwa dan mengekangnya dari perbuatan maksiat, dusta, dan hal-hal lain
yang merusak harga diri (muru’ah) seseorang.[13]
Dalam hal keadilan rawi ini, berbagai ulama ulama telah membahas siapa orang yang dinyatakan bersifat adil. Dalam hal ini ulama berbeda pendapat. Untuk memberikan gambaran betapa beragamnya pendapat ulama tersebut, berikut ini akan digambarkan pokok-pokok pendapat ulama dimaksud dalam bentuk ikhtisar. Pendapat-pendapat dalam bentuk ikhtisar ini akan dibatasi hanya berasal dari lima belas ulama di berbagai zaman. Dari kelima belas ulama ini, sepuluh diantaranya dikenal sebagai ulama hadist,disamping juga diantara mereka ini dikenal di bidang ilmu keislaman tertentu lainya. Kelima orang ulama selebihnya dikenal sebagai ulama ushul al-fiqh dan atau fiqh, disamping dikenal juga dibidang ilmu keislaman lainya.[14]
Dari penjelasan ikhtisar di
atas dapat kita lihat untuk syarat beragama Islam, baligh dan berakal jumlah
ulama menyebutkan lebih sedikit dari pada tidak menyebutkan . Al Gazali dan Al
Amidi tidak menyebutkan ketiga butir tersebut karena karena mereka menempatkan
ketiganya pada syarat-syarat umum.[15] Jadi ketiga butir ini adalah syarat umum yang harus ada pada syarat periwayat yang
adil .
Lalu syarat taqwa, teguh dalam agama, tidak membuat dosa besar,
menjauhi dosa kecil, tidak berbuat bid’ah, tidak berbuat maksiat, tidak berbuat
fasik, dan baik akhlaknya menjadi satu
istilah saja yaitu menjalankan perintah agama[16]
. disebutkan memelihara muru’ah hampir seluruh ulama memberikan isyarat, bahwa
butir tersebut merupakan salah satu syarat yang sangat penting yang harus
dimiliki oleh periwayat yang adil.[17]
Sedangkan sifat biasanya benar dan dapat dipercaya beritanya tidak
perlu secara eksplisit dinyatakan sebagai syarat perawi yang adil. Sebab kedua
butir itu merupakan akibat dari sosok pribadi yang telah memenuhi syarat-syarat
yang terdahulu. Jadi kriteria periwayat yang bersifat adil ialah 1. Beragama
Islam 2. Mukalaf 3. Melaksanakan ketentuan agama 4. Memelihara muru’ah[18]
Untuk mengetahui keadalahan seorang rawi dapat dilakukan oleh para
peneliti sanad sebagai berikut:
1.
Dengan
memperhatikan popularitas keutamaan periwayat yang bersangkutan dikalangan
ulama hadist. Dengan kata lain, periwayat yang terkenal keutamaan pribadinya
dibandingkan dengan yang lainya,misalnya Malik ibn Anas dan Sufyan al-Tsawri
yang tidak diragukan lagi ke’adalahanya;
2.
Penilaian dari
para kritikus periwayat hadist, yang mana penelitian tersebut berisi
pengungkapan kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri periwayat hadist;
3.
Penerapan
kaedah al-jarh wa al-ta’dil, yang mana cara ini ditempuh bila para kritikus
periwayat hadist tidak sepakat tentang kualitas pribadi periwayat.[19]
Untuk penelitian yang dilakukan pada masa sekarang terhadap
periwayat hadistt tidak lagi sesulit apa yang terjadi sebelum disusunya kitab jarh
wa ta’dil yang dapat digunakan sebagai pedoman melakukan tarjih dan ta’dil.
Demikian juga dalam hal para periwayat tersebut telah banyak diteliti ulama,
sebagaimana dapat dilihat dalam kitab rijal al-hadist. [20]
3.
Periwayat
bersifat dhabith
Dhabith
secara etimolgi berasal dari kata ضبط
– يضبط – ضبا ط و ضبط yang berarti لزوم الشئ لا يفارقه في كل
شئ و ضبط الشئ: حفظه با لحزم tetap
pada sesuatu dan tidak berpisah dengannya dalam kondisi apapun,dhabit terhadap
sesuatu yakni menghafalkanya dengan cermat.[21]
Sedangkan menurut istilah telah dikemukakan ulama dalam berbagai
bentuk keterangan. Menurut ibnu hajr al-asqalaniy dan al-sakhawiy, yang
dinyatakan sebagai orang dhabith adalah orang yang kuat hafalan tentang apa
yang didengarnay dan mampu menyampaikan hafalan itu kapan saja dikehendakinya. [22]
Dr. Muhammad Ajjaj al-khatib menjelaskan bahwa yang dimaksud dhabit
adalah orang yang benar-benar sadaar ketiika menerima hadits, paham ketika
mendengarnya dan menghafalnya sejak menerima sampai menyampaikanya. Yakni
perawi harus hafal dan mengerti apa yang diriwayatkanya (apabila ia
meriwayatkan dari hafalanya) serta memahaminya (bila meriwayatkanya secara
makna). [23]
Dr. Nuruddin Itr menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan dhabith
adalah bahwa rawi hadist yang bersangkutan dapat menguasai hadistnya dengan
baik, baik dalam hafalan yang kuat maupun dalam kitabnya, kemudian ia mampu
meriwayatkanya kembali ketika meriwayatkannya.[24]
Apabila berbagai pendapat para ulama digabungkan maka butir-butir
sifat dhabith yang telah disebutkan adalah:
1.
Periwayat itu
memahami dengan baik riwayat yang telah didengarnya (diterimanya);
2.
Periwayat itu hafal dengan baik riwayat yang
telah didengarnya (diterimanya);
3.
Periwayat itu
mampu menyampaikan riwayat yang telah dihafalnya itu dengan baik.
Dhabth ada dua macam : dabht shadr dan dhabth kitab.
Dabht shadr adalah bila seorang rawi benar-benar hafal hadist yang telah
didengarnya dalam dadanya, dan mampu mengungkapkanya kapan saja. Dabht kitab
yaitu bila seorang perawi “menjaga” hadist yang telah didengarnya dalam bentuk
kitab.[25]
Untuk mengetahui sifat dhabith yang ada pada seseorang perawi tentu
tidak mudah mengetahuinya. Untuk itu tentu ada cara-cara yang dapat mengetahui
hal tersebut. Untuk para ulama mengatakan bahwa untuk menentukan kedhabithan
seorang periwayat adalah dengan cara sebagai berikut:
1.
Berdasarkan
kesaksian yang diberikan para ulama yang sezaman dengan si periwayat. Karena
ulama yang sezaman tentu dapat mengetahui bagaimana keadaan sifat dhabith
siperiwayat.
2.
Dengan membandingkan
persesuaian riwayat si periwayat dengan periwayat yang telah dikenal
kedhabithanya.
3. Kemudian diperhatikan apakah siperiwayat sering membuat kekeliruan atau tidak. Kalau tidak, maka ia masih dapat digolongkan kepada periwayat yang dhabith, tetapi kalau sering, maka ia tidak dapat digolongkan kepada periwayat yang dhabith.
4.
Terhindar dari
syudzudz
Secara etimologi syaz berasal dari
kata: شذ – يشذ – شذوذ عنهyang berti: انفود عن الجمهور menyendiri dari orang banyak ; ندر jarang, asing, menyalahi aturan [26].
Sedangkan menurut ulama syaz adalah hadist
yang diriwayatkan oleh rawi yang tsiqah, bertentangan dengan rawi yang lebih
tsiqah darinya. Dan syaz itu ada pada sanad yaitu: periwayat yang menyendiri
bertentangan dengan periwayat yang lebih tsiqah darinya. Syaz pada matan adalah
periwayat bertentangan dengan banyak periwayat yang lebih tsiqah dalam
penukilan matan dengan adanya ziyadah (penambahan), nuqshan (pengurangan),
iqlab (pemutar balikan), idhtirab (kegoncangan), atau tasrif (perobahan bentuk
kata).[27]
Contoh hadist yang syaz sebagai berikut:
عن ابى هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : اذا سجد احد كم
فلا يبرك كما يبرك البعير وليضع يد يه ركبتيه (رواه ابو داود)
“ Dari Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah
SAW bersabda: apabila salah seorang diantara kamu sujud maka janganlah dia
duduk seperti onta, hendaklah meletakan kedua tanganya sebelum kedua lututnya”.
(HR. Abu Dawud).
Hadist di atas menjelaskan sujud
yang diperintah oleh Nabi SAW. Di dalam hadist
tersebut, Nabi SAW melarang sujud degan cara sama dengan cara onta duduk. Akan
tetapi selain hadist di atas juga ada hadist tentang tata cara sujud yang
diriwayatkan oleh Tirmidzi, yaitu:
عن وائل بن حجر قال:رأيت رسول
الله صلى الله عليه وسلم : اذا سجد يضع ركبتيه قبل يد يه واذا نهض رفع يد يه قبل ركبتيه (رواه الترمذي)
“ Dari Wail ibn Hujr ia berkata: Aku
melihat Rasulullah SAW apabila akan sujud beliau meletakan kedua kedua lututnya
sebelum kedua tanganya, dan apabila bangkit dari sujud beliau mengangkat kedua
tangannya sebelum kedua lututnya.”
(HR.Tirmidzi).
Tata cara sujud Nabi SAW sebagai berikut: meletakan dua lutut sebelum kedua tanganya, kemudian kedua tanganya inilah yang merupakan cara sujud yang benar dan tidak terdapat riwayat yang berasal dari perbuatan Nabi SAW yang berbeda dengan riwayat di atas.[28] Jadi jelaslah pada hadist pertama terdapat syaz karena apabila seorang meletakan kedua tangannya sebelum kedua lututnya maka dia duduk justru seperti duduk onta karena ketika akan duduk onta meletakan kedua tanganya terlebih dahulu.
5.
Terhindar dari
‘illat
Secara
etimologi illat berasal dari kata: عل – يعل –
اعتل - علة yang berarti sakit[29].
Menurut ulama hadist illat itu adalah
“sebab
yang samar dan tersembunyi yang membuat hadist menjadi rusak, walaupun sepintas
kelihatan bersih dari cacatسبب
غا مض خفي يقدح في الحديث مع ظهور السلامة منه”
Dari defenisi diatas dapat kita tarik kesimpulan bahwa illat yang dimaksud adalah apabila mencakup dua hal; a). Cacat itu samar dan tidak jelas dan b). Cacat itu merusak kualitas sebuah hadist. Jadi hadist yang berilat adalah hadist yang secara zahir tidak bermasalah, namun setelah diteliti dan dicermati ternyata hadist itu bermasalah. Adapun sebab-sebab tersembunyinya dan samarnya cacat tersebut boleh jadi disebabkan oleh karena rawi mengirsalkan hadist mausul, atau mewaqafkan hadist yang marfu’, atau karena keraguan periwayat terhadap apa yang ia riwayatkan.[30]
C.
Pembagian Hadist
Shahih
Hadist shahih terbagi menjadi dua,
yaitu: shahih li dzatih dan shahih li ghairih. Hadist shahi li
dzatih adalah hadist shahih yang memenuhi syarat-syarat secara maksimal.[31]
Hadist sahih li ghairih adalah hadist sahih li dzatiihi
bila diriwayatkan melalui jalan lain (lebih dari satu jalur sanad) yang semisal
denganya, atau lebih kuat darinya. Dinamakan shahih li ghairihi karena karena
keshahihannya bukan berasal dari sanad itu sendiri, melainkan datang dari
penggabungan riwayat lain. Kedudukanya lebih tinggi dari hasan li dzatihi
dan dibawah shahih li dzatihi. [32]
Diantara contoh hadist sahih lighairihi adalah hadist riwayat
Turmidzi melalui jalur Muhammad bin Amr dari Abu Salamah dari Abu Hurairah
bahwa Rasulullah SAW bersabda:
لولا
ان اشق على امتى لأمرتهم بالسواك عندكل صلا ة
“Seandainya
tidak memberatkan umatku, niscaya akan kuperintahkan bersiwak setiap kali
hendak melaksanakan salat”
Ibnu Umar Ash-Shalah menyatakan bahwa Muhammad bin Amr terkenal
sebagai orang yang jujur, tetapi ke-dhabit-annya kurang sempurna sehingga hadist
riwayatnya hanya mencapai tingkat hasan. Hadist ini juga diriwayatkan oleh
Bukhari melalui jalur Al-‘Araj dari Abu Hurairah yang hadistnya dinilai sahih.
Oleh karena itu, hadist riwayat Turmidzi tersebut naik menjadi shahih li
ghairih.[33]
D.
Pengertian
Hadist Hasan
Secara etimologi hasan berasal dari kata : - يحسن- حسناحسنyang berarti ضد القبح و نقيض lawan dari jelek atau
anonimnya.[34]
Secara terminologi beberap ulama mendefenisikan hadist hasan
sebagai berikut:
1.
Al Tirmidziy
mengatakan :
كل حديث يروى ولا يكون فى اسناده من يتهم بالكذب ولا يكون الحديث شاذا
ويروى من غيروجه نحو ذلك [35]
“Setiap hadist yang
diriwayatkan melalui sanad yang di dalamnya tidak terdapat periwayat yang
dicurigai berdusta,tidak syaz dan diriwayaatkan melalui sanad yang lain yang
sederajat”.
2.
Menurut Ibnu
Hajar hadist hasan adalah
خبر الأحاد بنقل عدل تام الضبط متصل السند غير معلل ولا شاذ[36]
“Khabar ahad yang dinukil oleh orang yang adil, kurang sempurna kedhabithanya, bersambung sanadnya, tidak illat dan tidak syadz.
E.
Pendalaman
Syarat-Syarat Hadist Hasan
Dari defenisi di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa hadist hasan
adalah hadist yang memenuhi syarat-syarat hadist shahih seluruhnya hanya saja
semua perawinya atau sebagianya kedhabithanya lebih sedikit dibandingkan
kedhabithan perawi hadis shahih[37].
Jadi, yang membedakan antara hadist shahih dan hadist hasan, kita
harus mengetahui batasan dari kedua hadist tersebut. Batasanya adalah keadilan
pada hadist hasan disandang oleh orang yang tidak begitu kuat ingatanya,
sedangkan pada hadist shahih terdapat rawi-rawi yang benar-benar kuat
ingatanya. Akan tetapi, keduanya bebas dari keganjilan dan penyakit. Keduanya
bisa digunakan sebagai hujah dan kandunganya dapat dijadikan sebagai penguat.[38]
F.
Jenis- Jenis Hadist
Hasan
Hadist hasan ada dua jenis, yaitu hasan lizatihi dan hasan
lighairihi. Hasan lizatihi adalah karena kehasananya memenuhi syarat-syarat
tertentu, bukan karena faktor lain diluarnya.[39]
Sedangkan hadist hasan lighairihi adalah hadist yang didalamnya
terdapat perawi “mashur” yang belum tegas kualitasnya, tetapi bukanlah perawi
yang pelupa atau sering melakukan kesalahan dalam riwayat-riwayatnya, bukan
mutham bi al kizb dalam hadist juga bukan karena sebab lain yang dapat
menyebabkanya tergolong fasik dengan syarat mendapatkan pengukuhan dari perawi
lain yang mu’tabar, baik yang berstatus mutabi’ maupun syahid.[40]
Dengan demikian, hadist hasan lighairihi mulanya merupakan hadist
dhaif yang naik menjadi hasan karena ada penguat. Jadi dimungkinkan
berkkualitas hasan karena penguat itu. Seandainya tidak ada penguat tentu masih
berstatus dhaif.[41]
Berikut ini kami kutipkan contoh hadist hasan li ghairihi dari Jami’ At-Tirmidzi; ia berkata,
حدثنا
علي بن حجرحدثنا حفص بن غياث عن حجاج عن عطية عن بن عمر قال: صليت مع النبي صلى
الله عليه وسلم الظهر فى السفر ركعتين وبعدها ركعتين
“ Meriwayatkan hadist
kepada kami, Ali bin Hujr, ia berkata Hajjaj dari ‘Athiyah dari Ibnu Umar, ia
berkat, “aku salat zuhur dua rakaat bersama Rasulullah SAW dalam suatu
perjalanan dan setelah itu shalat dua rakaat lagi”
Abu Isa berkata, ini adalah hadist
hasan, ibnu abi laila juga meriwayatkan dari ‘Athiyah dan Nafi’ dari Ibnu Umar.
At-Turmidzi berkata: Muhammad bin ‘Ubaid Al-Muharibi meriwayatkan hadist kepada
kami ia berkata, ‘Ali bin Hasyim meriwayatkan hadist kepada kami dari Ibnu Abi
Laila dari ‘Athiyah dan Nafi’ dari Ibnu Umar, ia berkata, “aku shalat bersama
Rasulullah SAW ketika tidak berpergian dan ketika dalam perjalanan. Aku shalat
Zuhur bersamanya ketika tidak berpergian empat rakaat dan setelahnya dua
rakaat, dan aku shalat Zuhur bersamanya ketika dalam suatu perjalanan dua
rakaat dan setelahnya dua rakaat. Abu Isa berkata, “ini adalah hadist hasan” Demikian
kutipan dari Jami’ al-Turmidzi.[42]
Pada sanad yang
pertama hadist di atas terdapat Hajjaj, yaitu putra Arthah. Ibnu Hajar dalam
Taqrib al-Tahzib menjelaskan tentang Hajjaj:
صدوق
كثير الخطأ والتدليس
“Ia
sangat jujur namun banyak salahnya dan tadlisnya”
Pada hadist tersebut terdapat ‘Athiyyah, yakni putra Sa’ad bin
Junadah al-‘Aufi. Ia sederajat dengan Hajjaj, disamping ia adalah seorang Syi’ah
akan tetapi kedua rawi ini tidak dituduh dusta dan keluar dari jajaran rawi
yang diterima kehadiranya. At-Turmidzi menilai hasan terhadap hadist kedua rawi
ini, karena kedua hadist tersebut juga diriwayatkan melalui sanad lain,
sebagaimana kita lihat. Sanad lain dalam hadist itu adalah Ibnu Abi Laila. Ia
adalah seorang faqih yang agung, namun dari segi daya hafalanya
diragukan oleh para muhadditsin. Akan tetapi hadist di atas menjadi kuat
karena diriwayatkan pula melalui sanad lain, dan karenanya Al-Turmidzi
menghukuminya sebagai hadist hasan.[43]
Hadist hasan dengan kedua jenisnya dapat dijadikan hujjah dan
diamalkan sebagaimana hadist shahih
meski hadist hasan memiliki kekuatan dibawah hadist shahih. Oleh karena itu,
sebagian ulama memasukanya kedalam kelompok hadist shahih, antara lain, al
hakim, ibnu hibban dan ibnu khuzaimah, meskipun mereka jelas mengetahui bahwa hadist
hasan mengetahui kekuatan dibawah hadist shahih dengan bukti dimenangkanya hadist
shahih bila terjadi kontradiksi. [44]
H. KESIMPULAN
Dari uraian pembahasan ini, ada
beberapa hal yang perlu disimpulkan diantaranya:
1.
Hadist shahih
adalah hadist yang muttasil, yang diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabith
dari rawi yang juga adil dan dhabith sampai akhir sanadnya, dan hadist itu
tidak syaz serta tidak mengandung illat”.
2.
Hadis shahih
terbagi menjadi dua, yaitu: shahih li dzatih dan shahih li ghairih.
3.
hadist hasan
adalah hadist yang memenuhi syarat-syarat hadist shahih seluruhnya hanya saja
semua perawinya atau sebagianya kedhabithanya lebih sedikit dibandingkan
kedhabithan perawi hadist shahih
4.
Hadist hasan
ada dua jenis, yaitu hasan lizatihi dan hasan lighairih
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qathan, Manna’, Pengantar Studi Ilmu Hadist, Terj.Mifdhol
Abdurrahman,Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2005
Ajaj al-Khatib, Muhammad, Ushul al-Hadist, Beirut:Dar al-Fikr, 1989
Bukhari. M, Kaedah Keshahihan Matan Hadist, Padang, Penerbit Azka, 2004
Itr, Nuruddin, Manhaj al-Naqd, Damaskus: Dar al-Fikr, 1998)
Itr, Nuruddin, ‘Ulum al-Hadist, Terj.Mujiyo,Bandung: PT Remaja Rosdakarya,1994
Ismail, M.Syuhudi, Kaedah Kesahihan Sanad Hadist, Jakarta: Bulan Bintang, 1988
Ibnu Mukarram ibnu Manzur, Muhammad, Lisan al-Arab, Beirut: Dar Ihya’ al-Turast al-Arab, 1412 H/ 1992 M
Ibnu Mukarram ibnu Manzur, Muhammad, Lisan al-Arab, Beirut: Dar Ihya’ al-Turast al-Arab, 1412 H/ 1992 M
Itr, Nuruddin, ‘Ulum al-Hadist, Terj.Mujiyo,Bandung: PT
Remaja Rosdakarya,1994
Mudasir, Ilmu Hadist,Bandung: Cv Pustaka Setia,2005,h.149-150
Muhammad ‘Ajaj Al Khatib, Ushul Al Hadist, Terj. Qodirun Nur dan
Ahmad Musyafiq, Jakarta: Gaya Media Pratama,1998
Sutarmadi, Ahmad Al-Imam Al-Tirmidzi Perananya Dalam Pembangunan Hadist Dan Fiqh, Ciputat: PT. Lugos Wacana Ilmu,1998
Solihin, M.Agus dan Agus Suyadi, Ulumul Hadist,Bandung: Pustaka Setia, 2009
W.J.S.Poerwadarminta, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,1995
Zainimal, Ulumul Hadist, Padang: The Minangkabau Fondation, 2005
[1] Muhammad ibnu Mukarram ibnu Manzur (Ibnu Manzur), Lisan
al-Arab, (Beirut: Dar Ihya’ al-Turast al-Arab, 1412 H/ 1992 M),j.7, h.287
[2] Manna’ Al-Qathan, Pengantar Studi Ilmu Hadis, Terj.Mifdhol
Abdurrahman,(Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2005),h.117
[3] Nuruddin Itr,Manhaj al-Naqd, (Damaskus: Dar
al-Fikr, 1998),h.242
[4] Muhammad Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadist,
(Beirut:Dar al-Fikr, 1989),h.304
[5] Ibid
[6] Ibid
[7] Nuruddin Itr, ‘Ulum al-Hadist,
Terj.Mujiyo,(Bandung: PT Remaja Rosdakarya,1994),h.2
[8] M.Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1988),h.127
[9] Muhammad ‘Ajaj Al Khatib, Ushul Al Hadist, Terj.
Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, (Jakarta: Gaya Media Pratama,1998),h.276
[10] Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, op cit, h.
128
[11] W.J.S.Poerwadarminta, Kamus Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka,1995),H.16
[12]Muhammad ibnu Mukarram ibnu Manzur (Ibnu Manzur), Lisan
al-Arab, (Beirut: Dar Ihya’ al-Turast al-Arab, 1412 H/ 1992 M),j.9,h.83
[13] Nuruddin Itr, ‘Ulum al-Hadist,
Terj.Mujiyo,(Bandung: PT Remaja Rosdakarya,1994),h.3
[14]M.Syuhudi Ismail, op cit, h.129
[15] Suyudi Ismael, op cit,h.132
[16] Ibid,h.133
[17] Ibid
[18] Ibid,h.134
[19] Zainimal, Ulumul Hadis, (Padang: The Minangkabau
Fondation, 2005),h. 139-141
[20] Ibid,h.141
[21] Ibnu Manzur, op cit ,j.9,h.16
[22] M.Syuhudi Ismail, op cit,h.135
[23] Muhammad ‘Ajaj Al Khatib,Terj. Qodirun Nur dan Ahmad
Musyafiq , op cit, h.276-277
[24] Nuruddin Itr, Terj.Mujiyo, op cit, h.3
[25] Manna’ Al-Qathan, Terj.Mifdhol Abdurrahman, op cit,
h.117
[26] Ibnu Manzur, op cit, j.7,h.61
[27] Bukhari. M, Kaedah Keshahihan Matan Hadis,
(Padang, Penerbit Azka, 2004),h.217
[28] Ibid,h.221
[29] Ibnu Manzur, op cit, juz.9,h.367
[30] Bukhari. M, op cit, h. 255
[31] M Agus Shalihin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis,
(Bandung:Pustaka Setia, 2009),h.144
[32] Manna’ al-Qathan, terj Mifdhol Abdurrahman, h.123
[33] Mudasir, Ilmu Hadis,(Bandung: Cv Pustaka
Setia,2005),h.149-150
[34] Ibnu Manzur, op.cit.,j. 3,h.177
[35] Ahmad Sutarmadi, Al-Imam Al-Tirmidzi Perananya
Dalam Pembangunan Hadis Dan Fiqh, (Ciputat: PT. Lugos Wacana Ilmu,1998),
h.94. dikutip dari Al-‘Ilal Karangan Al-Imam Al-Tirmidzi, Jilid 5,h.340
[36] M Agus Shalihin dan Agus Suyadi, op cit,h.146
[37] ‘Ajjaj al-Khatib, Terj. Qodirun Nur dan Ahmad
Musyafiq, op cit,h. 299
[38] M.Agus Solihin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadist,(Bandung:
Pustaka Setia, 2009),h.146
[39] ‘Ajjaj al-Khatib, Terj. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, op cit,h. 300
[40] Ibid
[41] Ibid
[42] Nuruddin Itr, Terj.Mujiyo, op cit, h.35
[43] Ibid,h.36
[44] ‘Ajjaj al-Khatib, Terj. Qodirun Nur dan Ahmad
Musyafiq, op cit,h. 300
0 Comment