EPISTEMOLOGI ILMU PENGETAHUAN
A. Pendahuluan
Manusia diciptakan oleh Allah untuk
menjadi khali>fah di muka bumi. Manusia mempunyai
tugas dan tanggung jawab yang berat sebagai khali>fah di bumi. Dia harus mengelola,
menjaga, dan memakmurkannya. Dan kelak akan dimintai pertanggung jawaban
terhadap segala hal yang telah dia kerjakan dan lakukan selama hidup di bumi
ini. Untuk tugas yang berat ini, Allah telah memberi manusia bekal berupa :
akal, hati, indera, dan lain sebaginya. Allah telah memberi Nabi Adam a.s (manusia
pertama) beberapa ilmu sebagai modal untuk menjadi khali>fah di bumi.
Ilmu merupakan sesuatu yang sangat
penting bagi kehidupan manusia. Tanpa ilmu, tak ada artinya dan tak ada bedanya
manusia dengan makhluk lainnya. Tanpa ilmu, manusia tidak akan bisa maju dan
berkembang. Karena itu, sebagai makhluk yang beradab dan berperadaban, manusia
harus mempunyai ilmu, khususnya ilmu pengetahuan.
Darimana manusia mendapatkan ilmu ? Dengan apa manusia bisa mendapatkan ilmu ? Bagaimana cara manusia mendapatkan ilmu ? Berikut akan dibahas dalam epistemologi ilmu pengetahuan.
a. Definisi Epistemologi
Secara bahasa, epistemologi
merupakan gabungan dari 2 (dua) kata, yaitu : “epistemo” dan “logi”.
Keduanya berasal dari bahasa Yunani, “episteme” yang berarti pengetahuan, dan “logos” yang berarti
teori. Jadi secara bahasa, epistemology berarti teori pengetahuan.
Sedangkan secara istilah, banyak
definisi tentang epistemologi yang telah dikemukakan oleh para ilmuwan, diantaranya
:
- Epistemologi adalah cabang ilmu filsafat tentang dasar-dasar dan
batas-batas pengetahuan.[1]
- Epistemologi merupakan cabang ilmu filsafat tentang dasar-dasar ilmu
pengetahuan, terutama dalam batas-batas dan nilainya.[2]
- Epistemologi merupakan cabang filsafat yang menyangkut problem – problem
dasar, batas – batas serta validitas dari pengetahuan dan
kepercayaan. (ini terjemahan dari apa yang telah ditulis oleh Antony
Douglas Woozley).[3]
- The Liang Gie menyatakan
sebagaimana yang dituilis oleh Suparman Syukur: “Hampir semua filosuf
berpendapat bahwa epistemologi merupakan penyelidikan filsafat
terhadap pengetahuan, khususnya tentang kemungkinan, asal mula, validitas,
batas – batas, sifat – sifat dasar dan aspek – aspek pengetahuan yang berkaitan.”[4]
- Menurut Harun Nasution
sebagaimana yang ditulis oleh Imam Syaukani, bahwa epistemologi
adalah ilmu yang membahas tentang apa itu pengetahuan dan bagaimana cara
memperoleh pengetahuan.[5]
- Epistemologi merupakan azas mengenai cara bagaimana materi pengetahuan
diperoleh dan disusun menjadi suatu tubuh pengetahuan yang meliputi
sumber dan sarana untuk mencapai ilmu pengetahuan.[6]
b. Definisi Ilmu
Secara bahasa , kata ‘ilmu’
merupakan serapan dari bahasa Arab al-‘ilmu ( العلم ) yang artinya pengetahuan.[7]
Sedangkan dalam bahasa
Sedangkan secara istilah, “ilmu” adalah pengetahuan yang sudah diklasifikasi, diorganisasi, disistematisasi dan diinterpretasi, yang menghasilkan kebenaran obyektif, sudah diuji kebenarannya dan dapat diuji ulang secara ilmiah.[9]
c. Definisi Pengetahuan
Dalam bahasa Indonesia, “pengetahuan”
berasal dari kata “tahu” yang artinya : mengerti sesudah melihat (menyaksikan,
mengalami, dan sebagainya), kenal (akan), mengenal, mengindahkan, mempedulikan,
mengerti, pandai, cakap, insaf, sadar, tak pernah. Sedangkan “pengetahuan”
adalah: segala sesuatu yang diketahui, kepandaian, segala sesuatu yang
diketahui berkenaan dengan hal (mata pelajaran).[10]
Sedangkan secara istilah, ada banyak
perbedaan di kalangan ilmuwan dalam mendefinisikan “pengetahuan”. Hal ini tak
lepas dari adanya perbedaan aliran dan madh-hab di kalangan mereka.
Diantaranya adalah :
Sedangkan kata “ilmu” dan kata
“pengetahuan” ketika digabung dan dirangkai maka membentuk suatu disiplin ilmu
tersendiri, yaitu ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan merupakan gabungan
berbagai pengetahuan yang disusun secara logis dan bersistem dengan
memperhitungkan sebab dan akibat.[13]
Jadi, “epistemologi ilmu pengetahuan”
adalah cabang ilmu filsafat yang membahas tentang hakekat ilmu pengetahuan,
sumber dan metode untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, dan lain sebagainya.
C. Sumber Ilmu Pengetahuan
Banyak perbedaan di kalangan ilmuwan
dan masyarakat tentang sumber ilmu pengetahuan, yakni darimana ilmu pengetahuan
itu diperoleh?, darimana lahir atau munculnya ilmu pengetahuan? Perbedaan –
perbedaan dalam hal ini berdampak pada munculnya aliran – aliran atau paham –
paham dalam dunia epistemologi. Dari perbedaan pendapat dan bermacam –
macam aliran tersebut dapat kita simpulkan secara umum dan garis besar bahwa
sumber – sumber ilmu pengetahuan adalah sebagai berikut :
- Wahyu
Secara etimologi , “wahyu”
berasal dari bahasa Arab al - wahyu ( الوØÙŠ ), yang artinya : isyarat, petujuk, ilham, perkataan yang
samar, suara, tulisan dan risa>lah.[14]
Sedangkan secara istilah, “wahyu”
adalah :
كلام الله تعالى المنزل
على نبي من ﺃنبياﺋه .[15]
Artinya : Firman Allah yang diturunkan kepada seorang
Nabi di antara para Nabi-Nya.
Definisi lain menyatakan bahwa “wahyu” adalah petunjuk
dari Allah yang diturunkan hanya kepada para Nabi dan Rasul melalui mimpi dan
lain sebagainya.[16]
Ilmu yang bersumber dari wahyu
ini tinggkat kebenarannya bersifat mutlak (absolut), dan menghasilkan religious
sciences.[17]
Wahyu sebagai salah satu
sumber ilmu pengetahuan hanya diakui oleh kaum agamis yang mempercayai adanya
Tuhan, adanya alam gha>ib dan metafisika.
- Akal
Secara etimologi, “akal”
merupakan serapan dari bahasa Arab al-‘aql ( العقل ) yang mengandung makna : pikiran, hati,
ingatan, daya dan kekuatan berpikir, faham, dan lain – lain.[18]
Sedangkan dalam bahasa
Sedangkan secara istilah, “akal”
merupakan potensi jiwa yang hanya dimiliki oleh manusia, ia merupakan tongkat
kehidupan dan dasar yang menjadi pijakan perkembangan selanjutnya yang mampu
menangkap sunnatulla>h, memahami realitas segala sesuatu,
sehingga darinya terpancar ilmu pengetahuan, yang mampu membuat pertimbangan
baik dan buruk yang akhirnya dapat menyimpulkan suatu tesis ”Tiada Tuhan Selain
Allah”.[20].
Imam al – Ghaza>li mengatakan :
و العقل منبع العلم و مطلعه و ﺃساسه , و العلم يجرى منه مجرى الثمرة من ا لشجرة و النور من الشمس و الرﺆية من العين ...[21]
Artinya : Akal adalah sebagai sumber , tempat memancar
dan azas (landasan) bagi ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan muncul darinya
seperti buah muncul dari pohon, cahaya muncul dari matahai, dan penglihatan
muncul dari mata….
Ilmu yang bersumber dari akal pikiran
manusia ini tingkat kebenarannya bersifat nisbi ( relatif ), dan
akal ini menghasilkan rational sciences.[22]
Akal sebagai sumber ilmu diakui oleh kaum agamis, aliran rationalisme, positivisme, dan fenomenalisme. Sedangkan aliran empirisme, mereka tidak mempercayai akal sebagai sumber ilmu.
- Indera
Secara etimologi, “indera”
bermakna : alat untuk merasa, mencium bau, mendengar, melihat, meraba, dan
merasakan sesuatu secara naluri (intuitif).[23]
Indera merupakan bagian dari organ tubuh manusia yang
berfungsi sebagai alat untuk mengenal dunia luar. Mata untuk melihat, hidung
untuk mencium bau, telinga untuk mendengar, lidah untuk mengecap rasa, dan
kulit untuk meraba. Semua ini dikenal sabagai panca indera. Dengan
indera manusia menerima info, sinyal, data – data dari dunia luar yang
kemudian dikirim dan diolah di otak, sehingga manusia mengerti dan paham apa
yang ada di dunia luar, yang dikenal
sebagai suatu pengetahuan atau ilmu.
Kaum empiris meyakini bahwa inderalah sumber ilmu bagi manusia. Pengetahuan manusia, bagi mereka bukan didapat lewat penalaran yang abstrak, tetapi lewat penalaran yang konkrit dan dapat diperoleh melalui panca indera[24].
D. Alat ( Sarana ) Untuk Mendapatkan
Ilmu Pengetahuan
Kita mengetahui dan mengakui, bahwa
sejak lahir telah dibekali oleh Allah dengan berbagai macam organ dan fasilitas
dalam diri, yang dengan itu kita bisa mengetahui, mengerti dan faham tentang
berbagai hal yang ada dalam jangkauan kemampuan manusia. Fasilitas dan organ
tersebut adalah : akal-pikiran, indera, hati, dan lain sebagainya. Dengan
alat-alat tersebut manusia bisa mengerti alam semesta, mengenal ilmu
pengetahuan, menciptakan dan menemukan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta
mengembangkannya. Namun ada perbedaan dan pertentangan di kalangan umat manusia
terutama para ilmuwan tentang apa yang menjadi sarana utama untuk mendapatkan
ilmu pengetahuan, yang akhirnya mendorong lahirnya berbagai macam aliran dalam dunia epistemologi.
E. Cara ( Metode ) Mendapatkan
Ilmu Pengetahuan
Ilmu merupakan suatu hasil yang telah
dicapai oleh manusia berkat bekal kemampuan – kemampuannya sebagai anugerah
dari Tuhan Maha Pencipta. Ilmu tidak dibekalkan sebagai barang jadi, tetapi
ilmu harus dicari. Dan untuk ikhtiya>r mencarinya, Tuhan telah membekali manusia dengan berbagai kemampuan
yang memang sesuai kodrat dan keinginan untuk mengetahui apa saja. [25]
Allah telah membekali manusia sebagai
khali>fah di bumi dengan akal, indera, hati,
dan lain – lain. Semuanya mempunyai fungsi dan tugas masing – masing. Yang
dengan semuanya itu, manusia akan bisa menjadi makhluk Allah yang beradab dan
berperadaban, serta mulia derajatnya dibandingkan dengan makhluk – makhluk yang
lain.
Secara fit}rah, manusia selalu ingin mengetahui apa
saja yang dapat dijangkau oleh akal dan intuisi-nya. Dengan modal ke-fit}rah-an ini, usaha manusia dengan proses
tertentu dan dengan metode keilmuan akan sampai kepada ilmu.[26]
Bagaimana manusia bisa mendapatkan
dan memperoleh ilmu pengetahuan ?
Di depan sudah dijelaskan bahwa ilmu pengetahuan
merupakan pengetahuan yang sudah diklasifikasikan, diorganisasi,
disistematisasi dan diinterpretasi, yang menghasilkan kebenaran obyektif, sudah
diuji kebenarannya, dan dapat diuji ulang secara ilmiah.[27]
Dengan demikian, untuk mendapatkan sebuah ilmu pengetahuan atau lahirnya suatu
ilmu pengetahuan membutuhkan suatu proses yang panjang, mulai dari pengumpulan
data, observasi, penelitian dan penyelidikan, pengujian kebenaran, dan
lain sebagainya. Yang semua ini dikenal di kalangan ilmuwan sebagai metode
ilmiah.
Semua konsep ilmu pengetahuan
diperoleh melalui suatu penelitian ilmiah. Penelitian adalah suatu pencarian
terhadap pengetahuan baru, atau sekurang-kurangnya terhadap pengaturan baru
dari pengetahuan yang timbul dengan menggunakan metode ilmiah.[28]
Setiap ilmu pengetahuan mempelajari dari suatu sudut pengamatan tertentu suatu
bagian tertentu dari kenyataan. Dan hal itu dilakukannya menurut suatu metode
ilmiah tertentu pula.[29]
Jadi, untuk lahirnya atau untuk
mendapatkan suatu ilmu pengetahuan haruslah melalui proses metode ilmiah.
Metode ilmiah merupakan pendekatan
atau cara yang dipakai dalam penelitian suatu ilmu.[30]
Untuk mendapatkan atau lahirnya suatu ilmu pengetahuan yang bisa diakui dan
diterima kebenaran dan kredibilitas-nya haruslah melalui beberapa fase
dan proses yang panjang. Fase atau
tahap-tahap dalam metode ilmiah adalah sebagai berikut :
1.
Perumusan masalah.
Hal ini dimaksudkan bahwa penelusuran
ilmiah diawali dengan masalah yang dirumuskan secara tepat dan jelas dalam
lingkaran pertanyaan, hingga bisa membuka ruang keadaan sesuatu untuk diketahui
fakta – fakta apa saja yang harus dikumpulkan.
2.
Pengamatan dan observasi
(pengumpulan data)
Tahap ini memiliki corak empiris
dan induktif, dimana seluruh kegiatan diarahkan pada pengumpulan data
dengan kecermatan pengamatan, dan didukung oleh berbagai sarana yang
memungkinkan. Kemudian hasil observasi ini tertuang dalam pernyataan –
pernyataan.
3.
Pengamatan dan klasifikasi
data.
Tahapan ini ditekankan pada penyusunan
fakta – fakta dalam kompleks tertentu, bedasarkan suatu sifat yang sama.
Hematnya, dalam hal ini dituntut untuk melakukan klasifikasi,
menganalisis, membandingkan, dan membedakan data – data yang relevan.
4.
Perumusan pengetahuan
(definisi)
Dalam hal ini, para ilmuwan
mengadakan analisis dan sintesis secara induktif. Melalui analisis
dan sintesis, mereka mengadakan generalis (kesimpulan umum). Dari
sinilah sebuah teori dilahirkan.
5.
Tahap prediksi
Disinilah deduksi beraksi
memainkan peranannya, dimana sebuah teori yang sudah tercipta membentuk hipotesis
baru, dan dari hipotesis ini lewat deduksi juga. Kemudian
dibentuk implikasi – implikasi logis agar dapat melakukan prediksi
tentang suatu gejala yamg perlu diketahui. Perlu dipahami, bahwa deduksi
ini selalu dirumuskan dalam bentuk silogisme.
6.
Verifikasi ( pengujian kebenaran hipotesis)
Dalam hal ini dilakukan pengujian kebenaran hipotesis. Perlu dicatat, bahwa dalam hal ini keputusan terletak pada fakta. Apabila fakta tidak mendukung hipotesis maka hipotesis tersebut harus di-rekontruksi ulang dengan diganti oleh hipotesis lain, dan seluruh kegiatan ilmiah harus dimulai lagi dari titik awal. Hematnya, data empiris merupakan penentu bagi benar atau tidaknya hipotesis.[31]
Melalui penyelidikan-penyelidikan dan
percobaan-percobaan ilmiah, manusia semakin lama semakin mendapatkan pengertian
yang mendalam atas kenyataan ; setiap kali aspek-aspek dan segi-segi baru,
hubungan-hubungan dan ikatan-ikatan baru, menjadi jelas.[32]
F. Aliran - Aliran Dalam Epistemologi
Banyak aliran dan paham – paham yang muncul dan berkembang dalam bidang epistemologi. Hal ini dipacu oleh adanya perbedaan pendapat tentang sumber – sumber ilmu dan pengetahuan. Perbedaan ini menimbulkan perbedaan pula dalam metode dan cara lahirnya atau munculnya ilmu pengetahuan serta sifat – sifat bagi ilmu tersebut. Diantara aliran – aliran yang muncul dalam epistemologi adalah sebagai berikut :
- Rasionalisme
Secara etimologi, “rasionalisme”
berasal dari kata dasar “rasio”, yang secara bahasa artinya adalah:
- Pemikiran menurut akal sehat,
akal budi, nalar.
- Hubungan taraf atau bilangan
antara dua hal yang mirip, perbandingan antara berbagai gejala yang dapat
dinyatakan dengan angka, nisbah.[33]
Sedangkan secara istilah, “rasionalisme” adalah:
1.
Teori (paham) yang menganggap
bahwa pikiran dan akal merupakan satu-satunya dasar untuk memecahkan problem
(kebenaran) yang lepas dari jangkauan indra.
2.
Paham yang lebih mengutamakan
(kemampuan) akal daripada emosi, batin, dan lain sebagainya.[34]
Aliran ini berpendapat bahwa ilmu
pengetahuan berasal dan bersumber dari kemampuan akal ( rasio). Mereka
mempercayai bahwa sumber ilmu pengetahuan yang dapat dipercaya dan mencukupi
adalah akal. Pengetahuan yang didapat melalui akal sajalah yang memenuhi syarat
aturan umum dan syarat pengetahuan ilmiah. Bagi seorang rasionalis, akal
tidak memerlukan pengalaman, karena pengalaman berfungsi untuk meneguhkan
pengetahuan yang didapat melalui akal.
Diantara tokoh aliran ini adalah Descartes, Spinoza dan
Leibniz.[35]
Menurut pandangan kaum rasionalis,
pengetahuan manusia terbagi menjadi dua :
1.
Pengetahuan intuitif
(sifatnya kepastian), yang sumber pokoknya adalah akal. Pengetahuan kepastian
disini maksudnya adalah bahwa akal sebagai sumbernya tidak perlu mencari dalil
kebenarannya, seperti mengetahui sumber kejadian mesti ada sebab.
2. Pengetahuan teoritis dan informasi, akal sebagai sumbernya tidak akan mempercayainya kecuali dengan bantuan pengetahuan-pengetahuan “pendahulu”. Proses pemikiran sangat diperlukan dengan cara menggali kembali pengetahuan terdahulu.[36].
- Empirisme.
Secara etimologi, “empirisme”
berasal dari kata dasar “empiri” atau “empiris”, yang artinya
adalah: pengalaman (yang ditemui dari alam ini) sebagai sumber pengetahuan. “Empiris”
artinya: berdasarkan pengalaman (terutama yang diperoleh dari penemuan,
percobaan, pengamatan yang telah dilakukan).[37]
Sedangkan secara istilah, “empirisme” adalah:
1.
Aliran ilmu pengetahuan dan
filsafat berdasarkan metode empiris.
2.
Teori yang mengatakan bahwa
semua pengetahuan didapat dengan pengalaman.[38]
Aliran ini berpendapat bahwa ilmu
pengetahuan berasal dan bersumber dari kemampuan indera lahir dan empirisitas.
Jika kaum rasionalis mendasarkan diri kepada rasio, maka kaum empiris
mendasarkan diri kepada pengalaman.
Pengetahuan manusia bukan didapat lewat penalaran yang abstrak,
tetapi lewat penalaran yang konkrit dan dapat diperoleh melalui panca
indera.[39]
Akal atau rasio dalam hal ini hanya bersifat
pasif pada saat pengetahuan didapatkan. Semula akal mirip dengan secarik kertas
yang tanpa tulisan, bersih tiada bernoda (tabularasa). Kemudian ia
menerima guratan-guratan yang mula-mula kecil dan sedikit seterusnya makin lama
besar dan banyak yang datang dari pengalaman. Dengan demikian, objek
pengetahuan adalah gagasan atau ide-ide yang timbul karena pengalaman, baik
pengalaman lahiriah (sensation) atau karena pengalaman batiniah
(reflection).[40]
Diantara tokoh aliran ini adalah : John Locke, Berkeley, dan David Hume.[41]
- Positivisme.
Secara etimologi, “positivisme”
berasal dari kata dasar “positive”, yang artinya : pasti, tegas, tentu,
yakin, bersifat nyata dan membangun, lebih besar dari nol, dan lain-lain.[42]
Sedangkan secara istilah, “positivisme”
adalah aliran filsafat yang beranggapan bahwa pengetahuan itu semata-mata
berdasarkan pengalaman dan ilmu yang pasti.[43]
Aliran ini berpendapat bahwa
pengetahuan manusia bisa didapat dari kedua - duanya ( rasio dan
indera). Antara indera dan akal (rasio) terdapat hubungan yang saling
berkaitan. Keduanya memiliki fungsi dan tugas masing – masing dan tidak dapat
dipisahkan sehingga melahirkan suatu ilmu pengetahuan.
Diantara tokoh aliran ini adalah David Hume. [44]
- Fenomenalisme.
Secara etimologi, “fenomenalisme”
berasal dari kata dasar “fenomena”, yang artinya: hal-hal yang dapat
disaksikan dengan panca indra dan dapat diterangkan serta dinilai secara
ilmiah, fakta, kenyataan, sesuatu yang luar biasa, keajaiban, gejala.[45]
“Fenomena” adalah segala sesuatu yang tampak dan bisa kita persepsi
dengan indera kita. [46]
Sedangkan secara istilah, ”fenomenalisme”
adalah teori yang menyatakan bahwa semua pengetahuan adalah fenomena,
dan semua yang ada ini adalah fenomenal (luar biasa, hebat, dapat
disaksikan dengan panca indera).[47]
Aliran ini hampir sama dengan aliran positivisme,
yakni mempercayai bahwa ilmu pengetahuan manusia bisa didapat dari rasio
dan indera, dan antara keduanya terdapat hubungan saling berkaitan, namun
kedunya hanya mampu mengetahui segala sesuatu yang tampak dan yang bisa di-persepsi
dengan indera saja (fenomena). Sedangkan sesuatu yang tidak bisa
diketahui, tidak bisa digambarkan, dan tidak bisa dicapai dengan indera maka
tidak bisa diketahui oleh manusia.
Diantara tokoh aliran ini adalah :Immanuel Kant. [48]
G. Validitas Kebenaran Ilmu Pengetahuan
Di depan sudah dijelaskan, bahwa ilmu
yang bersumber dari wahyu derajat kebenarannya mutlak (absolute),
sedangkan ilmu yang bersumber dari selain wahyu derajat kebenarannya
relatif (nisbi), baik yang bersumber dari akal-pikiran, indera, intuisi,
dan lain sebagainya. Ilmu pengetahuan muncul, ditemukan, dan diketahui oleh
manusia lewat proses dan metode yang panjang dan berliku-liku. Bagaimana
kebenaran dari suatu ilmu pengetahuan
bisa dinilai atau diakui ? Atau, apa ukuran atau kriteria kebenaran dari suatu
ilmu?
- Teori koherensi
Teori
ini menyatakan bahwa suatu pernyataan akan dianggap benar bila pernyataan itu
bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan yang memiliki hierarki
yang lebih tinggi yang sebelumnya dianggap benar, baik skema, sistem maupun
nilai, mungkin pada tataran rasional dan mungkin pada tataran transenden.
- Teori korespondensi
Teori ini menyatakan bahwa suatu
pernyataan dianggap benar apabila terdapat fakta-fakta empiris yang
mendukung pernyataan itu.
- Teori pragmatis
Teori ini menyatakan bahwa kebenaran
suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat
fungsional dalam kehidupan praktis atau tidak.[49]
H. Kesimpulan
Epistemologi ilmu pengetahuan merupakan cabang ilmu
filsafat yang membahas tentang hakekat ilmu pengetahuan, sumber dan metode
untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, dan lain sebagainya.
Banyak perdebatan dan perbedaan di
kalangan ilmuan berkaitan dengan sumber ilmu pengetahuan, yang akhirnya melahirkan
(memunculkan) berbagai macam aliran dalam epistemologi.
Akal dan indera merupakan dua organ dan dua faktor yang sangat penting dan krusial bagi manusia dan bagi lahir dan munculnya ilmu. Meskipun banyak perdebatan dan perselisihan dikalangan ilmuwan tentang sumber – sumber ilmu serta metode dan cara mendapatkan ilmu, namun semuanya tidak mengingkari urgensitas masing – masing ( akal dan indera ). Keduanya mempunyai tugas dan fungsi masing – masing, dan keduanya saling berkaitan serta berhubungan hingga tercapainya ilmu dan pengetahuan. Ilmu pengetahuan lahir dan muncul melewati dua organ tersebut dan melewati fase dan proses yang panjang yang disebut metode ilmiah. Dengan metode ilmiah inilah suatu ilmu dihasilkan sehingga menjadi sebuah ilmu pengetahuan yang bisa diterima kebenaran dan kredibilitasnya.
I. Bibliografi :
1.
Abd. Rachman Asegaf, Studi
Islam Kontekstual.
2.
Abu> H{a>mid Al-Ghoza>li, Ih}ya’ ‘Ulu>m al-Di>n jilid 1.
3.
A.W.Munawwir, Kamus
Al-Munawwir Arab
4.
Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
5.
Departemen Pendidikan Nasional,
Kamus Besar Bahasa
6.
Imam Syaukani, Rekonstruksi
Epistemilogi Hukum Islam
7.
J.S.Badudu, Kamus Kata –
Kata Serapan Asing Dalam Bahasa
8.
Kamajaya, Cerdas Belajar
Fisika Untuk Kelas X SMA / MA.
9.
Manna>’ al-Qat}a>n, Maba>h}ith Fi ‘Ulu>m Al-Qur’a>n. Mans}u>rah al-‘As}r al-H{adi>th, 1973.
10.
R.A. Rivai, Filosofi. PT.Dharma
Aksara Pratama, 1973.
11.
Suparman Syukur, Epistemologi
Islam Skolastik.
12.
Surajiyo, Ilmu Filsafat
Suatu Pengantar.
13.
Tholhatul Choir, Ahwan Fanani
dkk, Islam Dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer.
[1] Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia ( Jakarta: Balai Pustaka, 1997 ), 268.
[2] J. S. Badudu, Kamus Kata-Kata Serapan Asing Dalam Bahasa
[3] Suparman Syukur, Epistemologi
Islam Skolastik (
[4] Ibid. , 10.
[5] Imam Syaukani, Rekonstruksi
Epistemologi Hukum Islam
[6] Suparman Syukur, Epistemologi Islam Skolastik , 207.
[7] A.W. Munawwir, Kamus
Al-Munawwir ( Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997 ), 966.
[8] Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia
, 371.
[9] Abd. Rachman Asegaf, Studi
Islam Kontekstual (
[10] Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia , 990 – 991.
[11] Imam Syaukani, Rekonstruksi Epistemologi Hukum Islam
[12] Ibid. , 159 - 160.
[13] Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia , 371.
[14] A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir , 1545.
[15]Manna> ‘u al-Qat}a>n, Maba>h}ith fi ‘Ulu>m al - Qur’a>n ( Manshura>t al
– ‘As}r al –H{adi>th, 1973),
33.
[16] Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia , 1122.
[17] Abd. Rachman Asegaf, Studi
Islam Kontekstual , 194.
[18] A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir , 957.
[19] Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia , 16.
[20] Suparman Syukur, Epistemologi Islam Skolastik , 66.
[21] Abu> H{a>mid al – Ghaza>li, Ih}ya ‘ ‘Ulu>m al – Di>n
jilid-1 ( Cairo : Da>r al – H{adi>th, 2004 ), 112.
[22] Abd. Rachman Asegaf, Studi
Islam Kontekstual , 194.
[24] Tholhatul Choir, Ahwan Fanani dkk,
Islam Dalam Berbagai Pembacaan Kontenporer (
[25] Abd. Rachman Asegaf, Studi Islam Kontekstual , 197.
[26] Suparman Syukur, Epistemologi Islam Skolastik , 213.
[27] Abd. Rachman Asegaf, Studi
Islam Kontekstual , 194.
[28] Kamajaya, Cerdas Belajar Fisika Untuk Kelas X SMA / MA (
[29] R.A. Rivai, Filosofi (PT.Dharma Aksara Pratama, 1973), 83.
[30] Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia , 653.
[31] Surajiyo, Ilmu Filsafat suatu pengantar (
[32] R.A. Rivai, Filosofi ,
87-88.
[33] Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia , 821.
[34] J. S. Badudu, Kamus Kata-Kata Serapan Asing Dalam Bahasa
[35] Tholhatul Choir, Ahwan Fanani dkk, Islam Dalam Berbagai Pembacaan
Kontenporer , 8 – 9.
[36] Suparman Syukur, Epistemologi Islam Skolastik , 57.
[37] Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia , 262.
[38] J. S. Badudu, Kamus Kata-Kata Serapan Asing Dalam Bahasa
Indonesia , 90.
[39] Tholhatul Choir, Ahwan Fanani dkk,
Islam Dalam Berbagai Pembacaan Kontenporer , 9.
[40] Imam Syaukani, Rekonstruksi Epistemologi Hukum Islam
[41] Tholhatul Choir, Ahwan Fanani dkk,
Islam Dalam Berbagai Pembacaan Kontenporer , 9.
[42] Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia , 783.
[43] J. S. Badudu, Kamus Kata-Kata Serapan Asing Dalam Bahasa
Indonesia , 283.
[44] Tholhatul Choir, Ahwan Fanani dkk,
Islam Dalam Berbagai Pembacaan Kontenporer, 9.
[45] Departemen Pendidikan
Nasional, Kamus Besar Bahasa
[46] Tholhatul Choir, Ahwan Fanani dkk,
Islam Dalam Berbagai Pembacaan Kontenporer , 11.
[47] Departemen Pendidikan
Nasional, Kamus Besar Bahasa
[48] Tholhatul Choir, Ahwan Fanani dkk,
Islam Dalam Berbagai Pembacaan Kontenporer , 11.
[49] Ibid. , 163.
0 Comment