Danial Achmad, 2011. Aksiologi Ilmu
Pengetahuan. Makalah konsentrasi
Tafsir Hadis Program Pasca Sarjana Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel
Surabaya
Masalah yang dikaji
dalam makalah ini meliputi 1) apakah Aksiologi Ilmu Pengetahuan, 2) bagaimana kedudukam
Aksiologi dalam Ilmu Pengetahuan.
Aksiologi atau teori
nilai merupakan cabang filsafat yang membicarakan tentang nilai, yang dibagi
atas etika dan estetika. Nilai etika atau moral merupakan seperangkat teori
yang dapat digunakan untuk mengukur suatu hal itu baik atau buruk, patut
dikerjakan atau tidak. Sementara estetika adalah cabang filsafat yang membahas tentang
keindahan, dan secara subtantif merupakan pemuasan
terhadap keinginan atau kemauan yang disebut peasure
(kesenangan).
Dalam aksiologi ilmu
pengetahuan, nilai etika merupakan piranti untuk mengontrol ilmu pengetahuan, baik
secara teoritis maupun praktis. Namun, kontrol
secara teoritis, dipandang sebagai campur tangan nilai yang akan sangat
menganggu obyektifitas ilmu pengetahuan, membuatnya tidak murni lagi, bahkan
menghambat perkembangannya. Walaupun begitu,
masuknya nilai pada wilayah teoritis ini tidak dapat disalahkan, karena
pada tataran teoritis ini, nilai dapat mengontrol tujuan semula ilmu
pengetahuan dari rekayasa. Artinya, ilmu pengetahuan bertujuan membantu
manusia, tapi pada kasus cloning, manusia justru telah mengatur tujuan manusia
itu sendiri.
Berbeda dengan kontrol
teoritis, nilai sebagai kontrol secara praktis merupakan satu tawaran yang
tidak dapat ditiadakan dan ditolak. Sejarah telah membuktikan, penggunaan ilmu
pengetahuan tanpa tanggung jawab, telah banyak merusak dan menghancurkan tujuan
ilmu pengetahuan itu sendiri. Bom atom yang telah menghancurkan kota Herosima
dan Nagasaki, merupakan tragedi besar akibat penyalahgunaan ilmu pengetahuan.
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa nilai sangat dibutuhkan oleh ilmu pengetahuan, baik secara teoritis maupun praktis, untuk mengontrol dan membimbing manusia menuju kehidupan sejahtera.
Ilmu
merupakan perangkat penting untuk dapat mengantarkan manusia untuk membantu
mencapai tujuannya. Dengan ilmu pengetahuan, semua keperluan dan kebutuhan
manusia bisa terpenuhi secara lebih
cepat dan lebih mudah. Tak dapat dipungkiri manfaat Ilmu dalam mengubah wajah
dunia seperti hal memberantas penyakit,
mengatasi kelaparan, kemiskinan dan membantu menyelesaikan berbagai persoalan
rumit yang hadir dalam kehidupan manusia. Dengan kemajuan ilmu pula, manusia
dapat merasakan kemudahan
lainnya, seperti transportasi, pemukiman, pendidikan dan komunikasi.
Secara
idealis, banyak nilai positif yang diperoleh dari fungsi ilmu pengetahuan untuk
membantu manusia mempermudah segala aktifitasnya. Terbukti, dengan kemajuan ilmu pengetahuan, manusia
dapat menciptakan berbagai bentuk teknologi seperti teciptanya bom. Namun,
dalam perkembangannya, temuan tersebut kemudian dipergunakan untuk hal-hal yang bersifat negatif, sehingga
menimbulkan malapetaka bagi manusia itu
sendiri.
Dari
dampak negatif yang ditimbulkan akibat dari penyalahgunaan tersebut, perlu
sekali meletakkan peran, fungsi dan tujuan ilmu pengetahuan secara proposional.
Dengan begitu, pada akhirnya mampu mendudukkan posisi ilmu pengetahuan
sebagaimana mestinya, yakni membantu manusia untuk memperoleh tujuannya.
Dalam
rangka mendapatkan tujuan positif tersebut, sangat penting sekali membekali
pencipta dan pengguna ilmu agar tetap memihak pada nilai-nilai kebaikan dan kemanusiaan. Sebab jika
ilmu tidak berpihak kepada nilai-nilai,
maka yang terjadi adalah bencana dan malapetaka.
Oleh karena itu, dalam makalah ini akan membahas tentang aksiologi ilmu pengetahuan, untuk mengetahui dan memahami apakah ilmu perlu memperhatikan nilai atau tidak sebagai tanggung jawab akademis dan tanggung jawab moral ilmu pengetahuan.
AKSIOLOGI ILMU
PENGETAHUAN
A.
Pengertian Aksiologi dan
Ilmu Pengetahuan
Secara etimologi, Aksiologi berasal dari
bahasa Yunani, Axios artinya nilai, dan logos artinya
teori. Jadi aksiologi berarti teori tentang
nilai.[1]
Sedangkan secara terminologi, Aksiologi
adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari ilmu pengetahuan yang
diperoleh.[2]
Aksiologi adalah kegunaan ilmu
pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai, khususnya
etika. Nilai-nilai sebagai tolak ukur kebenaran, etika dan moral sebagai dasar
normatif penelitian dan penggalian, serta penerapan ilmu. Aksiologi merupakan
bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk, benar dan
salah, serta tentang cara dan tujuan.
Dari
definisi tersebut, permasalahan yang utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang
dimiliki manusia untuk melakukan berbagai
pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada
permasalahan etika dan estetika.
Dalam bahasa Inggris Ilmu biasanya
dipadankan dengan kata science, sedang pengetahuan
dengan knowledge yang secara sederhana diartikan dengan hasil tahu
manusia terhadap sesuatu,[3]
atau sesuatu yang di dapat dari pengalaman,[4]
atau segala perbuatan manusia untuk memahami suatu obyek yang dihadapinya, atau
hasil usaha manusia untuk memahami suatu obyek tertentu.
Pudjawinata menjelaskan, pengetahuan
berkaitan dengan hal-hal yang berlaku umum dan pasti yang dipergunakan untuk
keperluan sehari-hari atau pegetahuan yang diperoleh secara tidak sadar.[5]
Dalam bahasa Indonesia ilmu disamakan artinya dengan pengetahuan.[6]
Pengetahuan berasal dari knowledge, ilmu dari Science dan merupakan
peralihan dari bahasa Arab, 'ilm.[7]
Kata science berasal dari bahasa latin, Scio, Scire yang berarti tahu,
yang umumnya diartikan Ilmu, tapi sering juga diartikan dengan ilmu
pengetahuan, meskipun secara konseptual mengacu pada makna yang sama.
Ilmu, pada prinsipnya merupakan usaha
untuk mengorganisasikan dan mensistematisasikan suatu pengetahuan yang berasal
dari pengalaman, dan pengamatan dalam kehidupan sehari-hari. Kemudain dilanjutkan
dengan suatu pemikiran secara cermat dan teliti dengan menggunakan berbagai
metode.
Dari pengertian diatas dapat
didefinisikan, bahwa Ilmu pengetahuan adalah suatu sistem pengetahuan dari
berbagai pengetahuan, mengenai suatu lapangan pengalaman tertentu, yang disusun
sedemikian rupa menurut asas-asas tertentu, hingga menjadi kesatuan atau sistem
dari berbagai pengetahuan. masing-masing ilmu pengtahuan didapatkan sebagai
hasil pemeriksaan-pemeriksaan yang dilakukan secara teliti dengan memakai
metode-metode tertentu/induksi, deduksi. Dengan begitu, pengetahuan tidak bisa
lansung menempati ilmu, karena Ilmu yang kemudian disebut dengan Ilmu pengetahuan
harus terstruktur, sistematik, bermetode berdasarkan obyek tertentu yang
diperoleh dari hasil pengamatan, penelitian dan pembuktian secara ilmiah untuk
memperoleh teori. Namun, tidak menutup kemungkinan penyebutan pengetahuan dengan
maksud ilmu, jika yang dimaksud pengetahuan adalah mengacu pada makna yang sama
dengan ilmu, sebagaimana yang telah dijelaskan diatas.
Dengan demikian aksiologi ilmu pengetahuan didefinisikan sebagai seperangkat tinjauan dari sudut pandang nilai, tujuan-tujuan, norma-norma, aturan-aturan dan prinsip etis tentang ilmu pengetahuan.
B.
Pembagian Aksiologi
Gagasan aksiologi dipelopori oleh Lotze
Brentano, Husserl Scheller, dan Nocolai Hatmann. Scheller mengontraskan
aksiologi dengan
praeksologi, yaitu pengertian umum mengenai hakikat
tindakan, secara khusus bersangkutan dengan dientologi, yaitu teori moralitas
mengenai tindakan yang
benar. Aksiologi dalam pembahasannya di bagi menjadi dua jenis, yaitu etika dan
estetika.[8]
1.
Etika
Etika secara etimologi berasal dari
bahasa yunani yaitu ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat.
Secara terminologi etika adalah cabang filsafat yang membicarakan tingkah laku
atau perbuatan manusia dalam hubungannya dengan baik atau buruk.[9]
Penggunaan Etika dari sudut maknanya
terbagi menadi dua bentuk arti.[10]
Arti pertama, dipakai untuk suatu kumpulan pengetahuan, dengan obyek penilaian
terfokus terhadap perbuatan manusia. Penggunaan arti dalam hal ini dapat
diilustrasikan sebagaimana orang telah melakukan aktivitas belajar. Kemudian ia
menyampaikan “saya pernah belajar etika”. Sementara arti
kedua,
digunakan sebagai suatu predikat untuk menilai perbuatan seseorang atau membedakan
hal-hal, atau tindakan manusia lain. Pada pengertian ini, etika digunakan untuk
menilai atau mengukur standar sesuatu hal, apakah sopan dan etis, seperti perilaku
bohong atau pemerkosaan sebagai tindakan yang tidak bermoral.
Etika dapat dibagi menjadi etika
deskriptif dan etika normatif. Etika deskriptif hanya berkonsentrasi pada melukiskan,
menggambarkan, menceritakan apa adanya. Selain itu, etika normatif juga tidak
memberikan penilaian, tidak memilih mana yang baik dan mana yang buruk, dan
tidak mengajarkan bagaimana seharusnya berbuat, seperti sejarah. Adapun etika
normatif sudah memberikan penilaian mana baik dan mana yang buruk, mana yang
harus dikerjakan dan mana yang tidak.
Etika dan moral sama artinya, tetapi
dalam pemakaian sehari-hari ada sedikit perbedaan. Moral dipakai untuk
perbuatan yang sedang dinilai, atau apa yang seharusnya dilakukan atau tidak
dilakukan yang bersangkutan dengan agama. Adapun etika dipakai untuk pengkajian
sistem nilai, yang ada atau landasan sistem nilai dalam kehidupan kemasyarakatan datu budaya[11].
Obyek etika, menurut Franz Magnis Suseno
(1987) adalah pernyataan moral apabila diperiksa dengan segala jenis moral, yang
pada dasarnya hanya dua macam, yaitu pernyataan tentang tindakan manusia, dan
pernyataan tentang manusia sendiri atau tentang unsur-unsur kepribadian manusia,
seperti motif-motif, maksud atau watak
2.
Estetika
Estetika dari bahasa yunani aesthesis,
adalah cabang filsafat yang berbicara tentang keindahan. Estetika dengan objek
pengalaman akan keindahan secara substansi mencari hakikat dari keindahan,
bentuk-bentuk pengalaman keindahan, menyelidiki emosi manusia sebagai reaksi
terhadap yang indah, agung, tragis, bagus, mengharukan dan sebagainya.
Beberapa persoalan
yang berkaitan dengan nilai estetika meliputi hakikat
nilai, tipe nilai, criteria nilai
dan status metafisika nilai. Secara subtantif, nilai estetika adalah suatu
pemuasan terhadap
keinginan atau kemauan yang disebut peasure atau kesenangan.
Nilai itu dianggap baik, apabila memenuhi
kebutuhan dan memiliki nilai
instrumental, sebagian alat untuk mencapai tujuan. Sedangkan tipe nilai dapat dibedakan antara nilai instinsik dan nilai instrumental. Nilai instrinsik
merupakan nilai akhir yang menjadi tujuan
sedangkan nilai instrumental merupakan alat untuk mencapai nilai instinsik. Sebagai contoh nilai instrinsik
adalah nilai yang dipancarkan oleh suatu lukisan,
dan shalat lima waktu sebagai perbuatan yang sangat luhur. Nilai
instrumentalnya bahwa dengan
melaksanakan shalat, akan mencegah perbuatan keji/jahat, yang dilarang oleh
Allah dan tujuan akhirnya mendapat kebahagiaan hidup
dunia dan akhirat.
Kemudian yang dimaksud dengan kriteria
nilai adalah sesuatu yang menjadi ukuran nilai,
bagaimana nilai yang baik, dan bagaimana nilai yang tidak
baik. Kaum hedisme menemukan, nilai merupakan sejumlah
peasure yang dicapai oleh individu atau masyarakat. Bagi kaum pragmatis,
kriteria nilai adalah kegunaannya dalam
kehidupan, bagi individu atau masyarakat.
Menurut objektivisme, nilai itu berdiri
sendiri namun bergantung dan berhubungan
dengan pengalaman manusia. Sedangkan pertimbangan tentang nilai, berbeda antara manusia yang satu
dengan yang lainnya.
Dalam aksiologi, estetika dibedakan
menjadi estetika deskriptif dan estetika normatif. Estetika deskriptif
menggambarkan gejala-gejala pengalaman keindahan, sedangkan estetika normatif
mecari dasar pengalaman itu.
C.
Aksiologi Ilmu
Pengetahuan
Peradaban manusia sangat berhutang kepada
ilmu pengetahuan dan teknologi. Berkat kemajuan dalam bidang ini, pemenuhan
kebutuhan manusia bisa dilakukan secara cepat dan lebih mudah disamping
menciptakan berbagai kemudahan dalam berbagai bidang.
Lahirnya dan berkembangnya Ilmu Pengetahuan telah
banyak membawa perubahan dalam kehidupan manusia, terlebih lagi dengan makin
intensnya penerapan Ilmu dalam bentuk teknologi yang telah menjadikan manusia
lebih mampu memahami berbagai gejala, serta mengatur kehidupan secara lebih
efektif dan efisien. Hal itu berarti, bahwa ilmu mempunyai dampak yang besar
bagi kehidupan manusia, dan ini tidak terlepas dari fungsi dan tujuan ilmu itu
sendiri.
Dari sisi fungsi ilmu lebih bersifat praktis, yakni
sebagai disiplin atau aktivitas untuk memperbaiki sesuatu, membuat kemajuan,
mempelajari fakta serta memajukan pengetahuan untuk memperbaiki bidang-bidang
kehidupan. Ilmu dapat membantu untuk memahami, menjelaskan, mengatur dan
memprediksi berbagai kejadian baik yang bersifat kealaman maupun sosial yang
terjadi dalam kehidupan manusia. Setiap masalah yang dihadapi manusia selalu
diupayakan untuk dipecahkan agar dapat dipahami, dan setelah itu manusia
menjadi mampu untuk mengaturnya serta dapat memprediksi kemungkinan-kemungkinan
yang akan terjadi berdasarkan pemahaman yang dimilikinya. Dengan kemampuan
prediksi tersebut, perkiraan masa depan dapat didesain dengan baik meskipun hal
itu bersifat probabilistik, mengingat dalam kenyataannya sering terjadi hal-hal
yang bersifat unpredictable.
Dengan dasar fungsi tersebut, maka dapatlah difahami
tentang tujuan dari ilmu adalah untuk memahami, memprediksi, dan mengatur
berbagai aspek kejadian di dunia, disamping untuk menemukan atau
memformulasikan teori. Kemudian, teori itu menjadi penjelasan tentang sesuatu,
sehingga dapat diperoleh kefahaman, dan dengan kepahaman maka prediksi kejadian
dapat dilakukan dengan probabilitas yang cukup tinggi, asalkan teori tersebut
telah teruji kebenarannya
Namun, dalam kemungkinannya, ilmu
pengetahuan dapat juga berdampak negatif. Penemuan-penemuan dalam ilmu pengetahuan
yang pada awalnya dimaksudkan untuk membantu manusia untuk membantu mempermudah
dalam mencapai tujuannya, justru digunakan dalam hal-hal yang tidak bertanggung
jawab. Akibantya, penemuan dan hasil ilmu pengetahuan menjadi menghancurkan dan
merusak idealisme dari tujuan pengembangan ilmu pengetahuan itu sendiri.
Menyingkapi fenomena fungsi dan dampak Ilmu
pengetahuan, para ilmuwan terbagi dalam dua kelompok.[12]
Kelompok pertama menyatakan, ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai
baik. Dalam hal ini,
ilmuwan bertugas untuk melakukan aktivitas mengkaji dan menemukan pengetahuan,
kemudian dalam penggunaanya, kearah positif-negatif atau baik-buruk bergantung kepada orang lain.
Selanjutnya Kelompok lain mengemukakan,
netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanya terbatas
pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya harus berlandaskan
nilai-nilai moral. Kelompok kedua mendasarkan pendapatnya pada tiga hal, yakni
pertama ilmu secara riil telah dipergunakan dan telah dibuktikan oleh manusia
dalam perang dunia yang mempergunakan teknologi
keilmuan. Kedua, Ilmu telah berkembang dengan pesat, sehingga kemungkin terjadinya efek-efek
negatif dan penyalahgunaan ilmu pengetahuan lebih bisa diketahui oleh para ilmuwan.
Ketiga, perkembangan pesat ilmu pengetahuan sangat mungkin dapat mengubah
manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki, seperti kasus rekayasa proses
kejadian manusia dalam kloning. Berangkat dari sini, secara moral sudah
semestinya, bahkan merupakan suatu keharusan ilmu ditujukan untuk kebaikan
manusia, tanpa mengubah hakikat kemanusiaan dan merendahkan martabatnya.
Melihat analisa diatas, secara epistemologis
tampak, bahwa ilmu bersifat netral. Artinya. asal muasal terciptannya atau
hasil ilmu pengetahuan tidak berpihak pada
siapapun, selain kepada kebenaran yang nyata. Namun
secara aksiologis, ilmuwan harus mampu
menilai mana yang baik dan buruk, yang pada
hakikatnya mengharuskan seorang ilmuwan mempunyai landasan moral yang kuat.
Dari sini dapat diambil kesimpulan, bahwa
seorang ilmuwan tanpa mempertimbangkan pada wilayah aksiologis, lebih merupakan
seorang yang menakutkan dan
mengkhawatirkan bagi kehidupan. Pada tataran ini, etika keilmuan merupakan
etika yang normative, yang merumuskan prinsip-prinsip
etis untuk dapat dipertanggungjawabkan secara rasional, dan dapat diterapkan
dalam ilmu pengetahuan. Tujuan etika keilmuan adalah agar seorang ilmuwan dapat
menerapkan prinsip-prinsip moral yang baik dan menghindarkan dari yang buruk ke
dalam prilaku keilmuannya, sehingga menjadi ilmuwan yang mempertanggungjawabkan
prilaku ilmiahnya. Dengan etika yang menetapkan kaidah-kaidah ini, akan mampu mendasari
pemberian penilaian terhadap perbuatan-perbuatan apa yang seharusnya dikerjakan
dan apa yang seharusnya terjadi. Selain itu, etika tersebut akan dapat
menetapkan apa yang bertentangan dengan yang seharusnya terjadi.
Konsekwensi ini merupakan suatu kewajiban
bagi ilmu pengetahuan untuk harus dan dapat berpedoman, serta bersikap penuh
tanggung jawab, baik tanggungjawab ilmiah maupun tanggungjawab moral. Tanggung jawab
ilmiah melihat, sejauhmana ilmu pengetahuan melalui pendekatan metode dan
sistem yang dipergunakan untuk memperoleh kebenaran obyektif, baik secara korehen-idealistik,
koresponden-realistis maupun secara pragmatis-empirik. Jadi dari tanggungjawab
ini, ilmu pengetahuan tidak dibenarkan untuk mengerjakan kebohongan, dan
hal-hal negatif lainnya. Sementara tanggungjawab moral, akan dapat dilihat dan
diprediksi, penggunaan hasil dari ilmu pengetahuan tersebut tidak bertentangan
nilai kebaikan dan nilai kemanusiaan.
Berdasar dari apa yang telah diuraikan,
dipahami ilmu pengetahuan mengandung nilai. Kebenaran nilai ilmu pengetahuan
yang dikandungnya, bukan untuk kebesaran ilmu pengetahuan semata, yang berdiri
hanya mengejar kebenaran obyektif yang bebas nilai, melainkan selalu terikat
dengan kemungkinan terwujudnya kesejahteraan dan kebahagiaan umat manusia.
Pada gilirannya, ilmuan sampai pada beberapa pilihan,
apakah ilmu pengetahuan dan teknologi netral dari segala nilai atau justru
batas petualangan dan prospek pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak
boleh mengingkari suatu nilai, seperti nilai moral, religius, dan ideologi.
Dengan demikian, implikasi dan nilai-nilai atau
aksiologi dalam ilmu pengetahuan harus diintegrasikan secara utuh dalam
kehidupan secara praktis dan tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai
yang meliputi kecerdasan, nilai-nilai ilmiah, nilai moral, dan nilai agama. Hal
ini tersimpul di dalam tujuan perolehan ilmu pengetahuan yakni membawa
kepribadian secara sempurna. Artinya sempurna yang ditentukan oleh
masing-masing pribadi, masyarakat, bangsa sesuai situasi dan kondisi.
Oleh karena itu, pada tingkat aksiologis, pembicaraan tentang nilai-nilai adalah hal yang mutlak. Nilai ini menyangkut etika, moral, dan tanggungjawab manusia dalam mengembangkan ilmu pengetahuan untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemaslahatan manusia itu sendiri. Karena dalam penerapannya, ilmu pengetahuan juga punya bias negatif dan destruktif, maka diperlukan teladan nilai dan norma untuk mengendalikan potensi nafsu angkara murka manusia ketika hendak bergelut dengan pemanfaatan ilmu pengetahuan. Disinilah etika menjadi ketentuan mutlak, yang akan menjadi well-supporting bagi pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi guna meningkatkan derajat hidup serta kesejahteraan dan kebahagiaan manusia.
KESIMPULAN
Aksiologi
adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang
nilai-nilai, khususnya etika. Nilai sebagai tolak ukur kebenaran, etika dan
moral sebagai dasar normatif penelitian dan penggalian, serta penerapan ilmu. Lebih
spesifik, aksiologi merupakan bagian dari filsafat yang menaruh perhatian
tentang baik dan buruk, benar dan salah, serta tentang cara dan tujuan.
Sementara
ilmu pengetahuan berfungsi untuk membantu dan mempermudah manusia dalam
mencapai tujuannya. Penerapan Ilmu dalam bentuk teknologi yang telah menjadikan
manusia lebih mampu memahami berbagai gejala, serta mengatur kehidupan secara
lebih efektif dan efisien.
Namun, dalam kemungkinannya, ilmu pengetahuan dapat
juga berdampak negatif, bila digunakan dalam hal-hal yang tidak bertanggung
jawab. Akibatnya, penemuan dan hasil ilmu pengetahuan menjadi menghancurkan dan
merusak idealisme dari tujuan pengembangan ilmu pengetahuan itu sendiri.
Kemungkinan itu terjadi, karena dalam penerapannya, ilmu pengetahuan juga punya efek negatif dan destruktif. Maka dari itu, diperlukan teladan nilai dan norma untuk mengendalikan potensi nafsu angkara murka manusia ketika hendak bergelut dengan pemanfaatan ilmu pengetahuan. Disinilah etika menjadi ketentuan mutlak, yang akan menjadi pengontrol bagi pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi agar dapat mengarahkan fungsinya demi meningkatkan derajat hidup serta kesejahteraan dan kebahagiaan manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Amin,
Miska Muhammad, Epistemologi Islam (Jakarta: UI Press, 1983)
Gazalba,
Sidi, Sistematika Filsafat (Jakarta: Bulan Bintang, 1992)
Hatta,
Muhammad, Pengantar ke Jalan Ilmu Pengetahuan (Jakarta: t.p. 1954)
Kamus Besar Bahasa Indonsia (Jakarta: Balai Pustaka,
2002)
Salam, Burhanuddin, Logika Materil; Filsafat Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Rineka Cipta, 1997)
Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998)
Pudjawinata, Pembimbing ke Arah Filsafat (Jakarta:
Balai Pustaka, 1963)
Wiramihardja, Sutardjo A., Pengantar Filsafat
(Bandung: Refika Aditama, 2009)
[1]Burhanuddin Salam, Logika
Materil; Filsafat Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), 168.
[2] Jujun S.
Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1998), 235
[3]Sidi Gazalba, Sistematika
Filsafat (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), 4
[4]Muhammad Hatta, Pengantar
ke Jalan Ilmu Pengetahuan (Jakarta: t.p. 1954), 5
[5]Pudjawinata, Pembimbing
ke Arah Filsafat (Jakarta: Balai Pustaka, 1963), 5
[6]Kamus Besar Bahasa
Indonsia (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), 19
[7]Miska Muhammad Amin, Epistemologi
Islam (Jakarta: UI Press, 1983), 3
[8]Sutardjo A.
Wiramihardja, Pengantar Filsafat (Bandung: Refika Aditama, 2009), 42
[9]Ibid.
[10]Amsal Bakhtiar, Filsafat
Ilmu (Jakarta; PT. RajaGrafindo Persada, 2004), 165
[11]Sutardjo A.
Wiramihardja, Pengantar Filsafat …, 171-172
[12]Amsal Bakhtiar, Filsafat
Ilmu…, 169
0 Comment