Pokok persoalan tentang ajaran Islam dan bahasa Arab
dirasa perlu untuk memperoleh kejelasan bentuk hubungan yang sebenarnya dan
proporsional antara universalisme ajaran Islam dan kekhususan lingkungan Arab,
terutama lingkungan kebahasaannya. Sementara dalam Kitab Suci terdapat
penegasan yang tidak meragukan tentang keuniversalan ajaran Islam, (Q., 34:
28) namun juga ditegaskan bahwa Kitab Suci Islam itu sendiri adalah sebuah “Qur’ân
‘Arabî” (Bacaan berbahasa Arab [Q., 12: 2])
Secara historis, terdapat pandangan di kalangan
orang banyak, baik yang Muslim maupun yang bukan, tentang adanya semacam
kesejajaran antara keislaman (“ke-islâm-an”) dan kearaban
(“ke-Arab-an”). Tetapi dalam telaah lebih lanjut, pandangan itu nampak banyak
didasarkan pada kesan daripada kenyataan. Sebab kenyataannya ialah bahasa
Arab bukanlah bahasa khusus orang-orang Muslim dan agama Islam, melainkan juga
bahasa kaum non-Muslim dan agama bukan-Islam seperti Yahudi dan Kristen.
Minoritas-minoritas Arab bukan-Muslim sampai sekarang masih tetap bertahan di
seluruh Dunia Arab, termasuk Jazirah Arabia, kecuali kawasan yang kini membentuk
Kerajaan Arab Saudi, lebih khusus lagi provinsi Hijâz (Makkah-Madînah). Bahkan
orang-orang Arab Kristen Libanon adalah keturunan langsung Banî Ghassân yang
sudah ter-Kristenkan sejak sebelum Rasulullah Saw., yaitu sejak mereka menjadi
satelit kerajaan Romawi yang telah memeluk agama Kristen sejak raja Konstantin.
Begitu pula, bahasa Arab bukanlah satu-satunya bahasa
Islam. Ketika orang-orang Muslim Arab melakukan ekspansi militer dan politik
keluar Jazirah Arabia, mereka membawa agama Islam kepada masyarakat bukan
Arab. Memang sebagian besar bangsa-bangsa itu akhirnya mengalami Arabisasi,
yang di zaman modern ini menghasilkan suatu kesatuan budaya dan kawasan
sosial-politik Liga Arab. Persia atau Iran pun, khususnya daerah Khurasan, juga
pernah mengalami pengaraban. Tetapi kemudian pada bangsa ini tumbuh gerakan
nasionalisme yang disebut Syu‘ûbîyah, dan bahasa Persi dihidupkan kembali
dengan penuh semangat. Namun hasilnya adalah sebuah “Bahasa Persi Islam”,
yaitu sebuah bahasa yang masih kukuh mempertahankan sintaks dan gramatika
Persi sebagai suatu bahasa Indo-Eropa tapi dengan kosakata yang didominasi oleh
pinjaman dari bahasa Arab, serta dengan muatan ideologis yang bersumber dari
ajaran Islam. Lebih dari itu, bahasa Persi kemudian tampil sebagai alat
menyatakan pikiran-pikiran Islam yang tidak kalah penting dari bahasa Arab,
jika bukannya dalam beberapa hal malah lebih penting (seperti dalam bidang
tasawuf, falsafah, dan teori-teori pemerintahan atau politik).
Disebabkan oleh peranan bahasa Persi, maka Dunia Islam
dapat dibagi menjadi dua: pertama, kawasan pengaruh bahasa Arab, yaitu
“Dunia Arab” seperti yang dikenal dewasa ini, dan, kedua, kawasan
pengaruh bahasa Persi yang meliputi seluruh wilayah Islam bukan-Arab, khususnya
Persia atau Iran sendiri, kemudian Afganistan, Transoxiana, Anak-Benua
Indo-Pakistan dan Turki, yang secara racial stock umumnya kebetulan
terdiri dari bangsa-bangsa Indo-Eropa, bukan Semitik. Meskipun daerah-daerah
selain Iran itu mempunyai bahasa-bahasa mereka sendiri, namun bahasa-bahasa
itu amat terpengaruh oleh bahasa Persi dan banyak meminjam dari bahasa itu.
Di samping kedua daerah budaya Arab dan Persia itu,
ada beberapa kawasan atau lingkungan Dunia Islam lainnya dengan corak budaya
tertentu dan ditandai oleh dominasi bahasa tertentu. Salah satunya yang harus kita sebut ialah
kawasan Asia Tenggara dengan ciri dominasi bahasa Melayu/Indonesia. Tetapi
bahasa Melayu/Indonesia pun mendapat pengaruh yang besar dari bahasa Persi
berupa pinjaman banyak kosakata, biarpun kosakata Persi itu berasal dari bahasa
Arab. Petunjuk besarnya pengaruh bahasa Persi itu dapat ditemukan pada
kenyataan penggantian hampir semua tâ’ marbûthah menjadi tâ’ maftûhah,
seperti pada kata-kata adat, dawat, darurat, firasat, harkat, isyarat, laknat,
masyarakat, mufakat, qiraat, shalat, siasat, taat, warkat, zakat, dan
lain-lain. Begitulah adanya, meskipun ada juga sedikit kata-kata
Melayu/Indonesia dengan akhiran tâ’ marbûthah yang menunjukkannya
sebagai pinjaman langsung dari bahasa Arab tanpa melalui bahasa Persi, seperti
kata-kata bid‘ah, gitrah, gairah, marah atau amarah (dari ammârah), makalah,
nuktah, risalah, zarrah, dan lain-lain.
Jadi sekalipun Dunia Islam mengenal adanya tiga atau
lebih cultural spheres dengan ciri dominasi bahasa-bahasa tertentu,
namun dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam analisa terakhir
dominasi menyeluruh tetap ada pada bahasa Arab. Dengan sendirinya ini memperkuat pandangan
atau kesan umum tentang hubungan erat antara bahasa arab dan keislaman.
0 Comment