NUZUL AL-QUR’AN DAN JAM’U AL-QUR’AN PADA MASA NABI
A.
Pembahasan
1.
Pengertian nuzul Al-Qur’an
Nuzul secara harfiah artinya turun, sebagaimana disebutkan dalam Mufradat, Misbah wal Aqrab. Raghib dalam memaknai nuzul berkata, “al-Nuzul fii al-ashl: huwa inhitat min ‘ulu’ (Nuzul aslinya bermakna turunnya sesuatu dari atas).
"Kamukah yang menurunkannya dari awan ataukah Kami yang menurunkan? " (Q.S. al waqi’ah : 69)
"…Dan
Kami turunkan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai
manfaat bagi manusia ...." (Q. S. Al hadid : 25)
Kata "anzalnaa"
yang berarti "kami turunkan" khusus digunakan untuk besi dalam ayat
ini, dapat diartikan secara kiasan untuk menjelaskan bahwa besi diciptakan
untuk memberi manfaat bagi manusia. Tapi ketika kita mempertimbangkan makna
harfiah kata ini, yakni " inhitat min ‘ulu’ ",
kita akan menyadari bahwa ayat ini memiliki nilai ilmiah yang sangat penting.
Ini dikarenakan penemuan astronomi modern telah mengungkap bahwa logam besi
yang ditemukan di bumi kita berasal dari bintang-bintang raksasa di angkasa
luar.[1]
2.
Proses nuzul Al-Qur’an dan hikmahnya
Dari pengertian di atas
dapat kita simpulkan bahwa nuzul Al-Qur’an berarti turunnya Al-Qur’an dari
Allah SWT kepada nabi Muhammad saw. Manna’ Khalil al-Qattan dalam mabaahits fii Ulum Al- Quran membagi menjadi 2, yaitu :
a.
Turunnya Al-Qur’an sekaligus
Firman Allah dalam surat al baqarah : 185
“ bulan Ramadan, bulan yang di
dalamnya diturunkan Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda..”
Dan surat al qadr : 1
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur'an)
pada malam kemuliaan”
Dan surat ad-Dukhaan : 3
“sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi..”
Ketiga ayat diatas
menunjukkan bahwa Al-Qur’an diturunkan pada malam lailatul qadr atau malam yang
diberkahi pada bulan ramadhan. Namun sebagaimana kita ketahui, Al-Qur’an
diturunkan kepada nabi Muhammad saw secara bertahap dalam kurun waktu lebih
kurang 23 tahun.
Dalam hal ini Manna’ al
Qattan membagi pendapat ulama menjadi beberapa mazhab. Pertama, kata nuzul
disini berarti turunnya Al-Qur’an secara keseluruhan ke bait al izzah di langit dunia, kemudian baru diturunkan kepada nabi
Muhammad saw secara bertahap
وَقُرْآنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ
وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلا
“Dan Al Qur'an itu telah Kami
turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada
manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.”
Kedua, turunnya Al-Qur’an pada malam tersebut merupakan awal dari nuzul Al-Qur’an, selanjutnya diteruskan selama 23 tahun.
“Berkatalah orang-orang yang
kafir: "Mengapa Al Qur'an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun
saja? demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya
secara tartil (teratur dan benar).
Tidaklah
orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan
Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.”
Ketiga, al quran diturunkan selama 23 tahun pada malam
lailatul qadr di tiap tahunnya. Namun pendapat ketiga ini hanya ijtihad dari
sebagian ulama, dan tidak berdasarkan dalil yang jelas.[2]
Jalaluddin Al-Suyuti
Al-Syafi’I, dalam Al-Itqan
menyebutkan, terdapat ikhtilaf dalam cara turunnya Al-Qur’an dari lauhul
mahfudz, dan pendapat yang paling shahih adalah: Al-Qur’an diturunkan ke “langit
dunia” pada malam lailatul qadr secara keseluruhan, kemudian diturunkan secara
bertahap setelahnya selama lebih kurang 23 tahun.[3]
b.
Turunnya Al-Qur’an secara bertahap.
Proses yang kedua ini Al-Qur’an
diturunkan secara bertahap dari langit dunia ke dalam hati nabi Muhammad saw
secara berangsur-angsur selama 23 tahun.[4]
Firman Allah dalam surat Al-Syu’ara : 192-195
“Dan sesungguhnya Al Qur'an ini
benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam(192)dia dibawa turun oleh Ar-Ruh
Al Amin (Jibril)(193) ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah
seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan(194) dengan bahasa Arab
yang jelas(195) “
Dan dalam surat Al-Baqarah : 23
“Dan jika kamu (tetap) dalam
keraguan tentang Al Qur'an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad),
buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Qur'an itu..”
Dan surat Al-Baqarah: 97
“Katakanlah: Barang siapa yang
menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah menurunkannya (Al Qur'an) ke dalam
hatimu dengan seizin Allah; membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan
menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman.”
Dari
ayat-ayat diatas, Manna al qattan menyimpulkan bahwa Al-Qur’an adalah kalam
Allah yang lafadznya berbahasa Arab, dan Jibril yang telah menyampaikannya ke
dalam hati Rasulullah, dan turunnya ayat ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an ini
diturunkan secara berangsur-angsur, bukan seperti turunnya pertama kali ke
langit dunia.[5]
Jadi, Al-Qur’an
diturunkan “bertahap” setelah turunnya pertama kali ke langit dunia secara
keseluruhan pada malam lailatul qadr di bulan ramadhan. Sebagian ulama
berpendapat, itu terjadi selama 23 tahun. 13 tahun di Makkah, dan 10 tahun di
Madinah. Sebagian lain berpendapat turunnya secara bertahap itu selama 25
tahun, dan sebagian lain 20 tahun. Namun
pendapat yang kuat menurut Manna al Qattan adalah 23 tahun, 13 tahun di Makkah,
dan 10 tahun di Madinah.
Hikmah diturunkan Al-Qur’an secara bertahap :
1. Agar lebih mudah dimengerti dan dilaksanakan. Orang
akan enggan melaksanakan suruhan, dan larangan sekiranya suruhan dan larangan
itu diturunkan sekaligus banyak. Hal ini disebutkan oleh Bukhari dari riwayat
Aisyah ra.
2.
Diantara ayat-ayat tersebut ada yang nasikh dan
mansukh
3.
Turunnya suatu ayat sesuai dengan peristiwa yang
terjadi akan lebih mengesankan dan lebih berpengaruh di hati.
4. Memudahkan penghafalan. Orang-orang musyrik yang
telah menyakan mengapa Al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus, sebagaimana
tersebut dalam Al-Qur’an surat Al-Furqan : 32
5. Diantara ayat-ayat ada yang merupakan jawaban dari
pertanyaan atau penolakan suatu pendapat atau perbuatan, sebagaimana dikatakan
oleh ibnu Abbas ra. Hal ini tidak dapat terlaksana kalau Al-Qur’an diturunkan
sekaligus.
Ulama berbeda pendapat mengenai ayat yang pertama diturunkan. Pendapat pertama yang shahih menurut Assuyuti adalah ayat pertama surat al ‘alaq,
Berdasarkana hadits yang
diriwayatkan oleh syaikhani, dan yang lain. Aisyah r.a. berkata, "yang pertama (dari wahyu) kepada Rasulullah
saw. adalah mimpi yang baik di dalam tidur. Beliau tidak pernah bermimpi
melainkan akan menjadi kenyataan seperti merekahnya cahaya subuh. Kemudian
beliau gemar bersunyi. Beliau sering bersunyi di Gua Hira. Beliau beribadah di
sana, yakni beribadah beberapa malam sebelum rindu kepada keluarga beliau, dan
mengambil bekal untuk itu. Kemudian beliau pulang kepada Khadijah. Beliau
mengambil bekal seperti biasanya sehingga datanglah kepadanya (dalam riwayat
lain disebutkan: maka datanglah kepadanya) kebenaran. Ketika beliau ada di Gua
Hira, datanglah malaikat seraya berkata, 'Bacalah!' Beliau berkata, 'Sungguh
saya tidak dapat membaca. Ia mengambil dan mendekap saya sehingga saya lelah.
Kemudian ia melepaskan saya, lalu ia berkata, 'Bacalah!' Maka, saya berkata,
'Sungguh saya tidak dapat membaca:' Lalu ia mengambil dan mendekap saya yang
kedua kalinya, kemudian ia melepaskan saya, lalu ia berkata, 'Bacalah!' Maka,
saya berkata, 'Sungguh saya tidak bisa membaca' Lalu ia mengambil dan mendekap
saya yang ketiga kalinya, kemudian ia melepaskan saya. Lalu ia membacakan,
"Iqra' bismi rabbikalladzi khalaq. Khalaqal insaana min'alaq. Iqra'
warabbukal akram. Alladzii 'allama bil qalam. 'Allamal insaana maa lam ya'lam.
'Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia telah menciptakan
manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah. Yang
mengajar manusia dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa
yang tidak diketahuinya. Lalu Rasulullah saw. pulang dengan membawa ayat itu
dengan perasaan hati yang goncang (dalam satu riwayat: dengan tubuh gemetar).[7]
Pendapat kedua, yang pertama kali turun adalah firman Allah :
Berdasarkan
hadits yang diriwayatkan Syaikhani : Dari Abu salamah bin Abdurrahman; dia
berkata: “Aku telah bertanya kepada Jabir bin Abdullah: Yang manakah diantara
Quran itu yang turun pertama kali? Dia menjawab: Ya Ayyuhal Mudatsir. Aku bertanya lagi: ataukah Iqra bismi rabbik? Dia menjawab: aku
katakana kepadamu apa yang dikatakan Rasulullah saw kepada kami: “sesungguhnnya
aku berddiam diri di gua Hira, maka ketika habis maasa diamku, aku tuun lalu
aku telusuri lembah. Aku lihat ke muka, ke belakang, ke kanan dan ke kiri. Lalu
aku lihat ke langit, tiba-tiba aku melihat jibril yang amat menakutkan. Maka
aku pulang ke khadijah, khadijah memerintahkan mereka untuk menyelimutiku.
Merekapun menyelimuti aku. Lalu Allah menurunkan : ‘Wahai orang yang berselimut; bangkitlah, lalu berilah peringatan.’
”[8]
Mengenai
pendapat kedua ini, Jabir menjelaskan bahwa yang pertama kali turun secara
penuh adalah surat al-Mudatsir, sebelum surat Al-‘Alaq tuntas diturunkan. Dan
surat Al-mudatsir turun setelah sekian lama wahyu terhenti turunnya. Jadi bisa
kita ambil kesimpulan bahwa ayat yang pertama turun adalah Iqra dan surat yang pertama turun untuk risalah adalah Al-mudatsir.
Ibnu Hajar
al atsqalani dalam Fathul Baari
mengatakan mengenai masa tidak turunnya wahyu. Dalam kitab sejarah karangan
Ahmad bin Hanbal terdapat riwayat dari Sya’bi yang mengatakan, bahwa masa tidak
turunnya wahyu adalah 3 tahun, pendapat ini dikuatkan oleh ibnu Ishaq.[9]
Pendapat lain, surat yang pertama kali turun
adalah surat Al- Fatiha. Ada juga yang berpendapat yang pertama kali turun
adalah Bismillahirrahmaanirrahiim.
Akan tetapi dalil yang mendukung kedua pendapat ini hadits-hadits Mursal.
Sedangkan surat yang terakhir
turun, juga ada beberapa pendapat, antara lain :
1. Ayat yang terakhir turun adalah tentang
riba. Sebagaimana yang diriwayatkan Bukhari dari ibn Abbas, ia berkata : “Ayat
yang terkhir turun adalah tentang riba” maksudnya adalah surat An- nisa 176
2.
Dikatakan pula, yang terakhir turun
adalah surat at-taubah
3.
Metode jam’u Al-Qur’an pada masa Nabi
Jam’ul-Qur`ân artinya
pengumpulan al-Qur`an. Maknanya mencakup dua pengertian, seiring dengan
prosesnya itu sendiri, yakni hifzhuhu; penghafalan dan kitâbatuhu kullihi;
penulisannya secara keseluruhan.[10] As-Shabuniy membahasakannya al-jam’ fis-shudûr; pengumpulan dalam dada
dan al-jam’ fis-suthûr; pengumpulan
dalam tulisan[11]
Di sini kita perlu memperhatikan penggunaan kata ‘pengumpulan' bukan ‘penulisan'. Dalam komentarnya, al-Khattabi menyebut, "Catatan ini memberi isyarat akan kelangkaan buku tertentu yang memiliki ciri khas tersendiri. Sebenarnya, Kitab Al-Qur'an telah ditulis seutuhnya sejak zaman Nabi Muhammad. Hanya saja belum disatukan dan surah-surah yang ada juga masih belum tersusun."[12] Penyusunan Al-Qur'an dalam satu jilid utama (master volume) boleh jadi merupakan satu tantangan karena nasikh mansukh yang muncul kemudian dan perubahan ketentuan hukum maupun kata-kata dalam ayat tertentu memerlukan penyertaan ayat lain secara tepat. Hilangnya satu format halaman akan sangat merendahkan penyertaan ayat-ayat yang baru serta surahnya karena wahyu tidak berhenti untuk beberapa saat sebelum Nabi Muhammad wafat. Dengan wafatnya Nabi Muhammad berarti wahyu berakhir untuk selamanya. Tidak akan terdapat ayat lain, perubahan hukum, serta penyusunan ulang. Ini berarti kondisi itu telah mapan dalam waktu yang tepat guna memulai penyatuan Al-Qur'an ke dalam satu jilid. Tidak ada keraguan yang dirasakan dalam pengambilan keputusan dan kebijaksanaan dan bahkan telah memaksa masyarakat mempercepat pelaksanaan tugas ini. Allah swt. memberi bimbingan para sahabat dalam memberi pelayanan terhadap AlQur'an sebagaimana mestinya memenuhi janji pemeliharaan ' selamanya terhadap Kitab-Nya,[13]
“Sesungguhnya Kami-lah yang
menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”
Ibn Hajar al-’Asqalaniy
sedikit berbeda memaknai Jam’ul-Qur`ân. Menurutnya, walaupun al-jam’ bisa
bermakna al-hifzh, tapi dalam kaitannya dengan proses pengumpulan al-Qur`an,
maknanya menjadi khusus, yakni mengumpulkan al-Qur`an ke dalam shuhuf di zaman
Abu Bakar dan mengumpulkannya kembali ke dalam mushhaf di zaman ‘Utsman. Hal
ini didasarkan pada tarjamah al-Bukhariy dalam kitabnya, al-Jâmi’ as-Shahîh,
ditambah sebuah pernyataan Zaid ibn Tsabit: "Saat Nabi Muhammad wafat,
Al-Qur'an masih belum dirangkum dalam satuan bentuk buku."[14]
Sebagaimana di atas,
proses Jam’ul-Qur`ân di masa Nabi Saw mencakup dua kegiatan, yaitu penghafalan
dan penulisan. Kegiatan penghafalan
itu terdapat dalam hadits berikut ini:
Dari Ibn ‘Abbas perihal
firman Allah Ta’ala “Janganlah kau menggerakkan lisanmu karena tergesa-gesa”:
Rasulullah Saw merasa berat ketika turun wahyu sampai beliau menggerak-gerakkan
kedua bibirnya. Lalu Allah Ta’ala berfirman: “Janganlah kau gerak-gerakkan
lisanmu karena tergesa-gesa. Sesungguhnya tangung jawab kami mengumpulkannya
dan membacakannya.” Ibn ‘Abbas berkata: Yaitu mengumpulkannya dalam dadamu dan
kau mampu membacanya. “Maka apabila Kami membacakannya, maka ikutilah
bacaannya.” Yaitu perhatikanlah dan diamlah. “Kemudian sesungguhnya tanggung
jawab kami menjelaskannya.” Yaitu, sesungguhnya tanggung jawab kami kau dapat
membacakannya. Maka Rasul Saw setelah itu apabila Jibril datang kepadanya,
beliau menyimaknya. Dan apabila Jibril telah pergi, Nabi Saw membacakannya
sebagaimana Jibril membacakannya[15]
Jelas sekali dalam riwayat
tersebut jam’ bermakna hafalan. Dan Nabi Saw melakukannya dengan jaminan penuh
dari Allah Swt akan keakuratannya. Selain itu, Nabi Saw juga menggiatkan para
shahabat untuk bisa membaca al-Qur`an di luar kepala.
Penulisan. Saat wahyu turun, Nabi Muhammad secara rutin memanggil para penulis yang ditugaskan agar mencatat ayat itu. Zaid bin Thabit menceritakan sebagai ganti atau mewakili peranan dalam Nabi Muhammad, la sering kali dipanggil diberi tugas penulisan saat wahyu turun.[16] Sewaktu ayat al-jihad turun, Nabi Muhammad memanggil Zaid bin Thabit membawa tinta dan alat tulis dan kemudian mendiktekannya; 'Amr bin Um-Maktum al-A'ma duduk menanyakan kepada Nabi Muhammad, "Bagaimana tentang saya? Karena saya sebagai orang yang buta." Dan kemudian turun ayat, "ghair uli al-darar" [17](bagi orangorang yang bukan catat). Tampaknya tak ada bukti pengecekan ulang setelah mendiktekan. Saat tugas penulisan selesai, Zaid membaca ulang di depan Nabi Muhammad agar yakin tak ada sisipan kata lain yang masuk ke dalam teks.[18] Di samping itu sebagian sahabat juga menuliskan Al-Qur’an yang turun itu atas kemauan mereka sendiri, tanpa diperintahkan oleh nabi. Mereka menuliskannya pada pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang belulang binatang. Zait bin Tsabit berkata: “ Kami menyusun Quran dihadapan Rasululah pada kulit binatang”[19]
4.
Faktor-faktor pendorong jam’u Al-Qur’an pada masa
Nabi
Pada masa nabi Muhammad saw jam’u Al-Qur’an belum sepenuhnya didasari oleh kesadaran umat atau sahabat untuk mengkodifikasikan Al-Qur’an. Hal ini disebabkan oleh keberadaan nabi itu sendiri di tengah umatnya. Sehingga setiap persoalan yang dihadapi selalu bisa ditemukan solusinya lansung kepada rasulullah. Bisa dikatakan jam’u Al-Qur’an di masa Nabi tersebut merupakan perintah lansung dari nabi Muhammad saw, baik penghafalan maupun penulisan. Hal ini tidak terlepaas dari firman Allah
Baca Juga;/...........
👉WAHYU DAN RUANGLINGKUPNYA
👉NUZUL AL-QUR’AN DAN PENGUMPULAN AL-QUR’AN PADA MASA NABI
👉PENGUMPULAN AL QUR’AN PADA MASA KHULAFA AL RASYIDIN
👉EJAAN ATAU RASM AL-QUR’AN
👉I’JAZUL QURAN
👉NASAKH dan MANSUKH
👉AYAT-AYAT MUHKAMAT DAN MUTASYABIHAT
👉AYAT-AYAT MAKKIYAH DAN MADANIYYAH
👉HURUF dan QIRAAT TUJUH
👉ASBABUN NUZUL QUR'AN
👉SUMPAH (QASAM) DALAM AL-QUR’AN
👉PEMBUKA-PEMBUKA SURAT DALAM ALQURAN
👉PERUMPAMAAN DALAM AL-QUR’AN
👉KISAH KISAH DALAM AL-QUR’AN
👉KISAH KISAH DALAM AL-QUR’AN
[1]
Harun Yahya, Keajaiban Al-Quran (ebook:
www.keajaibananlquran.com)
[2]
Manna’ Khalil Al-Qattan, Mabahits fi
‘ulum al- Quran,( Riyadl : Mansyurat al-’Ashr al-Hadits, 1393 H/1973 M) h.
101-103
[3]
Jalaaluddin Al-Suyuti Al-Syafi’I, Al-Itqan
fi ‘Ulum Al-Quran. (Beirut: Dar el-Fikr, 1425-1426 H) h. 57
[4]
Syekh Muhammad ‘Ali As-shabuni, At-Tibyan
fi ‘Uluum Al-Quran. (Indonesia: Dar al-kutub Al- Islamiyyah, 1424 H/2003 M)
h. 34
[5]
Manna’ Khalil Al-Qattan, Mabahits fi
‘ulum al- Quran,( Riyadl : Mansyurat al-’Ashr al-Hadits, 1393 H/1973 M) h.
105
[6]
Jalaaluddin Al-Suyuti Al-Syafi’I, Al-Itqan
fi ‘Ulum Al-Quran. (Beirut: Dar el-Fikr, 1425-1426 H) h. 33
[7]
Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Ringkasan Shahih Bukhari (e.book:
haditsWeb 3.0)
[8]
Manna’ Khalil al-Qattan, Terjemahan Drs. Mudzakkir AS, Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran, (Bogor: Litera Antar Nusa, 2004) Cet. 8,
h. 90-91
[9]
Ibnu Hajar Al-Atsqalani, terjemahan Ghazirah Abdi Ummah, Fathul Baari syarah Shahih Al Bukhari, (Jakarta selatan : Pustaka
Azzam, 2002) h. 44
[10]
Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum
al-Qur`an, (Riyadl : Mansyurat al-’Ashr al-Hadits, 1393 H/1973 M), h.
118-119
[11]
Muhammad ‘Aliy as-Shabuniy, at-Tibyan fi
‘Ulum al-Qur`an, (Beirut : ‘Alam al-Kutub, 1405 H/1985 M), h. 49
[12]
Jalaaluddin Al-Suyuti Al-Syafi’I, Al-Itqan
fi ‘Ulum Al-Quran. (Beirut: Dar el-Fikr, 1425-1426 H) h. 164
[13]
Prof. Dr. M. M A’zami, The History of The
Quranic Text from revelation to compilation, (ebook: UNIVERSITAS ISLAM INTERNATIONAL MALAYSIA (UIIM), 2005)
[14]
Ahmad ibn ‘Aliy ibn Hajar al-’Asqalaniy, Fath al-Bari bi Syarh Shahih
al-Bukhariy, (ebook,Beirut : Dar al-Fikr, 1420 H/2000 M), Jilid 10, h. 13
[15]
Ibnu Hajar Al-Atsqalani, terjemahan Ghazirah Abdi Ummah, Fathul Baari syarah Shahih Al Bukhari, (Jakarta selatan : Pustaka
Azzam, 2002) h. 47
[16]
Prof. Dr. M. M A’zami, The
History of The Quranic Text from revelation to compilation, (ebook: UNIVERSITAS ISLAM INTERNATIONAL MALAYSIA (UIIM), 2005)
[17] Al-quran, 4:95
[18] [18]
Prof. Dr. M. M A’zami, The
History of The Quranic Text from revelation to compilation, (ebook: UNIVERSITAS ISLAM INTERNATIONAL MALAYSIA (UIIM), 2005)
[19] Manna’ Khalil
al-Qattan, Terjemahan Drs. Mudzakkir AS,
Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran, (Bogor: Litera Antar Nusa, 2004) Cet. 8, h.
185-186
0 Comment