A.
Pengertian Nasikh dan Mansukh
Nasakh berasal dari
bahasa arab, al-nasakh, yang terambil dari kata nasakha-yansakhu-naskhan).[1]
Menurut Al Hafidl Al-Suyuthi merumuskan pengertian nasakh dari segi bahasa
dalam empat pengertian :
1.
Al-Izalah yang artinya
“menghilangkan”. Dalam Al-Qur’an, kata al-nasakh yang mengandung pengertian
tersebut terdapat dalam surat (al-Haj
: 52)
Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang
Rasulpun dan tidak (pula) seorang Nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu
keinginan, syaitanpun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah
menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan
ayat-ayat- nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.[2]
2. Al-Naql yang berarti memindahkan. Dalam Al-Qur’an, kata al-nasakh yang mengandung pengertian tersebut terdapat dalam surat (al-Jatsiyah: 29)
Artinya: (Allah berfirman): "Inilah kitab (catatan) Kami yang
menuturkan terhadapmu dengan benar. Sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat
apa yang telah kamu kerjakan".[3]
3. Al-Tabdil yang berarti menggantikan. Dalam Al-Qur’an, kata al-nasakh yang mengandung pengertian tersebut terdapat dalam surat (Al-Nahl: 101)
Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di
tempat ayat yang lain sebagai penggantinya Padahal Allah lebih mengetahui apa
yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang
mengada-adakan saja". bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui.[4]
4. Al-Tahwil yang berarti mengalihkan.[5]
Seperti pengalihan bagian harta warisan dalam ilmu faraid. Misalnya تنا سخ المؤ ارث
maksudnya perpindahan harta warisan dari seseorang kepada orang lain.[6]
Menurut
Muhammad bin ‘Abd Al-‘Azhim Al-Zarqani merumuskan pengertian nasakh dari segi
bahasa dalam dua pengertian :
a.
Izalah Al-syae wa
i’damuh
artinya menghilangkan sesuatu dan membuangnya.
b.
Naql Al-Syae wa
tahwiluh ma’a baqa’ih fi nafsih artinya memindahkan sesuatu dan mengalihkannya,
sementara subtansinya yang dipindahkannya tetap ada.[7]
Ada dua definisi nasakh yang dikemukakan ulama Ushul Fiqh,[8]
definisi yang pertama adalah
بيا
ن إنتهاء أ مد حكم شر عي بطريق شرعي متراخ عنه
Penjelasan berakhirnya masa berlaku suatu
hukum melalui dalil syar’i yang datang kemudian.
Artinya, bahwa hukum yang dihapuskan itu
atas kehendak Allah dan penghapusan ini sesuai dengan habisnya masa berlakunya
hukum itu.
definisi yang kedua
رفع
حكم شرعي عن المكلف بحكم شرعي مثله متأخر
Pembatalan hukum syara’ yang ditetapkan
terdahulu dari orang mukallaf dengan hukum syara’ yang sama yang datang
kemudian.
Dari uraian diatas
dapat diartikan secara etimologi nasakh mempunyai beberapa pengertian yaitu
antara lain penghilangan (izalah), penggantian (Tabdil), pengubahan (tahwil),
dan pemindahan (naql). Sedangkan mansukh adalah sesuatu yang dihilangkan,
digantikan, diubah, dan dipindahkan.[9]
Ditinjau dari segi
terminologi para ulama mendefinisikan nasikh, kendatipun dengan dengan redaksi
yang sedikit berbeda, tetapi dalam pengertian sama dengan raf’u al hukm asy-sya’i bi al-khithab asy-syar’i (menghapuskan
hukum syara dengan khitab syara pula) raf’u
al hukm asy-sya’i bi al-dalil asy-syar’i (menghapuskan hukum syara dengan
dalil syara yang lain) terminologi “menghapuskan” dalam definisi di atas adalah
terputusnya hubungan hukum yang dihapus dari seorang mukallaf dan bukuan
terhapusnya subtansi hukum itu sendiri.[10]
Menurut Abdul wahab
Khalaf nasikh adalah membatalkan keputusan syara’ dengan dalil syara’ yang
lainnya. Pembatasan tersebut ada yang secara umum dan ada pula yang secara
sebagian. Dengan demikian yang datang kemudian membatalkan dalil yang telah
berlaku sebelumnya.[11]
Sementara itu Quraish
Shihab menyatakan bahwa ulama mutaqqaddimin dan muta’akhirin tidak sepakat
dalam memberikan pengertian nasikh secara terminologi. Hal ini terlihat dari
kontroversi yang muncul di antara mereka dalam menetapkan adanya nasikh dalam Al-Qur’an
. Ulama-ulama mutaqaddim bahkan memperluas arti nasikh hingga mencakup :
1) Pembatalan
hukum yang ditetapkan oleh hukum yang ditetapkan kemudian
2) Pengecualian
hukum yang bersifat umum oleh hukum yang spesifik yang datang kemudian
3) Penjelasan
susulan terhadap hukum yang bersifat ambigius
4) Penetapan
syarat bagi hukum yang datang kemudian guna membatalkan atau merebut atau
menyatakan berakhirnya masa berlakunya hukum terdahulu.[12]
Menurut ulama
mutaqaddim, naskh adalah mengangkat hukum syar’i dengan dalil hukum syara’ yang
lain. Misalnya, dikeluarkannya hukum syar’i dengan berdasarkan khitab syara’
dari seorang karena ia mati. Pengertian menurut ulama muta’akhirin diantaranya
adalah sebagaimana yang diungkapkan oleh quraish Shihab nasikh terbatas pada
ketentuan hukum yang datang kemudian, guna membatalkan, mencabut atau
menyatakan berakhirnya pemberlakuan hukum yang terdahulu, hingga ketentuan
hukum yang ada yang ditetapkan terakhir.[13]
Dari pengertian di atas
dapat di pahami bahwa nasikh dan mansukh menurut ulama mutaqaddimin memberikan
batasan pengertian bahwa nasikh adalah sebagai dalil syar’i yang ditetapkan
kemudian. Artinya ketentuan hukum yang telah berlaku sebelumnya dinyatakan
sudah berakhir masa berlakunya, dan diganti dengan ketentuan hukum yang lain. [14]
Dari beberapa definisi
yang telah disebutkan di atas dapat di pahami, bahwa nasakh adalah penghapusan
hukum yang terdahulu oleh hukum yang datang kemudian. Dengan kata lain hukum
yang datang belakangan telah menghapuskan hukum yang datang dahulu, sehingga
hukum yang datang kemudian diamalkan.
B.
Pro-kontra
nasikh-mansukh dalam Al-Qur’an beserta argumen
Munculnya perbedaan pendapat tentang nasikh
dan mansukh di kalangan ulama bersumber dari eksistensi nasakh dan mansukh itu
sendiri di dalam al qur’an. Mayoritas ulama mengakui keberadaan nasikh dalam Al-Qur’an.
Sementara ulama yang lain seperti Abu Muslim al-Ashafahani, Ar-Razi, Muhammad
Abduh, Rasyid Ridha, Taufiq Sidqy, dan al-Khudri menolak keberadaan tersebut.
Perbedaan pendapat tentang masalah nasikh dan dalil ketetapannya, dapat
dikelompokkan kepada empat golongan yaitu Orang Yahudi, Orang Syi’ah Ra’fidah,
Abu Muslim Asfahani dan Jumhur ulama. Secara umum tergambar dari argumentasi
golongan pro dan kontra tentang keberadaan nasikh. [15]
Jumhur ulama berpendapat bahwa nasikh menurut logika boleh saja dan secara syara’ telah terjadi. Alasan mereka adalah firman Allah dalam surat al-Baqoroh : 106
Artinya : Ayat mana saja yang Kami
nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang
lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui
bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?[16]
Kemudian jumhur ulama ushul fiqh menyatakan
bahwa seluruh umat Islam mengetahui dan menyakini bahwa Allah itu berbuat
sesuai dengan kehendakNYa tanpa harus melihat kepada sebab dan tujuan. Oleh
sebab itu, adalah wajar apabila Allah mengganti hukum yang telah ia tetapkan
dengan hukum lain, yang menurutNya lebih baik dan sesuai dengan kemaslahatan
umat. Jumhur ulama juga beralasan dengan kesepakatan para ulama menyatakan
bahwa syariat sebelum Islam telah di-nasakh-kan oleh syariat Islam,
sebagaimana juga nasakh itu sendiri telah terjadi dalam beberapa hukum Islam.
Misalnya, pembatalan wasiat bagi kedua ibu bapak serta kaum kerabat dengan
ayat-ayat yang berkaitan dengan warisan. [17]
Persoalan ada atau tidaknya nasikh dalam Al-Qur’an
disebabkan keberadaan pemahaman ulama tentang ayat Al-Qur’an yang terdapat pada
tiga tempat, seperti dalam surat al-Baqoroh ayat 106, surat ar-Ra’d
ayat 39 dan an-Nahl ayat 101. [18]
Dengan berpijak pada keseluruhan ayat di atas mayoritas ulama memandang bahwa
revisi Al-Qur’an telah terjadi, yaitu penerapan perintah-perintah tertentu
kepada umat Islam hanya bersifat sementara. Dan ketika keadaan telah berubah,
perintah tersebut diubah dan diganti dengan perintah baru lainnya.
C.
Peranan nasikh mansukh
dalam memahami/menafsirkan Al-Qur’an
Setelah kita mengetahui
pengertian dari nasikh mansukh, maka dapat kita ketahui bahwasanya nasikh hanya
terjadi pada perintah dan larangan, baik yang diungkapkan dengan tegas dan
jelas, maupun yang diungkapkan dengan kalimat berita (Khabar) yang bermakna amar
(perintah) atau nahy (larangan), jika hal tersebut tidak berhubungan
dengan persoalan aqidah, berfokus kepada zat Allah SWT, sifat-sifatNya,
rasulNya, kitab-kitabNya, dan hari kemudian. Hal ini karena semua syariat ilahi
tidak lepas dari pokok-pokok
tersebut.
Kemudian, syarat-syarat
terjadinya nasakh adalah sebagai berikut :
- Yang dinasakh itu hukum syar’i
- Pembatalan itu datangnya dari khithab
(tuntunan) syara’
- Pembatalan hukum itu tidak disebabkan berakhirnya waktu berlakunya hukum tersebut sebagaimana yang ditunjukkan khithab itu sendiri,[19] seperti firman Allah :
Artinya : kemudian
sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam…………… ( al Baqoroh : 187)
Berakhirnya puasa
dengan datangnya malam tidak dinamakan nasakh, karena ayat itu sendiri telah
menentukan bahwa puasa tersebut berakhir ketika malam tiba.
- Dalil antara keduanya bertentangan.[20]
Sehingga tidak mungkin untuk di ambil upaya jama’ (kompromi). Kalau
ternyata keduanya masih mungkin mengalami proses jama’, maka salah satu
diantaranya tidak bisa menasakh yang lainnya. [21]
Dari penjelasan di atas jelas sekali para ulama sangat hati-hati di dalam memberikan definisi, syarat-syarat, dan ruang lingkup dari pada nasikh dan masukh itu sendiri. Karena mereka khawatir akan terjadi banyaknya ayat-ayat yang akan kena masukh nantinya. Sehingga mereka lebih memfokuskan kepada ayat yang bersifat hukum.
D.
Hikmah nasikh masukh
dalam kehidupan dan pergaulan
Memahami nasikh dan
masukh penting dalam upaya memahami hukum secara sempurna dan benar, sehingga
secara bijaksana dapat memutuskan hukum yang adil. Ada empat hikmahnya :
1. Menjaga
kemaslahatan hamba
2. Mengembangkan pensyariatan hukum sampai pada tingkat kesempurnaan, seiring dengan pengembangan dakwah kondisi manusia itu sendiri
3. Menguji kualitas keimanan mukallaf dengan cara adanya suruhan yang kemudian dihapus
👉WAHYU DAN RUANGLINGKUPNYA
👉NUZUL AL-QUR’AN DAN PENGUMPULAN AL-QUR’AN PADA MASA NABI
👉PENGUMPULAN AL QUR’AN PADA MASA KHULAFA AL RASYIDIN
👉EJAAN ATAU RASM AL-QUR’AN
👉I’JAZUL QURAN
👉NASAKH dan MANSUKH
👉AYAT-AYAT MUHKAMAT DAN MUTASYABIHAT
👉AYAT-AYAT MAKKIYAH DAN MADANIYYAH
👉HURUF dan QIRAAT TUJUH
👉ASBABUN NUZUL QUR'AN
👉SUMPAH (QASAM) DALAM AL-QUR’AN
👉PEMBUKA-PEMBUKA SURAT DALAM ALQURAN
👉PERUMPAMAAN DALAM AL-QUR’AN
👉KISAH KISAH DALAM AL-QUR’AN
👉KISAH KISAH DALAM AL-QUR’AN
[1] Armen Mukhtar,
Nasakh Perkembangan Ilmu Tafsir Alqur’an, (Padang: IAIN IB Press, 1999), h.35
[2] Departemen Agama RI, alQur’an
alKarim dan Terjemahnya, (Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang, 1995), h.
519-520
[3] Departemen Agama RI, h. 819
[4] Departemen Agama RI, h. 417
[5] Armen Mukhtar, Op.Cit,
h. 35-36
[6] Hasan Zaini, Ulum Al-Qur’an,
(Batusangkar: STAIN Batusangkar Press, 2011), h,126
[7] Armen Mukhtar, Loc.cit
[8] Nasrun Harun, Ushul Fiqh I,
Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, h, 181-182
[9] Hasan Zaini, Op.Cit, h, 124
[10] Rosihon Anwar,
Ulumul Quran, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2004), h,172
[11] Hasan Zaini, Op.Cit, h,129
[12] Loc.Cit
[13] Hasan Zaini, h.
127
[14] Ibid
[15] Hasan Zaini, h, 130
[16] Departemen Agama RI, Op.Cit, h. 29
[17] Nasrun Harun, Op.Cit, h,186
[18] Hasan Zaini, Loc.Cit
[19] Nasrun Haroen, Op.Cit, h. 188
[20] Hasan Zaini, Op.Cit, h, 142
[21] Ibnu Jauzi, Nasikh Mansukh
(ayat-ayat al-Qur’an yang dihapus), Jakarta: Pustaka Azzam, 2002, h, 27
[22] Rosihan Anwar, Op.Cit, h, 187
0 Comment