A.
Pengertian Ahruf sab’ah dan Qira’at sab’ah
Al
Qur’an di turunkan dalam bahasa arab yang jelas. Ini tentulah hal yang wajar
karena Al Qur’an turun di tengah-tengah masyarakat yang berbahasa arab dengan
nabi yang berbahasa arab sekalipun ini bukan brarti Islam adalah agama bangsa
arab. Al Qur’an yang berbahasa arab ini di jelaskan dalam ayat-ayat, di
antaranya:
1. QS: Yusuf, ayat 2:
Artinya:
“Sesungguhnya, kami
menurunkan Al Qur’an yang berbahasa arab agar kamu memahaminya.”
2. QS: Al Syu’ara’, ayat195:
Artinya:
“Dengan
bahasa arab yang jelas.”
Dari
2 ayat di atas jelaslah bahwa bahasa yang digunakan dalam Al Qur’an adalah
bahasa arab asli. Akan tetapi, dalam perjalanan selanjutnya tentu akan timbul
permasalahan terkait dengan bahasa itu sendiri. Karena bangsa Arab terdiri dari
beberapa rumpun, tentunya spesifik dari tiap-tiap bahasa tersebut berbeda.
Muhammad Abd al “zim mengemukakan bahwa terdapat 10 hadist yang dipandang sahih
sebagai dalil tentang turunnya Al Qur’an dalam 7 huruf (ahruf sab’ah)[1].
Di antaranya:
a. Dari
Ibn Abbas r.a bahwa ia berkata: “Berkata Rasulullah SAW: “Jibril membacakan
kepadaku atas satu huruf, maka aku kemballi kepadanya, maka aku terus menerus
meminta tambah dan ia menambahi bagiku hingga berakhir sampai 7 huruf”.
(Diriwayatkan oleh Al Bukhari dan muslim)
b.
“ Kemudian, berkata
Rasullullah SAW:” Sesungguhnya Al Qur’an ini di turunkan atas tujuh Ahruf (huruf),
maka bacalah olehmu mana yang mudah daripadanya”.(diriwayatkan oleh Al Bukhari
dan muslim).
- Pengertian Ahruf Sab’ah (sab’ah ahruf)
Kata
“ahruf” merupakan bentuk jamak dari “ Harf” yang dalam bahasa
Indonesia selalu di terjemahkan dengan huruf. Dalam Bahasa Arab kata “harf”
adalah lafal musytarak (mempunyai banyak arti). Sesuai dengan penggunaan “harf”,
bisa berarti: ‘tepi sesuatu’, ’puncak’, ’satu huruf ejaan’, ’unta yang kurus’,
’aliran air’, ’bahasa’, ’wajh (bentuk)’, ’dan sebagainya. Karena itu sab’ah
ahruf bisa diartikan dengan:tujuh bahasa, tujuh ilmu, tujuh makna, tujuh
bacaan, dan tujuh bentuk (awjuh). Meskipun para ulama berbeda pendapat
dalam menafsirkannya[2].
Imam
Abu Fadhilal Razi dalam kitabnya Al Lawaih mengungkapkan bahwa yang dimaksudkan
dengan Sab’ah ahrif adalah tujuh
perbedaan bacaan Al Qur’an. Perbedaan bentuk-bentuk tersebut adalah:
1.
Perbedaan Asma’(kata benda),
Berupa bentuk tunggal, dua, jamak, pria dan wanita.
2.
Perbedaan Tasrif(kongjungsi)
af’al (kata Kerja), berupa madhi, mudhari’, dan amar.
3.
Perbedaan bentuk I’rab.
4.
Perbedaan sebab pengurangan
dan penambahan kata.
5.
Perbedaan sebab mendahulukan
dan mengakhiri.
6.
Perbedaan sebab Penggantian
huruf.
7.
Perbedaan lahjah.[3]
- Pengertian Qira’at sab’ah
Berdasarkan
etimologi (bahasa), qiraah merupakan kata jadian (mashdar)
dari kata kerja qiraah (membaca), jamaknya yaitu qiraat. Bila
dirujuk berdasarkan pengertian terminology (istilah), ada beberapa
definisi yang diintrodusirkan ulama :
a. Menurut
az-Zarqani.
Az-Zarqani
mendefinsikan qiraah dalam terjemahan bukunya yaitu : mazhab yang dianut
oleh seorang imam qiraat yang berbeda dengan lainnya dalam pengucapan Al-Qur’an
serta kesepakatan riwayat-riwayat dan jalur-jalurnya, baik perbedaan itu dalam
pengucapan huruf-huruf ataupun bentuk-bentuk lainnya[4].
b. Menurut
Ibn al Jazari :
Ilmu yang menyangkut
cara-cara mengucapkan kata-kata Al-Qur’an dan perbedaan-perbedaannya dengan
cara menisbatkan kepada penukilnya[5].
c. Menurut
al-Qasthalani :
Suatu ilmu yang
mempelajari hal-hal yang disepakati atau diperselisihkan ulama yang menyangkut
persoalan lughat, hadzaf, I’rab, itsbat, fashl, dan washl yang
kesemuanya diperoleh secara periwayatan[6].
d. Menurut
az-Zarkasyi :
Qiraat adalah perbedaan
cara mengucapkan lafaz-lafaz Al-Qur’an, baik menyangkut huruf-hurufnya atau
cara pengucapan huruf-huruf tersebut, seperti takhfif (meringankan), tatsqil
(memberatkan), dan atau yang lainnya[7].
e. Menurut
Ibnu al-Jazari
Qira’at adalah pengetahuan
tentang cara-cara melafalkan kalimat-kalimat Al-Qur’an dan perbedaannya dengan
membangsakaanya kepada penukilnya[8].
Perbedaan
cara pendefinisian di atas sebenarnya berada pada satu kerangka yang sama,
yaitu bahwa ada beberapa cara melafalkan Al-Qur’an walaupun sama-sama berasal
dari satu sumber, yaitu Muhammad. Dengan demikian, dari penjelasan-penjelasan
di atas, maka ada tiga qira’at yang dapat ditangkap dari definisi diatas yaitu
:
1) Qira’at berkaitan dengan
car penafalan ayat-ayat Al-Qur’an yang dilakukan salah seorang iman dan berbeda
cara yang dilakukan imam-imam lainnya.
2) Cara penafalan ayat-ayat Al-Qur’an itu berdasarkan
atas riwayat yang bersambung kepada Nabi. Jadi, bersifat tauqifi, bukan ijtihadi.
3) Ruang
lingkup perbedaan qira’at itu menyangkut persolan lughat, hadzaf, I’rab,
itsbat, fashl, dan washil[9].
Hikmah diturunkan Al
qur’an dalam 7 huruf:
- Mempermudah
umat islam khususnya bangsa Arab yang diturunkan Al Qur’an, sedangkan
mereka memiliki beberapa dialek (lahjah) walaupun dapat di satukan dengan
ke arabannya.
- Menyatukan umat Islam dalam satu bahasa yang disatukan dengan bahasa Quraisy yang tersusun dari berbagai bahsa pilihan di kalangan suku-suku bangsa Arab[10].
Hikmah perbedaan
Qiraat dalam Al Qur’an:
1. Untuk
memberikan kemudahan bagi umat Islam, khususnya bangsa Arab dalam membaca Al
Qur’an
2. Mempersatukan
umat Islam dikalangan Bangsa Arab, yang relatif baru, dalam satu bahasa yang
dapat mengikat persatuan di antara mereka, yaitu bahsa Quraisy yang dengannya
Al Qur’an di turunkan, dan dapat mengakomo atau menampung unsur-unsur bahasa
Arab dari kabilah-kabilah lain.
3. Menunjukan
kelebihan (keutamaan) umat Nabi Muhammad SAW dari umat nabi-nabi sebelumnya,
karena kitab suci yang diturunkan kepada umat sebelum Nabi Muhammad SAW hanya
terdiri atas satu versi qiraat.
4. Menunjukan
atau membuktikan terjaga serta terpeliharanya Al Qur’an dari adanya tabdil
(penggantian) dan tahrif (pengubahan), termasuk berbagai versi qiraatnya[11].
B. Landasan dan latar
belakang Abruf sab’ah dan Qira’at sab’ah.
Sejarah Qira’ah
Pada
masa Rasulullah sudah sebenarnya sudah terdapat Qori-qori yang mengajarkan cara
membaca Al Qur’an kepada orang-orang menurut standar bacaan para sahabat. Di
antara paa sahabat yang populer bacaannya adalah Ubay, Aly, Zaid ibnu Tsabit,
ibnu mas’ud, Abu Musa Al Asy’ary dan lainnya. Dari mereka itulah kebanyakan
para sahabat dan tabi’in di seluruh daerah belajar. Mereka semua berpedoman
kepada Rasulluah saw sampai dengan datangnya masa tabi’in pada awal abad ke II
H. Selanjutnya timbullah golongan yang begitu memperhatikan tanda baca secara
sempurna manakala di perlukan. Mereka menjadikannya sebagai salah satu cabang
ilmu sebagaimana halnya ilmu-ilmu syaria’at yang lain[12].
Kalangan
sahabat sendiri dalam mengambil bacaan dari Rasullah saw berbeda-beda. Ada yang
mengambil dengan satu huruf/bacaan sedangkan yang lain mengambil dengan bacaan
yang lain pula, dan bahkan ada yang lain lagi. Kemudian mereka bertebaran
keseluruh penjuru daerah dengan keadaan yang seperti itu.
Ustman
r.a ketika mengirim mushaf ke seluruh penjuru, ia mengirim pula orang yang
sesuai bacaannya dengan mushaf yang diturnkan. Setelah para sahabat berpencar
ke seluruh daerah dengan bacaan yang berbeda-beda itu, para tabi’in
mengikutinya dengan mengambil baacan dari sahabat tersebut. Dengan demikian
beraneragamlah pengambilan para tabi’in, sehingga masala ini menimbulkan
imam-imam atau tokoh-tokoh qori yang masyur yang berkecimpung di dalamnya. Dan
mencurahkan segalanya untuk Qari’at dengan memberi tanda-tanda serta
menyebarluaskannya.[13]
Setelah
adanya tokoh-tokoh tersebut, banyaklah berkembang qori-qorinya yang terkenal ke
seluruh penjuru serta di kembangkan dari generasi ke generasi yang berlainan
tingkatnya dan berbeda sifatnya. Di antara mereka ada yang sangat baik dalam
membaca, masyur dari segi riwayat dan dirayahnya, dan sebagian lain hanya
mempunyai satu segi bacaan dan yang lainnya ada yang lebih dari itu. Oleh
karena itu timbullah banyak perbedaan dan kurang adanya keseragaman antara
sesamanya.( mohamaad aly: 319)[14]
Pada
masa inilah timbul tokoh-tokoh dan pemimpin umat yang bekerja keras sesuai
dengan kemampuan yang dimilikinya, sehingga bisa membedakan antara bacaanyang
benar dan yang salah, serta yang berkembang dan yang dipunahkan dengan
pedoman-pedoman yang mereka kembangkan dan segi-segi yang mereka utamakan
(manahilu’irfan, juz I, hal 407).[15]
C. Klarifikasi masalah
Abruf sab’ah dan Qira’at sab’ah.
Pengarang
kitab Al itqon menyebutkan macam-macam Qira’at itu ada yang mutawattir, masyur,
syadz, ahad, maudhu’, dan mudarraj.[16]
Al suyuthi mengutip
ibn al-jazari yang mengelompok Qira’at berdasarkan sanad kepada 6 macam, yaitu:
- Mutawatir,
yaitu qiraat yang diriwayatkan oleh sejumlah periwayat yang banyak dari
sejumlah periwayat yang banyak pula sehingga tidak mungkin mereka
bersepakat untuk berdusta dalam tiap angkatan sampai pada Rasulullah saw.
Menurut jumhur ulama Qiraat yang tujuh adalah mutawattir(zarkasi,ramli).
Menurut H. ahmad Fatahoni, para ulama Al Qur’an dan ahli hukum Islam telah
sepakat bahwa Qiraat yang berstarus mutawattir ini adalah Qiraat yang sah
dan resmi sebagai Al Qur’an. Qira’at ini sah dibaca didalam dan diluar
sahlat. Qiraat ini di sejadikan sebagai sumber atau hujjah dalam
menetapkan hukum.
- Masyur, yaitu
qiraat yang sanadnya sahih. Akan tetapi jumlah periwayatnya tidak sampai
sebanyak mutawattir. Qiraat ini sesuai dengan kaidah bahasa arab dan
tulisan mushaf usmani. Qiraat ini populer dikalangan ahli qiraat dan
mereka tidak memandangnya sebagai qiraat yang salah atau aneh. Misalnya
qiraat yang berbeda-beda jalur periwayatanya dari imam qiraat yang tujuh.
Sebagian periwayat meriwayatkannya dari mereka dan sebagian yang lain
tidak demikian. Di antara kiab yang paling masyur menyangkut kedua macam
qiraat ini adalah kitab al taisir karangan al Dani, al-Syathibiah karangan
al Syathibiah (w. 590 H) dan Thibah al-Nasyr fi al-Qiraat al Asyr karangan
ibnu al Jazari. Menurut al Zarkani dan Shubhi al Shalih, kedua macam
tingkatan mutawattir dan masyur sah bacaannya dan wajib meyakininya dan
tidak boleh mengingkari sedikit pun daripadanya.
- Ahad yaitu
qiraat yang sanadnya shahih. Akan tetapi qiraat ini menyalahi tulisan
mashaf usmani atau kaidah bahasa arab atau tidak masyur seperti kemasyuran
tersebut diatas. Qiraat ini tidak sah dibaca sebagai Al Qur’an dan tidak
wajib meyakininya.
- Syaz yaitu
Qiraat yang sanadnya tidak sahih, seperti qiraat Ibn al Sumaifi.
- Maudhu’, yaitu
qiraat yang dibangsakan kepada seseorang tanpa dasar.
- Mudraj, yaitu
qiraat yang didalamnya terdapat kata atau kalimat tambahan yang biasanya
di jadikan penafsiran bagi ayat Al Qur’an[17].
Terdapat sedikit perbedaan pendapat dikalangan para ahli qiraat dalam menetapkan persyaratan bagi qiraat yang tergolong shahihat, namun pada prinsipnya sama. Adapun persyaratan tersebut adalah sebagai berikut.(hasanuddin: 138).
Ibn khalawayh (w.370
H), menetapkan persyaratan sebagai berikut:
- Qiraat tersebut
harus sesuai dengan rasm al mushhaf
- Qiraat tersebut
harus sesuai dengan kaidah bahasa arab.
- Qiraat tersebut bersambng periwayatannya.
Makki abn Abi Thalib
(w.437 H), penetapkan persyaratannya sebagai berikut:
- Qiraat tersebut
sesuai dengan kaidah bahasa arab yang berlaku
- Qiraat tersebut
harus sesuai dengan rasm al mushhaf
- Qiraat tersebut disepakati oleh ahli qiraat pada umumnya
Sementara itu al
kawasyi (w.680H), menetapkan persyaratan sebagai berikut:
- Qiraat tersebut
memiliki sanad yang shahih.
- Qiraat tersebut
harus sesuai dengan kaidah bahasa arab.
- Qiraat tersebut harus sesuai dengan rasm al mushhaf.
Sedangkan Ibn al
Jaziri (w.833H) menetapakan persyaratan sebagai berikut:
- Qiraat tersebut memiliki sanad yang
shahih.
- Qiraat tersebut
harus sesuai dengan kaidah bahasa arab secara mutlak.
- Qiraat tersebut harus sesuai dengan rasm al mushhaf meskipun tidak persis betul.
Jadi,
secara garis besar qiraat Al Qur’a itu terbagi
kepada 2 tingkatan saja, yaitu:
- Qiraat yang
dapat diterima sebagai Qiraat Al Qur’an, yaitu:
a. Qiraat
yang di akui qur’aniyahnya(ke Qur’anannya), yaitu yang sanadnya shahih, sesuai
dengan kaidah bahasa arab dan rasm al mushhaf, serta diriwayatkan secara
mutawatir.
b. Qiraat
yang tidak di akui qur’aniyahnya(ke Qur’anannya), yaitu mencakup 2 macam
qiraat,yaitu:
- Qiraat ahad, yaitu qiraat
yang sanadnya sahih, sesuai dengan kaidah bahasa arab dan rasm al mushhaf,
tetapi tidak diriwayatkan secara mutawatir.
- Qiraat syazzat, yaitu qiraat
yang sanadnya sahih, sesuai dengan kaidah bahasa arab, teapi tidak sesuai
dengan rasm al mushhaf.
- Qiraat yang
tidak dapat diterima sebagai Qiraat Al qur’an.
a. Qiraat
yang tidak ada dasarnya atau tidak bersumber dari Nabi SAW.
b. Qiraat
yang sanadnya tidak sahih
c. Qiraat
yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa arab.
Macam-macam
qiraat, yaitu:
- Ibn Amir,
Nama lengkapnya
abdullah Ibn ‘Amir al Yasshabi (8-118H). ia membaca Al Qur’an dari al mughirah
ibn abi shihab al makhzumi dan abu darda’,
al mughirah membaca dari Usman bin Affan, sementara Usman bin Affan dan
abu darda’ membaca dari nabi SAW. Dua rawi dari Qiraat ib ‘Amir:
a.
Hisyam(245 H)
b.
Ibn Zakwan(242 H).
- Ibn Kasir
Nama lengkapnya
adalah Abu Muhammad Abdullah ibn Kasir al Makki(45-120H). Ia membaca Al Qur’an
dari Abdullah Ibn al Sa’ib, Mujahid Ibn Jabr, dan Dirbas. Abdullah ibn Al Sa’ib
membaca dari Ubay ibn Ka’ab dan Umar ibn Al Khaththab. Mujahid ibn Jabr dan Dirbas
membaca dari ubn Abbas. Ibnu abbas membaca dari ubay ibn Ka’ab dan Zayd ibn
Sabit. Sementara Ubay ibn Ka’ab, Umar Ibn Khaththab dan Zayd. Dua orang rawi
qiraat ibn Kasir:
a.
Al Bazzi
b.
Qunbul
- Ashim
Nama lengkapnya
Ashim Ibn Al Najud Al Asadi (129H). ia membaca Al Qur’an dari Abu Abd Al Rahman
Al Simi. Abu Abd Al Rahman Al Simi membaca dari Ibn Mas’ud, Usman Bin Affan,
Ali bin abi Thalib, Ubay Ibn Ka’ab dan Zayd Ibn Sabit. Para sahabat tersebut
menerima bacaan Al Qur’an dari Nabi SAW. Dua orang Rawi Qiraat Ashim:
a. Hafsh
b. Syu’bah
- Abu ‘Amr
Nama lengkapnya Abu
Amr Zabban Ib Al Ala Ibn ‘Ammar(68-154 H). ia membaca Al Qur’an dari abu Ja’far
Yazid ibn Qa’qa’ dan Hasan al Bashri. Hasan al Bashri membaca dari al Haththan
dan Abu al Aliyah. Abu Al aliyah membaca dari umar Ibnu Al Khaththab dan ubay
ibn Ka’ab. Kedua sahabat yang tersebut terakhir ini membaca Al Qur’an dari Nabi
SAW. Dua orang Rawi dari Qiraat Abu Amr:
a. Al
Duri
b. Al
Susi
- Hamzah
Nama lengkapnya
adalah Hamzah Ibn Hubayb Abn al Ziyyat al Kufi(80-156 H). Ia membaca al Qur’an
dari Ali Sulayman al A’masy, Ja’far Al Shadiq, Hamran Ibn A’yan, Manhal ibn
‘Amr, dan lain-lain. Mereka semua bersambung sanadnyakepada Nabi SAW. Dua orang
rawi Qiraat Hamzah:
a. Khallad
b. Khalaf
- Nafi’
Nama lengkapnya
Nafi’ibn Abd al Rahman Ibn Abi Nu’aym al Laysi(169H). ia membaca Al Qur’an dari
Ali Ibn Ja’far, Abd Al rahman ibn Hurmuz Muhammad Ibn Luslim Ibn Muslim al
Zuhri, dan lain-lain. Mereka semua bersambung sanadnya secara Shahih kepada
Nabi SAW. Dua orang rawi Qiraat Nafi’:
a. Warasy
b. Qalum
- Al kasa’i
Nama lengkapnya
adalah abu Hasan Ali Ibn Hamzah Al Kisa’I (187H). Ia membaca Al Qur’an dari
Hamzah, Syu’bah, Ismail ibn Ja’far, dan lain-lain. Mereka semua bersambung
sanadnya kepada Nabi SAW. Dua orang rawi Qiraat Al Kasa’i:
a. Al
Duri
b. Abu
Al Haris.[18]
Di kalangan sahabat
yang masyur mengjarkan Al Qur’an adalah:
- Utsman
- Ali bin abi
thalib
- Ubay bin ka’ab
- Zaid bin Tsabit
- Ibnu Mas’ud
- Abu Ad Darda
- Abu Musa Al
Asy’ari.[19]
Dalam
membaca Al Qur’an ara ulama tajwid dan adab tilawahnya, dan iramanya pun harus
sesuai dengan kaidahyang benar. As-sayuti dalam al Itqan, dan di ungkapkan
kembali oleh ar Rafi’I dalam I’jazul Qur’an dengan mengatakan:” Di antara
perbuatan Bid’ah dalam qiraat dan ada’ adalah talhin. Atau melagukan bacaan
yang hingga sekarang ini masih ada dan disebarluaskan oleh orang yang hatinya
telah terpikat dan terlanjur mengagumi[20].
Mereka membaca Al Qur’an sedemikian rupa layaknya sebuah irama atau nyayian.
Dan di antara macam-macam talhin yang mereka kemukakan sesuai dengan pembagian
irama lagu adalah:
- Tar’id, yaitu
bila qori’ menggelegarkan suaranya, laksana suara yang menggelegar karena
kedinginan atau kesakitan.
- Tarkis, yaitu
sengaja berhenti pada huruf mati namun kemudian dihentakkannya
secaratiba-tiba disertai dengan gerakan tubuh, seakan-akan sedang melompat
atau berjalan cepat.
- Tatrib, yaitu
mendendangkan atau melagukan Al Qur’an sehingga membaca panjang(mad) bukan
pada tempatnya.
- Tahzin, yaitu
membaca Al Qur’an dengan nada memelas seperti orang yang lagi bersedih
sampai hamper menangis disertai kekusyukan dan suara lembut.
- Tardid, yaitu
bila sekelompok orang menirukan seorang qori pada akhir bacaannya dengan
suatu gaya atau cara-cara di atas[21].
Qiraat itu
sebenarnya ada yangbersifat tahqiq, yaitu dengan cara memberikan kepada setiap
huruf akan haknya sesuai dengan ketentuan yang telah di tetapkan para ulama.
Dan di sertai tartil yaitu dengan bacaan yang pelan-pelan dan tenang serta
dengan suara yang lembut, bersifat hadar, yaitu membaca cepat dengan tetap
memperhatikan sarat-sarat pengucapan yang benar , dan ada pula yang bersifat
tadwir yaitupertengan antara kedua sifat tadi[22].
D. Peranan Qira’at sab’ah
dalam penafsiran
Kata
Istinbath adalah bahasa arab yang berasal dari kata al nabth yang berarti “air
yang keluar pertama kali atau tampak pada saat menggali sumur. Karena itu makna
istinbath yang biasa dipakai adalah “mengeluarkan”[23].
Secara
terminologi istinbath berarti: mengeluarkan kandungan hukum dari nash-nash yang
ada( Al Qur’an dan Sunnah) dengan ketajaman nalar serta kemampuan yang optimal.
Dari
definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa substansi dari istinbath adalah upaya
melahirkan ketentuan-ketentuan hukum dari apa yang terdapat dalam Al Qur’an
maupun Sunnah[24].
Perbedaan
Qiraat Al Qur’an yang berkaitan dengan substansi lafal atau kalimat, adakalanya
mempengaruhi makna dari lafal atau kalimat adakalanya tidak. Dengan demikian,
perbedaan Qiraat Al Qur’an dalam hal ini adakalanya berpengaruh dalam istinbath
hukum dan adakalanya tidak.[25]
(hasanuddin:
201)
- Perbedaan
qiraat yang berpengaruh terhadap istibath hokum
Adapun perbedaan
qiraat Al qur’an yang khusus menyangkut ayat-ayat hukum, dan berpengaruh
terhadap istinbath hukum, dapat di lihat dengan contoh:
QS: Al Baqarah, ayat 222:
Artinya:
“Mereka bertanya
padamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu adalah suatu kotoran. Oleh sebab itu
hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid, dan janganlah kamu
mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka
campurilah mereka ditempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan
diri.”
Sehubungan
dengan qiraat ( laa mastumunnisa’), ada 3 versi pendapat ulama mengenai laa
mastum, yaitu: bersetubuh(jaa ma’tum), bersentuh ( baa syartum), dan bersentuh
serta bersetubuh. Dalam kaitan dengan hal ini , al Razi berkomentar bahwa suatu
lafaz harus di artikan dengan pengertian hakiki. Makna hakiki dari (au laaa
mastumunnisa’) adalah menyentuh tangan. Jadi wanita sedang haid tidak boleh di
sentuh. Sedangkan ada pendapat lain yang mengatakan yang dimaksud dalam hal ini
adalah bersetubuh.
- Qiraat yang
tidak berpengaruh terhadap istimabat hukum
QS: al maidah, ayat:95
Artinya:
”Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang
ihram. Barang siapa diantara kamu yang membunuhnya dengan sengaja, maka
dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang
dibunuhnya, menurut putusan 2 orang yang adil diantara kamusebagai hadnya, yang
di bawa sampai ke ka’bah, atau dengan membayar kifarat dengan member makan
orang-orang miskin, atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu,
supaya ia merasakan akibat yang buruk dari perbuatannya.”
Sehubungan
dengan ayat di atas, ibn kasir,ashim, abu ‘amr, hamzah dan al kisa’I, membaca(
aukaffaaratu tha’aa mu masyaa kiin). Sementara Nafi dan ibn amir membaca
(aukaffaa hutha’aa mi masyaa). Tanpa terjadi perbedaan maksud dan hukum yang
terdapat di dalamnya
Baca Juga;/.......
👉WAHYU DAN RUANGLINGKUPNYA
👉NUZUL AL-QUR’AN DAN PENGUMPULAN AL-QUR’AN PADA MASA NABI
👉PENGUMPULAN AL QUR’AN PADA MASA KHULAFA AL RASYIDIN
👉EJAAN ATAU RASM AL-QUR’AN
👉I’JAZUL QURAN
👉NASAKH dan MANSUKH
👉AYAT-AYAT MUHKAMAT DAN MUTASYABIHAT
👉AYAT-AYAT MAKKIYAH DAN MADANIYYAH
👉HURUF dan QIRAAT TUJUH
👉ASBABUN NUZUL QUR'AN
👉SUMPAH (QASAM) DALAM AL-QUR’AN
👉PEMBUKA-PEMBUKA SURAT DALAM ALQURAN
👉PERUMPAMAAN DALAM AL-QUR’AN
👉KISAH KISAH DALAM AL-QUR’AN
👉KISAH KISAH DALAM AL-QUR’AN
C. Penutup
Dari
penjelasan yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa Al Qur’an
ternyata diturunkan dalam 7 huruf. Sehingga kita dapat memilih mana diantaranya
yang lebih memudahkan kita untuk membacanya. Karena masing-masing dari huruf Al
Qur’an tersebut akan lebih cenderung pada tata bahasa kabilah-kabilah di bangsa
Arab pada waktu Al Qur’an di turunkan.
Selain
itu untuk membaca Al Qur’an juga terdapat qira’at-qira’at yang diriwayatkan
sampai ke Rasulullah, sebagai cara membaca Al Qur’an yang baik dan benar. Di
antara qira’at-qira’at tersebut yang mutawattir adalah:qira’at ibnu Amir,
qira’at ibnu kashir, qira’at Ashim, qira’at Hamzah, qira’at Nafi’, Qira’at al
Kisa’i. Sebagai seorang mukmin sebaiknya kita menguasai minimal satu qira’at,
sehingga kita tidak terjerumus pada cara pembacaan Al Qur’an yang salah.
Selain merupakan cara membaca Al Qur’an yang benar,
qira’at juga mempunyai fungsi dalam menentukan istinbath hukum dalam islam.
Dengan adanya pembacaan Al Qur’an dalam beberapa versi ini, membantu ulama-ulama
sesusudahnya untuk memahami arti yang lebih hakiki dari Al Qur’an tersebut.
[1] Ramli, Abdul, Ulumul Qu’an, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002),h.150
[2] Hasan, Zaini, ‘Ulum Am Qur’an, (Batusangkar: STAIN
Batusangkar, 2011).h.148
[3] Ibid
[4] Ibid,h.149
[5] Dikutip dari situs
http://pintania.wordpress.com/qiraatul-quran/.
Rabu 2 November 2011
[6] Ibid
[7] Ibid
[8] Ibid
[9] Ibid
[10] Mohammad,aly, Pengantar tudi Al Qur’an, Judul asli At Tibyan, Terj. Moch Chuslori Umar,
(Bandung: al ma’arif, 1996).h.303-304
[11] Hasanuddin, Perbedaan Qira’at dan Pengaruhnya Terhadap
Istinbath Hukum dalam Al Qur’an, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
1995).h.241-247
[12] Ibid.h.317
[13] Ibid,h.318
[14] Ibid,h.319
[15] Ibid
[16] Ibid
[17] Ibid,h.141-143
[18] Ibid,h.147-149
[19] Muhamaad Bin Alawi al Maliki Al Hasni, Mutiara Ilmu-ilmu Al Qur’an, Judul Asli Zubdah Al Itqan Fi Ulum Al Qur’an, Terj. Rosihon Anwar, (Bandung: Pusataka Setia, 1999), h.40
[20] Mana Khalil al
Qatan, Studi Ilmu-ilmu Al Qur’an,
Judul Asli Mabahits fi ‘ulum Al Qur’an,
Terj.Mudzakir As(Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 1992),h.267
[21]
Ibid, h.268
[22] Ibid
[23] Zulheldi, Ulumul Qur’an ,I(Jakarta: Quantum Press,
2003),h.164
[24] Ibid
[25] Ibid
0 Comment