A.
Pendahuluan
Al-Qur’an sumber pertama n utama hukum Islam, oleh karna itu Al-Qur’an sangat penting untuk terus dikaji dan didalami oleh setiap orang, khususnya bagi para pengkaji hukum-hukum Islam. Di antara kajian penting yang harus dikaji adalah tentang muhkam dan mutasyabihat, karena hal ini tidak terlepas dari Iktilaf Ulama. Pendapat yang paling shahih bahwa Al-Qur’an itu sebahagian ayatnya adalah muhkam dan sebagiannya lagi mutasyabih. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana sikap kita terhadap ayat-ayat yang mutasyabih tersebut?
B.
Pengertian
Muhkam berasal dari kata ihkam yang secara bahasa berarti ketelitian, keakuratan, kekukuhan, pencegahan dan keseksamaan.[1] Namun pengertin ini semua pada dasarnya kembali pada makna pencegahan. Kata Mutasyabih berasal dari kata tasyabuh yang maknanya secara bahasa adalah yang sama, serupa[2], yang biasanya membawa kepada kesamaran di antara dua hal. Kedua kata ini terdapat dalam al-Qr’an. Pertama dalam firman Allah surat Hud ayat 1:
Alif laam raa, (Inilah) suatu Kitab yang ayat-ayatNya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha tahu,(QS. Hud (11):1)[3]
Kedua, firman Allah dalam surat Az-Zumar ayat 23:
Artinya: Allah Telah menurunkan perkataan yang
paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi
berulang-ulang gemetar karenanya kulit
orang-orang yang takut kepada Tuhannya, Kemudian menjadi tenang kulit dan hati
mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan Kitab itu dia
menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. dan barangsiapa yang disesatkan Allah,
niscaya tak ada baginya seorang pemimpinpun.(QS. Az-Zumar (39) :23)[4]
Ketiga firman Allah balam surat Ali Imran ayat 7:
Artinya: Dia-lah yang
menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat
yang muhkamaat Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat)
mutasyaabihaat. adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan,
Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya
untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang
mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya
berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu
dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya)
melainkan orang-orang yang berakal.(QS.Ali Imran (3): 7)[5]
Kalau dilihat secara
sepintas, ketiga ayat ini menimbulkan pemahaman yang saling bertentangan.
Karena itu Ibn Habib al-Naisaburi menjelaskan bahwa dalam memahami ayat ini ada
tiga pendapat. Pertama, bahwa Al-Qur’an seluruhnya muhkam berdasarkan
ayat pertama. Kedua, berpendapat bahwa Al-Qur’an seluruhnya mutasyabihat
berdasarkan ayat kedua. Ketiga, berpendapat bahwa Al-Qur’an sebagian
ayat Al-Qur’an muhkam dan sebagian mutasyabih berdasarkan ayat
yang ketiga, dan inilah pendapat yang lebih sahih. Sedangkan ayat
pertama dimaksudkan dengan muhkamnya Al-Qur’an adalah kesempurnaannya
dan tidak adanya pertentangan antara ayat-ayatnya. Maksud mutasyabih
pada ayat kedua adalah menjelaskan segi kesamaan ayat-ayat Al-Qur’an dalam
kebenaran, kebaikan, dan kemukjizatannya. Sehubungan dengan ini Al-Zarqani,
Shubhi al-Salih, dan Abd al-Mun’im al-Namir memandang sebenarnya tidak ada
pertentangan antara ketiga ayat di atas. Lebih dari itu mereka menjelaskan
bahwa yang menjadi perhatian dalam pembahasan ini adalah ayat yang ketiga,
bukan ayat pertama dan kedua.
Secara istilah, para
ulama berbeda pendapat pula dalam mendefinisikan muhkam dan mutasyabih.
Seperti Al-Suyuti telah mengemukakan 18 definisi. Al-Zarqani memberikan 11 definisi
pula yang sebagiannya dikutip dari Al-Suyuti. Di antara definisi yang dikemukan
oleh al-Zarqani adalah sebagai berikut: [6]
1.
Muhkam adalah ayat yang jelas maksudnya lagi nyata yang tidak mengandung
kemungkinan nasakh. Mutasyabih adalah ayat yang tersembunyi maknanya,
tidak diketahui maksudnya baik secara aqli maupun naqli, dan inilah ayat-ayat
yang hanya Allah mengetahuinya, seperti datangnya hari kiamat, huruf-huruf yang
terputus di awal surat. Pendapat ini dibangsakan Al-Alusi kepada
pemimpin-pemimpin mazhab Hanafi.
2.
Muhkam ialah ayat yang diketahui maksudnya, baik secara nyata maupun melalui
takwil. Mutasyabih ialah ayat yang hanya Allah yang mengetahui
maksudnya,[7]
seperti terjadinya hari kiamat, keluarnya Dajjal, huruf yang terputus-putus di
awal surat. Pendapat ini dibangsakan kepada ahli sunnah sebagai pendapat yang
terpilih dikalangan mereka.
3. Mukam adalah ayat yang berdiri sendiri dan tidak memerlukan keterangan. Mutasyabih
ialah ayat yang tidak berdiri sendiri, tetapi memerlukan keterangan
tertentu dan kali yang lain diterangkan dengan ayat atau keterangan yang lain
pula karena terjadinya perbedaan dalam menakwilnya. Pendapat ini diceritakan
dari Imam Ahmad.
4. Muhkam adalah ayat yang jelas maknanya dan tidak masuk kpada isykal (kepelikan).
Mutasyabih ialah lawannya. Muhkam atas kata benda, musytarak, dan
lafal-lafal mubhamah (samar) ini adalah pendapat al-Tibi.
5. Muhkam adalah ayat yang tunjukannya kuat, yaitu lafal nash dan lafal zahir. Mutasyabih
adalah ayat yang tunjukan maknanya tidak kuat, yaitu lafal mujmal,
muawwal dan musykil. Pendapat ini dibangsakan kepada al-Razi dan
banyak peneliti yang memilihnya.
6. Muhkam ialah ayat yang tidak mengandung kecuali satu kemungkinan makna takwil. Mutasyabih
ialah ayat yang mengandung banyak kemungkinan makna takwil. Pendapat ini
dibangsakan kepada Ibn Abbas.
7. Muhkam ialah ayat yang seksama susunan dan urutannya yag membawa kepada
kebangkitan makna yang tepat tanpa pertentangan. Mutasybih ialah ayat
yang makna seharusnya tidak terjangkau dari segi bahasa kecuali bila ada
bersamanya indikasi atau konteksnya. Lafaz musytarak masuk kepada mutasyabih
menurut pengertian ini. Pendapat ini dibangsakan kepada Imam Harmain.
Dari berbagai definisi
di atas, dapat diketahui dua hal penting. Pertama, dalam membicarakan muhkam
tidak ada kesulitan. Muhkam adalah ayat yang jelas maknanya. Kedua, mutasyabih adalah
sebaliknya. jadi pembicaraan tentang mutasyabih perlu dibahas lebih
lanjut. Apa sumber yang melahirkan mutasyabih, dan bagaimana sikap ulama
menghadapinya.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa sumber tasyabuh adalah ketersembunyian maksud Allah dari kalamNya. Secara rinci dapat dikatakan bahwa ketersembunyian itu bisa kembali kepada lafal atau kepada makna atau kepada keduanya sekaligus.[8] Contoh ketersembunyian pada pada lafal adalah: وفا كهة وابا lafal اب diartikan rumput rumputan berdasarkan pemahaman ayat sebelumnya:
Untuk kesenanganmu dan untuk
binatang-binatang ternakmu.
(QS, ‘Abasa: (80):32)
Mutasyabih yang timbul dari ketersembunyian
makna adalah ayat-ayat mutasyabihat tetang sifat-sifat Tuhan, seperti:
يدالله فوق ايدهم
Tangan Allah di atas tangan mereka
Mutasyabih yang timbul dari ketersembunyian pada makna dan lafal sekaligus adalah seperti:
dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung. (QS. Al-Baqarah (2): 189)[9]
C.
Sumber Perbedaan Pendapat
Dalam membahas ayat-ayat mutasyabih terjadi
perbedaan pendapat di kalangan ulama apakah ayat-ayat mutasyabih ini
ditafsirkan, ditakwilkan atau diimani dan diserahkan maksudnya kepada Allah. Maka
dalam hal ini ada beberapa pendapat ulama. [10]
1. Jumhur ulama ahl al-Sunnah dan sebagian dari ahl ar-Ra’yi (dari kalangan mu’tazilah) memandang tidak perlu ditafsirkan atau ditakwilkan, cukup diimani dan diserahkan maknanya kepada Allah. Argumennya adalah riwayat Abu Qasim dari Ummi Salamah ketika menafsirkan QS. Thaha: 5.
(yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam di atas 'Arsy
Ia berkata cara Allah bersemayam itu tidak
dapat dinalar, tetapi bersemayam Allah itu tidak samar lagi dan mengingkarinya
kufur. Pandagan yang sama juga dianut oleh Zubaiq bin Abi Abdurrahman, Imam
Malik, Muhammad Ibn Hasan, dan Imam Tirmidzi menambahkan bahwa ini pendapat
kebanyakan ahli ilmu seperti Sofyan at-Tsauri, Malik Ibn Mubarak, Ibn Uyainah
dan Waqi’ bin Jarrah.
2. Pendapat sebagian ahl al-Sunnah dan mayoritas ahl ar-Ra’yi berpandangan
perlunya takwil terhadap ayat mutsyabih yang relevan dengan keagunga
Tuhan .Argumen mereka adalah bahwa tidak boleh ada satu lafaz, kalimat, atau
ayat yang tidak bisa diketahui oleh manusia, paling tidak dapat dikatahui oleh
orang yang dalam ilmu pengatuannya (rasikh) seperti bersemayam (استوى) dapat diartikan menguasai, naik atau adil.
3. Pendapat ulama lain seperi Ibn Daqiq mengambil jalan
tengah antara dua pendapat sebelumya. Pendapatnya adalah jika takwilnya relevan
dengan bahasa arab, maka tidak boleh ditalak. Sebaliknya jika berlawanan maka
harus titangguhkan dan tidak diamalkan serta cukup diimani saja . contohnya (جنب
الله) dalam surat al-Zumar ayat 56
diartikan tidak menunaikan kewajiban kepada Allah adalah dekat dengan
percakapan bahasa arab.
Ayat-ayat mutasyabih dapat dilihat
sebagai ayat metaforis atau simbolik Al-Qur’an yang di dalamnya terdapat
berbagai makna. Jadi ayat-ayat metaforis ini mengandung kebenaran Al-Qur’an
yang bersifat kontinu dan komulatif-sumatif. Kebenaran kontinum dan komulatif
artinya bahwa makna kebenaran tidak berhenti dan final dalam suatu kurun waktu
dan tempat,tetapi menelusuri semuanya sepanjang sejarah. Sedangkan kebenaran
yang paling sempurna hanyalah milik Allah semata.
Untuk ayat-ayat metaforis itu,bukan hanya
perlu penjelasan dan penafsiran, tetapi juga memerlukan takwil dengan berbagai
variasinya yang melibatkan ketajaman dan intelektual manusia. Takwil dalam
konteks ini merupakan alat yang dapat dipakai untuk membumikan Al-Qur’an, agar Al-Qur’an
dapat dipahami dalam perkembangan mutaakhir,
baik dalam kerangka social dan cultural, maupun dalam rangka kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknelogi.[11]
D.
Perbedaan Penafsiran Ayat
Telah dikemukakan bahwa ayat-ayat mutasyabihat itu berbagai sebab dan bentuknya. Dalam bagian ini bahasan khusus tentang ayat-ayat mutasyabihat yang menyangkut sifat-sifat Tuhan, yang dalam istilah al-Suyuthi ayat al-Sifat, dan dalam istilah Shubi al-Shalih mutasyabih al-Sifat ayat yang termasuk dalam kategori ini sangat banyak di antaranya:
Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam di atas 'Arsy
Dan datanglah Tuhanmu; sedang malaikat berbaris-baris.
Dan dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya
Amat besar penyesalanku atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap Allah
Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.
Dan supaya kamu diasuh atas mataku
Tangan Allah di atas tangan mereka
Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya.
Dalam ayat-ayat
terdapat kata-kata “bersemayam”, “datang”, “di atas”, “sisi”, “wajah”, “mata”,
“tangan”, dan “diri” yang dibangsakan atau dijadikan sifat bagi Allah.
Kata-kata ini menunjukkan keadaan, tempat, dan anggota bagi makhluk yang
baharu. Karena dalam ayat-ayat tersebut kata-kata ini dibangsakan kepada Allah
yang qadim, maka sulit dipahami maksud yang sebenarnya, karena itu pula
ayat-ayat tersebut dinamakan mutasyabih
al-sifat. Selanjutnya dipertanyakan apakah ayat-ayat ini dapat diketahui
oleh manusia atau tidak?.
Dalam hal ini Shubi
al-Shalih membedakan pendapat ulama ke dalam dua mazhab:
[12]
1. Mazhab Salaf, yaitu orang-orang yang mengimani
sifat-sifat mutasyabihat itu dan menyerahkannya kepada Allah sendiri.
Mereka mensucikan Allah dari pengertian-pengertian lahir yang mustahil ini bagi
Allah dan mengimaninya sebagaimana sebagaimana yang diterangkan Al-Qur’an serta
menyerahkan urusan mengetahui hakikatnya kepada Allah sendiri.
Inilah system penafsiran yang diterapkan
oleh mazhab Salaf pada umumnya terdapat ayat-ayat mutasyabihat. Dalam
menerapkan ini mempunyai dua argument, yaitu argument naqli dan aqli.
Argument aqli adalah bahwa menentukan maksud ayat-ayat mutasyabihat hanyalah
berdasarkan kaidah-kaidah kebahasaan dan penggunaannya dikalangan bangsa Arab.
Penentuan seperti ini hanya dapat menghasilkan ketentuan yang bersifat zanni
(tidak pasti). Sedangkan sifat-sifat Allah termasuk masalah akidah yang
dasarnya tidak cukup dengan argument yang zanni. Lantaran yang qath’I
(pasti) tidak diperoleh, maka kita tawaquf (tidak memutuskan) dan
menyerahkan ketentuan maksudnya kepada Allah yang maha mengetahui.
Adapun dalam argument naqli, mereka
mengemukakan hadits.
عن عا ئشة قالت: تلا رسول الله ص م. هذه الاية ( هوالذ انزل عليك الكاب الى قوله- اولوالالباب) قالت: قال رسول الله ص م.: فاذا رايت الذين يتبعون ماتشابه منه فاولئك الذين سمى الله فاحذرهم.
Al-Qur’an
kepadamu…..sampai kepada….orang-orang yang berakal” berkata ia: Rasulullah SAW
bersabda: jika engkau melihat orang-orang yang mengikuti ayat-ayat yang
mutasyabihat daripadanya maka mereka itulah orang-orang yang disebutkan Allah,
maka berhati-hatilah Dari Aisyah, ia berkata: Rasulullah Saw membaca ayat: “ialah
yang menurunkan terhadap mereka (HR. Bukhari dan Muslim)
من حديث عمر وبن شعيب عن ابيه عن جده عن رسول الله ص م. قال: ان القران لم ينزل ليكذب بعضه بعضا فما عرفتم منه فعملوابه وما تشابه فامنوا به.
Dari Amir ibn
Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya dari Rasulull Saw, ia bersabda: sesungguhnya
Al-Qur’an tidak diturunkan agar sebagiannya mendustakan sebagian yang lainnya;
apa yang kamu ketahui daripadanya maka amalkanlah dan apa yang mutasyabih maka
hendaklah kamu meyakininya.
2. Mazhab
Khalaf, yaitu ulama yang menakwilkan lafal yang makna lahirnya mustahil kepada
makna yang layak dengan zat Allah. Karena itu mereka disebut pula muawwilah atau
mazhab takwil. Mereka memaknakan istiwa’ dengan ketinggian yang abstrak, berupa
pengendalian Allah terhadap ala mini tanpa merasa kepayahan. Kedatangan Allah
diartikan dengan kedatangan perintah-Nya, Allah berada di atas hambaNya dengan
Allah maha tinggi, bukan berada di satu tempat, “sisi” Allah dengan hak Allah,
“wajah” dengan zat, “mata” dengan pengawasan, “tangan” dengan kekuasaan, dan
diri dengan siksa. Demikian sitem penafsiran ayat-ayat mutasyabihat yang
ditempuh oleh ulama khalaf. Semua lafal yang mengandung makna cinta dan murka
dan malu bagi Allah ditakwil dengan makna majaz yang terdekat. Mereka berkata:
كل صفة يستحيل حقيقتها على الله تعالى تفسره بلازمه
“setiap
sifat yang makna hakikatnya mustahil bagi Alah ditakwilkan dengan kelazimannya”
Mazhab ini juga
mempunyai dua argument yaitu aqli dan naqli. Menurut mereka,
suatu hal yang harus dilakukan adalah memalingkan lafal dari keadaan kehampaan
yang mengakibatkan kebingungan manusia karena membiarkan lafal terlantar tidak
bermakna. Selama mungkin menakwilkan kalam Allah dengan makna yang benar, maka
nalar mengharuskan untu melakukannya. Lebih lanjut mazhab ini mempertanyakan
apakah mungkin ada dalam al-Qur’aan sesuatu yang tidak kita ketahui maknanya?
Secara naqli
mereka mengemukakan beberapa atsar sahabat:
عن ابن عبا س فى قوله (وما يعلمون تأويله الا الله والراسخون فى العلم) قال: انا ممن يعلمون تأويله.
“Dari Ibn Abbas tentang firman
Allah: “dan tidak mengetahui takwilnya kecuali Allah dan orang-orang yang
mendalam ilmunya”; berkata Ibn Abbas: “saya adalah di antara orang yang
mengetahui takwilnya” (Diriwayatkan oleh Ibn Munzir)
عن الضحاك قال: الرا سخون فى العلم يعلمون تأويله لولم يعلموا ناسخه من منسوخه ولا حلا له من حرامه ولا محكمه من متشا بهه.
“Dari
al-Dhahhak, berkata ia: “orang yang mendalam ilmunya mengetahui takwilnya.
Sekiranya mereka tidak mengetahuinya, niscaya mereka tidak mengetahui nasikh
dari manskhnya, halalnya dari haramnya, dan muhkam dari mutasyabihnya”
(Diriwayatkan oleh Abi Hatim)
Pada
mulanya pendapat ini tidak dapat diterima oleh para ulama termasuk Ahlus
Sunnah, kemudian ternyata sebagian Ahlus Sunnah menganutnya. Ibn Burhan dan
Imam Nawawi memilih mazhab takwil ini. Dalam syarah Muslim, Imam Nawawi
berkata:
“Sesungguhnya
pendapat inilah yang paling benar karena sulit diterima akal bahwa Allah
menyeru hambaNya dengan sesuatu yang tidak mungkin bagi seorangpun dari
makhlukNya dapat mengetahuinya”.
Di
samping kedua mazhab ini masih ada pendapat ketiga. Sebagaimana dikemukakan
oleh Al-Suyuthi bahwa Ibn Daqiq al-Id mengemukakan pendapat yang menengahi
kedua mazhab di atas. Ibn Daqiq al-Id berpendapat bahwa jika takwil itu dekat
dari bahasa Arab maka tidak di pungkiri kebolehannya, jika takwil itu jauh maka
kita tawaqquf (tidak memutuskannya) kita meyakini maknanya menurut cara
yang dimaksudkan serta mensucikan Tuhan dari sesuatu yang tidak layak bagiNya.[13]
Secara teoritis perbedaan di atas bisa
dikompromikan, dan secara praktis penerapan Mazhab Khalaf lebih dapat memenuhi
tuntutan kebutuhan intelektual yang semakin hari semakin berkembang dan kritis.
Sebalikny Mazhab Salaf tetap sesuai bagi masyarakat yang secara intelektual tidak
menuntut penakwilan ayat-ayat mutasyabihat. Sejalan dengan ini para ulama
menyebutkan bahwa mazhab Salaf lebih aman karena tidak dikhawatirkan jatuh
kedalam penafsiran dan penakwilan yang menurut Tuhan salah, dan Mazhab Khalaf
Khalaf lebih selamat karena dapat mempertahankan pendapatnya dengan argument aqli.
E.
Jenis-jenis Ayat Mutasyabihat
Menurut Al-Zarqani, ayat-ayat mutasyabihat dapat dibagi kepada
tiga macam: [14]
1. Ayat-ayat yang seluruh manusia tidak mampu mengetahuinya, seperti pengetahuan tentang zat Allah dan hakikat sifat-sifatNya, pengetahuan tentang kiamat da hal-hal gaib lainnya. Allah berfirman dalam surat Thaha (20):5:
Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam di
atas 'Arsy
2. Ayat-ayat yang setiap orang bisa mengetahui maknanya melalui penelitian dan pengkajian, seperti ayat-ayat mutasyabihat yang kesamarannya timbul karena ringkasnya, panjangnya, ayat. Contoh firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 3:
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan;
saudara-saudaramu yang perempuan, Saudara-saudara bapakmu yang perempuan;
Saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan;
ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari
isteri yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu
itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan
diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan
(dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang Telah terjadi
pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
3. Ayat-ayat mutasyabihat yang maksudnya dapat diketahui oleh para ulama tertentu yaitu ulama-ulama yang jernih jiwanya. Melihat dari pembagian ayat-ayat mutasyabihat di atas, agaknya Az-Zarqani mengelompokkan ayat-ayat tersebut dari segi tingkat kesulitan dalam memahaminya, dalam artian beliau mengelompokkan berdasarkan orang yang akan memahaminya, rasikh tidaknya tingkat ilmu seseorang secara umum, para ulama secara khusus.
F.
Hikmah Keberadaannya Dalam Al-Qur’an
Mengenai hikmah tentang adanya ayat-ayat mutasyabihat
di dalam Al-Qur’an, para ulama telah banyak mengkaji hikmahnya, di antara
hikmahnya seperti dibawah ini:
1.
Al-Suyuthi
Imam al-Suyuthi dalam kitabnya al-Itqan menyebutkan hikmah di antaranya: [15]
a. Ayat-ayat mutasyabihat ini mengharuskan upaya yang lebih banyak
untuk mengungkapkan maksudnya sehingga menambah pahala bagi para pengkajinya.
b. Sekiranya Al-Qur’an seluruhnya muhkam tentunya
hanya ada satu mazhab, akan tetapi karena Al-Qur’an mengandung ayat muhkam
dan matasyabihat maka masing-masing mazhab akan menggali dalil untuk
menguatkan pendapatnya. Selanjutnya semua mazhab akan memperhatikan dan
merenungkannya. Sekiranya mereka terus menggalinya maka ayat-ayat muhkamlah
yang menjadi penafsirnya.
c. Jika Al-Qur’an mengandung ayat-ayat utasyabihat, maka
untuk memahaminya diperlukan cara penafsiran dan tarjih antara satu dengan
lainnya.
d.
Al-Qur’an berisi dakwah terhadap orang-orang
tertentu dan umum. Orang awam biasanya kurang menyukai hal-hal yang abstarak.
Oleh karena itu sebaiknya kepada mereka disampaikan penjelasan yang sesuai
dengan tingkatan akal mereka. Pertama adalah ayat-ayatmutasyabihat yang
dengannya mereka diajak bicara pada tahap permulaan, lalu kemudian berupa
ayat-ayat muhkamat yang menjelaskan
hakikat yang sebenarnya.
2.
Al-Zarqani
Al-Zarqani menyebutkan sepuluh hikmah
keberadaan ayat-mutasyabihah dalam Al-Qur’an. Empat di antaranya hikmah yang
telah disebutkan oleh al-Suyuthi di atas. Ke empat hikmah ini dikutib oleh
menjelaskan bahwa ada enam hikamah keberadaan ayat mutasyabihat dalam Al-Qur’an: [16]
a. Ayat-ayat mutasyabihat merupakan rahmat bagi
manusia yang lemah yang tidak adapat mengetahuisesuatu. Ketika Tuhan
menampakkan dirinya pada bukit, bukit itu hancur luluh dan Musa jatuh pingsan.
Bagaimana sekiranya Tuhan menampakkan hakikat zat dan sifatnya pada manusia?
Tuhan merahasiakan kapan terjadinya harikiamat merupakan rahmat bagi manusia,
agar manusia tidak bermalas-malas mempersiapkan perkalan untuk menghadapinya.
b. Keberadaan ayat ini juga merupakan cobaan dan ujian
bagi manusia, apakah manusia percaya
atau tidak tentang hal gaib berdasarkan berita yang disampaikan oleh orang yang
benar. Orang-orang yang mendapat hidayah akan mempecayainya sekalipun mereka
tidak mengetahui rinciannya.sedangkan orang-orag yang sesat akan
mengingkarinya.
c. Ayat-ayat ini menjadi dalil atas kelemahan dan
kebodohan manusia.
d. Ayat-ayat mutasyabihat dalam Al-Qur’an
menguatkan mu’jizatnya, sebab setiap ayat mengandung arti dan makna yang
tersembunyi yang membawa kepada tasyabuh 9kesamaran) memiliki andil yang besar
dalam kebalagahannya dan sampainya ketingkat yang paling tinggi dalam
bayan.
e. Keberadaan mutasyabihat mempermudah orang
menghafal dan memelihara Al-Qur’an. Sebab setiap kalimat yang mengandung banyak
penafsiran yang berakibat ketidak jelasan akan menunjuk banyak makna yang lebih
dari pengertian yang dipahami dari kalimat asal. Sekiranya makna-makna sekunder
ini diungkapkan secara langsung niscaya Al-Qur’an akan menjadi berjilid-jilid.
Hal ini tentunya menyulitkan untuk menghafal, memahami dan memeliharanya.
f. Terkandungnya ayat muhkamat dan mutasyabihat
dalam Al-Qur’an memaksa orang yang menelitinya untuk menggunakan
argument-argumen akal. Dengan demikian ia terbebas dari taklid.
G.
Penutup
Al-Qur’an mengandung ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat. Ayat-ayat muhkamat itu adalah ayat yang maknanya jelas dan terang sehingga mudah untuk dipahami. Sedangkan ayat-ayat mutasyabihat adalah kebalikannya, yaitu ayat-ayat yang samar maknanya dan sulit dimengerti maksud yang dikehendaki ayat tersebut, sehingga diperlukan usaha untuk memahaminya. Mengenai apakah ayat-ayat mutasyabih ini ditafsirkan, ditakwilkan atau diimani dan diserahkan maksudnya kepada Allah, para ulama berbeda pendapat dalam hal ini.
Hikmah diturunkannya ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat merupakan suatu jaminan. Bahwasanya Al-Qur’an memberikan beberapa penafsiran yang tidak terbatas atau terikat pada satu makna, tergantung pada kedalaman ilmu yang meneliti seiring dengan perkembangan zaman
Baca Juga;/.......
👉WAHYU DAN RUANGLINGKUPNYA
👉NUZUL AL-QUR’AN DAN PENGUMPULAN AL-QUR’AN PADA MASA NABI
👉PENGUMPULAN AL QUR’AN PADA MASA KHULAFA AL RASYIDIN
👉EJAAN ATAU RASM AL-QUR’AN
👉I’JAZUL QURAN
👉NASAKH dan MANSUKH
👉AYAT-AYAT MUHKAMAT DAN MUTASYABIHAT
👉AYAT-AYAT MAKKIYAH DAN MADANIYYAH
👉HURUF dan QIRAAT TUJUH
👉ASBABUN NUZUL QUR'AN
👉SUMPAH (QASAM) DALAM AL-QUR’AN
👉PEMBUKA-PEMBUKA SURAT DALAM ALQURAN
👉PERUMPAMAAN DALAM AL-QUR’AN
👉KISAH KISAH DALAM AL-QUR’AN
👉KISAH KISAH DALAM AL-QUR’AN
[1]
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdhlor, Kamus kontemporer Arab Indonesia, (Jakarta:
Multi Karya Grafika, 1998), h. 45
[2] Ibid, h. 1607
[3]
Departemen Agama Al-Qur’an dan Terjemahan, (Bandung: PT Syamil Cipta
Media, 2002), h. 221
[4]
Ibid, h. 461
[5]
Ibid, h. 50
[6]
Ramli Abdul Wahid, Ulumul Qur’an, (Jakarta: Raja Grafindi Persada,
1996), h. 83-84
[7] Manna Khalil Al-Qattan, Studi
Ilmu-ilmu Qur'an,
Terj. Mudzakir AS, (Jakarta: Halim Jaya, 2011), h.305
[8] M. Bakir Hakim, Ulumul
Qur’an, (Jakarta: Al-Huda, 2006), h.
263
[9] Departemen Agama, op.cit, h. 29
[10]
Dikutip dari situs http:// www.scrab.com/.
Selasa, 08 nofember 2011
[11]
Ibid
[12]
Dikutip dari situs http://www.insankamil.com/. Selasa, 08 nofember
2011
[13]
Hasan Zaini, Ulumul Qur’an, (Batusangkar: STAIN
Batusangkar press, 2011), h. 119
[14] Dikutip dari situs http://www.insancitainstitut.com/. Selasa, 08 nofember 2011
[15]
Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulumil qur’an, (Kairo, 1941), h. 13
[16]
http://www.insancitainstitut.com, op.cit
0 Comment