ASBABUN NUZUL
A. Pengertian Asbabun
Nuzul
Ungkapan Asbab Al-Nuzul merupakan bentuk Idhafah dari kata “Asbab” dan “Nuzul”.
Secara etimonologi , Asbab Al-Nuzul
adalah sebab-sebab yang melatarbelakangi terjadinya suatu peristiwa. Mestipun
segala fenomena yang melatarbelakangi terjadinya suatu dapat disebut Asbab Al-Nuzul, dalam pemakaiannya,
ungkapan Asbab Al-Nuzul khusus
dipergunakan untuk menyatakan sebab-sebab yang melatarbelakangi Al-Qur’an,
seperti halnya Asbab Al-Wurud secara
khusus digunakan bagi sebab-sebab terjadinya Hadits.[1]
Pengertian secara
terminologi ada beberapa ulama yang merumuskan, Shubhi Al-Shalih memberikan
definisi Asbab Al-Nuzul sebagai
berikut:
ما نزلت الا ية اوالايات بسببه متضمنة له اومجيبة عنه اومبينة لحكمه زمن وقوعه
“Sesuatu yang dengan sebabnya turun suatu ayat atau beberapa ayat yang mengandung sebab itu, atau menerangkan hukumnya pada masa terjadinya sebab tersebut ”.[2]
Imam Al-Shabuni mendefinisikan
Asbab Al-Nuzul
قد تحصل واقعة, اوتحدث حادثة, فتنزل اية اوايات كريمة في شأن تلك الواقعة او الحادثة, فهذا هو مايسمى بـ (سبب النزول)
“Suatu
kejadian atau suatu perkara yang terjadi, maka diturunkan satu ayat atau
beberapa ayat untuk menanggulangi yang terjadi pada kejadiaan itu maka itulah
yang disebut Asbab Al-Nuzul”.[3]
Masyfuk Zuhdi
memberikan definisi Asbab Al-Nuzul
sebagai berikut:
ما نزلت الاية اوالايات بسببه متضمنةله اومجيبة لحكمه زمن وقوعه
“Sesuatu
yang disebabkan olehnya diturunkan suatu ayat atau beberapa ayat yang
mengandung sebabnya, atau menerangkan hukumnya, pada saat terjadinya
peristiwa”.[4]
Mana’ Al- Qathtan mendefinisikan
Asbab Al-Nuzul sebagai berikut:
مانزل قران بشأنه وقت وقوعه كحادثة أوسؤال
“Asbab
Al-Nuzul adalah peristiwa-peristiwa yang menyebabkan turunya Al-Qur’an,
berkenaan dengan waktu peristiwa itu terjadi, baik berupa suatu kejadiaan atau
berupa pertanyaan yang diajukan kepada nabi”.[5]
Berdasarkan pengertian
yang diungkapkan oleh beberapa ulama diatas dapat disimpulkan bahwa Asbab Al-Nuzul adalah suatu yang
menyebabkan turunya satu ayat atau beberapa ayat Al-Qur’an yang berkenaan
dengan kejadiaan, menjawap pertanyaan dan menerangkan hukum pada waktu
terjadinya peristiwa. Melihat kepada definisi yang diungkapkan para ulama
diatas Asbab Al-Nuzul dapat
dikelompokkan menjadi dua bentuk sebab turunnya suatu ayat yaitu karena
peristiwa dan pertanyaan kepada Rasul.
B.
Kualitas Riwayat Asbabun Nuzul
Pedoman dasar para
ulama dalam mengetahui Asbabun Nuzul ialah riwayat Shahih yang berasal dari Rasulullah SAW dan Sahabat. Pemberitahuan
para Sahabat tentang hal ini akan dikatakan berhukum Marfu’ (disandarkan pada Rasul) dan akan menjadi Ra’y (pendapat) bila hal ini tidak
langsung dari Rasul. Itu sebabnya untuk mengetahui sebab turun ayat selain
berdasarkan periwayatan, juga harus benar (Naql
Ash-Shalih) dari orang-orang yang melihat dan mendengar langsung turunya Al-Qur’an.
Dengan demikian, seperti halnnya periwayatan pada umumnya, diperlukan
kehati-hatian dalam menerima riwayat yang berkaitan dengan Asbabun Nuzul. Dalam kitab Asbab Al-Nuzul , Al-Wahidi menyatakan: “Pembicaraan Asbab Al-Nuzul
harus berdasarkan riwayat dan mendengarnya dari mereka yang secara langsung
menyaksikan peristiwa Nuzul dan bersungguh-sungguh dalam mencarinya”.
Dapat diketahui bahwa
para Ulama Salaf sangatlah keras dan ketat dalam menerima berbagai riwayat yang
berkaitan dengan Asbabun Nuzul. Ketetatnya mereka itu dititikberatkan pada
seleksi pribadi pembawa riwayat (para perawi), sumber riwayat (Isnad), dan redaksi berita (Matan). Bukti keketatan itu
diperlihatkan oleh Ibn Sirin ketika menceritakan pengalamannya sendiri: Aku
pernah bertanya kepada Ubadah sebuah ayat Al-Qur’an, tetapi ia menjawab,
“Hendaklah engkau bertaqwa kepada Allah SWT dan berbicaralah dengan benar.
Orang-orang yang mengetahui diturunkan-nya ayat Al-Qur’an sudah tidak ada
lagi”.[6]
Akan tetapi, perlu
dicatat, sikap kekritisnya mereka tidak dikenakan terhadap Asbabun Nuzul yang
diriwayatkan oleh Sahabat Nabi. Mereka berasumsi apa yang dikatakan Sahabat
Nabi, yang tidak masuk dalam lapangan penukilan dan pendengaran, maka dapat
dipastikan bahwa ia mendengar Ijtihad-nya
sendiri. Oleh sebab itu, Ibn Shalah, Al-Hakim, dan para Ulama Hadits lainnya
menetapkan, “Seorang Sahabat Nabi yang mengalami masa turun wahyu, jika ia
meriwayatkan suatu berita tentang Asbabun Nuzul, riwayatnya itu berstatus Marfu’.”[7]
Bila ditemukan riwayat
yang berbeda, tentang Asbabun Nuzul suatu ayat, maka dapat diselesaikan dengan
cara:[8]
1. Bila satu riyawatnya Shahih, dan yang lain tidak, maka diambil riwayat yang Shahih dan ditolak yang lainnya. Meurutkan riwayat Imam Bukhari dan Muslim dan lainya dari Junnat, bahwa Nabi SAW, sakit sehingga tidak bangun satu atau dua malam, datang seorang perempuan kepada beliau, dan berkata: “Hai Muhammad, saya tidak melihat Tuhanmu kecuali ia telah meninggalkanmu”, maka turun ayat Al-Dhuha 1-5.
Artinya: Demi waktu matahari sepenggalahan naik. Dan demi malam apabila telah sunyi (gelap). Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu[9]. Dan Sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan)[10]. Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu , lalu (hati) kamu menjadi puas.
Sedangkaan menurut
riwayat Thabrani dan Ibnu Abi Shaibah dan ibunya (pembantu Nabi SAW), bahwa
seekor anak anjing mati dibawah tempat tidur Nabi, maka selama 40 hari Nabi
tidak menerima wahyu, hai Kaulah apa yang terjadi dirumah Rasulullah SAW,
Jibril tidak datang kepadaku, seandainya rumah ini engkau persiapkan dan engkau
sapu, (Jundah berkata, saya ambil sapu, saya keluarkan anak anjing tersebut,
kemudian Nabi datang dalam keadaan jenggot bergetar sebagaimana ia biasa
menerima wahyu maka turunlah ayat 1-5 ini .
Bila diteliti dua riwayat tersebut, maka riwayat yang pertama lebih kuat karena diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Sedangkan yang kedua diriwayatkan oleh Tabrani dan Ibnu Shaibah dengan Sanad yang tidak dikenal.
2. Apabila dua riwayat sama-sama Shahih, tetapi salah satu diantaranya mempunyai penguat maka diambil yang memiliki penguat, misalnya riwayat Bukhari dari Ibnu Mas’ud, Ibnu Mas’ud berkata: “Saya berjalan bersama Nabi di Madinah melewati orang Yahudi”. Mereka berkata “Ceritakan kepada kami tentang ruh, maka turunlah ayat 85 surat Al-Isra’ ”.
Artinya: Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".
3. Bila ada dua riwayat sama-sama Shahih, tetapi tidak ada penguat tetapi dapat dikomromikan, keduanya harus dikompromikan dengan menggap bahwa kedua peristiwa tersebut menjadi penyebab turunya ayat, karena waktu kejadian berdekatan. Misalnya Hilal mengadukan kepada Nabi. Bahwa istrinya berbuat zina, maka turunlah ayat 6 surat An-Nur.
Artinya: Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang yang benar.
4. Bila kedua riwayat sama-sama Shahih, sama-sama tidak punya penguat dan tidak dapat dikompromikan maka caranya adalah dengan menganggap ayat tersebut berluang sesuai dengan Asbabun Nuzul yang berbilang.
C.
Bentuk-Bentuk Asbabun Nuzul
Melihat kembali kepada pengertian Asbab Al-Nuzul diatas, penulis mengambil kesimpulan yang menjadi bentuk-bentuk Asbabun Nuzul itu terkait dengan peristiwa dan pertanyaan yang diajukan kepada Nabi. Adapaun Asbabun Nuzul yang berbentuk peristwa ada tiga macam yaitu:[11]
1.
Peristiwa Berupa Pertengkaran atau Perselisihan
Seperti yang terjadi antara suku Aus dan Khazraj. Peristiwa tersebut akibat intrik-intrik yang sengaja dimainkan orang-orang Yahudi di Madinah. Hingga sempai kepuncaknya, orang-orang Yahudi ingin menambah kekacauan dan mengatakan senjata…!, senjata…!. Peristiwa tersebut menyebabkan turunya ayat dari surat Ali Imran: 100 yang berbunyi:
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, jika kamu
mengikuti sebagian dari orang-orang yang diberikan al kitab, niscaya mereka
akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman.
Sampai beberapa ayat berikutnya. Ayat ini diturujnkan bertujuan untuk mengingatkan kaum Muslimin agar tidak mudah terprovokasi, menjauhkan diri dari konflik dan mengingatkan akan pentingnya kasih sayang dan persatuan umat.
2.
Peristiwa
Berupa Kesalahan Fatal
Seperti kisah yang mengimami Shalat, sedangkan dia dalam kondisi mabuk. Pada saat dia membaca surat Al-Kafirun dia membuang lafas (la) dari kalimat “la ‘abudu”. Sehingga jika diartikan menjadi kata “Katakana hai Muhamad, hai orang-orang kafir, aku menyembah apa yang kamu sembah” hal tersebut kontradiktif dengan makna sesungguhnya. Karena kesalahan ini turunlah ayat An-Nisa’: 43
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu Shalat, sedang dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu
ucapkan.
3.
Peristiwa Berupa Cita-cita dan Keinginan
Seperti harapan Umar Bin Khattab, dalam sejarahnya ada beberapa harapan Umar, yang dikemukakan kepada Nabi SAW. Kemudian turunlah ayat-ayat yang kandungannya sesuai dengan harapan Umar tersebut, seperti yang diriwatkan oleh Bukhari dan lainnya, dari Anas r.a ia berkata: Umar Bin Khattab r.a berkata, aku sepakat dengan Tuhanku dalam tiga hal, aku katakan, wahai Rasulullah, bagaiman kalau kita jadikan Maqam Ibrahim itu, sebagai tempat Shalat”. Maka turunlah ayat, surat Al-Baqarah: 125, lanjut Umar, aku katakan kepada Rasul, sesungguhnya istri-istrimu orang-orang yang masuk kedalam rumahnya adalah orang-orang yang baik dan juga orang-orang yang jahat, maka alangkah baiknya jika mereka disuruh untuk mengenakan Hijab, maka turunlah ayat Hijab bagi istri Nabi, yaitu surat Al-Ahzab: 35. Dan istri-istri Rasul, mengerumuninya pada kecemburuan, Umar: katakan kepada mereka: Jika Nabi menceraikan kalian, boleh jadi Tuhannya akan memberikan ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik dari kalian. Maka turunlah ayat mengenai peristiwa tersebut (At-Tharim: 5)
Artinya:
Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi
tuhannya akan memberikan ganti kepadanya dengan istri yang lebih baik dari
kamu, yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertaubat, yang mengerjakan
ibadah, yang berpuasa, yang janda dan yang perawan,
Adapun sebab turunya Al-Qur’an
dalam bentuk pertanyaan dapat dikelompokan pada tiga macam:[12]
a.
Pertanyaan yang berhubungan dengan sesuatu yang
telah berlalu.
Seperti surat Al-Khafi ayat 83 yaitu:
Artinya: Mereka bertanya tentang
dzulkarnain.
Ayat ini turun karena adanya pertanyaan orang Yahudi kepada Rasulullah, ketika di Madinah yang diperintahkan, oleh orang-orang Musyrikin Mekkah.
b.
Pertanyaan yang berhungunan dengan sesuatu yang
berlangsung pada waktu itu.
Seperti surat Al-Isra ayat: 85 yaitu:
Artinya: Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".
Ayat ini berkaitan dengan peristiwa orang-orang Yahudi di Madinah, yang ketika itu perpapasan dengan Rasulullah SAW, lalu orang-orang Yahudi menyatakan kepada Rasulullah tentang roh, maka Nabi diam sejenak dan mengarahkan wajahnya ke langit dengan maksud mengharapkan wahyu untuk menjawab pertanyaan orang yahudi tadi. Maka turulah ayat untuk menjelaskan hal tersebut.
c.
Pertanyaan yang berhubungan dengan masa akan datang
Seperti pertanyaan tentang hari Kiamat
Artinya:
Mereka bertanya kepadamu tentang hari
kiamat, kapan akan terjadi.
Disamping sebab-sebab tersebut, ada juga ayat yang turun sebagai teguran kepada Nabi, karena kekhalifahan beliau seperti ketika Nabi ditanya oleh Quraisy tentang roh Ashabul Khafi, dan Zulkarnain. Nabi menjawab “Besok akan diceritakan kepadamu” tanpa mengucapkan Insya Allah, akan tetapi ayat terlambat turunnya, selama beberapa hari, menurut Ibnu Ishaq, selama 15 hari, ada juga mengatakan 3 hari, ada yang mengatakan 40 hari, sehingga Nabi marasa cemas, maka turunlah ayat.
Artinya:
Dan janganlah sekali-kali kamu mengatakan
tentang sesuatu: “Sesungguhnya aku akan mengerjakan ini besok pagi, kecuali
(dengan menyebut):“Insya Allah”. Dan ingatlah kepada tuhanmu jika kamu lupa
katakanlah: “Mudah-mudahan tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih
dekat kebenarannya dari pada ini. (QS. Al-Khafi: 23-24)
D.
Model Ungkapan Asbab Al-Nuzul
Bentuk redaksi yang menerangkan Asbabun Nuzul ini berupa pernyataan tegas
mengenai sebab dan terkadang pula berupa pertanyaan yang hanya menjadi
kemungkinan mengenainya.[13]
1. Jika perawi mengatakan: “Sebab nuzul ayat ini adalah
begini” atau menggunakan ungkapan fa
ta’qibiyah (kira-kira seperti “maka”, yang menunjukkan urutan peristiwa)
yang dirangkaikan dengan kata “Turunlah ayat”, sesudah ia menyebutkan peristiwa
atau pernyataan. Misalnya, ia mengatakan “ حث
كذا” telah terjadi peristiwa begini, atau “سنل
رسول عن كذا فنزلت هذه الاية”. Rasulullah ditanya tentang hal begini,
maka turunlah ayat ini”. Dengan demikian, kedua bentuk di atas merupakan
pernyataan yang jelas tentang sebab.
2.
Redaksi yang boleh jadi menerangkan sebab Nuzul atau
hanya sekedar menjelaskan kandungan hukum ayat, yaitu bila perawi mengatakan “نزلت
هذه الاية فى كذا ” ayat ini turun mengenai ini. Yang dengan
ungkapan (redaksi) ini terkadang sebab Nuzul ayat dan terkadang pula kandungan
hukum ayat tersebut. Demikian juga bila ia mengatakan “ احسب
هذه الاية نزلت فى كذ” “Aku mengira ayat ini turun mengenai soal
begini atau “ ما
احسب هذه الاية
نزلت الا فى كذا ” aku tidak mengera ayat ini turun kecuali
mengenai hal yang begini. Dengan bentuk redaksi tersebut mungkin menunjukkan
sebab Nuzul dan mungkin pula menunjukkan yang lain.
E.
Kaidah Yang Berlaku Atas Asbabun Nuzul
Pada bagian ini ada
pendapat yang mendasari tentang hubungan Asbab
Al-Nuzul dengan penerapan hukum yang terkandung dalam satu ayat Al-Qur’an
kaidah tersebut adalah:[14]
1.
Kandungan ayat dengan Asbabun Nuzul tidak dapat
berlaku pada kasus yang menjadi Asbabun Nuzul. Kaidah tersebut berbunyi:
العبره
بعمو الفظ لا بخصوص السبب
Misalnya pada surat Al-Baqarah ayat 222
Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “haidh itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh, dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.
Sebab turunnyat diatas
adalah khusus yaitu Hadits yang bersumber dari Anas tentang istri orang Yahudi
dalam keadaan haidh maka dikeluarkan dari rumah, suami dan keluarga tidak mau
makan dengannya dan tidak mau bergabung dengannya dalam satu rumah.
Hal tersebut ditanyakan kepada Rasul, maka turunlah ayat diatas. Rasul menjelaskan bahwa istri tersebut diperlakukan dengan baik, dan tinggal dalam satu rumah yang dilarang adalah melakukan hubungan suami istri.
Dapat dilihat bahwa ayat di atas berlafazh umum tetapi sebabnya khusus. Pada kontek ini para ulama sepakat penetapan hukumnya berdasarkan umumnya lafazh tidak dengan khususnya sebab sehingga berlaku untuk semua orang.
2.
Kandungan ayat dengan Asbabun Nuzul tertentu atau
khusus hanya berlaku pada kasus yang menjadi sebab turunya ayat itu, pendapat
ini berdasarkan kaidah:
العبرة
بخصوص السبب لا بعموم اللفظ
Misalnya dalam surat Al-Lail ayat 17-21
Artinya: Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling Takwa dari neraka itu. Yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya. Padahal tidak ada seseorangpun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya. Tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridhaan Tuhannya yang Maha tinggi. Dan kelak Dia benar-benar mendapat kepuasan. (QS. Al-Lail: 17-21)
Tujuh hamba sahaya
sebelum dibebaskan mereka disiksa dalam menegakkan ajaran Islam. Riwayah yang
ada bersumber dari Urmah menyatakan: Bahwa Abu Bakar Shidiq telah memerdekan
mereka, dalam hal ini turunlah ayat diatas (dan akan dijauhkan dari mereka
orang yang paling bertakwa sampai akhir surat). Menurut Asbab Al-Nuzul ayat tersebut ditujukan untuk Abu Bakar, pendapat
ini menurut Jumhur Ulama.
Berdasarkan kaidah di atas dapat difahami bahwa yang harus diperhatikan adalah kekhususan sebab bukan keumuman lafaz, pendapat ini dipegang oleh minoritas ulama.
F.
Peranan Asbab Al-Nuzul Dalam Memahami Dan
Menafsirkan Ayat
Untuk menafsirkan
ayat-ayat Al-Qur’an sangat diperlukan bermacam-macam ilmu pengetahuan yang
berkaitan dengan Al-Qur’an sehingga penafsiran ayat Al-Qur’an tidak akan
terdapat kesalahan dalam mengambil kandungan-kandungan Al-Qur’an. Pengetahuan
tentang Asbab Al-Nuzul amat penting
bagi seseorang yang hendak mendalami pengertian ayat-ayat Al-Qur’an. Bila telah
mengetahui Asbab Al-Nuzul tentu akan
mengetahui situasi dan kondisi yang terjadi ketika ayat-ayat diturunkan,
sehingga dengan mudah untuk mengetahui dan memikirkan apa yang terjadi dibalik
ayat-ayat tersebut.
Ada beberapa hal yang
mendorong untuk mengetahui Asbab Al-Nuzul
ayat, yaitu:[15]
1.
Untuk Mengetahui Persoalan Syariat (Hukum)
Untuk mengetahui hikmah atau rahasia yang
terkandung di balik ayat-ayat yang dimaksud yang dipersoalkan Syari’at (hukum)
misalnya masalah-masalah, antara lain:
a.
Judi, riba, memakan harta anak yatim diharamkan oleh
Allah dalam Al-Qur’an.
b.
Bagaimana mula-mula allah mensyariatkan Shalat khauf
(shalat yang dilakukan sewaktu situasi sedang gawat/perang)
c.
Kenapa tidak boleh melakukan Shalat Jenazah atas
orang Musyrik.
d.
Bagaimana pembagian harta rampasan perang.
Banyak ayat-ayat lain
yang berhubungan dengan hukum-hukum Allah SWT yang harus diketahui dan
dilaksanakan oleh manusia. Untuk mengetahui hukum-hukumnya sangat perlu
diketahui aspek filosofisnya, yang sebagian aspek-aspek itu dapat diketahui
melakui pengertian Asbabun Nuzul ayat, sehingga kekeliruan dalam memahami ayat
dapat dihindari, dan tidak mungkin mengetahui hukum-hukum dalam Al-Qur’an tanpa
mengetahui Asbabun Nuzul ayat sangat mempengaruhi hukum yang ditetapkan di
dalamnya.
2. Mengetahui Asbabun Nuzul sangat menentukan dalam
pengecualian hukum (Takhshish)
terhadap orang yang berpendapat bahwa hukum-hukum itu sangat perlu dilihat
terlebih dulu dari sebab-sebab yang khusus sebelum ditetapkan hukumnya.
Mengetahui aspek-aspek khusus itu dapat
dikemukakan memalaui Asbabun Nuzul.
3. Dengan mengetahui Asbabun Nuzul adalah suatu metode yang paling tetap untuk mengetahui dan memahami pengertian ayat, sehingga diceritakan dalam suatu riwayat bahwa para Sahabat yang paling mengetahui sebab-sebab turunnya ayat, lebih diutamakan pendapatnya tentang pengertian kandungan ayat ketimbang sahabat yang tidak mengetahui sebab-sebab turunya ayat, sehingga masalah Asbabun Nuzul merupakan hal yang sangat menentukan dalam mengambil pengertian dan hukum yang terkandung dalam suatu ayat
Dalam kepentingan mengetahui Asbabun Nuzul ini imam Al-Wahidy mengemukakan dengan tegas pendirianya yaitu: “Tidaklah mungkin (seseorang) mengetahui tafsir dari suatu ayat tampa mengetahui kisahnya dan keterangan sekitar turunya ayat tersebut.
Dengan mengetahui Asbabun Nuzul berarti memahami aspek historis penafsiran Al-Qur’an, sehingga kandungannya akan jelas dan dapat dipahami tanpa ada keraguan dalam melaksanakannya.
Beberapa contoh ayat yang mempunyai Asbabun
Nuzul:[16]
1.
Asbabun Nuzul surat An Nisa’ ayat 51
Sebab-sebab turun ayat ini adalah seorang Yahudi Mandinah bernama Ka’ab Ibnu Asyraf datang berkunjung ke Mekkah. Ia menyaksikan perang Badar dan mendorong orang kafir Quraisy menuntut bela dan memerangi Muhammad SAW. Kemudian orang-orang Quraisy bertanya kepada Ka’ab yang mengetahui Al Kitab (Taurat): “Siapakah yang lebih benar jalannya (siapakah yang berbeda dipihak yang benar ?) apakah Muhammad SAW ?. lalu Ka’ab menjawab: “kalianlah yang benar”, justru ucapan itu, maka Ka’ab telah berdusta dan mendapatkan kutukan oleh Allah SWT terhadap orang-orang berpandangan demikian, kemudian turunlah surat An Nisa’ ayat 51 yang berbunyi:
Artinya:
Apakah kamu tidak memperhatikan
orang-orang yang diberi bahagian dari Al kitab? mereka percaya kepada jibt dan
thaghut [17],
dan mengatakan kepada orang-orang kafir (musyrik Mekah), bahwa mereka itu lebih
benar jalannya dari orang-orang yang beriman.
2.
Asbabun Nuzul surat Al Maidah ayat 93:
Sebab-sebab turunya ayat tersebut adalah sahabat Usman Ibnu Mazh’un dan Amru Ibnu Ma’dikariba pernah mengatakan bahwa Khamar itu sebenarnya mudah (boleh diminum), keduanya menggunakan surat Al-Maidah ayat 93:
Artinya: Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka Makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.
Padahal Amru dan Ma’dikariba belum tahu apakah sebabnya ayat tersebut diatas diturunkan. Ayat ini turunya adalah pada saat turunnya ayat yang mengharamkan Khamar, kemudian para sahabat bertanya kepada Rasulullah, “bagaimanakah nasib bagi saudara-saudara kami yang telah meninggal dunia, sedangkan dalam perut mereka ada minuman khamar (ketika hidup mereka minum khamar), lalu Allah memberitakan bahwa minuman khamar semasa hidupnya sedangkan ayat yang mengharamkan belum turun, telah dianggap tidak berdosa lagi seperti yang tersebut dalam surat Al Maidah ayat 39.
Demikianlah jelas bahwa
Usman dan Amru tidak mengetahui Asbabun Nuzul surat Al Maidah 93 sehingga
hampir saja keduanya menghalalkan khamar yang telah diharamkan Allah.
3. Asbabun Nuzul surat Ath Thalaq ayat: 4
Artinya: Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.
Sebab
turunya ayat ini adalah menunjukkan bahwa sahabat Ubaiy bertanya kepada
Rasulullah: “wahai Rasulullah, sebagaian dari wanita-wanita belum dijelaskan
tentang status Iddah-nya dalam
Al-Kitab (Al-Qur’an) yakni: wanita yang putus haid baik anak-anak maupun orang
dewasa, dan wanita yang sedang mengandung”. Maka untuk menjelaskan hal ini (kepada Ubaiy) turun ayat 4 surat Ath Thalaq
tersebut diatas.
Baca Juga;/......
👉WAHYU DAN RUANGLINGKUPNYA
👉NUZUL AL-QUR’AN DAN PENGUMPULAN AL-QUR’AN PADA MASA NABI
👉PENGUMPULAN AL QUR’AN PADA MASA KHULAFA AL RASYIDIN
👉EJAAN ATAU RASM AL-QUR’AN
👉I’JAZUL QURAN
👉NASAKH dan MANSUKH
👉AYAT-AYAT MUHKAMAT DAN MUTASYABIHAT
👉AYAT-AYAT MAKKIYAH DAN MADANIYYAH
👉HURUF dan QIRAAT TUJUH
👉ASBABUN NUZUL QUR'AN
👉SUMPAH (QASAM) DALAM AL-QUR’AN
👉PEMBUKA-PEMBUKA SURAT DALAM ALQURAN
👉PERUMPAMAAN DALAM AL-QUR’AN
👉KISAH KISAH DALAM AL-QUR’AN
👉KISAH KISAH DALAM AL-QUR’AN
[1] Rosihon Anwar, UlumulQur’an
I. (Bandung: Pustaka Setia, 2006), Cet. Ke-2 h. 60
[2] Ramli Abdul
Wahid, UlumulQur’an. (Jakarta: PT Raja Grafindo Pesada, 2002), Cet. Ke-4
h. 41. Lihat Shubhi Ash-Shalih, Mabahits
fi ‘Ulumul Qur’an, (Beirut: Dar Al-Qalam Al-Malayyin, 1988), h. 132
[3] Muhammad Ali
Ash-Shabuni, At Tibyan Ulum Al-Qur’an (Damaskus:
Maktabah Al-Ghazilah, 1390) h. 26
[4] Mashuri
Sirajuddin Iqbal, Pengantar Ilmu Tafsir. (Bandung: Angkasa, 1989), h.
135
[5] Rosihon Anwar, Op.Cit
h.61. Lihat Manna’ Al-Qaththan, Mabahits
fi “Ulumul Qur’an (Masyurat Al-Ashr Al-Hadis, ttp, 1973) h. 78
[7] Ibid
h. 68
[8] Hasan Zaidi dan
Radhiatul Hasnah, ‘Ulumul Al-Qur’an,(Batusangkar:
STAIN Press, 2011) h. 108-109
[9] Maksudnya: ketika turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad s.a.w.
terhenti untuk Sementara waktu, orang-orang musyrik berkata: "Tuhannya (Muhammad)
telah meninggalkannya dan benci kepadaNya". Maka turunlah ayat ini untuk
membantah Perkataan orang-orang musyrik itu.
[10] Maksudnya ialah
bahwa akhir perjuangan Nabi Muhammad s.a.w. itu akan menjumpai
kemenangan-kemenangan, sedang permulaannya penuh dengan kesulitan-kesulitan.
ada pula sebagian ahli tafsir yang mengartikan akhirat dengan kehidupan akhirat
beserta segala kesenangannya dan ula dengan arti kehidupan dunia.
[11] Hasan Zaidi dan
Radhiatul Hasnah, Op.Cit. h. 104-106.
Lihat Ramli Abdul Wahid, ‘Ulumul
Al-Qur’an, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h. 42-43
[12]
Ibid, 106-108
[13] Mudzakir, Tejemahan Mabahits fi “Ulumul Qur’an,Manna’
Al-Qaththan, (Jakarta: PT. Pustaka
Lintera Antar Nusa, 2000), h. 120
[14] Hasan Zaidi dan
Radhiatul Hasnah, Op.Cit. h. 110-112
[15] Armen Muklis, ‘Ulumul Al-Qur’an, (Padang: IAIN Press,
2001) h. 110-112
[16] Ibid, h.112-115
[17] Jibt dan Thaghut
ialah syaitan dan apa saja yang disembah selain Allah s.w.t.
0 Comment