Sunah sebagai Sumber dan Dalil
1. Pengertian Sunah
Kata “sunah” ( sunah”. Sedangkan ulama fiqh menempatkan sunah itu sebagai salah satu dari hukum syara’ yang lima yang mungkin berlaku ter- hadap satu perbuatan. Untuk maksud itu ia berkata, “Perbuatan ini hukumnya adalah sunah”. Dalam pengertian ini sunah adalah “hukum”, bukan “sumber hukum”.
Kata “sunah” sering diidentikkan dengan kata “hadis”. Kata “hadis” ini sering digunakan oleh ahli hadis dengan maksud yang sama dengan kata “sunah” menurut pengertian yang digunakan kalangan ulama ushul.
Di kalangan ulama ada yang membedakan sunah dari hadis, terutama karena dari segi etimologi kedua kata itu memang berbeda. Kata hadis lebih banyak mengarah kepada ucapan-ucapan Nabi; sedangkan sunah lebih banyak mengarah kepada perbuatan dan tindakan Nabi yang sudah menjadi tradisi yang hidup dalam pengamalan agama.
Semua ulama Ahl al-sunah baik dalam kelompok ahli fiqh, ulama ushul fiqh maupun ulama hadis sepakat mengatakan bahwa kata sunah atau hadis itu hanya merujuk kepada dan berlaku untuk Nabi dan tidak digunakan untuk selain dari Nabi. Alasannya adalah karena beliau sendirilah yang dinyatakan sebagai manusia yang ma’shum (terpelihara dari kesalahan), dan karenanya beliau sendirilah yang merupakan sumber teladan, sehingga apa yang disunahkannya mengikat seluruh umat Islam.
Kelompok Muslim Syi‘ah mempunyai pandangan berbeda tentang sunah. Mereka menganggap yang ma’shûm itu bukan hanya Nabi Muhammad saja, tetapi juga keturunannya melalui putrinya Fatimah dari Ali Ibn Abi Thalib atau yang dikenal dengan sebutan “Ahl al-Bait”. Sifat ma’shum Ahl al-Bait itu meliputi ucapan, perbuatan, dan takrir mereka yang sama halnya seperti ucapan, perbuatan, dan takrir Nabi. Karena itu ucapan dan perbuatan serta takrir Ahl al-Bait mempunyai kedudukan seperti halnya hadis Nabi sebagai hujah di kala Nabi sudah tiada. Dengan demikian sunah di kalangan ulama Syi‘ah adalah:
Ucapan, perbuatan, dan takrir orang-orang yang ma’shûm.
Kekuatan kedudukan Ahl al-Bait dalam hal ini bukan disebabkan oleh kekuatan dan tepercayanya mereka dari segi periwayatan, tetapi menurut ulama Syi‘ah adalah karena mereka telah mendapat tugas tersendiri dari Allah SWT., melalui lisan Nabi untuk menyampaikan hukum yang berlaku. Mereka menetapkan hukum berdasarkan apa yang mereka terima dari Allah melalui ilhâm sebagaimana Nabi menerima pesan Allah melalui wahyu; atau melalui apa yang mereka terima dari imam yang mak’shum sebelumnya.
Bila Ahl al-Bait menyatakan suatu hukum bukan hanya karena mereka meriwayatkan sunah dari Nabi, dan bukan pula karena mereka berijtihad serta beristinbath dari sumber-sumber hukum, tetapi dalam pendapat ulama Syi‘ah, Ahl al-Bait itu sendiri adalah sumber hukum.
2. Macam-macam Sunah
Sunah menurut pengertian ahli ushul sebagaimana disebutkan di atas terbagi kepada tiga macam.
Pertama, sunah qauliyah (
sahabat itu, tetapi Nabi tidak melarang atau menyatakan keberatan atas perbuatan itu. Kisah tersebut disampaikan oleh sahabat yang mengetahuinya dengan ucapannya, “Saya melihat seorang sahabat memakan daging dhab di dekat Nabi. Nabi mengetahui, tetapi Nabi tidak melarang perbuatan itu.”
a. Sunah Qauliyah
Sunah qauliyah adalah ucapan lisan dari Nabi Muhammad SAW. yang didengar dan dinukilkan oleh sahabatnya, namun yang diucapkan Nabi itu bukan wahyu Al-Qur’an. Al-Qur’an juga lahir dari lisan Nabi yang juga didengar oleh sahabat dan disiarkannya kepada orang lain sehingga kemudian diketahui orang banyak.
Dengan demikian, menurut lahirnya Al-Qur’an dan sunah qaul- iyah sama-sama muncul dari lisan Nabi. Namun para sahabat yang mendengarnya dari Nabi dapat memisah-misahkan mana yang wahyu dan mana yang hanya ucapan biasa dari Nabi. Perbedaan tersebut dapat dilihat dengan beberapa cara, antara lain:
1.Bila yang lahir dari lisan Nabi itu adalah wahyu Al-Qur’an selalu mendapat perhatian khusus dari Nabi dan menyuruh orang lain untuk menghafal dan menuliskannya serta meng- urutkannya sesuai dengan petunjuk Allah. Sedangkan bila yang muncul dari lisan Nabi itu adalah sunah qauliyah tidak ada perhatian khusus yang diminta Nabi, bahkan Nabi melarang untuk menuliskannya karena khawatir akan bercampur dengan wahyu Al-Qur’an.
2.Penukilan Al-Qur’an selalu dalam bentuk mutawâtir atau oleh orang banyak, baik dalam bentuk hafalan maupun tulisan. Se- dangkan sunah pada umumnya diriwayatkan secara perseorang- an; tidak banyak yang diriwayatkan secara mutawatir. Hal ini menyebabkan orang banyak mengetahui tentang wahyu Allah; sedangkan ucapan Nabi dalam bentuk sunah ada yang hanya didengar dan diketahui oleh beberapa orang saja.
3.Penukilan Al-Qur’an selalu dalam bentuk penukilan lafaz de- ngan arti sesuai dengan teks aslinya yang didengar dari Nabi. Sedangkan ucapan Nabi dalam bentuk sunah sering dinukil-kan secara ma’nawî, dalam pengertian: disampaikan kepada orang lain dengan redaksi dan ibarat yang berbeda meskipun dalam maksud yang sama. Oleh karena itu sering terjadi per- bedaan dalam menanggapi suatu berita hadis karena perbedaan dalam ibarat yang digunakan dan menyebabkan adanya perbedaan dalam menetapkan hukum. Hal seperti ini tidak pernah terjadi dalam penyampaian wahyu Al-Qur’an. Meski- pun terjadi perbedaan dalam pemahaman ayat, tetapi bukan karena berbeda versi periwayatan, namun berbeda dalam me- mahami suatu kata atau ungkapan.
4.Apa yang diucapkan Nabi dalam bentuk ayat Al-Qur’an mem- punyai daya pesona atau mukjizat bagi pendengarnya. Hal seperti ini tidak mereka temukan bila yang diucapkan Nabi itu hanya ucapan biasa dari Nabi atau sunah qauliyah.
Sunah qauliyah seperti disebutkan di atas adalah ucapan Nabi yang didengar, dipahami dan dinukilkan serta disebarluaskan da- lam pemberitaan atau periwayatan. Ucapan Nabi yang dikutip secara resmi dan kemudian tertulis itu merupakan dalil hukum, meskipun pada mulanya mungkin hanya ucapan yang bersifat pribadi untuk tujuan khusus. Katakanlah umpamanya Nabi ber- kata kepada istrinya, “Marilah kita tidur karena hari sudah larut malam.” Bila Sabda Nabi ini dikutip dan disampaikan oleh is- tri Nabi kepada orang lain dan kemudian tersebar luas dalam bentuk berita, maka dapat menjadi dalil hukum dalam bentuk anjuran untuk pergi tidur bila hari sudah larut malam.
Apa yang diucapkan Nabi menurut lazimnya bersifat umum yang berlaku untuk Nabi sendiri dan berlaku juga untuk umat pada masa tersebut dan masa-masa sesudahnya, karena ucap- an itu tidak terikat dengan waktu, kecuali ada keterangan lain yang menjelaskan bahwa ucapan itu berlaku untuk orang ter- tentu atau hanya berlaku untuk masa tertentu. Dengan demiki- an, setiap ucapan pada dasarnya menerima takhsîs dan juga menerima nasakh, kecuali ada penjelasan bahwa ucapan ter- tentu tidak mungkin di-takhsîs atau tidak menerima nasakh.
b. Sunah Fi’liyah
Semua perbuatan dan tingkah laku Nabi yang dilihat, diperhatikan oleh sahabat Nabi kemudian disampaikan dan disebarluaskan oleh orang yang mengetahuinya. Tentang apakah semua yang dinukilkan itu mempunyai kekuatan untuk diteladani dan mengikat untuk semua umat Islam, para ulama memilah perbuatan Nabi itu menjadi tiga bentuk.
1. Perbuatan dan tingkah laku Nabi dalam kedudukannya sebagai seorang manusia biasa atau berupa adat kebiasaan yang berlaku di tempat beliau, seperti cara makan, minum, berdiri, duduk, cara berpakaian, memelihara jenggot, dan lain sebagainya yang merupakan tabiat dari seorang manusia.
Mengenai apakah perbuatan Nabi seperti ini punya daya te- ladan yang mengikat untuk umat, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Sebagian ulama berpendapat bahwa perbuatan Nabi dalam ben- tuk ini termasuk sunah yang mempunyai daya hukum untuk diikuti, meskipun hukum yang muncul darinya tidak lebih dari sunat (menurut istilah ahli fiqh ).
Sebagian ulama menetapkan bahwa perbuatan Nabi tersebut hanya berbentuk adat kebiasaan dan tidak mempunyai kekuat- an hukum untuk diikuti. Contoh dalam hal ini adalah kebiasaan Nabi memelihara jenggot dan mencukur kumis.
2. Perbuatan Nabi yang memiliki petunjuk yang menjelaskan bah- wa perbuatan tersebut khusus berlaku untuk Nabi dan orang lain tidak boleh berbuat seperti apa yang dilakukan Nabi. Umpa- manya: wajibnya shalat dhuha; shalat witir; berkurban; shalat tahajud tengah malam. Semua perbuatan itu bagi umatnya ti- dak wajib. Juga mengenai perbuatan Nabi berupa masuk Mekah tanpa ihram dan kawin lebih dari empat orang. Hal terakhir ini bukan sunah yang wajib diikuti, bahkan haram hukumnya bagi umat melakukan seperti apa yang dilakukan Nabi tersebut.
3. Perbuatan dan tingkah laku Nabi yang berhubungan dengan penjelasan hukum; seperti: shalat, puasa, cara Nabi melakukan
jual beli, utang piutang, dan lain sebagainya yang berhubungan dengan agama. Perbuatan Nabi yang merupakan penjelasan hu- kum ini terbagi dua:
a. Perbuatan Nabi yang merupakan penjelasan terhadap apa-apa yang terdapat dalam Al-Qur’an namun masih memerlukan penjelasan.
b. Perbuatan Nabi yang memberi petunjuk kepada umat bah- wa perbuatan tersebut boleh dilakukan oleh umat.
Kedua bentuk perbuatan tersebut berlaku secara umum untuk
Nabi sendiri maupun untuk umatnya.
Perbuatan Nabi yang dapat diketahui merupakan penjelasan hukum untuk umat dan menjadi dalil hukum yang harus dipatuhi oleh umat. Dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat dari ulama. Semuanya sepakat. Penjelasan dalam bentuk ini adalah yang dike- mukakan Nabi dengan ucapan yang jelas, seperti Sabda Nabi: jelas padanya ada tujuan pendekatan diri pada Allah atau ibadah;kedua, tidak jelas padanya tujuan ibadah.
Bila jelas pada perbuatan itu sebagai tujuan ibadah atau qurbah, terdapat perbedaan pendapat ulama tentang kedudukan hukumnya. Ulama Hanabilah dan Mu’tazilah mengatakan bahwa, perbuatan Nabi tersebut mengarah pada hukum wajib untuk Nabi dan juga untuk umatnya. Imam Syafi‘i dan pengikutnya berpendapat bahwa hukumnya hanya sekadar nadab. Mazhab Maliki berpendapat hukumnya adalah ibâhah. Sedangkan sebagian pengikut Imam Syafi‘i lainnya mengambil sikap diam atau dalam arti tidak memberi komentar.
Bila tidak jelas padanya tujuan untuk ibadah, yang demikian menjadi dalil untuk Nabi antara wajib, nadab, atau mubah; yaitu meniadakan halangan untuk berbuat dan tidak lebih dari itu. Hal seperti ini juga berlaku untuk umat.
Pada dasarnya setiap perbuatan yang dilakukan, berlaku untuk suatu waktu tertentu dan tidak berlaku untuk seluruh waktu kecuali bila ada petunjuk khusus yang menjelaskan bahwa perbuatan itu berlaku untuk selanjutnya. Oleh karena itu, bila perbuatan itu di- lakukan Nabi pada waktu lain dengan cara yang berbeda, tidak dapat dikatakan ada pertentangan antara dua perbuatan Nabi sehingga perlu diselesaikan secara nasakh atau tarjîh. Umpamanya pada suatu waktu Nabi melipat kedua tangannya di bawah dada pada waktu berdiri sedang shalat; dan pada waktu lain meluruskan tangannya ke bawah. Dalam hal ini tidak dapat dikatakan ada per- tentangan antara dua perbuatan Nabi, sehingga dikatakan bahwa perbuatan yang dilakukan beliau kemudian membatalkan atau me-nasakh apa yang dilakukan Nabi sebelumnya.
Bila Nabi melakukan suatu perbuatan yang bukan merupakan penjelasan terhadap hukum sebelumnya, tidak ada pula dalil yang menunjukkan bahwa perbuatan itu khusus untuk Nabi, tetapi dapat diketahui sifat perbuatan itu wajib, nadab, atau mubah—melalui penjelasan langsung dari Nabi atau tidak maka mayoritas ulama fiqh dan ulama kalam sepakat mengatakan bahwa umat dituntut mengikuti perbuatan itu, baik yang berbentuk wajib, nadab, atau mubâh.
Dalam hal tersebut ada ulama yang memisahkan antara ibadah dan bukan ibadah. Dalam hal ibadah, kita wajib mengikutinya. Tetapi dalam hal yang bukan ibadah, kita tidak wajib mengikutinya. Pendapat yang kuat, menurut Amidi, adalah pendapat mayoritas ulama. Untuk ini ia mengemukakan beberapa dalil yang kuat, di antaranya adalah:
1. Banyak Firman Allah yang menyuruh mengikuti apa-apa yang diperbuat oleh Nabi seperti Firman-Nya dalam surat Ali ‘Imran (3): 31:
Kedua, Nabi belum pernah melarang perbuatan itu sebelumnya dan tidak diketahui pula haramnya. Diamnya Nabi dalam hal ini menunjukkan hukumnya adalah ibâhah atau meniadakan keberatan untuk diperbuat. Karena seandainya perbuatan itu dilarang, tetapi Nabi mendiamkannya padahal ia mampu untuk mencegahnya, berarti Nabi berbuat kesalahan; sedangkan Nabi bersifat ma’shûm (terhindar dari kesalahan).
3. Periwayatan Sunah
Ketiga macam sunah tersebut (qauliyah, fi’liyah, dan taqrîriyah) disampaikan dan disebarluaskan oleh yang melihat, mendengar, menerima, dan mengalaminya dari Nabi secara beranting melalui pemberitaan atau kabar, hingga sampai kepada orang yang me- ngumpulkan, menuliskan, dan membukukannya sekitar abad ketiga hijriah. Mengenai apakah memang Nabi Muhammad SAW. Pernah berkata, berbuat dan memberikan pengakuan, lebih banyak tergan- tung kepada kebenaran pemberitaan tentang adanya sunah itu. Selanjutnya para ulama mengklasifikasikan sunah itu berdasarkan kekuatan kabar tersebut.
Kekuatan suatu kabar ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu: berkesinambungannya kabar itu dari yang menerimanya dari Nabi sampai kepada orang yang mengumpulkan dan membukukannya; kuantitas orang yang membawa kabar itu untuk setiap sambungan; dan faktor kualitas pembawa kabar dari segi kuat dan setia ingat- annya, juga dari segi kejujuran dan keadilannya.
Dari segi jumlah pembawa kabar, ulama membagi kabar itu kepada tiga tingkatan:
1) Kabar mutawâtir
2) Kabar ahâd, yaitu kabar yang disampaikan dan diterima dari Nabi secara perseorangan dan dilanjutkan periwayatannya sampai kepada perawi akhir secara perseorangan pula.
Perbedaan yang jelas di antara ketiganya adalah sebagai berikut. Kabar mutawâtir diterima dan disampaikan dari pangkal sampai ke ujung secara mutawâtir. Kabar masyhûr, yaitu kabar yang diterima dan disampaikan pada tingkat awal secara perseorangan, kemudian dilanjutkan sampai ke ujungnya secara mutawâtir. Kabar ahâd diterima dan disampaikan kemudian secara beranting sampai ke ujungnya secara perseorangan.
Ketiganya berbeda dari tingkat kebenarannya. Tingkat kebenaran yang paling tinggi adalah kabar mutawatir, kemudian kabar masyhûr, sedangkan yang paling rendah tingkat ke- benarannya adalah kabar ahâd.
4. Kebenaran Khabar dari Segi Ibarat yang Digunakan
Pembawa Berita dalam Menyampaikan Berita
Sebagaimana telah diuraikan bahwa kebenaran suatu sunah Nabi tergantung pada kebenaran berita yang disampaikan pembawa berita tentang sunah itu. Tingkat kebenaran berita dapat diketahui dari kuan- titas pembawa berita, juga dari ibarat yang digunakan pembawa berita itu. Dalam hal ini terdapat beberapa tingkat kebenaran:
1) Tingkat yang terkuat, bila pembawa berita mengatakan, “Saya mendengar Nabi bersabda” atau “Nabi memberitakan kepada saya” atau, “ Nabi berbicara dengan saya”.
Bentuk penyampaian seperti ini menunjukkan suatu kepastian tentang adanya ucapan Nabi dan tidak ada kemungkinan lain. Umpamanya hadis Nabi dari Said al-Khudri yang berkata, “Saya mendengar Nabi SAW. bersabda”:
Tidak ada shalat setelah subuh sampai terbit matahari, dan tidak ada shalat setelah ashar sampai terbenam matahari.
2) Penyampai berita berkata, “Rasul Allah berkata.” Bentuk seperti ini, dan ini yang biasa ditemui dalam periwayatan, menurut lahirnya memang berbentuk penukilan berita, tetapi tidak menunjukkan secara jelas dan pasti bahwa ia menerima sendiri secara langsung ucapan Nabi itu, karena ada kemung- kinan bahwa pembawa dan penyampai berita menerimanya dari orang lain yang mendengar dari Nabi. Umpamanya hadis dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Nabi bersada:
Umpamanya hadis dari ‘Umar dalam bentuk marfu’ kepadaNabi yang mengatakan,
Bila seseorang di antaramu berwudhu dengan memakai sepatu, hendaklah menyapu sepatu itu dan shalat dengan sepatu itu serta tidak boleh membukanya, bila ia menghendaki.
5) Si pembawa berita berkata bahwa ia melakukan sesuatu kemu- dian ia menghubungkan kepada suatu masa dengan Nabi dan tidak ada reaksi dari Nabi tentang itu. Hal tersebut menjadi dalil kebolehan berbuat sesuatu itu. Umpamanya hadis dari Anas ibn Malik yang berkata, “Adalah sahabat Nabi pada masa beliau menunggu shalat isya hingga kepala mereka terantuk-antuk karena mengantuk, kemudian mereka shalat ‘isya dan mereka tidak berwudhu’.”
Hadis tersebut dikeluarkan Abu Daud dan disahkan oleh Thabrani, asalnya dari Muslim.
5. Fungsi Sunah
Dalam uraian tentang Al-Qur’an telah dijelaskan bahwa seba- gian besar ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an adalah dalam bentuk garis besar yang secara amaliah belum dapat dilaksanakan tanpa penjelasan dari sunah. Dengan demikian, fungsi sunah yang utama adalah untuk menjelaskan Al-Qur’an. Hal ini telah sesuai dengan penjelasan Allah dalam surat an-Nahl (16): 64:
Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu.
Dengan demikian, bila Al-Qur’an disebut sebagai sumber asli bagi hukum fiqh, maka sunah disebut sebagai bayani. Dalam kedudukannya sebagai bayani dalam hubungannya dengan Al-Qur’an, ia menjalankan fungsi sebagai berikut:
1. Menguatkan dan menegaskan hukum-hukum yang tersebut dalam Al-Qur’an atau disebut fungsi ta’kîd dan taqrîr. Dalam bentuk ini sunah hanya seperti mengulangi apa-apa yang tersebut dalam Al-Qur’an. Umpamanya Firman Allah dalam surat al-Baqarah (2): 110: masih secara garis besar disebutkan dalam surat an-Nisa’ (4):103:
Kemudian Nabi menyebutkan haramnya binatang buas dan burung buas dalam hadis dari Abu Hurairah menurut riwayat Muslim:
Kami tidak mengutus seorang Rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka.
Karena umat Islam yang menerima penjelasan waktu itu ma- sih sederhana cara berpikirnya, maka penjelasan Nabi terlihat begitu sederhana sehingga mudah dipahami dan cepat dilak- sanakan oleh umat.
Dalam memberikan penjelasan terhadap kata shalat Nabi tidak memberikan penjelasan yang bersifat definitif filosofis, tetapi hanya dengan melakukan kegiatan yang terdiri dari seperangkat perbuatan dan bacaan yang dimulai dengan takbir dan disudahi dengan salam, di hadapan umatnya dengan cara yang mudah dii- kuti umatnya. Sesudah itu beliau berkata, “Inilah yang bernama shalat; kerjakanlah shalat sebagaimana yang saya lakukan ini”.
Dalam memberikan penjelasan tentang keharusan menyelesaikan hutang yang menyangkut hak Allah, pada suatu waktu beliau ditanya oleh seseorang. Nabi memancing jawaban dari penanya sendiri dengan ucapannya, “Bagaimana pendapatmu bila ibumu berhutang kepada seseorang apakah boleh kamu membayarkan- nya?” Tanpa menunggu jawaban dari Nabi, si penanya telah mengerti jawabannya.
Sehubungan dengan hal-hal di atas terlihat beberapa ayat Al-Qur’an yang pada umumnya berada di luar bidang ibadat dibiarkan oleh Nabi tanpa penjelasan yang berarti karena begitu sukar untuk dijelaskan; seandainya dijelaskan juga belum tentu akan tertangkap oleh jangkauan akal umat waktu itu.
Contoh dalam hal yang disebutkan di atas umpamanya ayat yang menyatakan kemungkinan orang yang memiliki ilmu dan kemam- puan untuk mengarungi angkasa luar sebagaimana disebutkan Allah dalam surat ar-Rahman (55): 33:
Hai jamaah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya melainkan dengan kekuatan.
Tidak terdapat penjelasan yang berarti dalam sunah Nabi me- ngenai maksud ayat itu, karena akal manusia waktu itu belum tentu akan dapat menangkapnya.
2. Nabi memberikan penjelasan dengan cara-cara dan contoh- contoh yang secara nyata terdapat di sekitar lingkungan ke- hidupan waktu itu. Dengan demikian, hukum yang ditetapkan dalam Al-Qur’an mudah diterima dan dijalankan oleh umat. Penjelasan yang melampaui dari hal itu atau yang tidak ada pada waktu itu tentu tidak akan dapat dipahami oleh umat.
Dalam Al-Qur’an sering muncul perintah untuk mengeluarkan zakat. Tujuannya sudah jelas, yaitu memberikan bantuan ma- teriil untuk pihak yang memerlukan. Dalam Al-Qur’an tidak ada penjelasan sama sekali tentang apa yang akan dizakat- kan, berapa ukurannya, dan bagaimana caranya. Satu-satunya yang ada penjelasannya adalah tentang siapa-siapa yang ber- hak menerimanya, yaitu sebagaimana tercantum dalam surat at-Taubah (9): 60:
(Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak. Orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Penjelasan tentang zakat dalam ayat tersebut masih bersifat muj- mâl (global) yang memerlukan penjelasan Nabi untuk dapat dilaksanakan.
Nabi Muhammad SAW. memberikan penjelasan terhadap arti zakat dan segala sesuatu yang menyangkut dengannya. Dalam hal yang harus dizakatkan, Nabi menyebutkan beberapa ma- teri yang ada di lingkungan umat pada waktu itu. Untuk bahan makanan dijelaskan Nabi dengan gandum dan kurma yang meru- pakan makanan pokok yang lazim pada waktu itu. Untuk bina- tang ternak disebutkan unta, sapi, dan kambing karena hewan tersebut yang banyak pada waktu itu. Barang berharga dirinci dengan emas dan perak. Hal-hal yang berada di luar lingkungan umat pada waktu itu tentu saja tidak terdapat dalam penjela- san Nabi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sunah Nabi begitu sederhana, sesederhana kondisi kehidupan orang Arab yang hidup pada waktu Nabi di saat itu.
Dari segi bentuk penjelasan Nabi terhadap hukum yang disebut- kan dalam Al-Qur’an, terdapat beberapa bentuk penjelasan:
Pertama, penjelasan Nabi secara jelas dan terinci sehingga ti- dak mungkin ada pemahaman lain. Walaupun dalam Al-Qur’an beberapa hukum bersifat mujmâl (garis besar), namun dengan penjelasan dari Nabi secara rinci, lafaz-lafaz yang menunjukkan hukum itu menjadi jelas. Fungsi untuk memperjelas itu, disebut mubayyin.
Contoh dalam hal ini umpamanya perintah shalat yang banyak terdapat dalam Al-Qur’an, tetapi tidak satu pun yang men- jelaskan cara dan kaifiyahnya. Dengan demikian, perintah shalat itu dalam bentuk mujmâl, oleh karenanya belum dapat dilak- sanakan menurut apa adanya sebelum ada penjelasan dari Nabi. Untuk memberikan penjelasan terhadap cara dan bentuk shalat secara sempurna datang sunah Nabi dari Abu Hurairah menurut riwayat 7 perawi hadis:
Apabila kamu akan melaksanakan shalat, maka lakukanlah wudhu dengan sempurna; kemudian menghadaplah ke kiblat, kemudian bertakbirlah, kemudian bacalah sebagian Al-Qur’an yang mudah bagimu, kemudian rukuklah hingga kamu tenang dalam rukuk, kemudian bangkitlah hingga berdiri tegak, kemudian sujudlah hingga kamu tenang dalam sujud, kemudian bangkitlah hingga kamu tenang dalam duduk, kemudian sujudlah hingga kamu tenang dalam sujud, kemudian kerjakanlah yang demikian dalam seluruh shalatmu.
Oleh karena penjelasan yang diberikan Nabi begitu rinci, se- hingga dapat dipahami secara baik oleh sahabat. Dalam hal ini tidak timbul perbedaan pendapat dalam memahami sunah yang menjelaskan ayat Al-Qur’an tersebut. Dengan demikian, penjelasan Nabi bersifat qath’i.
Penjelasan Nabi yang bersifat qhat’i itu pada umumnya berlaku dalam bidang ‘akidah dan pokok-pokok ibadah, seperti shalat, puasa, zakat, dan ibadah haji. Dalam hal-hal yang bersifat po- kok ini meskipun tidak ada penjelasan dalam Al-Qur’an, na- mun karena Nabi memberikan penjelasan secara qath’i, maka tidak ada lagi kesamaran; dan karenanya tidak timbul perbe- daan yang mendasar di kalangan ulama dalam hukumnya.
Kedua, penjelasan Nabi tidak tegas dan terinci sehingga masih menimbulkan kemungkinan-kemungkinan dalam pemahaman meskipun sudah ada penjelasannya dari Nabi. Kemungkinan pe- mahaman itu mungkin terjadi dari segi kebenaran materinya atau terjadi akibat ketidakpastian penjelasannya dari Nabi. Um- pamanya Sabda Nabi dari ‘Amru ibn Syu‘eb menurut riwayat Nasa‘i dan Dar Al-Quthni yang menyatakan pembunuh ti- dak berhak menerima warisan dari yang dibunuh, merupakan penjelasan terhadap ayat 11, 12, dan 176 surat an-Nisa’ tentang orang-orang yang berhak menerima warisan.
Setelah penjelasan Nabi itu, semua pihak memahami bahwa pem- bunuhan menjadi penghalang untuk mendapat hak warisan. Na- mun penjelasan Nabi itu belum secara tegas menyatakan tentang pembunuhan macam apa yang menghalangi hak kewarisan itu.
Oleh karena itu, timbul perbedaan pendapat ulama dalam mene- tapkan bentuk pembunuhan yang menjadi penghalang itu.
Penjelasan Nabi yang belum tuntas dan jelas itu disebut penjelas- an yang zhannî. Penjelasan yang berbentuk zhannî itu pada umumnya berlaku di bidang muamalat dalam arti luas. Begitu pula dalam bidang ibadat yang tidak pokok. Umpamanya sikap berdiri atau duduk dalam shalat tidak dijelaskan oleh Nabi secara pasti sehingga dalam pelaksanaannya timbul sedikit perbedaan.
Dalam muamalat jual beli, Al-Qur’an hanya menjelaskan asas tijârah (jual beli) secara suka sama suka dalam surat an-Nisa’ (4): 29:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling me-makan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.
Tentang bagaimana bentuk tijârah yang suka sama suka itu, tidak dijelaskan Nabi secara rinci sehingga timbullah perkem- bangan pendapat yang berbeda di kalangan ulama.
7. Sunah Berdaya Hukum
Dari satu segi sunah adalah segala apa yang dikatakan Nabi, diperbuat Nabi, atau yang diakui Nabi. Di sisi lain, umat dituntut untuk mengikuti semua sunah Nabi itu. Di antara sunah itu ada yang tidak mesti diikuti oleh umat, bahkan ada yang dilarang umat melakukannya. Dalam hal ini ulama mengelompokkan sunah itu kepada dua kelompok.
1. Sunah bukan tasyrî’ atau sunah yang tidak berdaya hukum, yaitu sunah yang tidak harus diikuti dan oleh karenanya ti- dak mengikat. sunah yang tidak berdaya hukum itu ada tiga macam:
a. Ucapan dan perbuatan Nabi yang timbul dari hajat in- sani dalam kehidupan keseharian Nabi dalam pergaulan, seperti: makan, tidur, kunjungan, sopan dalam bertamu, cara berpakaian dan ucapan serta perbuatan Nabi sebagai seorang manusia biasa.
b. Ucapan dan perbuatan Nabi yang timbul dari pengalaman pribadi, kebiasaan dalam pergaulan, seperti: urusan perta- nian dan kesehatan badan, cara berjual beli dan memelihara ternak.
c. Ucapan dan perbuatan Nabi yang timbul dari tindakan pribadi dalam keadaan dan lingkungan tertentu, seperti penempatan pasukan, pengaturan barisan, dan penentuan tempat dalam peperangan.
Semua yang dinukil dari Nabi dalam tiga bentuk tersebut tidak mempunyai daya hukum mengikat yang mengandung tuntutan atau larangan. Umat dapat saja mengikuti apa yang dilakukan Nabi itu karena ia adalah sunah, namun sifatnya tidak mengikat.
2. Sunah tasyrî’ atau sunah yang berdaya hukum yang mengikat untuk diikuti. sunah dalam bentuk ini ada tiga macam:
a. Ucapan dan perbuatan yang muncul dari Nabi dalam bentuk penyampaian risalah dan penjelasan terhadap Al-Qur’an; seperti menjelaskan apa-apa yang dalam Al-Qur’an masih bersifat belum jelas, membatasi yang umum, memberi qayid yang masih bersifat mutlak, menjelaskan bentuk ibadat, halal dan haram, ‘akidah dan akhlak. Ucapan dan perbuatan Nabi dalam kapasitasnya sebagai seorang Rasul termasuk sunah berdaya hukum.
Tasyrî’ dalam bentuk ini berlaku secara umum sampai hari kiamat dan dalam pelaksanaannya tidak tergantung kepada sesuatu selain pengetahuan akan adanya sunah itu.
b. Ucapan dan perbuatan yang timbul dari Nabi dalam kedu- dukannya sebagai imam dan pemimpin umat Islam, seperti mengirim pasukan untuk jihad, membagi harta rampasan, menggunakan bait al-mâl, mengikat perjanjian, dan tindakan lain dalam sifatnya sebagai pemimpin.
sunah tasyrî’ dalam bentuk ini tidak berlaku secara umum untuk semua orang dan dalam pelaksanaannya tergantung kepada izin atau persetujuan imam atau pemimpin.
c. Ucapan dan perbuatan Nabi dalam kedudukannya sebagai hakim atau qadhi yang menyelesaikan persengketaan di antara umat Islam. Daya hukum dalam bentuk ini, seperti halnya dalam bentuk yang sebelumnya, tidak bersifat umum dan dapat dilakukan oleh perorangan dengan penunjukan dari imam atau penguasa.
sunah berdaya hukum sebagaimana disebutkan di atas secara garis besarnya mengandung beberapa bidang sebagai berikut:
a. ‘Akidah
Bidang ‘akidah ini dibatasi oleh Islam dalam hal perbedaan antara iman dan kafir, yang berhubungan dengan Allah dan sifat-sifat-Nya, para rasul, wahyu, dan hari kiamat. sunah tidak dapat menetapkan dasar ‘akidah karena ‘akidah itu menimbulkan kepercayaan, sedangkan kepercayaan itu berarti keyakinan yang pasti.
Tidak ada yang mungkin menghasilkan keyakinan yang pasti itu kecuali yang pasti pula. sunah yang pasti atau qhat‘i ialah sunah yang baik dari segi lafaz-nya, atau wurudnya maupun dari segi dilalah-nya adalah qath’i atau pasti. sunah yang pasti hanyalah sunah menurut persyaratan mutawâtir yang jumlahnya sangat terbatas.
b. Akhlak
Dalam sunah atau hadis banyak sekali disampaikan Nabi hik- mah-hikmah, adab sopan santun dalam pergaulan, nasihat-nasihat, baik secara langsung maupun dalam bentuk pujian terhadap keadilan, kebenaran, menepati janji; atau celaan terhadap perbuatan-perbuatan buruk yang dilakukan umat. Sunah tersebut menuntut munculnya manusia sempurna yang juga dikehendaki oleh rasa dan pandangan yang wajar.
Semua yang muncul dari sunah dalam bentuk akhlak ini pada umumnya mempunyai dasar dan rujukan dalam Al-Qur’an;
sunah yang datang kemudian hanya bersifat memperjelas atau merincinya.
c. Hukum-hukum Amaliyah
Hal ini berhubungan dengan penetapan bentuk-bentuk ibadat, pengaturan muamalat antarmanusia; memisahkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban; menyelesaikan persengketaan di antara umat secara adil. Hukum-hukum yang diperoleh dari sunah dalam bentuk inilah, yang disebut Fiqh sunah; sedangkan hadisnya sendiri disebut hadîs Ahkâm. hadis-hadis dalam bentuk inilah yang dijadikan sumber hukum oleh para ahli fiqh sesudah Al-Qur’an. Dari situlah mereka meng-istinbath-kan hukum dan mencari penjelasan tentang petunjuk-petunjuk Al-Qur’an yang menyangkut hukum.
8. Kedudukan Sunah sebagai Sumber Hukum
Sunah berfungsi sebagai penjelas terhadap hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an, sebagaimana disebutkan sebelumnya. Dalam kedudukannya sebagai penjelas, sunah kadang-kadang memperluas hukum dalam Al-Qur’an atau menetapkan sendiri hukum di luar apa yang ditentukan Allah dalam Al-Qur’an.
Kedudukan sunah sebagai bayani atau menjalankan fungsi yang menjelaskan hukum Al-Qur’an, tidak diragukan lagi dan dapat diterima oleh semua pihak, karena memang untuk itulah Nabi ditugaskan Allah SWT.. Namun dalam kedudukan sunah sebagai dalil yang berdiri sendiri dan sebagai sumber kedua setelah Al-Qur’an, menjadi bahan perbincangan di kalangan ulama. Perbincangan ini muncul disebabkan oleh keterangan Allah sendiri yang menjelaskan bahwa Al-Qur’an atau ajaran Islam itu telah sempurna (al-Maidah [5]: 4); oleh karenanya tidak perlu lagi ditambah oleh sumber lain, termasuk oleh sunah.
Jumhur ulama berpendapat bahwa sunah berkedudukan sebagai sumber atau dalil kedua sesudah Al-Qur’an dan mempunyai kekuatan untuk ditaati serta mengikat untuk semua umat Islam. Jumhur ulama mengemukakan alasannya dengan beberapa dalil, di antaranya:
1. Banyak ayat Al-Qur’an yang menyuruh umat untuk menaati Rasul. Ketaatan kepada Rasul sering dirangkaikan dengan keha- rusan menaati Allah; seperti yang tersebut dalam surat an-Nisa’ (4): 59:ini menempatkan sunah sebagai dalil yang mempunyai ke- kuatan hukum.
3. Ayat-ayat Al-Qur’an menetapkan bahwa apa yang dikatakan Nabi seluruhnya adalah berdasarkan wahyu, karena beliau ti- dak berkata menurut kehendaknya sendiri; tetapi semua itu adalah berdasarkan wahyu yang diturunkan Allah sebagaima- na terdapat dalam surat an-Najm (53): 3-4:
Untuk sampainya kabar mutawâtir itu kepada ilmu yakin harus terpenuhi syarat-syarat tertentu. Di antaranya syarat-syarat itu disepakati oleh ulama dan syarat lainnya diperselisihkan. Syarat- syarat yang disepakati ada yang menyangkut pembawa berita atau râwî dan ada yang menyangkut penerima berita. Syarat yang menyangkut pembawa berita adalah sebagai berikut:
a. Pembawa berita mencapai jumlah tertentu yang mereka tidak mungkin sepakat untuk berbohong. Tentang rincian jumlahnya terdapat perbedaan pendapat.
b. Pembawa berita mengetahui secara pasti apa yang diberi- takannya.
c. Pengetahuan mereka tentang berita itu berdasarkan ke- pada pengamatan sendiri, bukan atas dasar perasaan atau pemikirannya.
d. Jumlah penerima dan pembawa berita itu sama pada bagian pangkal, tengah, dan ujungnya.
Adapun syarat penerima berita ialah bahwa mereka mempunyai kemampuan untuk menerima pengetahuan yang diberitakan ke- padanya, yang sebelumnya mereka tidak mengetahuinya.
Kabar atau sunah masyhûr karena yang menerimanya dari Nabi secara perseorangan, maka kebenarannya tidak meyakin- kan. Namun karena kabar masyhur itu yang menerima dan menyampaikannya dari tingkat sahabat sampai seterusnya dalam jumlah yang mutawâtir, maka kebenarannya dari sa- habat cukup meyakinkan. Dengan demikian kabar masyhur mempunyai kekuatan yang qhat‘i pada tingkat sahabat tetapi kekuatannya dari Nabi hanya bersifat zhannî.
Kabar masyhur menurut Abu Hanifah dan sahabat-sahabat- nya menimbulkan ilmu yakin, meskipun keyakinan yang di- timbulkannya berada di bawah keyakinan yang ditimbulkan kabar mutawâtir. Sebagian ulama memandang kabar masy- hur itu hanya bersifat zhannî, sebagaimana yang berlaku pada kabar ahad. Alasannya, karena meskipun sesudah generasi sa- habat kabar masyhur itu telah mencapai derajat mutawâtir, na- mun yang menerimanya dari Nabi tetap bersifat perseorangan yang kemungkinan salah masih tetap ada.
Kabar ahad periwayatan perseorangan pada dasarnya tidak mempunyai kekuatan yang meyakinkan. Namun bila didukung oleh hal-hal lain yang menguatkannya seperti pribadi yang menyampaikan berita itu adil dan kuat ingatannya maka kabar ahad itu mempunyai kekuatan. Tentang apakah kabar ahad itu menghasilkan ilmu terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian ulama mengatakan bahwa kabar ahad itu me- mang menghasilkan ilmu tetapi hanya sampai tingkat zhan atau dugaan kuat dan tidak meyakinkan.
Menurut al-Amidi, kabar ahad itu menghasilkan ilmu bila cu- kup padanya qarînah (keterangan) atau pendukung lain yang menyebabkannya mempunyai kekuatan sebagai dalil hukum.
Kabar ahad yang setiap urutan penyampai dan pembawa berita- nya mempunyai syarat yang meyakinkan, terutama dari segi kepribadiannya (yaitu, daya ingatannya kuat, setia, jujur, serta adil dalam pemberitaan), maka kabar ahad itu memenuhi syarat untuk dikategorikan sebagai “kabar sahih”. Seandainya tidak memenuhi syarat tersebut, maka kabar ahad itu dimasukkan ke dalam kelompok kabar yang “dhaif” atau lemah. Khabar yang dhaif itu ada bermacam-macam bentuknya, seperti diuraikan da- lam ilmu musthalah hadis.
Tentang kekuatan kabar ahad untuk dijadikan dalil, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Mayoritas ulama ter- masuk Abu Hanifah, Malik, Syafi‘i, dan Ahmad menerima ka- bar ahad untuk dijadikan dalil dalam beramal dan menetapkan hukum bila telah terpenuhi padanya syarat-syarat yang ditentu- kan. Syarat-syarat tersebut yang disepakati adalah:
a. Bahwa pembawa berita adalah beragama Islam; karena orang yang tidak Islam diragukan iktikad baiknya dalam menyampaikan berita tentang kepentingan Islam. Oleh karena itu, orang yang tidak beragama Islam tidak diterima periwayatannya.
b. Bahwa pembawa berita itu sudah mukallaf yaitu telah dewasa dan sempurna akalnya; karena orang yang tidak
mukalaf, seperti orang gila dan anak-anak tidak mampu menyimpan berita yang diterimanya dan memelihara apa yang diterimanya serta yang disampaikannya itu.
c. Bahwa pembawa berita itu kuat daya ingatannya terhadap apa-apa yang didengarnya atau daya ingatannya dibanding- kan dengan kemungkinan lupa, lebih kuat; karena dalam keadaan demikian ada dugaan kuat tentang kebenaran apa yang dikabarkannya itu.
d. Bahwa pembawa berita mempunyai sifat adil dan jujur dalam penyampaian kabar yang diterimanya. Secara umum adil itu adalah sifat yang melekat pada diri seseorang yang menghambatnya untuk melakukan dosa besar atau berketerusan dalam dosa kecil serta tetap dalam menjaga kepribadiannya.
Semua syarat tersebut disepakati oleh semua pihak. Selain itu, terdapat syarat lain yang tidak semua pihak ulama menyepa- katinya, sehingga kabar yang dapat diterima satu pihak tidak dapat diterima pihak lain yang menurutnya tidak memenuhi syarat. Hal ini menyebabkan ulama tidak sama pandangan- nya dalam menerima Sunah Nabi.
Abu Hanifah menambahkan syarat bahwa amal si pembawa berita tidak menyalahi apa yang dimaksud oleh kabar yang diberitakannya itu. Dalam hal ini Abu Hanifah menolak hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah yang mengatakan:
Apabila tempat makanan kalian dijilat anjing, maka cucilah tujuh kali, salah satunya dengan tanah yang suci.
Menurut Abu Hanifah, dalam hadis tersebut Abu Hurairah sendiri dalam menyuci bejana yang dijilat anjing hanya mencukupkan 3 kali dan tidak 7 kali sebagaimana yang diriwayatkannya. Karena itu ia menolak hadis tersebut.
Imam Malik mempersyaratkan kabar yang disampaikan pem- bawa dan penyampai berita secara ahad itu tidak menyalahi praktik
yang berlaku di kalangan penduduk Madinah. Ia berpendapat bahwa praktik yang berlaku di kalangan penduduk Madinah dalam hal urusan agama berdasarkan periwayatan yang masyhur dan tersebar luas. Bila ada kabar ahad yang berlainan dengan itu, maka hubungannya kepada Nabi begitu lemah, sehingga kabar ahli Madinah didahulukan atas kabar ahad tersebut.
Ulama Syi‘ah menambahkan syarat kabar ahad itu datang me- lalui jalur para sahabat yang menganut paham imamah, yaitu kelompok Syi‘ah. Karena kabar itu jelas diriwayatkan dari Nabi atau dari salah seorang imam Syi‘ah yang tidak tercela dalam periwayatan dan sangat hati-hati dalam penukilan.
Dari segi berkesinambungannya sebuah kabar atau hadis, kabar secara sederhana dibagi kepada dua tingkat.
Pertama, kabar yang periwayatannya berkesinambungan dan tidak ada rantai putus semenjak dari orang yang menerimanya dari Nabi sampai kepada yang menerimanya terakhir. Kabar ini disebut muttasil sanad.
Kedua, kabar yang garis periwayatannya ada yang terputus. Maksud terputus di sini bukanlah hilang sama sekali atau tidak ada pembawa beritanya, tetapi pembawa kabar tidak menjelas- kan penghubung sebelumnya. Mungkin yang tidak disebutkan itu satu penghubung atau lebih. Kabar yang rantainya terpu- tus seperti ini disebut hadis atau kabar mursal. Umpamanya seseorang yang berada dalam sambungan kedua sesudah Nabi. Ia memberitakan telah menerima kabar dari Nabi tanpa menye- butkan orang yang. menjadi penghubungnya kepada Nabi, yaitu generasi sahabat.
Di antara ulama ada yang membedakan antara satu penghubung yang terputus atau dua. Bila yang terputus itu hanya satu peng- hubung, yaitu penghubung pertama—dalam hal ini adalah saha- bat—sehingga yang menyampaikan berita itu adalah tangan kedua, maka disebut hadis atau kabar “mursâl. Bila ada dua penghubung yang terputus (yaitu generasi sahabat dan tabi‘in) atau tangan ketiga (generasi tabi’ tabi‘in) dari rangkaian yang menyampaikan berita dari Nabi, maka disebut hadis atau kabar “munqathi “’.
Para ulama berbeda pendapat mengenai kekuatan kabar mursal untuk dijadikan dalil. Kelompok Syi‘ah pada dasarnya tidak me- nerima kabar mursal sebagai suatu dalil yang kuat kecuali bila pembawa berita yang tidak menyebutkan penghubungnya itu adalah orang yang masyhur pribadinya; atau ada petunjuk atau dalil lain yang mendukungnya.
Ulama Hanafiyah dan Malikiyah menganggap kabar mursal itu kuat untuk dijadikan dalil bila kuantitas perawinya cukup meyakinkan. Alasannya, menurut mereka, kekuatan kabar lebih banyak ditentukan oleh kuantitas pembawa berita ketimbang ke- sinambungan rangkaian pembawa berita.
Ulama Syafi‘i pada dasarnya tidak menerima kabar mursal untuk dijadikan dalil dalam menetapkan hukum, kecuali bila diperkuat oleh salah satu di antara hal-hal berikut:
a. Kabar mursal itu diperkuat oleh kabar yang pembawa beritanya berkesinambungan mengenai apa yang dimaksud oleh kabar mursal itu. Namun dalam hal ini kekuatan se- benarnya terletak pada kabar yang menguatkannya, bukan pada kabar mursal itu sendiri.
b. Kabar mursal itu bersesuaian dengan ucapan sebagian saha- bat. Dengan demikian hadis yang asalnya terputus itu telah seperti bersambung periwayatannya dengan Nabi SAW.
c. Kabar mursal itu diperkuat oleh kabar mursal lain yang telah diterima dan diambil sebagai dalil oleh ahli ilmu sebelumnya. Dengan demikian, kabar yang sama-sama lemah dapat saling memperkuat.
d. Kabar mursal itu secara nyata diterima oleh ahli ilmu dan kelompok yang mengemukakan fatwa mengenai hal yang sama dengan apa yang dijelaskan oleh hadis mursal itu.
Bila ditemukan salah satu dari 4 hal di atas dan tabi‘in yang menghubungkannya langsung kepada Nabi itu termasuk tabi‘in yang utama, maka hadis mursal itu dapat diterima oleh ulama Syafi‘i.
Dari segi kekuatan penunjukannya terhadap hukum atau di- lalah-nya, sunah terbagi dua.
Pertama, penunjukan yang pasti atau qath‘i, yaitu sunah yang memberikan penjelasan terhadap hukum dalam Al-Qur’an se- cara tegas, jelas, dan terinci sehingga tidak mungkin dipahami dengan maksud lain dan tidak ada alternatif pamahaman lain. Contohnya, penjelasan Nabi tentang zakat perak sebagaimana dijelaskan dalam hadis dari Ali bin Abi Thalib menurut riwayat Abu Daud.
sunah yang mempunyai martabat tertinggi dalam keduduk- annya sebagai sumber atau dalil hukum adalah sunah yang qath‘î dari segi wurûd atau sanâd-nya, yaitu kebenaran mater- inya datang dari Nabi dan qath‘i dari segi dilalah atau penunju- kannya terhadap hukum. Namun jumlah sunah yang qath‘i ini sangat terbatas. Adapun yang banyak jumlahnya adalah sunah yang zhanni, dari segi materinya atau dari segi dilalah (penun- jukan)-nya atau dari segi keduanya. Meskipun demikian, yang zhannî pun dapat dijadikan dalil bila ada hal lain yang mendu- kungnya seperti dijelaskan di atas.
0 Comment