SUMBER PERUMUSAN HUKUM ISLAM
A. Pengertian Sumber dan Dalil
Kata “dalil” itu berasal dari bahasa Arab an terbagi kepada dua b
agian
Dalil syara’ terbagi kepada qath‘î dan zhannî.
Dalil syara’ terdiri dari dalil naqlî dan dalil ‘aqlî.
Al-Amidi membagi dalil kepada dua kelompok, yaitu:
Pertama, dalil yang sahih menurut dirinya dan wajib diamal- kan, terdiri dari:
1. Dalil yang disampaikan oleh Nabi dalam bentuk yang terbaca, yaitu Al-Qur’an;
2. Dalil yang disampaikan Nabi dalam bentuk yang tak terbaca, yaitu sunah. Al-Qur’an dan sunah
disebut dalil nash; dan
3. Dalil yang tidak disampaikan oleh Nabi atau bukan nash; ben- tuknya terdiri dari:
a. terpelihara dari kesalahan, yaitu ijmâ’;
b. tidak terpelihara dari kesalahan tetapi dapat dihubungkan kepada nash, yaitu qiyâs; dan
c. tidak terpelihara dari kesalahan dan tidak pula dihubung- kan kepada nash, yaitu istidlal.
Nash dan ijmâ’ adalah dalil pokok sedangkan qiyâs dan is- tidlâl adalah cabang yang mengikut kepada nash dan ijmâ’.
Kedua, sesuatu yang diperkirakan dalil sahih, sebenarnya bukan dalil, yaitu: syar‘u man qablanâ, madzhab shahâbî, istihsân dan maslahah mursalah. Dari uraian di atas, dalil syara’ dapat dikelompokkan pada dua kelompok:
1. Dalil-dalil syara’ yang disepakati, yaitu Qur’an, sunah, Ijmâ’,
dan Qiyâs.
2. Dalil-dalil syara’ yang tidak disepakati, yaitu istihsân, maslahah mursalah, istishâb, ‘urf, syar‘u man qablanâ, dan mazhab shahâbî.
Al-Qur’an, sunah, Ijma’, dan Qiyâs disepakati oleh ahlusunah sebagai dalil secara prinsip, walaupun berbeda dalam kadar penggunaannya. Keempatnya mendapat landasan hukum yang kuat dalam Al-Qur’an dan sunah, yaitu:
a. Landasan dalam Al-Qur’an adalah surat an-Nisa’ (4): 59:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunah-Nya)...
Perintah menaati Allah berarti perintah menjalankan hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an. Perintah menaati Rasul berarti perintah mengamalkan apa yang disampaikan Rasul dalam Sunnah-Nya. Perintah mematuhi Ulil Amri berarti perintah mengamalkan hukum yang ditemukan berdasarkan ijmâ’. Pe- rintah mengembalikan sesuatu yang diperselisihkan hukumnya kepada Allah dan Rasul berarti perintah mengamalkan hukum yang ditemukan melalui qiyâs.
b. Landasan dalam sunah adalah kisah pembicaraan Nabi dengan Muaz bin Jabal sewaktu ia diutus oleh Nabi untuk menjadi penguasa di Yaman. Nabi berkata, “Bagaimana Anda memu- tuskan seandainya kepada Anda dihadapkan suatu perkara?” Muaz menjawab, “Saya memutuskan berdasarkan apa yang terdapat dalam Al-Qur’an”. Nabi bertanya lagi, “Seandainya Anda tidak menemukan pemecahannya dalam Al-Qur’an?” Muaz menjawab, “Saya memutuskan berdasarkan apa yang saya temukan dalam sunah.” Kemudian Nabi bertanya lagi, “Seandainya dalam sunah pun Anda tidak menemukan jawa- bannya?” Muaz menjawab, “Saya mengamalkan ijtihad den- gan nalar saya dan saya tidak akan berbuat kelengahan.” Atas jawaban Muaz tersebut Nabi puas sekali dan mengatakan, “Segala pujian untuk Allah yang telah memberikan taufik ke- pada utusan Rasul Allah menurut apa yang direlakannya.”
B. Al-Qur’an sebagai Sumber dan Dalil
1. Pengertian Al-Qur’an
Secara etimologis, Al-Qur’an adalah bentuk mashdar dari kata qa-ra-a
Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus.
2. Al-Syaukani mengartikan Al-Qur’an dengan: “Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW., tertulis dalam mus- haf, dinukilkan secara mutawâtir”.
3. Definisi Al-Qur’an yang dikemukakan Abu Zahrah ialah: “Kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad”.
4. Menurut al-Sarkhisi, Al-Qur’an adalah: “Kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW., ditulis dalam mushaf, diturun- kan dengan huruf yang tujuh yang masyhur dan dinukilkan secara mutawâtir”.
5. Al-Amidi memberikan definisi Al-Qur’an: “Al-Kitab adalah Al- Qur’an yang diturunkan”.
6. Ibn Subki mendefinisikan Al-Qur’an: “Lafaz yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW., mengandung mukjizat setiap suratnya, yang beribadah membacanya”.
Dengan menganalisis unsur-unsur setiap definisi di atas dan membandingkan antara satu definisi dengan lainnya, dapat ditarik suatu rumusan mengenai definisi Al-Qur’an, yaitu: “Lafaz berbahasa Arab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW., yang di- nukilkan secara mutawâtir”.
Definisi ini mengandung beberapa unsur yang menjelaskan hakikat Al-Qur’an, yaitu:
1. Al-Qur’an itu berbentuk lafaz. Ini mengandung arti bahwa apa yang disampaikan Allah melalui Jibril kepada Nabi Muhammad SAW dalam bentuk makna dan di-lafaz-kan oleh Nabi dengan ibaratnya sendiri tidaklah disebut Al-Qur’an. Umpamanya hadis qudsî atau hadis qaulî lainnya. Karenanya tidak ada ulama yang mengharuskan berwudhu jika hendak membacanya.
2. Al-Qur’an itu adalah berbahasa Arab. Ini mengandung arti bahwa Al-Qur’an yang dialihbahasakan kepada bahasa lain atau yang diibaratkan dengan bahasa lain bukanlah Al-Qur’an. Karenanya shalat yang menggunakan terjemahan Al-Qur’an, tidak sah.
3. Al-Qur’an itu diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.. Ini mengandung arti bahwa wahyu Allah yang disampaikan kepa- da nabi-nabi terdahulu tidaklah disebut Al-Qur’an. Tetapi apa yang dihikayatkan dalam Al-Qur’an tentang kehidupan dan syariat yang berlaku bagi umat terdahulu adalah Al-Qur’an.
4. Al-Qur’an itu dinukilkan secara mutawâtir. Ini mengandung arti bahwa ayat-ayat yang tidak dinukilkan dalam bentuk mu- tawâtir bukanlah Al-Qur’an. Karenanya ayat-ayat syazzah atau yang tidak mutawatir penukilannya tidak dapat dijadi- kan hujah dalam istinbath hukum.
Di samping 4 unsur pokok tersebut, ada beberapa unsur sebagai penjelasan tambahan yang ditemukan dalam sebagian dari beberapa definisi Al-Qur’an di atas, yaitu:
a. Kata-kata “mengandung mukjizat setiap suratnya”, memberi penjelasan bahwa setiap ayat Al Qur’an mengandung daya mukjizat. Oleh karena itu, hadis qudsî atau tafsiran Al-Qur’an dalam bahasa Arab, bukanlah Al-Qur’an karena tidak mengan- dung daya mukjizat.
b. Kata-kata “beribadah membacanya”, memberi penjelasan bah- wa dengan membaca Al-Qur’an berarti melakukan suatu per- buatan ibadah yang berhak mendapat pahala. Karenanya mem- baca hadis qudsî yang tidak mengandung daya ibadah seperti Al-Qur’an, tidak dapat disebut Al-Qur’an.
c. Kata-kata “tertulis dalam mushaf” (dalam definisi Syaukani dan Sarkhisi), mengandung arti bahwa apa-apa yang tidak ter- tulis dalam mushaf walaupun wahyu itu diturunkan kepada Nabi, umpamanya ayat-ayat yang telah dinasakhkan, tidak lagi disebut Al-Qur’an.
2. Autentisitas Al-Qur’an
Umat Islam sepakat bahwa kumpulan wahyu Allah yang di- turunkan kepada Nabi Muhammad SAW. yang disebut Al-Qur’an dan yang termuat dalam mushaf, adalah autentik (semuanya adalah betul-betul dari Allah SWT.), dan semua wahyu yang diterima Nabi
Muhammad SAW. dari Allah melalui Malaikat Jibril telah termuat dalam al-Qur’an. Keautentikan Al-Qur’an ini dapat dibuktikan dari kehati-hatian para sahabat Nabi memeliharanya sebelum ia dibukukan dan dikumpulkan. Begitu pula kehati-hatian para sahabat dalam membukukan dan memelihara penggandaannya.
Sebelum dibukukan, ayat-ayat Al-Qur’an berada dalam rekaman teliti para sahabat, baik melalui hafalan yang kuat dan setia atau melalui tulisan di tempat yang terpisah. Ia disampaikan dan disebarluaskan secara periwayatan oleh orang banyak yang tidak mungkin bersekongkol untuk berdusta. Bentuk periwayatan seperti itu dinamai periwayatan secara mutawâtir yang menghasilkan suatu kebenaran yang tidak meragukan. Oleh karena itu, Al-Qur’an itu bersifat autentik.
Begitu pula pada waktu pembukuan Al-Qur’an di masa Abu Bakar. Pembukuannya dilakukan secara teliti dengan mencocokkan tulisan yang ada dengan hafalan para penghafal, sehingga kuat dugaan bahwa semua wahyu telah direkam dalam mushaf. Kemudian hasil pembukuan itu disimpan secara aman di tangan Abu Bakar, lalu pindah ke tangan Umar ibn Khattab dan setelah beliau wafat, pindah ke tangan Hafsah binti ‘Umar (istri Nabi). Terakhir diadakan pentas- hihan pada masa khalifah ‘Usman sehingga menghasilkan satu naskah autentik yang disebut mushaf Imam. Salinan dari naskah (mushaf) itu dikirimkan ke kota-kota besar lain, sedangkan yang selain dari itu, dibakar. Mushaf Imam yang dijadikan standar itu dijadikan rujukan bagi perbanyakan dan pentashihan berikutnya, sehingga berkembang dalam bentuk aslinya sampai waktu ini. Inilah yang dimaksud Allah SWT. dalam Firman-Nya pada surat al-Hijr (15): 9:
a. Bacaan (Qira‘at) Al-Qur’an
Dari segi pembacaan (qirâ‘at), Al-Qur’an, terdapat perbedaan. Dari hasil penelitian para ahli, 7 di antara qira‘at yang bekembang itu disepakati ke-mutawâtir-annya. Itulah yang disebut “qira‘at yang tujuh” atau qirâ‘at sab‘ah (
Bentuk lain dari qirâ‘at syâdzdzah itu adalah pengubahan kata, seperti Firman Allah dalam surat al-Maidah (5): 38:
b. Imam Abu Hanifah menerima qirâ‘at syâdzdzah (yang tidak mutawatir) sebagai sumber dalam penetapan hukum. Dalam hal ini ia menetapkan bahwa puasa untuk kafarat sumpah yang tiga hari itu harus dilakukan secara berturut-turut, sesuai den- gan bunyi teks ayat dalam qirâ‘at syâdzdzah; demikian pula tangan pencuri yang harus dipotong adalah tangan kanan.
Alasan yang dikemukakan Abu Hanifah adalah bahwa qirâ‘at syâdzdzah meskipun periwayatannya tidak meyakinkan sebagai ayat Al-Qur’an, namun setidaknya ia sama dengan hadîts ahâd; sedangkan hadîts ahâd dapat dijadikan sumber dalam meng- istinbath-kan hukum.
Perbedaan pendapat ulama tentang qirâ‘at syâdzdzah itu juga ter- jadi dalam hal boleh atau tidaknya dibaca dalam waktu shalat. Perbedaan ini muncul karena yang disuruh dibaca dalam shalat adalah ayat Al-Qur’an, sesuai dengan Firman Allah dalam surat al-Muzzammil (73): 20:
1. Imam Syafi‘i berpendapat bahwa basmalah itu merupakan satu ayat dari surat Al-Qur’an yang diawali oleh basmalah. Alasannya adalah:
a. hadis Riwayat Abdul Hamid dari Ja’far, dari Nuh ibn Abi Jalal, dari Said al-Maqbari, dari Abu Hurairah, dari Nabi Muhammad SAW. yang mengatakan bahwa “alhamdulil- lah” atau surat al-Fatihah (1) terdiri dari 7 ayat, satu di antaranya adalah basmalah.
b. hadis yang dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam kitab sahihnya dari Umi Salamah bahwa Rasul Allah membaca basmalah pada awal surat al-Fatihah dan surat-surat lainnya.
2. Imam Malik berpendapat bahwa basmalah di awal setiap surat bukan merupakan ayat dalam surat Al-Qur’an. Juga bukan salah satu ayat dalam surat al-Fatihah atau surat lainnya. Alasannya bahwa umat Islam di Madinah tidak membaca basmalah pada awal setiap surat dalam shalat yang mereka lakukan. Praktik demikian itu sudah berlaku semenjak masa Nabi sampai masa Imam Malik, padahal dalil untuk membaca al-Fatihah dalam shalat adalah secara pasti.
Kebiasaan penduduk Madinah yang tidak membaca basmalah dalam shalat itu diperkuat dengan hadis Nabi yang diriwayat- kan Bukhari dan Muslim dari Anas ibn Malik yang mengatakan; “Saya shalat di belakang Nabi, juga di belakang Abu Bakar,
‘Umar dan ‘Utsman; mereka memulai bacaan al-Fatihah dalam shalat dengan “alhamdulillah”.
3. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa tertulisnya basmalah dalam Al-Qur’an menunjukkan bahwa ia bagian dari Al-Qur’an, tetapi tidak menunjukkan bahwa ia bagian dari surat Al-Qur’an yang didahului oleh basmalah itu. hadis-hadis Nabi yang me- nunjukkan bahwa tidak dibacanya basmalah itu secara keras dalam shalat waktu membaca al-Fatihah mengisyaratkan bahwa ia bukan bagian dari surat al-Fatihah. Disebutkannya basmalah dalam Al-Qur’an adalah untuk pemisah antara satu surat dengan surat lainnya. Sebuah hadis Nabi dari Ibnu Abbas yang dikeluar- kan oleh Abu Daud dengan sanad yang sahih mengisyaratkan
bahwa Nabi tidak mengetahui tanda pemisah antara surat de- ngan surat lain sampai turunnya basmalah.
Oleh karena yang disuruh dibaca dalam shalat adalah Al-Qur’an seperti tersebut dalam ayat di atas, sedangkan kedudukan bas- malah sebagai bagian dari Al-Qur’an diperselisihkan, maka ter- dapat pula perbedaan dalam hal membacanya dalam shalat.
a. Ulama yang mengatakan bahwa basmalah merupakan ba- gian dari surat Al-Qur’an membolehkan membaca basmalah dalam shalat.
b. Ulama yang mengatakan bahwa basmalah bukan bagian dari Al-Qur’an tidak membolehkan membacanya dalam shalat, baik secara jahar (keras) maupun secara sir (perlahan).
c. Ulama yang mengatakan bahwa basmalah adalah Al-Qur’an tetapi tidak termasuk bagian dari surat membolehkan mem- baca basmalah dalam shalat tetapi hanya secara sir, tidak boleh di-jahar-kan.
3. Fungsi dan Tujuan Turunnya Al-Qur’an
Al-Qur’an diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad untuk di- sampaikan kepada umat manusia bagi kemaslahatan dan kepentingan mereka, khususnya umat Mukminin yang percaya akan kebenarannya. Kemaslahatan itu dapat berbentuk mendatangkan manfaat atau keberuntungan, maupun dalam bentuk melepaskan manusia dari ke- mudaratan atau kecelakaan yang akan menimpanya.
Bila ditelusuri ayat-ayat yang menjelaskan fungsi turunnya Al-Qur’an kepada umat manusia, terlihat dalam beberapa bentuk ungkapan yang di antaranya adalah:
1. Sebagai hudan (umat ini, tidak kurang dari 15 kali disebutkan dalam Al-Qur’an, umpamanya pada surat Luqman (31): 2-3:
Tá-Sín. (Surat) ini adalah ayat-ayat Al-Qur’an, dan (ayat-ayat) kitab yang menjelaskan, untuk menjadi petunjuk dan berita gembira untuk orang-orang yang beriman.
6. Sebagai “tibyân”
7. Sebagai tafsîl , yaitu memberikan penjelasan secara rinci sehingga dapat dilaksanakan sesuai dengan yang dike- hendaki Allah. Umpamanya dalam surat Yusuf (12): 111:
Al-Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu ...
8. Sebagai Syifâu al-shudûr (kebenaran Rasul, karena dalam Al-Qur’an terdapat daya mukjizat yang menunjukkan bahwa pembawa Al-Qur’an itu adalah betul- betul seorang Rasul. Al-Qur’an itu bukan ciptaannya sendiri, tetapi ciptaan Allah, sedangkan Rasul hanya menyampaikan Firman Allah tersebut. (Uraian tentang mukjizat Al-Qur’an akan dijelaskan tersendiri).
Al-Qur’an merupakan sumber petunjuk bagi kehidupan manusia. Petunjuk Al-Qur’an itu dapat diklasifikasikan ke dalam dua bentuk.
Pertama, petunjuk langsung. Maksudnya, dalam Al-Qur’an itu terdapat aturan, ketentuan, dan petunjuk dalam bentuk tuntutan, larangan, atau membiarkan. Di sini terdapat batasan mengenai apa saja yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan, baik dalam hubungannya dengan Allah SWT., maupun dalam hubungannya dengan sesama ma- nusia dan alam sekitarnya.
Al-Qur’an menjelaskan bahwa bila manusia mengikuti petunjuk dan batas-batas yang telah ditentukan Allah, maka selamatlah kehidupannya di dunia maupun di akhirat. Tetapi bila manusia melampaui ketentuan Allah, baik meninggalkan yang disuruh atau mengerjakan yang dilarang, akan celakalah hidupnya di dunia dan di akhirat, ia akan memikul dosa dengan pembalasan yang buruk. Allah SWT. Berfirman dalam surat al-Nisa’ (4): 13 dan 14:
(Hukum-hukum tersebut) adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai- sungai, sedang mereka kekal di dalamnya, dan itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul- Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan Allah, niscaya Allah me- masukkannya ke dalam api neraka, sedang ia kekal di dalamnya, dan baginya siksa yang menghinakan.
Petunjuk Al-Qur’an dalam bentuk ini menjadi sumber pokok dalam perumusan hukum Islam.
Kedua, petunjuk yang tidak langsung. Maksudnya, dalam Al-Qur’an terdapat pokok-pokok dasar ilmu pengetahuan yang melingkupi segenap bidang. Pokok dasar ilmu pengetahuan dalam Al-Qur’an itu memerlukan pengembangan melalui nalar manusia sehingga menjadi satu ilmu yang sistematis. Melalui penerapan ilmu hasil nalar itu, manusia akan mendapatkan rahmat dan membukakan matanya untuk menempuh kehidupan di dunia sebagai persiapan bagi kehidupannya di akhirat.
Penjelasan Al-Qur’an tentang ilmu pengetahuan ada yang ber- bentuk keterangan tentang hakikat kejadian alam dan sekitarnya. Umpamanya Firman Allah dalam surat Ali ‘Imran (3): 190:
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang- orang yang berakal.
Di samping menjelaskan hakikat sesuatu yang berbentuk dasar ilmu pengetahuan, Al-Qur’an juga banyak sekali mendorong manusia untuk berpikir dan memerhatikan serta merenungkan sesuatu kejadian. Umpamanya Firman Allah dalam surat al-Ghasyiyah (88): 17-20:
Maka apakah mereka tidak memerhatikan unta bagaimana diciptakan? Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung- gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?
Dari hasil penelitian itu, manusia akan dapat memperoleh ilmu pengetahuan tentang alam dengan petunjuk ayat-ayat atau tanda- tanda yang diperlihatkan Allah.
Al-Qur’an diturunkan Allah secara berangsur-angsur dalam waktu yang cukup panjang, hampir sama dengan masa risalah Nabi Muhammad, yaitu selama 22 tahun 2 bulan dan 22 hari. Maksud diturunkannya Al-Qur’an secara berangsur-angsur, di antaranya adalah sebagai jawaban terhadap sangkaan orang musyrik, se- bagaimana disebutkan dalam surat al-Furqan (25): 32:
Berkatalah orang-orang yang kafir, “Mengapa al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?”Demikianlah, supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar).
Ada dua maksud turunnya Al-Qur’an secara berangsur itu, yaitu:
1. Untuk tatsbît al fu‘âd (Mula-mula proses perubahan itu ditujukan terhadap hal-hal yang mudah, sehingga tidak begitu sulit bagi umat untuk me- matuhinya. Setelah umat dapat secara baik melaksanakannya, baru datang ayat berikutnya yang bersifat agak lebih sulit. Setelah tahap ini berjalan dengan baik, tibalah ayat berikutnya yang menetapkan secara pasti hukum yang berlaku untuk hal tersebut. Dengan demikian, hukum dapat berlaku dengan lan- car tanpa menimbulkan gejolak sosial. Seandainya ketentuan hukum itu datang secara tiba-tiba dan sekaligus, maka akan sulit menerapkan hukum itu, di samping akan menimbulkan gejolak sosial di tengah umat.
Contoh dalam hal ini adalah penetapan hukum haramnya me- minum khamar. Mula-mula turun ayat yang isinya baru sekadar menyatakan bahwa meminum khamar itu berdosa. Meskipun manfaatnya banyak tetapi kerusakan yang ditimbulkannya lebih banyak lagi. Ini disebutkan dalam surat al-Baqarah (2): 219:
Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah, “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan be- berapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.”
Dengan turunnya ayat itu, kebiasaan minum khamar mulai di- tinggalkan sebagian umat, tetapi belum sempurna dan tidak me- nyeluruh. Bahkan ada juga yang meminumnya di saat mendekati waktu shalat, sehingga ia melaksanakan shalat dalam keadaan mabuk. Sesudah itu turun ayat yang melarang seseorang melaku- kan shalat sesudah minum khamar dan masih mabuk. Ketentuan itu tertera dalam surat an-Nisa: (4): 43:
Janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.
Dengan turunnya ayat tersebut, minum khamar menjadi sa- ngat terbatas waktunya. Namun karena masih belum tegasnya larangan meminum khamar itu, maka masih ada yang minum khamar di luar waktu shalat. Setelah pelaksanaan hukum ini berjalan dengan baik, baru turun ayat Al-Qur’an yang secara jelas dan tegas melarang meminum khamar, melalui surat al-Maidah (5): 90:
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah , adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu.
Beban hukum dalam Al-Qur’an yang harus dipikul oleh umat itu begitu banyak. Kalau ayat Al-Qur’an itu turun sekaligus secara serentak, berarti semua beban hukum itu dalam waktu bersa- maan akan dipikul oleh umat yang masih asing dengan hukum itu. Oleh karena itu, kebijaksanaan Allah berlaku atas umat de- ngan bertahapnya dalam menurunkan ayat Al-Qur’an. Setelah umat terbiasa melakukan suatu kewajiban baru disusul dengan kewajiban berikutnya. Dengan demikian, kewajiban atau beban hukum itu dapat diterapkan terhadap umat tanpa menimbulkan masalah sosial dan keagamaan.
2. Alasan penahapan turunnya ayat Al-Qur’an itu adalah dengan tujuan untuk adanya tartîl. Secara harfiah, tartîl berarti “mem- baca dengan baik dan mudah”. Prinsip tartîl ini adalah bahwa Al-Qur’an itu turun kepada suatu kaum yang pada umumnya adalah ummî atau tidak mampu membaca dan menulis. Allah menghendaki ayat-ayat Al-Qur’an dapat dihafal oleh umat de- ngan baik secara menyeluruh sehingga autentisitas Al-Qur’an dapat terjamin. Untuk memudahkan umat dalam menghafal Al-Qur’an, Allah menurunkan Al-Qur’an sedikit demi sedikit, secara bertahap. Setiap kali ayat Al-Qur’an turun dalam jumlah
tertentu, maka umat mudah untuk menghafal dan membacanya. Sekiranya ayat yang turun pada tahap yang lalu sudah terhafal dengan baik, baru turun ayat berikutnya, sehingga tamat dalam masa yang cukup panjang itu. Seandainya semua ayat Al-Qur’an turun sekaligus, tentu tidak mungkin dapat dihafal dengan baik mengingat jumlah ayat Al-Qur’an itu begitu banyak.
Ayat-ayat al-Qur’an—terutama yang termasuk ayat-ayat hukum-biasanya diturunkan Allah sebagai jawaban atas masalah atau ka- sus yang terjadi dalam masyarakat. Masalah itu tentu tidak seren- tak munculnya. Karenanya tidak mungkin ayat hukum itu akan turun sekaligus.
Tahap turunnya Al-Qur’an itu dibagi ke dalam dua tahap atau periode, yaitu:
a. Periode sebelum Nabi hijrah ke Madinah. Ayat-ayat yang turun dalam tahap ini disebut Makiyah ).
Ayat Al-Qur’an yang turun dalam periode pertama ini lebih diarahkan kepada pembentukan ‘aqidah dan moral Islam. Ayat-ayat hukum belum banyak turun dalam periode ini.
b. Periode sesudah Nabi hijrah ke Madinah. Ayat-ayat yang diturunkan dalam periode ini disebut Madaniyah.
Ayat Al-Qur’an yang diturunkan dalam tahap ini lebih di- arahkan pada pembentukan masyarakat Islam, di samping pemantapan akidah. Pada periode ini lebih banyak turun ayat-ayat hukum, terutama yang menyangkut mu‘âmalah dalam arti luas.
4. Mukjizat Al-Qur’an
Dalam uraian tentang definisi Al-Qur’an disebutkan bahwa sa- lah satu kriteria, yaitu “mengandung daya mukjizat setiap surat dan ayatnya”.
Secara etimologis (lughawî), “mukjizat” berarti sesuatu yang dapat melemahkan, sehingga orang lain tidak dapat berbuat yang sama atau melebihi. Setiap Rasul yang diutus untuk menyampaikan risalah mempunyai mukjizat. Hal ini berarti ia mempunyai satu daya atau kekuatan yang dapat melemahkan kekuatan lain sehingga tidak ada yangmampu berbuat hal yang sama atau melebihinya. Dengan demikian, di mata umatnya, Rasul itu dianggap mempunyai keluarbiasaan.
Mukjizat bagi seorang Rasul merupakan salah satu identitas dari kerasulannya. Identitas kerasulan itu berbeda antara seorang Rasul dengan Rasul lainnya. Mukjizat biasanya diberikan Allah dalam bentuk sesuatu yang umum berlaku pada masanya dan Rasul memunculkan keluarbiasaannya.
Pada masa Nabi Musa, berkembang ilmu sihir dan sering di- jadikan sebagai salah satu alat kompetisi, seperti tali menjadi ular. Nabi Musa tampil dengan mukjizat dengan kemampuan mengubah tongkat menjadi ular yang mampu mengalahkan ular-ular hasil sihir umat Nabi Musa pada masa itu. Pada masa Nabi Isa, berkembang ilmu pedukunan dan pengobatan, namun ada saja penyakit yang tidak dapat disembuhkan oleh tabib dan dukun pada masa itu, seperti penyakit buta dan sopak. Nabi Isa tampil dengan kemampuan mengobati penyakit buta dan sopak itu dengan izin Allah, sehingga di mata orang banyak, Nabi Isa mempunyai keunggulan yang dapat melemahkan kemampuan semua orang pada masa itu.
Pada masa Nabi Muhammad diutus, orang-orang berbangga dengan kemampuan bersyair dengan keindahan bahasa yang selalu dikompetisikan secara berkala. Nabi Muhammad tampil dengan Al-Qur’an yang keindahan bahasanya tidak dapat ditandingi sastrawan masa itu.
Mukjizat Nabi Muhammad yang terbesar adalah Al-Qur’an. Mukjizatnya berbeda dari mukjizat rasul-rasul sebelumnya yang rata- rata bersifat fisik yang dapat disaksikan dengan mata. Mukjizat Nabi Muhammad bersifat maknawi, tidak dapat dilihat keistimewaannya dengan mata, tetapi dapat dirasakan. Karena itu, mukjizatnya akan tetap berlaku sepanjang masa, meskipun Nabi yang memilikinya sudah tidak ada. Hal ini sesuai dengan kedudukan Nabi Muhammad sebagai Nabi dan Rasul terakhir.
Mukjizat Al-Qur’an tidak terdapat pada lembaran fisiknya, tetapi dalam bahasa dan maksud yang terkandung di dalamnya. Ia mempunyai keluarbiasaan yang secara akal tidak mungkin dihasilkan sendiri oleh Nabi Muhammad. Hal itu menunjukkan bahwa Al-Qur’an itu seluruhnya memang berasal dari Allah SWT. Bentuk kemukjizatan Al-Qur’an dapat dirangkum dalam hal-hal sebagai berikut:
1. Dari segi keindahan bahasa.
Al-Qur’an mempunyai keindahan bahasa yang tidak mung- kin ditandingi ahli bahasa Arab mana pun. Hal ini sudah mendapat pengakuan umum dari orang yang mengerti dzauq (rasa) bahasa Arab. Keindahan itu terdapat dalam penggu- naan kata, susunan kata, dan kalimat; ungkapan, dan hubun- gan antara satu ungkapan dengan lainnya. Allah SWT. dalam surat al-Baqarah (2): 23 menantang orang-orang yang mera- gukan kebenaran Al-Qur’an untuk menandinginya dengan cara mendatangkan yang sejenis ayat Al-Qur’an:
yang hidup pada masa para nabi itu. Al-Qur’an bercerita tentang Ashhabul Kahfi dan tentang Zulqarnain yang diakui kebenaran- nya oleh ahli sejarah dan ulama ahli kitab, padahal Nabi send- iri tidak pernah belajar dari ulama ahli kitab mana pun, tidak pernah bergaul dengan mereka, juga tidak mampu membaca peninggalan tertulis dari agama-agama sebelumnya. Hal ini dit- erangkan Allah dalam surat al-Ankabut: (29): 48:
Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (Al-Qur’an) sesuatu kitab pun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu; andaikata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang-orang yang mengingkari(mu).
3. Dari segi pemberitaan Al-Qur’an tentang hal-hal yang akan terjadi dan ternyata memang kemudian terjadi. Umpamanya berita tentang kekalahan Persia oleh Romawi, sesudah keka- lahan Romawi sebagaimana disebutkan Allah dalam surat ar-Rum (30): 2-4:
Telah dikalahkan bangsa Romawi, di negeri yang terdekat dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang.
Allah SWT. menyebutkan nama-nama tempat yang belum ada pada waktu ayat itu turun, kemudian di belakang hari ternyata memang ada, seperti tentang Masjidilharam dan Masjidilaqsha, yang diterangkan dalam surat al-Isra (17): 1:
Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dan Masjidilharam ke Masjidilaqsha.
4. Dari segi kandungannya akan hakikat kejadian alam dengan seisinya serta hubungan antara satu dengan lainnya. Pemberitaan seperti ini merupakan hal-hal yang luar biasa yang kemudian ter- ungkap kebenarannya melalui penggalian ilmu pengetahuan dan teknologi. Umpamanya tentang proses kejadian manusia yang diungkapkan Allah dalam surat al-Mukminun (23): 12-14:
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari sari pati (herasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan sari pati air itu mani (yang disimpan) dalam tempat yang kukuh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang dan lalu tulang belulang itu kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha- suci Allah, Pencipta Yang Paling Baik.
5. Dari segi kandungannya mengenai pedoman hidup yang menun- tun manusia mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhi- rat; tentang halal dan haram, tentang salah dan benar, tentang buruk dan baik; tentang yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan dan tentang etika pergaulan.
Demikianlah hal-hal pokok yang terdapat dalam Al-Qur’an yang menjadikannya luar biasa. Kemukjizatannya itu tampak dengan nyata, karena hal-hal luar biasa yang terkadung dalam Al-Qur’an itu muncul dari seorang manusia biasa yang tidak pernah bela- jar ilmu pengetahuan dan sejarah; tidak pernah hidup dalam
lingkungan keilmuan yang ada kemungkinan menularkan ilmu kepadanya; bahkan tidak pandai menulis dan membaca. Hal itu menunjukkan bahwa Al-Qur’an bukan hasil karya Nabi Muhammad SAW.. Tidak mungkin ia mampu menghasilkan karya agung yang bernama Qur’an itu. Mengenai hal ini, Allah SWT. berfirman dalam surat Yunus (10): 15:
Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang nyata, orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami berkata. “Datangkanlah Al-Qur’an yang lain dari ini atau gantilah dia”. Katakanlah: “Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri. Aku tidak mengikut kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya aku takut jika mendurhakai Tuhanku kepada siksa hari yang besar (kiamat)”
5. Ibarat Al-Qur’an dalam Menetapkan Hukum
Al-Qur’an bukanlah kitab undang-undang yang menggunakan ibarat tertentu dalam menjelaskan hukum. Al-Qur’an adalah sumber hidayah yang di dalamnya terkandung norma dan kaidah yang dapat diformulasikan dalam bentuk hukum dan undang undang.
Dalam menjelaskan hukum, Al-Qur’an menggunakan beberapa cara dan ibarat, yaitu dalam bentuk tuntutan, baik tuntutan untuk berbuat yang disebut suruhan atau perintah, atau tuntutan untuk meninggalkan yang disebut larangan.
Suruhan atau perintah menunjukkan keharusan untuk berbuat seperti keharusan melaksanakan shalat dengan perintah Allah dalam surat an-Nisa’ (4): 77:
Larangan menunjukkan keharusan meninggalkan perbuatan yang dilarang, seperti larangan membunuh dalam Firman Allah:
Keharusan meninggalkan suatu perbuatan, Al-Qur’an sering menggunakan kata “harrama” ( ). Umpamanya tidak bolehnya seseorang kawin dengan ibu, anak, dan saudaranya dikemukakan dengan ungkapan:
Dia-lah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi)-nya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok pokok isi Al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat.
1. Ayat muhkâm adalah ayat yang jelas maknanya, tersingkap secara terang, sehingga menghindarkan keraguan dalam mengar- tikannya dan menghilangkan adanya beberapa kemungkinan pemahaman.
2. Ayat mutasyâbih adalah kebalikan dari yang muhkam, yaitu ayat yang tidak pasti arti dan maknanya, sehingga dapat dipa- hami dengan beberapa kemungkinan.
Ada beberapa kemungkinan pemahaman itu dapat disebabkan oleh dua hal:
a. Lafaz itu dapat digunakan untuk dua maksud dengan pema- haman yang sama. Umpamanya kata quru’ (“Allah bersemayam” diartikan “Allah berkuasa”. Sedangkan ulama yang tidak mau menggunakan takwil, tetap mengartikan ayat mutasyâbihât itu menurut apa adanya.
Dari segi penjelasannya terhadap hukum, ada beberapa cara yang digunakan Al-Qur’an, yaitu:
1. Secara Juz’i (terperinci). Maksudnya, Al-Qur’an menjelaskan se- cara terperinci. Allah dalam Al-Qur’an memberikan penjelasan secara lengkap, sehingga dapat dilaksanakan menurut apa ada- nya, meskipun tidak dijelaskan Nabi dengan sunah-Nya. Umpa- manya ayat-ayat tentang kewarisan yang terdapat dalam surat an-Nisa’ (4): 11 dan 12. Tentang sanksi terhadap kejahatan zina dalam surat al-Nur (24): 4. Penjelasan yang terperinci dalam ayat seperti di atas, sudah terang maksudnya dan tidak memberikan peluang adanya kemungkinan pemahaman lain. Dari segi kejelas- an artinya, ayat tersebut termasuk ayat muhkamât.
2. Secara Kullî (global). Maksudnya, penjelasan Al-Qur’an terha- dap hukum berlaku secara garis besar, sehingga masih memerlu- kan penjelasan dalam pelaksanaannya. Yang paling berwenang memberikan penjelasan terhadap maksud ayat yang berbentuk garis besar itu adalah Nabi Muhammad dengan sunah-Nya. Penjelasan dari Nabi sendiri di antaranya ada yang berbentuk pasti sehingga tidak memberikan kemungkinan adanya pema- haman lain. Di samping itu, ada pula penjelasan Nabi dalam bentuk yang masih samar dan memberikan kemungkinan ada- nya beberapa pemahaman.
3. Secara Isyarah. Al-Qur’an memberikan penjelasan terhadap apa yang secara lahir disebutkan di dalamnya dalam bentuk penjelas- an secara ibarat. Di samping itu, juga memberikan pengertian secara isyarat kepada maksud lain. Dengan demikian, satu ayat Al-Qur’an dapat memberikan beberapa maksud. Umpamanya Firman Allah dalam surat al-Baqarah (2): 233:
Ayat tersebut, mengandung arti adanya kewajiban suami un- tuk memberi belanja dan pakaian bagi istrinya. Tetapi di balik pengertian itu, mujtahid menangkap isyarat adanya kemung- kinan maksud lain yang terkandung dalam ayat tersebut, yaitu bahwa “nasab seorang anak dihubungkan kepada ayahnya”.
Ayat Al-Qur’an dalam bentuk yang muhkam dengan penjelas- an yang lengkap, penunjukannya terhadap hukum adalah pasti (qath‘î dilâlah). Dalam ayat itu tidak mungkin ada maksud lain dan tidak mungkin pula ditanggapi dengan tanggapan yang berbeda. Hukum yang ditunjuk secara pasti ini berlaku secara universal dan tidak akan mengalami perubahan walaupun wak- tu dan tempatnya sudah berubah.
Penunjukan yang pasti, ini pada umumnya berlaku dalam bi- dang ‘akidah (seperti keesaan Allah), dan mengenai ibadah-iba- dah pokok (seperti keharusan melakukan shalat), serta dalam masalah norma yang tidak akan mengalami perubahan (seperti keharusan berbuat baik kepada ibu dan bapak).
Ayat Al-Qur’an yang disampaikan secara mutasyâbih, dalam bentuk penjelasan yang bersifat garis besar dan ayat-ayat yang mengandung isyarat, penunjukannya terhadap hukum bersifat zhanni (tidak meyakinkan); karenanya dapat dipahami den- gan beberapa kemungkinan pemahaman. Perbedaan pemaha- man itu akan menghasilkan versi hukum yang berbeda-beda.
Ayat Al-Qur’an yang penjelasannya bersifat zhannî ini umum- nya berlaku dalam bidang mu‘amalah dalam arti luas yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya dalam kehidup- an masyarakat. Karena kehidupan masyarakat itu senantiasa berkembang, maka penerapan hukumnya pun akan mengalami perubahan. Dalam bidang inilah berlaku ungkapan: “Perubahan hukum itu berdasarkan perubahan waktu dan tempat.” Juga berlaku reformulasi hukum bila keadaan menghendaki. Umpa- manya mengenai poligami yang dalam suatu waktu dan tempat dinyatakan boleh, tetapi pada waktu dan tempat lain dapat di nyatakan tidak boleh (dilarang).
7. Hukum yang Terkandung dalam Al-Qur’an
Sesuai dengan definisi hukum syara’ sebagaimana telah dijelaskan, hanya sebagian kecil dari ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung hukum, yaitu yang menyangkut perbuatan mukalaf dalam bentuk tuntutan, pilihan berbuat, dan ketentuan yang ditetapkan. Hukum-hukum tersebut mengatur kehidupan manusia, baik dalam hubungannya dengan Allah SWT. maupun dalam hubungannya dengan manusia dan alam sekitarnya.
Secara garis besar hukum-hukum dalam Al-Qur’an dapat dibagi tiga macam:
Pertama, hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia de- ngan Allah SWT. mengenai apa-apa yang harus diyakini dan yang harus dihindari sehubungan dengan keyakinannya, seperti keharusan mengesakan Allah dan larangan mempersekutukan-Nya. Hukum yang menyangkut keyakinan ini disebut hukum i’tiqâdiyah yang dikaji dalam “Ilmu Tauhid” atau “Ushuluddin”.
Kedua, hukum-hukum yang mengatur hubungan pergaulan manusia mengenai sifat-sifat baik yang harus dimiliki dan sifat- sifat buruk yang harus dijauhi dalam kehidupan bermasyarakat. Hukum dalam bentuk ini disebut hukum khuluqiyah yang kemudian dikembangkan dalam “Ilmu Akhlak”.
Ketiga, hukum-hukum yang menyangkut tindak tanduk manusia dan tingkah laku lahirnya dalam hubungan dengan Allah SWT., dalam hubungan dengan sesama manusia, dan dalam bentuk apa-apa yang harus dilakukan atau harus dijauhi. Hukum ini disebut hukum amaliyah yang pembahasannya dikembangkan dalam “Ilmu Syari‘ah”.
Hukum amaliyah tersebut, secara garis besar terbagi dua:
1. Hukum yang mengatur tingkah laku dan perbuatan lahiri- ah manusia dalam hubungannya dengan Allah SWT., seperti shalat, puasa, zakat, dan haji. Hukum ini disebut hukum ‘iba- dah dalam arti khusus.
2. Hukum-hukum yang mengatur tingkah laku lahiriah manusia dalam hubungannya dengan manusia atau alam sekitarnya, seperti jual beli, kawin, pembunuhan, dan lainnya. Hukum-hu- kum ini disebut hukum mu‘âmalah dalam arti umum.
Bentuk hukum yang pertama disebut “ibadah dalam arti khu- sus” karena mu’amalah pun sebenarnya termasuk ke dalam per- buatan ibadah bila dilaksanakan sesuai dengan yang dikehendaki Allah. Sedangkan bentuk hukum yang kedua disebut “mu‘âmalah dalam arti umum”, karena mencakup semua bentuk pergaulan manusia dalam kehidupan bermasyarakat.
Dilihat dari segi pemberlakuannya bagi hubungan sesama manu- sia, bentuk hukum mu‘amalah itu ada beberapa macam, yaitu:
a. Hukum yang mengatur hubungan antara sesama manusia yang menyangkut kebutuhannya akan harta bagi keperluan hidupnya. Bentuk hukum ini disebut “hukum mu’amalat dalam arti khusus”. Contohnya seperti: jual beli, sewa me- nyewa, pinjam-meminjam dan lainnya.
b. Hukum yang mengatur hubungan antara sesama manusia yang berkaitan dengan kebutuhannya akan penyaluran nafsu syah- wat secara sah dan yang berkaitan dengan itu. Bentuk hukum ini disebut “hukum munakahat”. Contohnya, seperti: kawin, cerai, rujuk, dan pengasuhan atas anak yang dilahirkan.
c. Hukum yang mengatur hubungan antara sesama manusia yang menyangkut perpindahan harta yang tersebab oleh karena adanya kematian. Bentuk hukum ini disebut hukum “mawarits” dan “wasiat”.
d. Hukum yang mengatur hubungan antara manusia dengan manusia lainnya yang berkaitan dengan usaha pencegahan terjadinya kejahatan atas harta, maupun kejahatan penya- luran nafsu syahwat atau menyangkut kejahatan dan sanksi bagi pelanggarnya. Bentuk hukum ini disebut hukum jinayah atau pidana. Contohnya, seperti: pencurian, pembunuhan, perzinahan, dan lainnya.
e. Hukum yang mengatur hubungan antara sesama manusia yang berkaitan dengan usaha penyelesaian akibat tindak kejahatan di pengadilan. Bentuk hukum ini disebut hukum “murafa‘at” atau hukum “qadha’”, disebut juga “hukum acara”. Contohnya, seperti: kesaksian, gugatan, dan pem- buktian di pengadilan.
f. Hukum yang mengatur hubungan antara manusia dengan manusia lain yang berkaitan dengan kehidupan berma- syarakat dan bernegara disebut hukum dusturiyah. Umpa- manya tentang ulil amri, khalifah, baitul mal, disebut juga hukum tata negara.
g. Hukum yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya dalam suatu negara dengan manusia di negara lain, dalam keadaan damai dan keadaan perang. Bentuk hukum ini disebut “hukum an- tarnegara” atau “hukum dualiyah”, disebut juga dengan “hukum internasional”. Contohnya, seperti tentang tawanan, ekstradisi, perjanjian, pampasan perang, dan lainnya.
Demikianlah di antara bentuk-bentuk hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an. Dengan demikian, jelas bahwa Al-Qur’an itu mengandung dasar-dasar hukum dari semua bentuk hukum yang berkembang di dunia. Sebagian dari hukum itu penjelasannya sudah jelas dan diterangkan secara terperinci dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Sebagian lainnya diterangkan dalam Al-Qur’an tetapi secara umum dan dalam bentuk garis besarnya, sehingga memerlukan akal (nalar) manusia untuk merumuskannya dengan bahasa hukum.
8. Al-Qur’an sebagai Sumber Hukum Fiqh
Atas dasar bahwa hukum syara’ itu adalah kehendak Allah ten- tang tingkah laku manusia mukalaf, maka dapat dikatakan bahwa pembuat hukum (law giver) adalah Allah SWT.. Ketentuan-Nya itu terdapat dalam kumpulan wahyu-Nya yang disebut Al-Qur’an. Dengan demikian, ditetapkan bahwa Al-Qur’an itu sumber utama bagi hukum Islam, sekaligus juga sebagai dalil utama fiqh. Al-Qur’an itu membimbing dan memberikan petunjuk untuk menemukan hu- kum-hukum yang terkandung dalam sebagian ayat-ayatnya.
Karena kedudukan Al-Qur’an itu sebagai sumber utama dan pertama bagi penetapan hukum, maka bila seseorang ingin mene- mukan hukum untuk suatu kejadian, tindakan pertama yang harus ia lakukan adalah mencari jawaban penyelesaiannya dari Al-Qur’an. Selama hukumnya dapat diselesaikan dengan Al-Qur’an, maka ia tidak boleh mencari jawaban lain di luar Al-Qur’an.
Selain itu, sesuai dengan kedudukan Al-Qur’an sebagai sumber utama atau pokok hukum Islam, berarti Al-Qur’an itu menjadi sumber dari segala sumber hukum. Karena itu, jika akan menggunakan sumber hukum lain di luar Al-Qur’an, maka harus sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an dan tidak boleh melakukan sesuatu yang ber- tentangan dengan Al-Qur’an. Hal ini berarti bahwa sumber-sumber hukum selain Al-Qur’an tidak boleh menyalahi apa-apa yang telah ditetapkan Al-Qur’an.
Kekuatan hujah Al-Qur’an sebagai sumber dan dalil hukum fiqh terkandung dalam ayat Al-Qur’an yang menyuruh umat manusia mematuhi Allah. Hal ini disebutkan lebih dari 30 kali dalam Al-Qur’an. Perintah mematuhi Allah itu berarti perintah mengikuti apa-apa yang difirmankan-Nya dalam Al-Qur’an.
0 Comment