SOSIAL DAN BUDAYA MASYARAKAT ISLAM
A. Pendahuluan
M. M Siddiqi mengungkapkan
dalam bukunya berjudul the social sructure of indian muslims dalam intoduction-nya
“Islam being a perfect and positive religion provides for a comprehensive social system that covers the whole gamut of human life. Human life in the islamic perspective has profound meaning signified by man’s creation and his descent on the earth. He has been created by Allah the Almighty for his obedience and submission which is the sole objective of his life”[1]
Islam merupakan agama yang
sempurna dan positif, menyediakan sebuah sistem sosial yang kompleks melingkupi
semua aspek kehidupan manusia. Manusia dalam pandangan Islam mempunyai arti
penting tentang kreasi dan keberadaan manusia di dunia. Manusia diciptakan
Allah Yang Maha Kuasa dalam rangka semata-mata patuh dan tunduk dalam
kehidupannya.
Sosial merupakan hasil dari
sebuah interaksi dalam sebuah komunitas, dalam interaksi sesama manusia yang
menghasilkan sebuah norma dan kreasi itulah yang disebut dengan budaya yang
dilakukan secara kontiniu dalam sebuah komunitas baik berupa ide, pikiran,
hukum maupun teknologi. Merujuk
pernyataan Siddiqi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Islam merupakan
ideologi yang sangat komprehensif menjawab kebutuhan manusia dalam interaksi
kehidupan, secara tidak langsung mengatakan Islam urgen sekali dalam
nilai-nilai sosial masyarakat muslim dan secara tidak disadari akan menjadi
peletak batu pertama dalam pencetus dan pembentuk sebuah kebudayaan masyarakat
muslim dalam hal ini menjadi landasan dasar dalam berpikir, sudut pandang,
sikap, sifat, perangai, tingkah laku, hukum-hukum yang dibuat, pernyataan
bersifat legitimasi terhadap sebuah kasus baik tertulis maupun tidak tertulis.
Diperjelas
Barton M. Schatz “typically, culture is divided into subsidiary concepts
like, kinship and sosial organization, economics, religion, political organization,
and languange”[2],
lebih khas lagi budaya dibedakan menjadi beberapa konsep seperti kekeluargaan
dan organisasi sosial, ekonomi, agama, organisasi politik dan juga bahasa.
Artinya semua itu tidak lepas dari bagian budaya yang dibentuk dalam sebuah
komunitas tertentu. Islam menerangkan tentang konsep keluarga (nikah, mendidik
anak, pergaulan dalam berkeluarga, dll), dalam organisasi sosial politik,
bagaimana mengedepankan asas yang mengacu kepada nilai Islam mengutamakan
kemashlahatan bersama dan dalam koridor yang ditentukan, masalah dengan
ekonomi, bagaimana mengatur sistem ekonomi yang berbasis kebaikan bersama
(menghindarkan riba, jual beli yang terlarang dll) dan agama.
B. Budaya
Budaya
kadang dalam pemaknaan mengalami distorsi, melakukan pemangkasan dan
penyempitan makna, sehingga ada ungkapan “...ada masyarakat yang berbudaya dan
ada yang tidak...”, semua manusia yang hidup dalam komunitas dan masyarakat
tertentu sudah dipastikan adalah manusia berbudaya, karena inti dari budaya itu
adalah sebuah behavior dan believe yang mana itu berlaku menandakan
sebuah identitas suatu komunitas secara khas dan unik dipelajari[3].
Budaya merupakan hal yang mesti dipelajari
karena ini akan membedakan dengan bawaan secara biologis berupa genetik dan
insting yang ada dari lahir.
Mengerucutkan
tentang budaya dan kebudayaan sebuah hal yang penting dalam bahasan ini. Selo
Soemardjan[4]
memandang budaya adalah merupak akal budi manusia itu sendiri yang merupakan
sebuah proses yang berada dalam cipta, karsa dan rasa, sedangkan kebudayan
adalah hasil dari proses tadi sehingga melahirkan berbagai bentuk kebudayaan
yang dapat dinikmati dan menjadi simbol dalam komunitas tertentu. Cipta
merupakan keingintahuan manusia terhadap fenomena alam baik berupa lahir
ataupun batin yang melahirkan ilmu pengetahuan, sedangkan karsa erat hubungan
dengan kajian yang bersifat transendental, mengkaji hakikat diri yang
menghasikan norma agama dan believe (kepercayaan) sedangkan rasa
keinginan dalam menikmati keindahan yang hasilnya berupa seni. Ilmu
pengetahuan, norma dan kepercayaan dan hasil seni merupakan kebudayaan. E. B.
Tylor[5]
menekankan budaya merupakan pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral,
keilmuan, hukum, adat istiadat, dll. Hal ini sebenarnya sama secara substansi
dengan Soemardjan yang menekankan pada proses sedangkan Tylor sudah menyebutkan
hasil dari budaya (akal pikiran) yaitu kebudayaan.
Anthropologi
menyebut cultural universals yang berupa pandangan filosofis, nilai,
aturan, ilmu pengetahuan, ekonomi, sistem kekerabatan, pemerintahan dan hukum[6].
Semua tindak tanduk manusia selama berinteraksi (sosial) bersama dengan
agama yang diyakini melahirkan sosio-cultural yang komprehensif,
kadangkala antara agama dan budaya bisa tumpang tindih kalau tidak hati-hati
dalam memahami, budaya lahir dari akal manusia dan agama dari Tuhan, tetapi ada
juga kenyataan bahwa agama lahir dari budaya (akal budi) manusia. Dalam istilah
teologi disebut dengan agama ardhi (bumi) seperti Budha, Hindu,
Kong-Hu-Cu dll, semua itu lahir dari perenungan manusiawi. Sehingga bisa saja
agama-budaya bisa satu arah atau dua arah. Maksudnya agama yang melahirkan budaya atau
budaya yang melahirkan agama. Paradigma terakhir ini bahwa agama adalah hasil
kebudayaan dalam istilah Norbeck (1974:3)[7]
agama adalah human made, human creation.
C. Sosial
Sosial
merupakan interaksi dalam sebuah masyarakat komunitas. Sebagai makhluk
sosial manusia mempunyai kebutuhan untuk berinteraksi satu dengan yang lain
dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi secara individu. Dalam
kata lain bisa dikatakan dengan interaksi sosial yang bisa menimbulkan
pertukaran dan saling mempengaruhi satu dengan yang lain. Interaksi sosial yang
terjadi antar individu dalam sebuah komunitas atau individu tidak sesederhana
yang tampak tapi punya muatan yang kompleks dengan tingkat kerumitan tinggi.
Terjadi penyesuaian
diri dengan lingkungan sekitar individu, bisa peleburan dengan cara individu
beradaptasi dengan meleburkan diri dengan nilai dan norma yang berlaku atau
sebaliknya individu bisa mempengaruhi lingkungan sesuai dengan nilai dan norma
yang dia anut.
Kehidupan
sosial dalam hal peleburannya individu satu dengan yang lain bisa lewat, pertama:
imitasi, suatu proses peniruan yang dilakukan individu terhadap seseorang, yang
prosesnya tidak bisa secara langsung tapi punya faktor ketertarikan akan hal
yang diimitasi, sehingga dengan mudah melakukan proses imitasi, kedua:
ada peleburan sosial dalam interaksi sosial dengan cara sugesti yaitu merupakan
sikap menerima individu baik dari diri sendiri atau dari orang lain tanpa
melakukan perlawanan, kritik dan protes dari yang melakukan sugesti tersebut, ketiga;
identifikasi, Freud tokoh psikologi mengatakan seseorang akan melakukan identifikasi
(penyamaan) dengan orang yang dianggap bagus menurut dia, sehingga orang yang
diidentifikasi tersebut, semua norma dan nilai yang dianut sedapat mungkin
dicontoh, keempat: simpati, merupakan sikap tertarik terhadap sesuatu
yang mungkin kurang bisa dijelaskan secara detail apa penyebabnya, sehingga dia
akan tertarik dengan penuh emosi yang mendalam.
D. Masyarakat Islam
Kata
“masyarakat” dipakai orang dalam kehidupan sehari-hari yang kadangkala tumpang
tindih dengan pengertian komunitas dan rakyat.
Secara mudah diartikan masyarakat merupakan manusia yang berkelompok yang hidup
berdampingan bersama dalam sebuah pemukiman atau daerah dalam masa tertentu
yang mempunyai sistem sosial dan punya pandangan, keyakinan, pola pikir, sikap
dan perilaku yang serupa[8]
Ahmed
Husaini mengutip karya Muhammad Ali dalam The Holy Quran, Islam merupakan suatu
keadaan sehat atau tabi’at, berasal dari aslama yang mempunyai makna
berserah diri atau dia masuk dalam kedamaian. Hanya dengan kesadaran dan
kedamaian berserah diri seorang manusia bisa menemukan jalan dan arahan yang
mengantarkan mencapai dan menemukan jalan dan tujuan hidup[9].
Secara gamblang Islam diartikan seperti Tolstoi
mengatakan Islam merupakan ringkasan agama yang dikumandangkan Muhammad dan
menyatakan bahwa Allah itu satu, tiada tuhan selain Dia. Sehingga tidak
dibenarkan menyembah banyak Tuhan. Massignon mengartikan Islam merupakan agama yang memiliki keistimewaan, bahkan
Islam sebagai ide persamaan yang benar dengan partisipasi semua anggota
masyarakat. Umar Ibn Khatab mengatakan
Islam adalah agama yang diturunkan Allah kepada Muhammad Saw.
Agama ini meliputi: akidah, syariat, dan akhlak[10].
Penulis menggabungkan beberapa pendapat mengenai Islam mulai
dari pendapat yang mengedepankan perspektif Islam, perspektif budaya,
perspektif sosial, perspektif moral dan etika. Membahas Islam secara mendalam bukan kapasitas penulis
dalam konteks ini tetapi mencoba memperkenalkan Islam dalam sebuah tatanan
masyarakat dan sosio-kultural sesuai dengan pembahasan tulisan ini. Tolstoi
mengedepankan Islam adalah akidah monothieistik yang terkandung ungkapan akhlak
(meng-Esakan Allah SWT), Massignon menunjuk ke arah kehidupan sosial yang
tertata dengan kaidah-kaidah moralis, persamaan yang dapat kita ambil dengan
ungkapan Umar Ibn Khatab adalah Islam merupakan akhlak.
Tidak susah untuk menjelaskan Islam setelah membandingkan
beberapa pendapat di atas. Bahwa sepakat Islam merupakan agama yang fundamental
dalam masalah akhlak, tabiat, perangai dalam kehidupan sosio-kultural manusia.
Bukankah Nabi Muhammad Saw. diutus untuk menyempurnakan
dan memperbaiki tatanan nilai-nilai manusia kepada yang lebih manusiawi. Dalam
ungkapan lain menggambarkan betapa integralnya Islam dengan kehidupan manusia,
bahwa seorang muslim harus hablumminallah (vertikal) juga hablumminannas (horizontal). Kelayakan Islam sebagai
pembentuk sebuah masyarakat tidak perlu disangsikan untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan syarat sebuah masyarakat.
Arti menyeluruh masyarakat Islam adalah sekelompok manusia
yang mendiami suatu tempat dalam tempo waktu yang lama, hidup berdampingan dan
melakukan interaksi dan mempunyai pandangan, sikap, norma dan nilai yang
disepakati secara bersama keabsahannya untuk kebutuhan hidup sosial dalam
masyarakat tersebut. Karena mengacu kepada Islam, maka tentu norma, nilai,
pandangan dalam masyarakat tersebut berdasarkan nilai dan norma Islam, sehingga
segala bentuk produk budaya: hukum, undang-undang, norma yang tertulis maupun
yang tidak tertulis, kegiatan-kegiatan kerjasama, kesepakatan bersama yang
dianut dan diterapkan bersama adalah hasil cipta, karsa dan rasa yang diarahkan
dan dituntun secara sistematis oleh ajaran pokok Islam.
E. Sosial budaya masyarakat Islam
Kajian
sosial budaya Islam menyatu dengan proses agama Islam merambat ke penjuru dunia
dengan satu tuntunan al-Quran dan Hadits Nabi Muhammad Saw, namun setelah
melakukan eksvansi
ke daerah-daerah lain yang sebelum Islam masuk sudah memiliki ideal culture (budaya
yang telah disepakati secara resmi). Islam melakukan penataan ulang terhadap
budaya lama
tentu akan mengalami rintangan dan kesulitan yang kadang berakhir dengan
bermacam-macam paradigma, ada sinkretisme yaitu pencampuran nilai budaya lama dengan norma Islam yang
berlaku bahkan bisa ada penentangan disebabkan culture shock. Hal ini tentu perlu melakukan
akulturasi dengan budaya lama.
Mengingat setiap budaya lama
satu daerah dengan daerah yang lain punya background berbeda geografis,
ekonomis, cuaca, pandangan, paham, dll, akan lahir agama Islam yang telah
terakulturasi dengan budaya lama.
Akulturasi
budaya dan agama ini berpotensi melahirkan corak pengamalan yang berbeda satu
daerah dengan daerah lain. Bukan tidak mungkin tercampurnya budaya dengan agama
yang bisa saja bila diukur dengan patron asli akan jauh berbeda, ini hal yang
menjadikan perbedaan pandangan dalam sebuah pengamalan dalam agama Islam.
Istilah Islam ada yang namanya “bid’ah” merupakan sesuatu yang dianggap
baru dalam ibadah yang tidak ada tuntunannya dari Nabi Saw, namun sudah timbul
setelah terjadi proses akulturasi budaya, hal ini tidak musti disikapi secara
frontal.
Interaksi
manusia dengan yang lain dalam Islam sudah mempunyai panduan-panduan tertulis
dari al-Quran dan Nabi Saw, dapat dikatakan hubungan timbal balik manusia
(sosial) telah ada pedoman baku dari ajaran Islam. Allah SWT dalam surat al-Hujurat:
11-12,
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä w öyó¡o ×Pöqs% `ÏiB BQöqs% #Ó|¤tã br& (#qçRqä3t #Zöyz öNåk÷]ÏiB wur Öä!$|¡ÎS `ÏiB >ä!$|¡ÎpS #Ó|¤tã br& £`ä3t #Zöyz £`åk÷]ÏiB ( wur (#ÿrâÏJù=s? ö/ä3|¡àÿRr& wur (#rât/$uZs? É=»s)ø9F{$$Î/ ( }§ø©Î/ ãLôew$# ä-qÝ¡àÿø9$# y÷èt/ Ç`»yJM}$# 4 `tBur öN©9 ó=çGt y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqçHÍ>»©à9$# ÇÊÊÈ $pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qç7Ï^tGô_$# #ZÏWx. z`ÏiB Çd`©à9$# cÎ) uÙ÷èt/ Çd`©à9$# ÒOøOÎ) ( wur (#qÝ¡¡¡pgrB wur =tGøót Nä3àÒ÷è/ $³Ò÷èt/ 4 =Ïtär& óOà2ßtnr& br& @à2ù't zNóss9 ÏmÅzr& $\GøtB çnqßJçF÷dÌs3sù 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# 4 ¨bÎ) ©!$# Ò>#§qs? ×LìÏm§ ÇÊËÈ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki
merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik
dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya,
boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu
sendiri[11]dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk
panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman[12] dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang
zalim. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka
(kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa. dan janganlah
mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara
kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? maka tentulah kamu
merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Penerima taubat lagi Maha Penyayang.
Ayat dalam surat al-Hujurat di atas,
memberikan sumbangsih berupa tuntunan dalam pergaulan sosial, tuntunan yang
bagaimana idealnya manusia khususnya dalam hal ini orang yang beriman. Agar
interaksi umat Islam mencapai nilai-nilai tertinggi yang menjunjung tinggi
kemanusiaan harus memperlakukan saudara yang lain dengan perlakuan yang baik,
kalau bicara dengan hal-hal yang tidak menyakiti pendengarnya, tidak melakukan
fitnah dan gunjingan terhadap manusia lain.
Bagi komunitas muslim yang menjalankan
ajaran secara kontiniu satu dengan yang lain maka tercipta sebuah komunitas
yang punya nilai-nilai sosial yang Islami, tentu hal ini akan melahirkan sebuah
kebudayaan yang punya integritas dengan individu-individu dalam kelompoknya.
Terbentuknya ideal culture,
nilai-nilai Islam secara tidak sadar akan melakukan proses internalisasi
ke dalam individu yang berada dalam komunitas itu baik yang sudah lama maupun
individu yang baru beradaptasi dengan komunitas tersebut. Sehingga lahirlah
pedoman-pedoman komunikasi berupa verbal atau non-verbal,
kesenian-kesenian yang merujuk kepada tuntunan Islam yang telah terbudayakan,
hukum-hukum yang tertulis maupun tidak tertulis. Sesuai uraian terdahulu bahwa
kebudayaan merupakan produk yang terintegrasi secara komprehensif dari hasil
pola pikir (akal-budi) yang kita sebut dengan budaya yang sebelumnya mindset
itu sedemikian rupa telah diarahkan oleh Islam (agama). Kesenian, ucapan,
sapaan, komunikasi, hukum, sikap, tindakan, hal-hal yang telah disepakati
bersama baik fisik atau non-fisik merupakan sebuah kebudayaan yang telah
dihasilkan oleh Islam.
Urgensi mempelajari, mengetahui, dan
memahami konteks sosial budaya Islam tidak terlepas akan pentingnya memahami
Islam itu sendiri. Kalau kita bicara Islam dan ajarannya sama pentingnya kita
membicarakan sosial budaya masyarakat itu sendiri, bukan berarti kita menyamakan
antara ajaran Islam dengan sosial budaya masyaraat Islam, karena perlu
ditegaskan bedanya jelas mana yang ajaran Islam dan mana sosial budaya
masyarakat Islam.
Secara Anthropologis bahwa manusia sudah hidup di berbagai
belahan dunia menciptakan life style berbeda yang mana itu merupakan
bentuk pertahanan diri terhadap kehidupan biologis dan sosial mereka. Iklim,
topografi, cuaca, geografi, musim dan latarbelakang sejarah telah membentuk
pola kebudayaan yang bermacam ragam di seluruh dunia. Pengembangan masyarakat Islam
dalam melihat metode dan sasaran seharusnya memahami konteks sosio-kultural mad’u,
agar mudah melakukan penetrasi ke dalam sistem budaya tertentu, sehingga
memudahkan melakukan perubahan dan gerakan memberdayakan mad’u.
Kerukunan hidup beragama dalam kehidupan
khusunya bangsa Indonesia yang banyak etnis, ras, budaya tidak bisa terbina
dengan baik andai kata satu dengan yang lain tidak bisa melakukan pemahaman.
Sudah banyak unsur SARA yang terjadi di Indonesia, yang umumnya dipicu oleh
tidak tolerannya dalam memahami konteks budaya masing-masing agama, sehingga
kekerasan seakan menjadi solusi dalam menyelesaikannya. Hal ini penulis anggap
terlalu prematur sebagai solusi. Sosial budaya masyarakat Islam di Arab, UK,
USA, Indonesia, Malaysia, India dan negara lain, akan dijumpai perbedaannya
yang sangat mendasar setidaknya dalam hal muamalah, sedikit dalam hal akidah.
Contohnya ajaran Islam mengajarkan saling tenggang rasa, saling menghormati,
mengucapkan kata yang baik, perilaku sopan, santun, ramah. Dalam hal
mengekpresikan ajaran tadi karena punya backround yang berbeda, maka
bisa saja dalam budaya Arab menyentuh bagian kepala adalah penghormatan seperti
memegang jenggot. Ini merupakan sebuah komunikasi non-verbal dalam konteks
sosial budaya Arab adalah menghormati, tetapi berbeda di Indonesia menyentuh
bagian kepala bukanlah penghormatan, tetapi malah kadang mengartikan sebuah
penghinaan, sedangkan di Arab menyentuh bagian pantat merupakan penghinaan yang
besar, dibandingkan di Indonesia sesama laki-laki biasa saja menepuk atau
memukul pantat teman dalam bercanda (setidaknya bukan merupakan penghinaan
seperti yang dipahami dalam sosial budaya orang Arab).
Pentingnya juga memahami sosial budaya
masyarakat Islam karena dunia sudah semakin terbuka, semakin cepat diakses yang
sebelumnya tidak, pembauran antar buadya sudah menjadi sebuah keharusan, karena
teknologi sudah memberikan kemudahan dalam hal itu, ini berguna bagi umat Islam
yang berbeda budaya dalam menjalin interaksi sosial, atau juga bagi da’i
yang menghadapi mad’u yang punya sosio-kultur yang berbeda. Masyarakat
Islam modern disuguhkan dengan berbagai tantangan sehubungan dengan globalisasi.
Kembali ke ajaran Islam adalah sebuah
keniscayaan, tetapi memahami dan mentolerir sosial budaya Islam adalah sebuah
yang tidak bisa disepelekan selama sosial budaya itu tidak menyentuh masalah
pokok atau mengurangi esensi nilai-nilai Islam. Kalau merujuk ke belakang, budaya
Islam sudah muncul pada abad ke-16 M. Berhubung Islam muncul di Arab maka tidak
bisa dipungkiri dalam mengekspresikan ajaran Islam banyak terakulturasi dengan
budaya Arab sebelum Islam datang. Akulturasi hanya dalam hal ekspresi saja bukan
dalam masalah esensi, karena Islam tidak bisa mentolerir keberadaan budaya yang
bertentangan dengan ajaran pokok Islam, karena Islam bukanlah agama budaya
melainkan Islam yang akan membentuk budaya dan peradaban. Ini perlu ditekankan
untuk memperjelas antara ajaran Islam dan budaya yang dimasukinya.
[1] F.R Faridi. M.M Siddiqi. The
Social Culture Of Indians Muslims. Institute of Objective Studies New Delhi
110025. 1992. New Delhi: h.2
[2] Barton M. Schartz. Robert H. Ewald. Culture and Society.
-----------. 1968. California: h. 54
[3] Bruce J. Cohen. Sosiologi
(Suatu Pangantar). Rineka Cipta. Jakarta: h.49
[4] Elly M. Setiadi. Kamal Abdul
Hakam. Ridwan Effendi. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Kencana. Jakarta:
h. 28
[5] Elly M. Setiadi. Kamal Abdul
Hakam. Ridwan Effendi. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Kencana. Jakarta:
h. 27
[6] Bustanuddin Agus. Sosiologi
Agama. Universitas Andalas. Padang: h. 129
[7] Bustanuddin Agus. Sosiologi
Agama. Universitas Andalas. Padang: h. 130
[8] Bruce J. Cohen. Sosiologi
(Suatu Pangantar). Rineka Cipta. Jakarta: h.49
[9] S. Waqar Ahmed Husaini.
Sistem Rekayasa Sosial Dalam Islam. PTN IAIN Jakarta. Jakarta: h.1
[10] http://www.islambisa.web.id/17/09/2012.
[11] Jangan mencela dirimu sendiri
Maksudnya ialah mencela antara sesama mukmin karena orang-orang mukmin seperti
satu tubuh.
[12] Panggilan yang buruk ialah
gelar yang tidak disukai oleh orang yang digelari, seperti panggilan kepada
orang yang sudah beriman, dengan panggilan seperti: Hai fasik, Hai kafir dan
sebagainya.
0 Comment