PERKEMBANGAN AKTIVITAS DAKWAH DALAM ALQUR’AN
A.
Pendahuluan
Aktivitas dakwah di dalam al-Qur’an membicarakan seputar
pemanggilan atau ajakan umat manusia di seluruh dunia ke jalan Allah dengan
penuh kebijaksanaan dan petunjuk yang baik dan berdiskusi dengan mad’unya
dengan cara yang sebaik-baiknya.
Perkembangan
aktivitas dakwah dalam al-Qur’an dipandang sebagai proses komunikasi dan proses
sosial. Dakwah sebagai komunikasi, karena pada tingkat individu (objek)
kegiatan dakwah tidak lain adalah suatu kegiatan komunikasi, yaitu kegiatan
penyampaian pesan dari komunikator (da’i atau subjek dakwah, pelaku dakwah)
kepada komunikan (ojek dakwah, mad’u, penerima dakwah) melalui media tertentu
agar terjadi perubahan pada diri komunikan.
Perubahan yang terjadi pada mad’u bisa saja dari segi pengetahuan (pemahaman), sikap (attitude), dan tindakan individu (behavior), yang menyangkut aspek aqidah (keimanan, akhlak).
B. Perkembangan
Aktivitas Dakwah dari Masa ke Masa
- Dakwah Sebelum Islam
Aktivitas dakwah sudah dimulai semenjak nabi Nuh as. dan diakhiri dengan dakwah nabi Isa as[1]. Dimulainya sejarah dakwah nabi Nuh as. Rasul menjelaskan al-Qur’an tentang dakwah dan risalahnya, sebagaimana firman Allah dalam surat al-A’raf ayat 59 yang berbunyi:
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata: "Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya." Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat). (QS. Al-A’raf 59)
Sebelum Rasulullah diutus untuk menyampaikan ajaran Islam (perintah untuk berdakwah), Allah telah memerintahkan kepada para Nabi utusannya untuk menyampaikan ajaran Tauhid ini untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan dan kebodohan serta keterbelakangan.
2. Dakwah
Pada Masa Rasulullah SAW
- Periode Makkah
Periode
dakwah pada masa Rasul dibagi ke dalam Zaman Makkah dan Zaman Madinah. Zaman
Makkah disebut juga “periode pembinaan Kerajaan Allah dalam hati manusia”,
sementara Zaman Madinah disebut “periode pembinaan kerajaan Allah dalam
masyarakat manusia”.
Menurut ahli
sejarah Amin Said[2],
bahwa dakwah Zaman Makkah dibagi kepada empat periode, yaitu:
1. Periode
Rumah Tangga
Periode
pertama ini, yang dinamakan periode rumah tangga berlalu tiga tahun lamanya, di
mana dalam masa itu Rasul menjalankan dakwahnya dengan diam-diam, hanya dengan memberi
pelajaran dan petunjuk mengusahakan pengikut dengan jalan memberi pelajaran
yang baik dan memuaskan.
Dalam periode
yang pertama ini, telah masuk Islam isteri Rasul sendiri saiyidah Khadijah, Ali
bin Abu Thalib, Zaid bin Haritsah, dan Abu Bakar Shiddiq. Dengan dakwah Abu
Bakar, maka Islam pulalah Usman bin Affan, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin
Auf, Sa’ad bin Abi Waqqas, dan Talhah bin Ubaidillah.
Menurut DR.
Hasan Ibrahim Hasan, bahwa jejak mereka tersebut di atasdiikuti pula oleh
beberapa pemuka Quraisy lainnya, seperti Abu Ubaidah bin Jarrah, Arqam bin Abi
Arqam yang kemudian menyediakan rumahnya menjadi markas dakwah dalam rahasia,
rumah yang terletak di atas Bukit Safa. Periode di mana Rasul menjalankan
dakwah dalam rumah ini, dipandang sebagai periode yang sangat penting dalam
sejarah dakwah, sehingga kebanyakan kaum muslimin yang mencatat masuknya mereka
ke dalam Islam hari-hari itu, di mana Rasul mengembangkan dakwahnya dari Darul
Arqam, dan periode ini juga dinamakan periode dakwah pribadi, karena Rasul
mendakwahkan mereka itu, seorang demi seorang.[3]
2. Periode
Keluarga
Dalam periode ini Rasul disuruh menyampaikan dakwah kepada keluarganya yang terdekat, dan jangan menghiraukan ancaman dan penghinaan musyrik Quraisy. Sebagaimana firman Allah yang terdapat dalam surat Asy-syu’ara ayat 214-216
“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat, dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang jika mereka mendurhakaimu Maka Katakanlah: "Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu kerjakan"; ( Q.S. Asy-Syu’ara: 214-216)
Setelah
datang perintah Allah itu, maka naiklah Muhammad ke Bukit Safa, seraya menyeru:
“ wahai kaum Quraisy!”
Maka berkumpullah mereka di Bukit Safa. Kemudian terus Rasul mendakwahkan masuk Islam. Di antara mereka ada menerima dakwahnya itu, dan kebanyakan mereka menolak, bahkan mengejek dan mengancam lagi. Walaupun demikian, semangat Muhammad tidak menjadi lemah, bahkan tambah membaja, sehingga berpindahlah dakwahnya dari periode keluarga ke periode ketiga, yaitu periode konfrontasi.
3. Periode
Konfrontasi
Dalam masa periode konfrontasi ini, Rasul menandakan dakwahnya dengan terus terang dan blak-blakkan, tanpa menghiraukan penghinaan dan ancaman. Nabi keluar menjalankan dakwahnya ke segala tempat, ke Ka’bah, ke tempat-tempat orang Quraisy berkumpul, pada musim hari raya, pada setiap kesempatan, mengajak mereka memeluk agama Allah, Agama Tauhid. Maka berkembanglah dakwahnya dan banyaklah pengikutnya, sehingga menyebabkan kaum Quraisy bertindak keras dan kejam.
4.
Periode Kekuatan
Pada akhir
periode ke tiga, yaitu dalam tahun ke delapan Hijriyah, masuklah ke dalam Islam
Hamzah dan Umar bin Khattab, keduanya adalah pahlawan-pahlawan Quraisy,
sehingga dengan sebab masuknya mereka ke dalam Islam, barisan kaum muslimin
menjadi kuat dan dengan demikian masuklah dakwah Islamiyah ke dalam periode
keempat yaitu periode kekuatan.
Dalam
permulaan periode keempat ini, yaitu dalam tahun kedelapan Hijriyah, kaum
muslimin untuk pertama kalinya melakukan ibadah shalat dengan terang-terangan
di dalam Ka’bah, sementara sebelum itu mereka melakukan shalat dengan
sembunyi-sembunyi.
Selama dakwah
memasuki periode empat, kaum Quraisy pun bertambah ganas dan kejam, sehingga
dalam masa itu telah terjadi berbagai peristiwa dalam perjalanan dakwah
Islamiyyah[4],
diantaranya:
1.
Abdullah bin Mas’ud adalah orang yang mula-mula
memperdengarkan bacaan al-Qur’an secara terang-terangan kepada musyrik Quraisy.
2.
Para pemuka Quraisy mengusulkan kepada Abi Thalib serta
berunding dengannya agar kemenakannya Muhammad menghentikan dakwahnya, dan
mereka bersedia memberi kepada Muhammad apa saja yang dikehendakinya, hatta
pengangkatan menjadi raja. Perundingan demikian terjadi tiga kali. Tetapi,
Muhammad selalu menolak, bahkan semakin teguh pendiriannya.
3.
Setelah tidak berhasil membujuk, kaum Quraisy menganiaya
dengan kejam sekali para pengikut Muhammad.
4. Dalam bulan Rajab tahun kelima setelah kerasulan,
terjadi Hijrah pertama ke Habsyah
5. Beberapa
tahun kemudian terjadi Hijrah kedua ke Habsyah.
6.
Pemboikotan total kaum Quraisy kepada Rasul dan Para
pengikutnya, yang berlangsung salama tiga tahun.
7.
Tahun 660 M wafat pamannya Abu Thalib, dan dalam tahun
ini wafat pula isterinya Khadijah.
8.
Perjalanan Nabi ke Thaif untuk melaksanakan dakwah
9. Tahun 661 M terjadi peristiwa Isra’ Mi’raj, dan diperintahkan shalat lima kali sehari semalam.
Menjelang datangnya
izin Hijrah, terjadilah dua paket rahasia di Bukit Aqabah di luar kota Makkah.
Paket rahasia ini terjadi antara Rasul dengan pemuka suku Khazraj dan Auwas
yang datang dari Yastrib, yang kemudian paket rahasia itu terkenal dengan
“Bai’ah Aqabah”, yang terjadi di Bukit Aqabah dua tahun berturut-turut dalam
musim haji.
Dengan
terjadinya paket rahasia di Bukit Aqabah, terbukalah pintu Yastrib bagi dakwah
Islamiyah. Dalam Bai’ah Aqbah itu, para utusan yang datang dari Yastrib itu menyatakan suatu ikrar, bahwa mereka akan
membela Rasul seperti halnya mereka membela diri mereka sendiri, seperti mereka
membela anak dan isteri mereka sendiri, seperti
seperti halnya membela sanak keluarga-nya dan harta bendanya. Tegasnya
mereka rela mati untuk membela Islam dan Rasul-Nya.
Selesai paket Aqabah kedua, lantas mereka mengundang Rasul untuk Hijrah ke Yastrib. Setelah para pemuka Quraisy mengetahui adanya paket rahasia, dalam mana mereka mengambil keputusan untuk membunuh Rasul pada suatu malam yang telah ditetapkan, yaitu pada awal bulan Rabiul Awal yang akan datang, yang kemudian rencana pembunuhan rahasia mereka itu disampaikan Malaikat Jibril kepada Rasul, sehingga gagallah maksud jahat mereka, karena pada malam yang dimaksud itu Rasul dengan segala daya yang luar biasa meninggalkan Mekkah menuju Yastrib.[5]
- Periode Madinah
Periode Madinah sebagaimana telah disebut terdahulu
disebut juga dengan “periode pembinaan kerajaan Allah dalam masyarakat
manusia”. Dakwah Islamiyah dalam periode Madinah telah membuat sejarah yang
tersendiri, sebagai lanjutan dari periode Makkah. Pada periode Madinah ini,
dakwah Islamiyah telah membentuk dirinya menjadi satu kekuatan nyata yang hebat
sekali, di mana kaum muslimin di bawah pimpinan nabi Muhammad SAW merupakan Ansharullah,
tentara Allah yang melaksanakan dakwah Islamiyah dalam arti seluas kata.
Pada periode
Madinah ini ada beberapa peristiwa penting yang terjadi elama perjalalanan
dakwah Islamiyah:
- Peristiwa Hijrah
Pada tanggal 1 Rabiul Awal adalah tahun pertama
Hijrah yaitu pemindahan pusat kegiatan dakwah Rasulullah, yang sebelumnya
Rasulullah telah melakukan persiapan lebih kurang selama dua bulan. Peristiwa ini terjadi setelah kaum
Quraisy merasa terdesak oleh dakwah Muhammad, maka Allh memerintahkan Muhammad
untuk berhijrah. Nabi Muhammad ditemani oleh Abu Bakar.
- Jum’at Pertama
Sehingga
tanggal 12 Rabiul Awal adalah tahun pertama Hijriyah (16 September 622)
sampailah Rasulullah di Quba, kira-kira tiga kilometer dari Yastrib, di mana
beliau mendirikan masjid Quba yang dibina atas azas taqwa. Pada tanggal 16
Rabiul Awal tahun pertama Hijriyah (20 September 622) Rasul meninggalkan Quba
menuju Yastrib, yang kemudian menjadi markas besar dakwah Islamiyah dan namanya
diubah menjadi Madinah Rasul. Tanggal tersebut harinya hari Jum’at, sehingga
sebelum sampai ke Yastrib, pada suatu tempat yang bernama Bani salim, datanglah
waktu Zuhur. Pada waktu itulah, Nabi mendapat perintah untuk mendirikan shalat
Jum’at, sebagai Shalat Jum’at pertama dalam Islam. Hal ini sebagai isyarat
bahwa telah datang masanya untuk mendirikan Daulah Islamiyah untuk membangun
umat Islam mendahului Shalat Jum’at, Nabi mengucapkan sebuah khutbah kemudian menjadi “Sunnah” bahwa khutbah
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari shalat Jum’at. Khutbah Jum’at Rasul
yang pertama itu, yang dipandang oleh para ahli politik sebagai proklamasi
berdirinya Negara Islam. [6]
- Masjid Pusat kegiatan
Setibanya
Rasul di Kota Yastrib pada sore hari Jum’at tanggal 16 Rabiul Awal tahun
pertama Hijriyah (20 September 622 M) terus dimulai dengan membangun sebuah
masjid untuk pusat ibadah, pusat pemerintahan, pusat segala kegiatan umat,
tegasnya untuk markas besar Daulah Islamiyah yang baru diproklamirkannya.
Masjid yang
dibangun pada mulanya sangat sederhana ini, mempunyai fungsi yang sangat
penting dalam perjalanan sejarah dakwah Islamiyah, karena di sanalah
direncanakan segala usaha pelaksanaan dakwah Islamiyah dan dari sana pulalah dikeluarkan komando
dakwah, dan di dalamnya pulalah digodok dan dilatih para kader Dakwah
Islamiyah.
·
Manifesto Politik
Setelah Rasul
selesai menyusun pemerintahan, maka dikeluarkanlah suatu pernyataan politik
sebagai manifesto politik yang pertama dalam Islam yang dikeluarkan dari Mesjid
Madinah al-Munawarah. Manifesto merupakan dokumen penting, secara umum sifatnya
mengikat suatu perjanjian antara kaum muslimin dengan orang-orang Yahudi dan
Musyrikin. Karena yang menjadi warga negara kota Madinah:
1.
Orang-orang Muhajirin, yaitu mereka yang Hijrah
dari Mekkah ke Madinah karena keyakinan agamanya.
2.
Orang-orang Anshar, yaitu penduduk Madinah asli
yang masuk Islam terdiri dari kaum Khazraj dan kaum Auwas.
3.
Orang-orang Yahudi yang mendiami Madinah dan
sekitarnya.
4.
Dan sedikit orang-orang Musyrik Arab yang belum
Islam.
Di antara
kewajiban yang harus dijalankan baik kaum Muslim, Musyrik, dan Yahudi antara
lain:
·
Kehidupan Ekonomi, dalam dokumen itu menentukan keharusan
orang kaya membantu dan membayar hutang orang miskin.
·
Kehidupan sosial, dokumen menetapkan kewajiban memelihara
kehormatan tetangga jaminan keselamatan harta dan jiwa bagi segenap penduduk,
kepastian pelaksanaan hukum bagi yang bersalah, dan di depan pengadilan tidak
ada perbedaan antara siapapun.
·
Kehidupan politik dan kehidupan militer dokumen
menentukan kepemimpinan (za’amah) Muhammad bagi seluruh penduduk
Madinah, baik Muslim, Yahudi, dan Musyrikin. Dengan demikian Muhammad menjadi
Panglima tertinggi di Madinah. Keharusan bergotong royong melawan musuh dari
luar, sehingga penduduk Madinah tersusun dalam satu barisan dan satu tujuan.
Kemudian tidak boleh sekali-kali membantu musyrikin Madinah dan Yahudi membantu
musyrikin Makkah baik dengan jiwa ataupun dengan harta dan menjadi kewajiban
bagi kaum Yahudi untuk membantu belajar
perang selama kaum muslimin berperang.
Dengan
dokumen Manifesto politik ini Rasul telah berhasil menyatukan seluruh penduduk
Madinah yang berbeda agama dan turunan darah untuk menghadapi musuh.[7]
- Persaudaraan Muhajirin dan
Anshar
Ukhuwah
Islamiyanh yang di bangun oleh Nabi di Madinah seperti termaktub dalam surat
al-Hujurat (49) ayat 10 yang berbunyi:
$yJ¯RÎ) tbqãZÏB÷sßJø9$# ×ouq÷zÎ) (#qßsÎ=ô¹r'sù tû÷üt/ ö/ä3÷uqyzr& 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ÷/ä3ª=yès9 tbqçHxqöè?
“orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat. )QS. al-Hujurat (49): 10)
Sebagai
langkah pertama dalam usaha pembinaan persaudaraan Islam dan persatuan atas
prinsip agama, maka Rasul mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan kaum
Anshar , yang berbeda suku, berbeda adat istiadat, sehingga peristiwa tersebut
merupakan suatu kewajiban yang belum pernah diimpikan oleh manusia sebelum itu.
Persaudaraan
itu telah membantu Rasul untuk mempersatukan Arab, dan leburlah di dalamnya
perbedaan bangsa yang telah memecahkan persatuan Arab.
- Khutbah Arafah yang Penting
Pada tanggal
25 Zukaidah 10 Hijriyah, Rasul bersama para sahabat melalaksanakan ibadah
haji. Dalam bulan Zulhijjah tahun 10
Hijriyah (Maret 632 M) Rasul mengucapkan satu khutbah yang amat penting
di Bukit Rahmat[8]
di Arafah, yang kemudian khutbah tersebut terkenal dengan sebutan Khutbah
Wada’, pidato pamitan dengan Makkah, karena sekembalinya ke Madinah Nabi
wafat.
Khutbah itu dianggap sebagai suatu “pernyataan politik” terakhir dari Rasul itu, yang berisikan tentang aqidah dan ibadah, masalah politik dan sosial ekonomi, di mana Rasul menegaskan dalam khutbahnya itu, bahwa semua manusia sama derajatnya di sisi Allah, kehormatan manusia tidak boleh diperkosa, kebebasan beragama dan menganut keyakinan, modal harus dibebaskan dari riba.
- Dakwah Islamiyah pada Masa
Khulafa ur-Rasyiddin
1. Abu
Bakar
Setelah
bai’at pelantikan, khalifah Abu Bakar terus mengucapkan sebuah pidato
pelantikan yang menggariskan politik kebijaksanaannya dalam memimpin umat Islam.
Setelah memuji Allah kemudian beliau mengucapkan shalawat kepada Rasul. Pidato
bai’at Abu bakar itu membentangkan dengan jelas garis politik yang akan
dijalankannya. Dijelaskannya kewajiban dan hak rakyat, di samping adanya
jaminan kebebasan mengeluarkan pendapat. Ditegaskannya bahwa kekuatan orang
zalim tidak akan dapat menghambatnya dalam menjalankan keadilan, dan ketaatan
kepada Allah adalah syarat dari kepatuhan rakyat.
2. Umar
bin Khattab
Selesai
pelantikannya sebagai khalifah, setelah wafat Abu Bakar, maka dalam pidato yang
amat singkat Umar telah membentangkan garis politiknya yang mempunyai daya
jangkau yang sangat jauh. Satu garis kebijakan yang amat baik bagi umat Islam
di masanya, karena mereka sangat patuh. Apa yang diperintah dikerjakannya, dan
apa yang dilarang ditinggalkannya. Karena itu, tanggung jawab yang besar terletak pada pemimpinnya, yang
berkewajiban membimbing mereka ke jalan yang benar.
3. Usman
bin Affan
Seperti
halnya dengan khalifah terdahulu, pada awal pelantikannya Usman mengucapkan
pidato bai’at dan membentangkank garis politik kebijakannya, yang kira-kira
isinya seperti ini “berkaca kepada masa lalu kalau ada yang jelek maka
tinggalkan atau perbaiki, dan kalau ada yang baik maka itu harus dipertahankan”.
4. Ali
bin Abu Thalib
Inti dari garis politik pemerintahan Ali, yaitu hendak mengembalikan umat seperti pada zaman Rasul, di mana orang bekerja dan berjihad semata-mat hanya karena Allah
- Dakwah Islamiyah Pada Masa
Daulah Amawiyah
Daulah Amawiyah berkuasa dari tahun 41-132 H
(661-750 M) dengan khalifah pertamanya Mu’awiyah bin Abu Sufyan, dan khalifah penutupnya
Marwan Sani, telah menampilkan hal-hal yang positif dan negatif dalam
perjalanan dakwah.
1) Perluasan
wilayah
Perluasan
wilayah yang dilakukan pada masa Daulah Amawiyah karena adanya ancaman yang
akan membahayakan dakwah Islamiyah dari kerajaan Romawi Timur dan Kerajaan
Persia, untuk itu para penguasa Amawiyah mengambil langkah penyelamatan dan
pengamanan, karena luasnya wilayah kekuasaan Daulah Amawiyah. Perluasan wilayah
tersebut diantaranya:
·
Asia Kecil
Daulah
Amawiyah mengambil Damaskus sebagai Ibukota sekaligus sebagai pusat kegiatan
dakwah, maka perjuangan dakwah di Asia Kecil menjadi sangat penting, karena
kerajaan Romawi Timur (Byzantium) dapat dikuasai sehingga dakwah Islam dapat
berkembang dengan sangat pesat di sana. Ini terjadi baik pada masa Khalifah
Muawiyah maupun pada masa khalifah sesudahnya. Jadi, daerah yang begitu luas
dapat dikuasai oleh Angkatan Perang Islam dari Daulah Amawiyah, terkecuali
ibukota Kostantinopel tidak dapat dikuasainya.
·
Afrika Utara
Sebagian
daerah Afrika Utara telah dikuasai semenjak masa Khulafaur Rasyidin. Walaupun
bagitu pada masa Daulah Amawiyah pengembangan dakwah Islam di sana tetap
dilanjutkan dan disempurnakan, sehingga Afrika sebagai arena kegiatan dakwah
yang berpusat di ibukota Kairawan, juga sebagai persiapan pengembangan dakwah
Islam ke Andalusia. Pengembangan dakwah Islam ke Andalusia ini dilakukan oleh
Thariq bin Ziyad[9].
·
Medan Timur
Pada masa
Khulafaur Rasyidin dakwah Islam telah sampai ke Kerajaan Persia, yang selalu
terancam oleh kekuatan-kekuatan kafir yang berkuasa Timur, yaitu daerah-daerah
Seberang Sungai[10]
dan daerah Sind.[11]
Daerah Sind yaitu negeri yang melingkari Sungai Sind (Indus), yang membentang
dari Iran di sebelah Barat, sampai di Pegunungan Himalaya di timur laut. Negeri
Sind adalah sebagian negara Pakistan sekarang.[12]
·
Percobaan Penaklukan Cina
Pada awal abad ke Tujuh Masehi perdagangan antara Cina dan Persia serta negeri-negeri Arab, adalah pasaran utama bagi para pedagang Cina. Tetapi ketika Firus[13] diminta untuk menaklukkan Persia dia menolaknya dengan alasan wilayah Persia terlalu luas jadi sulit untuk dijangkau dan sukar untuk dicapai tentara.
1. Retaknya
Pendukung Dakwah
Setelah
terbunuhnya khalifah Usman, keretakan semakin parah menggerogoti batang tubuh
Daulah Islamiyah sebagai pendukung Dakwah Islam dan semakin menjadi-jadi pada
masa khalifah Ali bin Abu Thalib, samapai ke Daulah Amawiyah. Sehingga
melahirkan berbagai partai-partai, diantaranya;
a. Partai
Khawarij
Lahirnya
Khawarij baik sebagai aliran maupun
sebagai partai politik. Ini bermula dari pertentangan yang terjadi pada masa
pemerintahan Ali bin Abu Thalib dengan pengikut Mu’awiyah bin Abu Sofyan. Dalam
politik khawarij berpendirian bahwa khalifah haruslah dipilih di antara kaum
muslimin siapa yang memenuhi syarat-syarat, dan tiap-tiap orang Islam berhak
menjadi khalifah asal memenuhi syarat.
b. Partai Syi’ah
Syi’ah baik
sebagai aliran maupun sebagai partai muncul karena ada sekelompok orang Islam
yang memihak kepada Ali dan berjuang untuk Ali, partai Syi’ah ini merupakan
ancaman yang tidak lebih berbahaya dari partai Khawarij bagi Amawiy, karena
Syi’ah ini lebih fanatik.
c. Partai
Zubair
Partai Zubair
muncul ketika terjadinya fitnah yang mengakibatkan terbunuhnya khalifah Usman.
Kemudian Zubair memproklamirkan dirinya sebagai khalifah yang bertujuan untuk
merebut kursi khilafah untuk turunan Zubair.
d. Partai
Murji’ah
Murji’ah baik
sebagai aliran maupun sebagai partai politik dibentuk oleh Daulah Amawiyah yang
bertujuan untuk mendukungnya. Seiring berjalannya waktu, Murji’ah ini hilang bersamaan dengan berakhirnya
dinasti Amawiyah.
e. Mu’tazilah
Mu’tazilah baik sebagai aliran maupun sebagai partai muncul dari adanya ahli pikir Islam yang mempunyai pikiran bebas. Mereka pada mulanya bergerak di bidang filsafat, kemudian berubah menjadi partai politik yang bercita-cita politik.
3.
Pembinaan dan Pengembangan Ilmu
Dakwah
Islamiyah yang berlandaskan ilmu pengetahuan, pada masa daulah Amawiyah telah
menemukan jalan lempang ke araha pengembangan dan perluasan bidang-bidang ilmu
itu sendiri, dengan bahasa Arab sebagai media utamanya. Diantara
pengembangan-pengembangan ilmu tersebut antara lain:
a.
Perluasan bahasa Arab. Para penguasa Daulah Amawiyah yang telah menjadikan
Islam sebagai Daulah (negara), kemudian dikembangkannya bahasa Arab dalam
wilayah kerajaan Islam dengan menjadikan bahasa sebagai bahasa resmi dalam
usaha tata negara dan pemerintahan. Sehingga pembukuan dan surat-surat harus
dilakukan dalam bahasa Arab. Begitulah cara Daulah Amawiyah mengembangkan
dakwah Islam. Dengan sikap Arabisasinya yang positif, sehingga dalam perjalanan
sejarah yang relatif pendek Mesir dan Syam telah menjadi negeri Arab, sama juga
dengan negeri-negeri yang ada di Afrika Utara.
b.
Marbad Pusat Kegiatan Ilmu. Dalam usaha pengembangan ilmu
Daulah Amawiyah mendirikan sebuah kota kecil sebagai pusat kegiatan ilmu
pengetahuan dan kebudayaan yang disebut dengan Marbad (kota satelit dari
Damaskus). Di kota inilah berkumpul para pujangga, filosof, ulama, dan penyair
yang dikenal dengan ‘Ukadhnya Islam.
c.
Ilmu Qira’at. Adalah ilmu tertua yang sudah ada semenjak masa
Khulafaur Rasyidin. Pada masa ini ilmu Qira’at dikembangkan dan menjadi satu
cabang ilmu yang sangat penting. Pengembangan ilmu Qira’at ini dipandang
sebagai suatu ilmu yang penting dalam usaha pengembangan dakwah Islam.
d.
Ilmu Tafsir. Al-Qur’an adalah berbahasa Arab, maka pengembangan ilmu
tafsir pada masa Daulah Amawiyah ini menjadi penting, karenanya banyak para
Qurra dan para ahli tafsir menjadi tempat bertanya dalam masalah hukum, bahkan
banyak di antara mereka yang menjadi ahli hukum.
e.
Ilmu Hadis. Ilmu ini berdiri sendiri, karena adanya usaha
pengumpulan hadis kemudian menyelidiki asal usulnya, kemudian ilmu ini
dikembangkan sehingga disebut juga ‘Ulumul Hadis.
f.
Ilmu Fiqh. Al-Qur’an dan Hadis adalah azas dari Fiqh Islam. Ilmu
ini juga berdiri sendiri. Banyak dari para Fuqaha’ yang menyelidiki ayat dan
hadis yang berkenaan dengan hukum dan syariat Islam, sehingga berkembang ilmu
yang disebut dengan Ushul Fiqh.
g.
Ilmu Nahwu. Ilmu ini dikembangkan karena semakin banyaknya
orang-orang ‘Ajam (non Arab) yang masuk Islam dan mereka berkeinginan untuk
mempelajari bahasa Arab karena Al-Qur’an berbahasa Arab. Ilmu ini juga berdiri
sendiri dan menjadi salah satu cabang ilmu yang penting untuk pembinaan dan
pengembangan dakwah Islamiyah.
h.
Ilmu Jughrafi (ilmu bumi) dan Tarikh. Ilmu ini berkembang karena
pengembangan ke daerah-daerah yang sangat luas dan jauh, sehingga ilmu ini
diperlukan untuk mengetahui keadaan suatu wilayah pengembangan Islam yang baru.
i.
Usaha Penerjemahan. Ini dimulai karena banyaknya buku-buku berbahasa Asing
sehingga perlu adanya usaha untuk menterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Usaha
penerjemahan ini lebih pesat pada masa Daulah Abbasiyah.
f.
Dakwah Islamiyah pada masa Daulah Abbasiyah. Pada masa Daulah Abbasiyah ini para
ahli sejarah menilai adalah masa kemajuan dan keemasan serta masa kejayaan
kerajaan Islam yang dapat merubah wajah dunia dari gelap menjadi terang, dari
kemunduran menjadi kemajuan dari berbagai aspek. Puncak kegemilangan dan
keemasan kerajaan Islam (dakwah Islamiyah) seperti yang diungkap oleh Madjid
Fakri sebagaimana dikutip oleh A. Hasjmy, karena Daulah Abbasiyah memerintah
dunia dengan politik yang berlandaskan agama dan kekuasaan.[14]
Daulah Abbasiyah ini berkuasa selama lima Abad, para ahli sejarah membaginya ke
dalam empat periode:
1) Abbasiyah
I
2) Masa
Daulah Abbasiyah II
3) Masa
Daulah Abbasiyah III
4) Masa
Daulah Abbasiyah IV
5) Dakwah
dalam Gaya Baru
Dakwah dalam
gaya baru ini disebut juga dakwah dengan berorganisasi (lembaga Dakwah) atau
dakwah yang di dukung oleh organisasi. Lembaga dakwah yang terorganisasi ini
selain sebagai ormas Islam ia juga bersentuhan dengan ekonomi, politik,
kebudayaan dan lain sebagainya, misalnya;
v
Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). PSII memegang peranan penting dalam
usaha mengembangkan Dakwah Islamiyah di Indonesia. Pemerintah kolonial Belanda
sangat memusuhi PSII, sehingga banyak para pemimpinnya yang di bunuh bahkan
dihukum mati. PSII ini bergerak di bidang ekonomi, politik, dan sosial, selain
itu PSII ini juga banyak mendirikan pusat-pusat pendidikan seperti pesantren-pesantren,
madrasah-madrasah, syarikat-syarikat dagang dan sekolah-sekolah.
v Muhammadiyah.
Muhammdiyah
berjasa besar dalam mengembangkan dakwah Islamiyah di Indonesia, yang merupakan
organisasi besar Islam yang ada di Indonesia. Bidang-bidang yang dikembangkan
oleh Muhammdiyah, seperti: pendidikan, ekonomi, sosial, kesehatan da dakwah. Di
samping itu Muhammadiyah banyak mendirikan rumah-rumah sakit Islam, balai-balai
pengobatan, rumah-rumah penyantunan, dan lain sebagainya.
v Nahdatul
Ulama.
Usaha pengembangan dakwah Islam juga dilakukan oleh NU yang bergerak di bidang
pendidikan, sosial, dan dakwah. Di bidang pendidikan NU banyak mendirikan pesantren-pesantren
terutama di daerah Jawa yang sangat berpengaruh kuat hingga saat ini.
Dan masih banyak organisasi Islam yang mengembangkan agama Islam di nusantara ini, yang hingga saat ini masih eksis dan tetap menjalankan misinya yaitu dakwah Islamiyah
C. Aktivitas
Dakwah dalam al-Qur’an
1. Subjek
Dakwah
Subjek dakwah
merupakan orang yang bertugas sebagai penyampai pesan dakwah agar sampai kepada
sasarannya dalam hal ini mad’u. Abdul Munir Mulkhan membaginya ke dalam tiga
jenis yaitu, da’i, perencana, dan pengelola dakwah. Ketiganya
disebut sebagai da’i.[15]
Perbedaannya adalah karena perbedaan bidang tugas sesuai dengan kecakapan dan
ilmu yang dimiliki oleh seorang da’i sebagai subjek atau pelaku dakwah.
Sementara komponen perencana dan pengelola yang mengemban fungsi perencanaan
dan pengelolaan dakwah menduduki peran yang lebih penting dari pada fungsi
pelaksana yang diemban oleh da’i. Factor da’i memang mempunyai kontribusi dalam
keberhasilan dakwah, tetapi faktor perencana dan pengelola jauh lebih besar kontribusinya.
Analoginya begini, dakwah sebagai kegiatan pembuatan film, maka da’i adalah
aktor, perencana adalah penulis skenario, sementara pengelola adalah sutradaranya.
Muhammad Abu
al-Fatah al-Bayanuni dalam bukunya al-Madkhal Ila ‘Ilm al-Da’wah dikatakann bahwa da’i atau pelaku dakwah
secara bahasa adalah Muballigh (menyampaikan Islam), ahli dibidangnya,
dan mengaplikasikannya dalam perbuatan.[16]
Ketiga makna tersebut sudah mencakup makna da’i atau pelaku dakwah.
Sementara
Abdul Karim Zaidan dalam bukunya Ushul Da’wah, bahwa da’i atau pelaku
dakwah adalah mukallaf yang menyeru kepada Allah.[17]
Berdasarkan
makna subjek dakwah di atas diketahui bahwa pelaku dakwah itu tidak saja para
da’i atau ulama yang sekarang, kegiatan dakwah sudah dimulai semenjak para
Rasul tanpa terkecuali. Karena ulama
adalah pewaris para Nabi dan Rasul. Para Rasul diutus oleh Allah untuk
berdakwah kepada kaumnya, menyeru mereka agar beriman kepada Allah dan
beribadah hanya kepada-Nya. Seperti firman Allah:
a.
Surat al-A’raf
ayat 59
ô“Sesungguhnya kami Telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata: "Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya." Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), Aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat). (Q.S. Al A’raf: 59)
b.
Surat Huud ayat 52
Ïöqs)»tur (#rãÏÿøótFó$# öNä3/u ¢OèO (#þqç/qè? Ïmøs9Î) È@Åöã uä!$yJ¡¡9$# Nà6øn=tæ #Y#uôÏiB öNà2÷Ìtur ¸o§qè% 4n<Î) öNä3Ï?§qè% wur (#öq©9uqtGs? úüÏBÌøgèC Ç
ÎQËÈ
“Dan (Dia berkata): "Hai kaumku,
mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertobatlah kepada-Nya, niscaya dia
menurunkan hujan yang sangat deras atasmu, dan dia akan menambahkan kekuatan
kepada kekuatanmu, dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa." (Q.S. Huud: 52)
2. Syarat
dan sifat juru dakwah
Syarat-
syarat dan sifat-sifat yang harus dipenuhi oleh seorang juru dakwah:
1. Amal
dan kegiatannya harus ikhlas karena mencari ridha Allah dan karena ingin meraih
pahala dari-Nya.[18]
Seorang juru
dakwah tidaklah baik apabila tujuannya untuk memperoleh dunia, mendulang
keuntungan, atau meraih jabatan dan kedudukan. Bila ia mencampur amalnya dengan
salah satu dari semua itu maka sia-sialah amalan dan akan menjadi orang yang
merugi.
2. Seorang
juru dakwah harus menjadi teladan dalam amal shaleh.
Seorang
juru dakwah mestilah menjadi suri teladan dan uswatun hasanah dari semua
segi kehidupannya, apa yang diucapkan sesuai dengan apa yang diperbuat atau
sebaliknya.
Seorang
juru dakwah mestilah memiliki sifat yang adil karena al-Qur’an secara tegas
melarang orang yang fasiq sebagai juru dakawah. Seperti yang terdapat dalam
firman-Nya:
Surat al-Baqarah ayat 44
“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir? (QS. Al-Baqarah: 44)
1. Surat ash-Shaf ayat 3
“Amat besar kebencian di sisi Allah
bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. (QS. Ash-Shaff: 3)
Seorang juru
dakwah mestilah terpelihara muru’ahnya dan selalu berada dalam kebaikan terjaga
aqidahnya, prinsip mauoun perilakunya.
- Menempuh cara hikmah
(bijaksana) terhadap orang-orangb terpelajar dan intelek dan melakukan
metode Mau’izhah (nasihat yang baik) dalam menghadapi orang yang
awam dan orang yang biasa.
Cara hikmah
tidak mungkin terwujud kecuali dengan menggunakan logika dan daya nalar yang
tinggi. Sehingga lawan bicara akalnya terbuka lantaran mereka hanya mendapatkan
kepuasan dengan argumentasi yang kuat. Sedangkan Mau’izhah Hasanah hanya
terwujud dengan
memakai uslub dan metode cerita dan berbicara yang lembut, menyentuh perasaan
dengan menyebutkan contoh-contoh dan tamsil-tamsil dilengkapi dengan sejarah para Salafushshalih,
ucapan dan keteladanan mereka.
- Seorang juru dakwah harus
betul-betul menguasai ilmu yang sesuai dengan zamannya dan menguasai teori
dari berbagai aliran pemikiran, sehingga ia dapat membeberkan kesalahan,
penyimpangan atau bahaya aliran-aliran tertsebut setelah membandingkannya
dengan ajaran Islam. Sebab, kita dapat mengetahui sesuatu itu hitam
setelah membandingkannya dengan yang putih, dan sesuatu itu diketahui
bengkok apabila telah dibandingkan dengan yang lurus.[19]
- Seorang juru dakwah harus
lembut dalam menyampaikan nilai-nilai dan pandangan-pandangannya, lembut
dalam mengingkari atau menolak kesesatan, kesalahpahaman dan berbagai
kemaksiatan.
- Dalam dakwahnya ia bertujuan
menarik manfaat dan menghilangkan kemudharatan menolak kebinasaan dan
menegakkan agama serta menghancurkan kekuatan lawan.
- Harus sabar dan tabah
menghadapi cobaan dan siksaan [20]
Seorang salaf
pernah berwasiat kepada putranya sebagai berikut;” Bila kamu ingin melakukan
amar ma’ruf, hendakalah engkau mempersenjatai diri dengan sifat sabar dan percaya
penuh kepada balasan dari Allah, barangsiapa yang percaya penuh kepada balasan
dari Allah, maka ia tidak akan merasakan sakitnya cobaan.”[21]
- Harus mengetahui tabiat
kejiwaan jama’ahnya, dengan memperhatikan apa yang mereka inginkan, di
samping harus menguasai cara bermuamalah dengan mereka
- Sang juru dakwah harus
melakukan dengan kekuatan, apabila cara Hikmah, Mau’izhah Hasanah, dan Jidal tidak
mempan.[22]
Memerangi
musuh yang bandel dan keras kepala adalah satu-satunya jalan. Mereka diperangi
demi menegakkan agama dalam rangka meraih kemenangan agama, sebagai jalan menuju keselamatan dan
kedamaian.[23]
- Objek
Dakwah
Mad’u atau sasaran dakwah secara bahasa adalah isim
maf’ul yang berasal dari kata da’ahu,
yad’uhu yang berarti objek atau sasaran dakwah.[24]
Sementara Abdul Munir Mulkhan membagi objek dakwah kepada dua[25];
a. Umat
dakwah, yakni masyarakat luas non musli
b. Umat
ijabah, yakni mereka yang telah memeluk agama Islam
Terhadap umat
dakwah, dakwah bertujuan untuk mengenalkan Islam kepada mereka, (dengan
bentuk dialog apapun), agar tertarik dengan kesadaran sendiri menjadikan Islam
sebagai pilihan agamanya. Sedangkan dakwah terhadap umat Ijabah dakwah
bertujuan untuk lebih meningkatkan lagi penghayatan dan pengamalan mereka,
sehingga makin menjadi “Muslim yang benar-benar Islami”.
Sejalan
dengan Abdul Munir Mulkhan, Salmadanis[26]
menjelaskan bahwa dakwah dalam berbagai bentuknya bermakna mengajak kepada yang
ma’ruf serta mencegah dari kejahatan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah
dari kemungkaran, terlihat bahwa yang menjadi yang menjadi objek atau penerima
dakwah itu adalah seluruh umat manusia, karena Nabi Muhammad SAW diutus untuk
seluruh umat manusia.[27]
Jadi yang
menjadi objek dakwah itu adalah seluruh umat manusia dituntut untuk menerimanya
selama dia berakal baik laki-laki maupun perempuan tanpa memandang kebangsaan,
warna kulit, pekerjaan. Daerah tempat tinggal dan sebagainya. Karena itu dakwah
tidak teruju kepada sesuatu bangsa terentu, pada tingkat tertentu, ataupun
kepada golongan tetentu. Di samping ketaatan antara laki-laki dan perempuan
dimata Allah adalah sama.[28]
Manusia
terdiri dari dua unsur yakni unsur jasmani dan unsur rohani yang berpotensi
untuk meningkat ketaraf yang lebih baik bila dipergunakan sesuai dengan
undang-undang yang telah ditetapkan oleh
sang khaliq.
Intisari dari
risalah dakwah Rasulullah adalah memberikan bimbingan bagaimana manusia menjaga
nilai-nilai dan martabat kemanusiaannya supaya jangan sampai meluncur, malah
supaya martabatnya meningkat mencapai tingkat yang lebih tinggi . Dalam
aktualisasi nilai-nilai keagamaan yang ada, manusia memiliki nilai keberagamaan
dan variasi yang perlu diperhatikan oleh setiap juru dakwah dalam melaksanakan
tugasnya.[29]
Al-Qur’an
memberi isyarat bahwa ada tiga kelompok manusia yang menjadi objek dakwah[30],
terkait dengan penerimaannya terhadap kebenaran al-Qur’an, mereka adalah;
1.
Golongan mukmin yakni mereka yang telah meyakini
kebenaran al-Quran sebagai wahyu Allah serta telah melaksanakan ajaran
al-Qur’an itu dalam kehidupan sehari-hari. Kelompok ini tidak akan ada keraguan
dalam menerima ajaran agama.[31]
2.
Golongan kafir, yakni mereka yang belum meyakini atau
belum beriman serta mengingkari kebenaran al-Qur’an itu. Golongan ini diberi
peringatan atau tidak diberi peringatan bagi mereka sama saja. Karena Allah
telah mengunci mati hati, pendengaran dan penglihatan mereka.[32]
3. Golongan munafik, yakni mereka yang secara lahiriah telah beriman, tapi pada hakikatnya mereka belum yakin terhadap kebenaran al-Qur’an, sehingga mereka selalu berolok-olok, berpura-pura dan main-main.[33]
Bila dilihat
secara mendasar, manusia sebagai objek dakwah di dalam al-Qur’an ada tiga
sebutan yang juga bermakna manusia;
1. Al-Basyar
Kata
al-Basyar atau Basyaran diungkap dalam al-Qur’an sebanyak 38 kali yang tersebar
dalam 36 surat.[34]
Secara etimologi, al-Basyar berarti kulit kepala, wajah, atau tubuh yang menjadi tempat tumbuhnya rambut.
Indikasi ini menunjukkan bahwa secara biologis yang mendominasi manusia adalah
kulitnya, dibanding rambut atau bulunya.[35]
Kata basyar dapat juga diartikan dengan persintuhan kulit laki-laki dengan
perempuan. Makna ini menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk biologis yang
memiliki segala sifat kemanusiaan, seperti
makan, minum, seks, dan lain sebagainya.
Pengertian di atas dapat dipahami bahwa manusia pasca Adam As, mengalami proses reproduksi seksual dan senantiasa berupaya untuk memenuhi semua kebutuhan biologisnya dan tunduk kepada hukum alam. Konsekwensi logisnya adalah bahwa manusia diberi kebebasan untuk melakukan tindakannya sebagai khalifah Allah di bumi
2. Kata
al-insan/ al-Ins
Diungkap oleh
Allah dalam al-Qur’an sebanyak 88 kali yang tersebar di dalam 43 surat.[36]
Secara etimologi kata al-insan atau al-ins dapat diartikan harmonis, jinak
(lemah-lembut), dan pelupa. Kata ini dipergunakan Allah untuk menunjukkan
totalitas manusia yang merupakan makhluk jasmani dan makhluk rohani. Kedua
aspek tersebut mengantarkan manusia menjadi makhluk yang istimewa, sempurna,
dan memiliki diferensiasi individual antara satu sama lainnya. Perpaduan kedua
aspek fisik dan psikis membantu manusia menjadi makhluk yang berbudaya yang
memiliki kemampuan berbicara, mengetahui baik dan buruk, mengembangkan ilmu
pengetahuan dan lain sebagainya.[37]
Kata al-insan
juga digunakan untuk menunjukkan proses kejadian manusia setelah Adam As dalam
rahim.[38]
Kata insan dalam ayat ini mengandung dua pengertian; pertama, proses
biologis yang berasalah dari sari pati tanah melalui makanan sampai kepada
proses pembuahan, kedua, mengandung pengertian psikologis (spiritual)
yaitu proses ditiupkan ruh pada diri manusia. Makna pertama memberi isyarat
bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk dinamis yang berproses dan tidak
bisa lepas dari pengaruh alam dan kebutuhannya. Makna kedua mengisyaratkan
bahwa selain membutuhkan materi, ia juga tidak lepas dari kebutuhan immateri
yang senantiasa tunduk pada sang Khalik tanpa batas, tanpa cacat dan tanpa
akhir. Sikap demikian akan cenderung
kepada kebaikan dan kesetiaannya kepada sang Khaliknya.[39]
Memperhatikan
penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa kata al-insan menunjukkan
makna kesempurnaan dan keunikan manusia sebagai makhluk Allah, namun sebagai
manusia biologis, manusia juga memiliki sifat-sifat keterbatasan, susah, resah,
gelisah dan lain sebagainya. Untuk keluar dari berbagai rintangan tersebut
adalah dengan mengoptimalkan penggunaan akal dalam memahami petunjuk Ilahi
serta melaksanakan ajaran Ilahi tersebut dalam kehidupan ini.
3. Kata
al-Nas,
Di dalam
al-Qur’an terungkap sebanyak 240 kali dan tersebar dalam 53 surat. [40]
Kata ini menunjukkan kepada eksistensinya sebagai makhluk sosial tanpa melihat
apakah statusnya beriman atau kafir.[41] Kata ini lebih umum dari kata sebelumnya.
Sebagai makhluk sosial, ia tidak akan bisa hidup sendirian tanpa ada bantuan
dari pihak lain. Sehingga manusia butuh kepada selain dirinya, butuh bantuan,
pertolongan, memerlukan adanya makanan, minuman, dan lain sebagainya. Dalam
upaya saling membutuhkan tersebut, sangat
boleh jadi terdapat kesalahan, kekeliruan dan lain sebagainya.
Selain ketiga
kata tersebut di atas, Allah juga mempergunakan kata bani Adam. Kata ini
dijumpai dalam al-Qur’an sebanyak 7 kali yang tersebar dalam 3 surat.[42] Secara etimologi berarti penunjukkan Allah
pada keturunan bani Adam. Menurut al-Thabathaba’i, penggunaan kata bani
Adam menunjukkan pada manusia umumnya. Dalam hal ini ada tiga aspek, yaitu pertama,
anjuran untuk berbudaya sesuai dengan ketentuan Allah, seperti berpakaian guna
menutupi auratnya. Kedua, mengingatkan keturunan Adam untuk tidak
terjerumus bujuk rayu setan,. Ketiga, memanfaatkan semua potensi yang
ada di alam ini dalam rangka untuk mentauhidkan Allah dan beribadah kepada-Nya.
Peringatan Allah tersebut menunjukkan bahwa bani Adam merupakan makhluk
yang termulia dibandingkan dengan makhluk yang lain. [43]
Dalam kaitannya dengan objek dakwah menurut al-Qur’an Abdul Karim Zaidan[44] lebih lanjut memberi penjelasannya, bahwa dalam setiap masyarakat selalu didapat seorang tokoh atau pemimpin yang mempunyai kekuasaan dan pengaruh besar. Mereka juga termasuk penerima dakwah yang digolongkan oleh al-Qur’an dengan al-Mala’. Dengan sendirinya ada sekelompok manusia yang berada di bawah pengaruh dan kekuasaan kelompok pertama, mereka disebut al-Qur’an dengan istilah jumhur. Disamping kedua golongan tersebut juga terdapat di dalam al-Qur’an kelompok yang ketiga yakni munafik. Dan kelompok yang keempat adalah orang-orang maksiat
4. Materi
Dakwah
Materi dakwah
adalah seluruh ajaran Islam yang mencakup dalam al-Qur’an dan sunnah Rasul yang
meliputi tiga prinsip pokok yakni, aqidah, akhlak, dan hukum-hukum,[45]
yang biasa disebut dengan “Syariat Islam” walaupun pengertian syariat
Islam itu sendiri biasa dikacaukan dengan pengertian fiqh atau hukum Islam.
Ketiga konsep pokok tersebut merupakan
syariat Islam yang diwahyukan oleh Allah untuk disampaikan kepada seluruh umat
manusia. Syariat Islam inti dijabarkan dalam beberapa komponen sesuai bidang
garapannya, yaitu selain dari ketiga prinsip pokok tersebut juga termasuk
ukhuwah, pendidikan, sosial, ekonomi, kebudayaan, dan kemasyarakatan.[46]
Karena yang
menjadi materi dakwah adalah seluruh ajaran Islam dan harus disampaikan kepada
umat manusia yang terdiri dari berbagai corak
ragam kehidupannya, maka diperlukan suatu metode pemilihan materi dakwah
yang tepat sesuai dengan situasi objeknya dengan begitu, materi dakwah tentunya
tidak bisa dilepaskan dari kondisi umat yang majemuk. Begitu juga tingkat
intelegensi, status sosial, tingkat umur dan jenis kelamin serta sifat arena
yang dihadapi. Kesemuanya itu perlu disesuaikan materi dakwah yang disampaikan
sehingga dakwah dapat berdaya guna dan berhasil guna. Maka ketepatan menentukan
materi dakwah merupakan suatu langkah sukses menuju target yang diinginkan
dalam berdakwah. Ketepatan menentukan materi ini tidak mudah, karena kondisi
umat yang dihadapi yang sangat beragam, baik dilihat dari sudut intelegensinya,
maupun dari sudut etnis, dan tingkat sosial.
Dengan
begitu, dalam menentukan materi dakwah baik di pedesaan maupun diperkotaan
dituntut suatu kecermatan seorang da’i mendeteksi berbagai aspek kebutuhan atau
penyakit umat yang dihadapi agar dakwah yang disampaikan dapat berdaya guna.
Karena objek
dakwah meliputi seluruh umat manusia tanpa kecuali, sementara manusai adalah
adalah makhluk yang terdiri dari materi dan immateri. Unsur materi terdiri dari
akal jasmani, sedang unsur immateri terdiri dari akal dan jiwa atau
rohani. Karenanya al-Qur’an dalam
membimbing manusia, mereka dipandang, dihadapi, dan diperlakukan dalam saat
yang sama tanpa pemisahan baik materi materi yang disajikan maupun waktu
penyajian.
Selain
al-Qur’an mengarahkan materi dakwah kepada jiwa manusia, juga ditemui al-Qur’an
mengarahkan materinya kepada jasmani manusia, yang intinya bahwa setiap anggota
badan manusia harus melaksanakan fungsi berganda, yakni fisik dan psikis, sebab
kalau tidak demikian martabatnya sebagai manusia akan kehilangan identitasnya.[47]
- Metode
Dakwah
Masalah
metode dakwah sangat penting untuk diangkat kepermukaan dan dikaji secara
mendalam, demi terealisasinya ajaran Islam, baik yang berkaitan dengan individu
maupun masyarakat. Hal itu diakibatkan oleh adanya berbagai perubahan baik
dalam masalah politik, pemikiran dan filsafat hidup, maupun sosial
kemasyarakatan. Perubahan-perubahan dalam berbagai sektor semacam itu tentu
saja akan mempengaruhi perkembangan lapangan ke-Islaman. Baik dalam forum-forum
umum maupun dalam forum-forum khusus. Kondisi-kondisi seperti ini mau tidak mau
akan memacu dan mendorong seorang da’i untuk menggunakan seluruh potensinya
baik pemikiran teoritisnya maupun strategi praktik dakwahnya supaya ia dapat
mengetahui cara dan teknik yang tepat dalam menghadapi berbagai realitas yang
terjadi.
Metode dakwah
artinya cara-cara yang diterapkan oleh seorang da’i untuk menyampaikan materi
dakwah, yaitu al-Islam atau serentetan kegiatan untuk mencapai tujuan
tertentu.[48]
Di dalam al-Qur’an sebagai dasar dari metode dakwah yang nantinya akan dibahas
satu persatu.
Firman Allah surat an-Nahl ayat 125;ä
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (Q.S. An Nahl: 125)
Penggalan
pertama ayat itu adalah serulah manusia ke jalan Tuhamu dengan hikmah
(bijaksana) dan nasehat yang baik (mau’izhah hasanah). Penggalan kedua
adalah dan debatlah mereka dengan cara yang lebih baik.
1. Metode
dakwah bil-Hikmah
Menurut
Quraish Shihab dalam tafsiral-Misbah dikatakan bahwa kata Hikmah
diartikan sebagai yang paling utama dari segala sesuatu, baik pengetahuan
maupun perbuatan.[49]
Dia adalah pengetahuan atau tindakan yang bebas dari kesalahan atau kekeliruan.
Hikmah juga diartikan sebagai sesuatu yang bila digunakan atau diperhatikan
akan mendatangkan kemaslahatan dan kemudahan yang besar bahkan yang lebih
besar, serta menghalangi terjadinya mudharat atau kesulitan yang besar atau
lebih besar. Menurut Thabathaba’I sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab dalam
tafsir Misbah, bahwa Hikmah adalah argumen yang menghasilkan kebenaran
yang tidak diragukan tidak mengandung kelemahan tidak juga kekaburan.[50]
Kata-kata hikmah
yang terdapat di dalam al-Qur’an ada sebanyak 21 buah yang tersebar dalam 13
surat diantaranya, dalam surat al-Baqarah ayat 129, 151, 231, 251, 269 (dua
kali disebutkan kata hikmah), dalam surat Ali-Imran ayat 48, 81, 164, surat
an-Nisa’ ayat 54 dan 113, dalam surat al-Maidah ayat 110, surat an-Nahl ayat
125, surat al-Isra’ ayat 39, surat Lukman ayat
12, surat al-Ahzab ayat 34, surat Shad ayat 20,surat al-Zukhruf ayat 63,
surat al-Qamar ayat 5, surat al- Jumu’ah ayat 2.[51]
Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia kata hikmah diartikan sebagai kebijaksanaan dari
Allah.[52]
Senada dengan makna kata hikmah di atas Muhammad Husain Fdhlullah memberikan
makna kata hikmah yakni, al-‘adl (keadilan), al-Hilm (kesabaran
dan ketabahan), an-Nubuwwah (kenabian), yang dapat mencegah seseorang
dari kebodohan, kerusakan dan kehancuran, setiap perkataan yang cocok, dengan al-Haq
(kebenaran) juga meletakkan sesuatu pada tempatnya, kebenaran perkara-perkara
yang paling utama dan makna-makna lainnya.[53]
Dari beberapa
kata arti hikmah yang dikemukakan Muhammad Husain Fadhlullah di atas, maka
dakwah bil-Hikmah yang dimaksudkan dalam makalah ini pada intinya merupakan
penyeruan atau pengajakan dengan cara bijak filosofis, argumentatif
dilakukan dengan adil, penuh kesabaran dan ketabahan, sesuai dengan risalah
an-Nubuwwah dan ajaran al-Qur’an.
Jadi, dakwah bil-Hikmah yang berarti dakwah bijak mempunyai makna selalu memperhatikan suasana, situasi, dan kondisi mad’u (Muqtadha al-Hal). Hal ini berarti menggunakan metode yang relevan dan realistis sebagaimana tantangan dan kebutuhan dengan memperhatikan kadar pemikiran dan intelektual, suasana psikologis, dan situasi social cultural mad’u. dakwah bil-Hikmah sasarannya terhadap cendekiawan yang memiliki pengetahuan tinggi yakni berdialog dengan kata-kata bijak sesuai dengan tingkat kepandaian mereka.
2. Dakwah
al-Mau’izhah Hasanah
Muhammad
Quraish Shihab dalam tafsirnya menjelaskan bahwa kata al-Mau’izhah terambil
dari kata wa’azha yang berarti nasehat, Mau’izhah adalah uraian yang menyentuh
hati yang mengantarkan kepada kebaikan.[54]
Mau’izhah baru akan mengena hati sasaran bila ucapan yang disampaikan itu
disertai dengan pengamalan dan keteladanan dari yang menyampaikannya yakni
bersifat hasanah
Terdapat 9
kata Mau’izhah yang tersebar dalam 8 surat dalam al-Qur’an, diantaranya
terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 46, 66, dan 275, surat Ali Imran ayat 138,
dalam surat al-Maidah ayat 46, dalam surat al-A’raf ayat 145, dalam surat Yunus
ayat 57, dalam surat Huud ayat 120, dalam surat an-Nahl ayat 125, dalam surat
an-Nur ayat 39.[55]
Dari
ayat-ayat di atas makna kata Mau’izhah memiliki beberapa arti
diantaranya:
1.
Pelajaran dan nasehat yang baik, berpaling dari perbuatan
yang jelek melalui tarhib dan targhib (dorongan dan motivasI),
penjelasan, keterangan, gaya bahasa, peringatan, penuturan, contoh teladan,
pengarahan, dan pencegahan dengan cara yang halus.
2.
Pelajaran, keterangn, penuturan, peringatan dengan gaya
bahasa yang mengesankan, atau menyentuh dan terpatri dalam hati nurani.
3.
Simbol, alamat, tanda, janji, penuntun, petunjuk, dan
dalil-dalil yang memuaskan melalui al-Qaul al-Rafiq (ucapan lembut
dengan penuh kasih sayang).
4.
Kelembutan hati menyentuh jiwa dan memperbaiki
peningkatan amal.
5.
Nasehat, bimbingan, arahan untuk kemaslahatan. Dilakukan
dengan baik dan penuh tanggung jawab, akrab, komunikatif, mudah dicerna, dan
terkesan dihati sanubari mad’u.
6.
Tutur kata yang lemah lembut, perlahan-lahan, bertahab,
bersikap kasih sayang dapat membuat seseorang merasa dihargai rasa
kemanusiaannya dan dapat respon positif dari mad’u[56]
Dengan
demikian, dakwah dengan melalui al-Mau’izhah al-Hasanah jauh dari sikap
egois, agitasi, emosional, dan apologi.
Senada dengan
Quraish Shihab, Asep Muhyiddin menyatakan bahwa dakwah yang dilakukan dengan al-Mau’izhah
al-Hasanah adalah berdakwah kepada orang awam dengan memberikan nasehat dan
perumpamaan yang menyentuh jiwa sesuai dengan taraf kemampuannya yang
sederhana. Dalam hal ini peranan juru dakwah sebagai pembimbing, teman dekat
yang setia, yang menyayangi, dan memberikan segala hal yang bermanfaat serta
membahgiakan mad’unya.
Cara
berdakwah model ini memang lebih spesifik ditujukan kepada manusia jenis kedua,
yaitu keumuman manusia (man in generalitation). Mereka adalah orang-orang yang
tidak sampai kepada taraf kemampuan manusia jenis pertama. Secara potensial,
mereka memiliki fitrah terhadap kebenaran, tetapi mereka selalu ragu-ragu
antara megikuti kebatilan yang selama ini tumbuh di sekelilingnya dan mengikuti
kebenaran yang disampaikan kepada mereka.
Menurut
Muhammad Husain Yusuf,[57]
mereka butuh kepada pelajaran yang baik (al-Mau’izhah al-Hasanah),
ucapan yang mengena (Qaul Baligh), penjelasan yang berguna berupa
sugesti (tarhib), serta ancaman (targhib) mengikuti kebatilan,
serta penjelasan atas dosa dan nista yang terdapat dalam kebatilan. Begitu pula
seterusnya sampai benar-benar jelas kepada mereka jalan yang lurus dan cahaya
yang terang, serta dapat menghilangkan keraguan mereka untuk masuk ke dalam
barisan orang-orang mukmin di bawah panji Nabi dan Rasul yang paling mulia.
Terma Mau’izhah dalam bentuk nasehat adalah membangkitkan
perasaan ketuhanan yang dikembangkan dalam jiwa objek dakwah, sehingga
menimbulkan rasa takut dan ketundukan kepada Tuhannya. Yang tidak kalah
pentingnya adalah bahwa nasehat itu penyucian dan pembersihan diri yang
merupakan salah satu tujuan utama dakwah Islam.
Bagitu juga mau’izhah ditempuh dalam bentuk tabsyir wa al-tanzir, yaitu dengan memberikan kabar gembira disertakan dengan memberikan bujukan dan rayuan yang indah bahwa jika seseorang yang shaleh dan taat kepada azas kebaikan, maka ia mendapat tempat yang baik di akhir kehidupannya.
3.
Metode dakwak Mujadalah allati Hiya Ahsan.
Secara
etimologi kata mujadalah berasal
dari akar kata ج , د, ل artinya membantah. Sedangkan mujalah
diartikan dengan berbantah-bantah dan merundingkan, atau perundingan yang
ditempuh melalui perdebatan dan
pertandingan.[58]
Sedangkan dalam memahami kata mujadalah dalam surat an-Nahl ayat 125 adalah
dengan arti berbantah-bantahan, sebab jika diambil arti kata bermusuh-musuhan,
bertengkar, memilin, memintal, tampaknya tidak memenuhi apa yang dimaksud oleh
ayat tersebut secara keseluruhan. Agaknya bila diambil dari kata mujadalah
tersebut, secara lugas, untuk memahami dakwah, maka pengertiannya akan menjadi
negatif, akan tetapi setelah dirangakai dengan kata hasanah (baik), maka
artinya menjadi positif.
Sejalan
dengan tingkat perkembangan dan kemajuan manusia sekarang bahwa mujadalah
ahsan ini, agaknya dapat diterjemahkan dengan berdiskusi dengan baik untuk
menemukan kebenaran, melalui tukar fikiran.
Memperhatikan
kata jadalah yang terdapat dalam surat an-Nahl ayat 125, nampaknya para
mufassir berpendapat yang sama, yaitu berbantah-bantahan yang tidak membawa
pertikaian, kebencian, tetapi membawa kepada kebenaran. Seorang juru dakwah
apabila dibantah tentang suatu pesan yang disampaikannya, ia harus memberikan
sanggahan (jawaban) terhadap bantahan tersebut, bila masih mendapat sanggahan
lagi dari jawaban yang ia berikan, ia harus kembali memberikan jawaban dengan
argumentasi yang lebih jelas, sehingga sampai pada suatu kebenaran, perdebatan
tersebut harus berlangsung dengan baik bahkan terbaik, tidak menimbulkan
permusuhan kebencian dan permusuhan. Dengan demikian metode mujadalah
ahsan melahirkan kesan yang harmonis dan fikiran seseorang rasa
dihormati, penuh keakraban, dan kenyamanan. Perdebatan dengan gengsi tidak
akan menimbulkan kepuasan bagi orang yang melakukan perdebatan dan tidak
mendapatkan kebenaran. Sehingga jadilhum bi allati hiya ahsan dapat
diartikan dengan bertukar fikiran dengan baik, pada mulanya mereka
menentang, tapi bisa membuat mereka menjadi puas hatinya dan menerima dakwah
(Islam) yang disampaikan kepadanya.
Prinsip
metode mujadalah yang diutamakan kepada objek dakwah yang
mempunyai tipologi antara menerima dan menolak materi dakwah (Islam) yang disampaikan kepada mereka. Untuk
itu seorang juru dakwah mesti menambah wawasan dalam segala aspek, sehingga pada
akhirnya dapat memberikan jawaban (bantahan) kepada objek secara benar dan baik
serta menyenangkan perasaan mereka.
Bentuk metode
dakwah Mujadalah Allati Hiya Ahsan ini ada dua; pertama, al-Asila
Wa al-Ajwibah (Tanya jawab),
bentuk metode dakwah ini adalah yang dipergunakan dalam bentuk memberikan
jawaban terhadap berbagai pertanyaan
yang diajukan oleh umat Islam yang belum mereka dapati atau belum mereka
ketahui secara pasti hakikat atau penjelasaanya. Kedua, Hiwar (dialog),
yakni perdebatan yang memerlukan jawaban atau Tanya jawab pada suatu objek
tertentu yang mendekati pada munaqashah dan mubahatsah
terhadap suatu persoalan dan peristiwa yang terjadi.
Ketiga metode dakwah yang pemakalah kemukakan di atas, nantinya akan dibahas satu persatu oleh pemakalah selanjutnya
- Media
Dakwah
Tujuan dakwah
Islam seiring dengan tujuan Allah menciptakan manusia, yakni untuk mengabdi
kepada-Nya. Pengabdian pada Allah sebagai realisasi keimanan yang diwujudkan
dalam amaliah untuk mencapai derajat yang bertaqwa disisi-Nya. Kemudian Allah
juga menciptakan manusia sebagai khalifah. Untuk melaksanakan tugasnya,
khalifah dituntut menjadikan sifat-sifat Allah bagian dari karakteristik
kepribadiannya untuk mendukung terwujudnya kemakmuran. Pengabdian dan ketaqwaan
kepada Allah merupakan jembatan untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan
di akhirat. Agar tercapai tujuan bahagia di dunia dan di akhirat perlu
diperhatikan segala sesuatu yang mendukung keberhasilan dakwah Islam.
Media dakwah
adalah alat objektif yang menjadi saluran, yang menghubungkan ide dengan umat,
suatu elemen yang vital dan merupakan
urat nadi dalam totaliteit dakwah.[59]
Kalau dilihat
secara eksplisit tidak ada penjelasan al-Qur’an tentang media atau alat apa
saja yang dapat digunakan untuk menyampaikan dakwah. Tetapi secara implisit
banyak isyarat al-Qur’an tentang masalah media ini. Hamzah Ya’cub
mengelompokkan media tersebut kepada lima bagian yaitu:
1. Lisan
Menurut Abdul
Karim Zaidan, media lisan atau bahasa adalah media pokok dalam menyampaikan
dakwah Islam kepada orang lain.[60]
Isyarat media lisan ini di dalam
al-Qur’an dapat ditemui dalam firmannya:
Surat al-A’raf ayat 158
“Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah; dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya Hanya tumbuh merana. Demikianlah kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (kami) bagi orang-orang yang bersyukur” (Q.S. Al A’raf: 158).
Surat Yusuf ayat 4
“(ingatlah), ketika Yusuf Berkata kepada ayahnya: "Wahai ayahku Sesungguhnya Aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku." (Q.S. Yusuf:4)
Surat al-Ankabut ayat 18
“Dan jika kamu (orang kafir) mendustakan, Maka umat yang sebelum kamu juga Telah mendustakan. dan kewajiban Rasul itu, tidak lain hanyalah menyampaikan (agama Allah) dengan seterang-terangnya." (Q.S. al-Ankabut: 18)
Al-Baqarah ayat 104
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu katakan (kepada Muhammad): "Raa'ina", tetapi Katakanlah:
"Unzhurna", dan "dengarlah". dan bagi orang-orang yang
kafir siksaan yang pedih” (Q.S. Al-Baqarah:
104)
Dari ayat di
atas disebutkan bahwa para Nabi telah
menyampaikan dakwahnya pertama kali dengan menggunakan media lisan secara
langsung. Yang termasuk media lisan ini adalah pidato, khotbah, ceramah,
symposium, musyawarah, seminar, diskusi dan lain sebagainya.
- Tulisan
Yakni dakwah
yang dilakukan dengan perantaraan tulisan, misalnya buku-buku Islam, majalah,
Koran, pamphlet, pengumuman tertulis, dan lain sebagainya. Isyarat al-quran
tentang media lisan ini terdapat dalam surat al-Qalam ayat 1 dan diperkuat oleh
surat al-‘Alaq ayat 1-5:
- Lukisan
Yakni gambar-gambar hasil seni lukis, foto, film cerita dan sebagainya.
- Audio-Visual
Yakni suatu
cara penyampaian yang sekaligus merangsang penglihatan dan pendengaran. Isyarat
media ini di dalam al-Quran tidak begitu jelas diungkap.namun sejalan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi media untuk menyampaikan dakwah
tentu juga berkembang.
- Akhlak
Akhlak di sini adalah perilaku yang tecermin dalam kehidupan sehari-hari dapat dijadikan media dakwah dan sebagai alat untuk mencegah orang dari kemungkaran atau juga mendorong orang untuk berbuat yang ma’ruf, atau suatu perbuatan yang menunjang terlaksananya syariat Islam ditengah-tengah masyarakat. Isyarat media ini di dalam al-Quran terdapat dalam
Surat al-A’raf ayat 199“Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.
Surat Lukman ayat 17
“Hai anakku, Dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan Bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). (Q.S. Lukman: 17
Pada sisi
lain media dakwah yang paling porposional itu dalam fenomena masyarakat adalah
terletak pada sikap dan perilaku para da’i itu sebabnya kefiguran nabi Muhammad
SAW bukan terletak pada keahliannya, tetapi akhlaknya yang menjadi panutan dan
ikutan bagi umatnya.
Berbeda
dengan apa yang dikemukakan Abdul Munir Mulkhan bahwa media dakwah di zaman
kemajuan sekarang ini, tidaklah cukup disampaikan dengan lisan belaka tanpa
bantuan alat-alat modern yang sekarang ini di kenal dengan sebutan alat-alat
komunikasi massa,[61]
yaitu pers (percetakan), radio, film, televisi dan internet. Kata-kata yang
diucapkan manusia hanya dapat menjangkau jarak yang sangat terbatas, sedang
dengan alat-alat komunikasi massa itu jangkauan dakwah tidak lagi terbatas.
Dakwah yang disampaikan dalam surat kabar-surat kabar, majalah-majalah, brosur-brosur, dan buku-buku, misalnya, bukan saja sampai pada orang-orang yang hidup sekarang, tetapi juga sampai pada orang-orang yang hidup berabad-abad di zaman depan. Dakwah yang disampaikan lewat radio, bukan saja didengar oleh orang-orang setempat, tetapi pada saat itu juga dapat didengar bukan hanya di seluruh Indonesia, tetapi di seluruh dunia. Lain pula halnya dengan film dan televisi, di sini dakwah berbentuk audio visual sehingga alat indera mata dan telinga serta emosi secara bersamaan dapat menerima dan mennggapi maksud dan tujuan dakwah yang disampaikan. Sebagai alat komunikasi massa film mempunyai kelebihan-kelebohan tersendiri dari alat-alat komunikasi lainnya yang sangat efektif menimbulkan sikap, emosi, akhlak dan tindak tanduk (behavior) manusia. Sama juga halnya dengan televisi. Sudah saatnya umat Islam tidak boleh lagi ketinggalan dalam mempergunakan teknologi informasi sebagai media dakwah.
Baca Juga;//........................
👉HAKIKAT METODE DAKWAH BI AL-HIKMAH
👉HAKIKAT METODE DAKWAH
👉PERKEMBANGAN AKTIVITAS DAKWAH DALAM ALQUR’AN
👉KEBUTUHAN MANUSIA TERHADAP DAKWAH DAN FILSAFAT
👉HAKIKAT METODE DAKWAH MAUIZAH AL-HASANAH
👉PANDANGAN FILSAFAT DAKWAH TERHADAP ILMU PENGETAHUAN
👉HAKIKAT TUJUAN DAKWAH
👉Hakikat Metode Dakwah Mujadalah Billati Hiya Ahsan
👉HAKEKAT MEDIA/ ALAT DAKWAH
👉HAKIKAT DAN PESAN DAKWAH
👉HAKIKAT KEPEMIMPINAN UMAT
D. Penutup
Daftar Pustaka
A. Hasjmy, Dustur Dakwah menurut
Al-Qur’an, Jakarta: Bulan Bintang; 1994
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya
Negara Islam, Jakarta; PT. Bulan Bintang, 1994
Bachtiar, Wardi, Metodologi
Penelitian Ilmu Dakwah, Jakarta, Logos, 1997
Baqi’, Muhammad Fu’ad ‘Abdul, al-Mu’jamal-Mufahras Li al-Fazh
al-Qur’an al-karim, Dar al-Hadis,
Qahirah, 1988
al-Bayanuni, Muhammad Abu al-Fatah, Al-madkhal
ila Ilm al-Da’wah, Muassasah ar-Risalah, Beirut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002, Departemen
Pendidikan Nasional, Jakarta, Balai Pustaka,h. 401
Muhyiddin, Asep, et. al, Metode
Pengembangan Dakwah, Bandung, Pustaka Setia, 2002
Mulkhan, Abdul Munir, Ideologisasi
Gerakan Dakwah: Episode Kehidupan M. Natsir & Azhar Basyir, Yogyakarta:
Sipress, 1996
ar-Rafi’,Mustafa, Potret Juru
Dakwah , Jakarta, Pustaka al-Kautsar, 2002
Salmadanis, Dakwah dalam
Perspektif al-Qur’an, Jakarta, TMF, 2002
Salmadanis, Filsafat Dakwah,
Jakarta, TMF, 2003
Shihab, Muhammad Quraish, Membumikan
al-Qur’an, Bandung, Mizan, 1994
Shihab, Muhammad Quraish, Tafsiral-Misbah;
Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an,
Jakarta, Lentera Hati,
Ya’cub, Hamzah, Publisistik Islam
teknik dakwah dan Ledership, Bandung, Diponegoro, 1986
Yusuf, Muhammad Husain, Di balik
Srtategi Dakwah Rasulullah, Terj. Syukriadi Sambas & Rosihan Anwar,
Bandung, Mandiri Press, 1999
Zaidan, Abdul Karim, Ushul Da’wah, Muassasah ar-Risalah,
Beirut, 2001
[1]Muhammad
Abu al-Fatah al-Bayanuni , Al-madkhal ila Ilm al-Da’wah, Muassasah
ar-Risalah, Beirut, h. 45
[2]Lihat Amin Said, sebagaimana dikutip oleh A. Hasjmy, Dustur
Dakwah menurut Al-Qur’an, Jakarta: Bulan Bintang; 1994, h. 282
[3]Hasan Ibrahim Hasan, sebagaimana dikutip oleh Abdul Munir Mulkhan, 1996, Ideologisasi
Gerakan Dakwah: Episode Kehidupan M. Natsir & Azhar Basyir, Yogyakarta,
Sipress, h.281
[4]Muhammad Ridha, sebagaimana dikutip oleh, Abdul Munir
Mulkhan, 1996, Ideologisasi Gerakan Dakwah: Episode Kehidupan M. Natsir
& Azhar Basyir, Yogyakarta, Sipress, h.284
[5]Muhammad Ridha & Hasan Ibrahim Hasan, sebagaimana
dikutip oleh Abdul Munir Mulkhan, 1996, Ideologisasi Gerakan Dakwah: Episod
Kehidupan M. Natsir & Azhar Basyir, Yogyakarta, Sipress, h.285
[6]Abdul Munir Mulkhan, 1996, Ideologisasi Gerakan
Dakwah: Episode Kehidupan M. Natsir & Azhar Basyir, Yogyakarta,
Sipress, h.287
[7]A. Hasjmy, 1994, Di Mana Letaknya Negara Islam,
Jakarta; PT. Bulan Bintang, h. 37
[8]Abdul Munir Mulkhan, 1996, Ideologisasi Gerakan
Dakwah: Episode Kehidupan M. Natsir & Azhar Basyir, Yogyakarta,
Sipress, h. 2298
[9]Thariq bin Ziyad adalah putra bangsa Barbari yang
berhasil menyeberangi selat yang sangat sempit yang dikenal dengan selat Jabal
thariq, dalam sejarah Islam dikenal dengan Andalusia. Daerah ini subur dan
makmur karena dekat dengan pegunungan Pyrenia menuju Prancis termasuk sebagian
wilayah Italia.
[10]Sementara daerah Seberang Sungai yakni Sungai Jihu atau Amu Darya, dan Sungai
Sihun atau Syr Darya
[11]Yang termasuk wilayah Antara Dua Sungai dan Sind adalah
Turkistan dengan ibukotanya Balkh (Bactria), Sughanian dengan ibukotanya
Syauman, Shughd dengan ibukotanya Samarkand, dan kota terpentingnya Bukhara,
Furghanah dengan IbukotanyaKhujandah atau Kasyan, Khuwarizm dengan ibukotanya
Jurjaniyah, Usyrusanah di sebelah Farghanah, Syas di sebelah Utara sungai Suhun
dengan ibukotanya Tharanbaz.
[12]Ahmad Syalabi dalam
A. Hasjmy, 1994, Dustur Dakwah menurut Al-Qur’an, Jakarta: Bulan
Bintang; h.319
[13]Firus adalah putra dari Yazdajir, raja Dinasti Sasan yabg terakhir di Persia.
[14]A. Hasjmy, 1994, Dustur Dakwah menurut Al-Qur’an,
Jakarta: Bulan Bintang; h. 329
[15]Abdul Munir Mulkhan, 1996, Ideologisasi Gerakan
Dakwah: Episode Kehidupan M. Natsir & Azhar Basyir, Yogyakarta,
Sipress, h. 209
[16]Muhammad
Abu al-Fatah al-Bayanuni , Al-madkhal ila Ilm al-Da’wah, Muassasah
ar-Risalah, Beirut, h. 40
[18] Surat Ali Imran ayat 104
`ä3tFø9ur öNä3YÏiB ×p¨Bé& tbqããôt n<Î) Îösø:$# tbrããBù'tur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ tböqyg÷Ztur Ç`tã Ìs3YßJø9$# 4
y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd cqßsÎ=øÿßJø9$# ÇÊÉÍÈ
Dan
hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah
orang-orang yang beruntung. (QS.
AliImaran: 104)
äí÷$# 4n<Î) È@Î6y y7În/u ÏpyJõ3Ïtø:$$Î/ ÏpsàÏãöqyJø9$#ur ÏpuZ|¡ptø:$# (
Oßgø9Ï»y_ur ÓÉL©9$$Î/ }Ïd ß`|¡ômr& 4
¨bÎ) y7/u uqèd ÞOn=ôãr& `yJÎ/ ¨@|Ê `tã ¾Ï&Î#Î6y (
uqèdur ÞOn=ôãr& tûïÏtGôgßJø9$$Î/ ÇÊËÎÈ
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan
hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat
dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat
petunjuk.
[20]
Lihat surat Luqman ayat 17
¢Óo_ç6»t ÉOÏ%r& no4qn=¢Á9$# öãBù&ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ tm÷R$#ur Ç`tã Ìs3ZßJø9$# ÷É9ô¹$#ur 4n?tã !$tB y7t/$|¹r& (
¨bÎ) y7Ï9ºs ô`ÏB ÇP÷tã ÍqãBW{$# ÇÊÐÈ
Hai anakku, Dirikanlah shalat dan suruhlah
(manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang
mungkar dan Bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang
demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).
[22]
Lihat surat at-Taubah ayat 73
$pkr'¯»t ÓÉ<¨Z9$# ÏÎg»y_ u$¤ÿà6ø9$# tûüÉ)Ïÿ»oYßJø9$#ur õáè=øñ$#ur öNÍkön=tã 4
öNßg1urù'tBur ÞO¨Yygy_ (
}§ø©Î/ur çÅÁyJø9$# ÇÐÌÈ
Hai nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan
orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. tempat mereka
ialah jahannam. dan itu adalah tempat kembali yang seburuk-buruknya tempat
kembali.
surat
at-Tahrim ayat 9
$pkr'¯»t ÓÉ<¨Z9$# ÏÎg»y_ u$¤ÿà6ø9$# tûüÉ)Ïÿ»oYßJø9$#ur õáè=øñ$#ur öNÍkön=tã 4
óOßg1urù'tBur ÞO¨Yygy_ (
}§ø©Î/ur çÅÁyJø9$# ÇÒÈ
[23]
Lihat surat al-Anfal ayat 60
(#rÏãr&ur Nßgs9 $¨B OçF÷èsÜtGó$# `ÏiB ;o§qè% ÆÏBur ÅÞ$t/Íh È@øyÜø9$# cqç7Ïdöè? ¾ÏmÎ/ ¨rßtã «!$# öNà2¨rßtãur tûïÌyz#uäur `ÏB óOÎgÏRrß w ãNßgtRqßJn=÷ès? ª!$# öNßgßJn=÷èt 4
$tBur (#qà)ÏÿZè? `ÏB &äóÓx« Îû È@Î6y «!$# ¤$uqã öNä3ös9Î) óOçFRr&ur w cqßJn=ôàè? ÇÏÉÈ
“Dan siapkanlah untuk menghadapi
mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat
untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan
musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang
Allah mengetahuinya. apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan
dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)”
dan
surat al-Baqarah ayat 216
|=ÏGä. ãNà6øn=tæ ãA$tFÉ)ø9$# uqèdur ×nöä. öNä3©9 (
#Ó|¤tãur br& (#qèdtõ3s? $\«øx© uqèdur ×öyz öNà6©9 (
#Ó|¤tãur br& (#q6Åsè? $\«øx© uqèdur @° öNä3©9 3
ª!$#ur ãNn=÷èt óOçFRr&ur w cqßJn=÷ès? ÇËÊÏÈ
Diwajibkan
atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci.
boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi
(pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui,
sedang kamu tidak Mengetahui.
[24]
Muhammad Abu al-Fatah al-Bayanuni, al-Madkhal
ila Ilm al-Da’wah, Muassasah al-Risalah, Beirut, h. 41
[25]
Abdul Munir Mulkhan, 1996, Ideologisasi Gerakan Dakwah:Episode Kehidupan M.
Natsir & Azhar Basyir, Yogyakarta, Sipress, h.208
[27]
Lihat surat al-A’raf ayat 157
tûïÏ%©!$# cqãèÎ7Ft tAqߧ9$# ¢ÓÉ<¨Z9$# ¥_ÍhGW{$# Ï%©!$# ¼çmtRrßÅgs $¹/qçGõ3tB öNèdyYÏã Îû Ïp1uöqG9$# È@ÅgUM}$#ur NèdããBù't Å$rã÷èyJø9$$Î/ öNßg8pk÷]tur Ç`tã Ìx6YßJø9$# @Ïtäur ÞOßgs9 ÏM»t6Íh©Ü9$# ãPÌhptäur ÞOÎgøn=tæ y]Í´¯»t6yø9$# ßìÒtur öNßg÷Ztã öNèduñÀÎ) @»n=øñF{$#ur ÓÉL©9$# ôMtR%x. óOÎgøn=tæ 4
úïÏ%©!$$sù (#qãZtB#uä ¾ÏmÎ/ çnrâ¨tãur çnrã|ÁtRur (#qãèt7¨?$#ur uqZ9$# üÏ%©!$# tAÌRé& ÿ¼çmyètB
y7Í´¯»s9'ré& ãNèd cqßsÎ=øÿßJø9$# ÇÊÎÐÈ
(yaitu) orang-orang yang mengikut
rasul, nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan
Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan
melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka
segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang
dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka
orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti
cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka Itulah
orang-orang yang beruntung.
dan
Surat Saba’ ayat 28
!$tBur y7»oYù=yör& wÎ) Zp©ù!$2 Ĩ$¨Y=Ïj9 #Zϱo0 #\ÉtRur £`Å3»s9ur usYò2r& Ĩ$¨Z9$# w cqßJn=ôèt ÇËÑÈ
Dan
kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai
pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan
manusia tiada Mengetahui.
[28]
Lihat surat Saba’ ayat 35
(#qä9$s%ur ß`øtwU çsYò2r& ZwºuqøBr& #Y»s9÷rr&ur $tBur ß`øtwU tûüÎ/¤yèßJÎ/ ÇÌÎÈ
Dan
mereka berkata: "Kami lebih banyak mempunyai harta dan anak- anak
(daripada kamu) dan kami sekali-kali tidak akan diazab
[29]
Salmadanis, 2003, Filsafat Dakwah, Jakarta, TMF, h.99-100. Lihat juga [29]
Salmadanis, 2002, dakwah dalam perspektif al-qur’an, Jakarta, TMF,75-76
[31]
Lihat surat al-Baqarah ayat 2
y7Ï9ºs Ü=»tGÅ6ø9$# w |=÷u ¡
ÏmÏù ¡
Wèd z`É)FßJù=Ïj9 ÇËÈ
Kitab
(Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa,
[32]
Lihat Surat al-Baqarah ayat 7
zNtFyz ª!$# 4n?tã öNÎgÎ/qè=è% 4n?tãur öNÎgÏèôJy (
#n?tãur öNÏdÌ»|Áö/r& ×ouq»t±Ïî (
öNßgs9ur ë>#xtã ÒOÏàtã ÇÐÈ
Allah
Telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup
dan bagi mereka siksa yang amat berat.
[33]
Lihat Surat Al-Baqarah ayat 8 & 18
zz`ÏBur Ĩ$¨Y9$# `tB ãAqà)t $¨YtB#uä «!$$Î/ ÏQöquø9$$Î/ur ÌÅzFy$# $tBur Nèd tûüÏYÏB÷sßJÎ/ ÇÑÈ BL༠íNõ3ç/ ÒôJãã öNßgsù w tbqãèÅ_öt ÇÊÑÈ
Di
antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan hari
kemudian," pada hal mereka itu Sesungguhnya bukan orang-orang yang
beriman. Mereka tuli, bisu dan buta, Maka tidaklah mereka akan kembali (ke
jalan yang benar),
[34]
Muhammad Fu’ad ‘Abdul Baqi’ , 1988, al-Mu’jamal-Mufahras
Li al-Fazh al-Qur’an al-karim, Dar
al-Hadis, Qahirah h. 153-4
[35]
Al-Raghib al- Isfahaniy, seabagaimana dikutip
oleh Salmadanis, 2002, Dakwah
dalam Perspektif al-Qur’an, Jakarta, TMF, h.76 Salmadanis, 2003, Filsafat Dakwah,
Jakarta, TMF, h
[36]
Muhammad Fu’ad ‘Abdul Baqi’ , 1988, al-Mu’jam
al-Mufahras Li al-Fazh al-Qur’an al-karim, Dar al-Hadis, Qahirah, h. 119-20
[37]
Muhammad bi Ali al-Syaukani, sebagaimana dikutip oleh, Salmadanis, 2002, Dakwah
dalam Perspektif al-Qur’an, Jakarta, TMF, h. 77. Salmadanis, 2003, Filsafat
Dakwah, Jakarta, TMF, h
[38]
Lihat Surat an-Nahl ayat 78
ª!$#ur Nä3y_t÷zr& .`ÏiB ÈbqäÜç/ öNä3ÏF»yg¨Bé& w cqßJn=÷ès? $\«øx© @yèy_ur ãNä3s9 yìôJ¡¡9$# t»|Áö/F{$#ur noyÏ«øùF{$#ur
öNä3ª=yès9 crãä3ô±s? ÇÐÑÈ
Dan
Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui
sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu
bersyukur.
Surat
al-Mu’minun ayat 12 & 14
ôs)s9ur $oYø)n=yz z`»|¡SM}$# `ÏB 7's#»n=ß `ÏiB &ûüÏÛ ÇÊËÈ ¢OèO $uZø)n=yz spxÿôÜZ9$# Zps)n=tæ $uZø)n=ysù sps)n=yèø9$# ZptóôÒãB $uZø)n=ysù sptóôÒßJø9$# $VJ»sàÏã $tRöq|¡s3sù zO»sàÏèø9$# $VJøtm: ¢OèO çm»tRù't±Sr& $¸)ù=yz tyz#uä 4
x8u$t7tFsù ª!$# ß`|¡ômr& tûüÉ)Î=»sø:$# ÇÊÍÈ
Dan
Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari
tanah. Kemudian kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Kemudian air
mani itu kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal
daging, dan segumpal daging itu kami jadikan tulang belulang, lalu tulang
belulang itu kami bungkus dengan daging. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang
paling baik.
[40]
Muhammad Fu’ad ‘Abdul Baqi’ , 1988, al-Mu’jam
al-Mufahras Li al-Fazh al-Qur’an al-Karim, Dar al-Hadis, Qahirah, h.895-9
[41]
Al-Raghib al- Isfahaniy, seabagaimana dikutip
oleh Salmadanis, 2002, Dakwah
dalam Perspektif al-Qur’an, Jakarta, TMF, h. 78. Salmadanis, 2003, Filsafat
Dakwah, Jakarta, TMF, h
[42]
Muhammad Fu’ad ‘Abdul Baqi’ , 1988, al-Mu’jam
al-Mufahras Li al-Fazh al-Qur’an al-Karim, Dar al-Hadis, Qahirah, h.137-8
[43]
Ibn Ja’far Muhammad bin Jariral-Thabari, sebagaimana dikutip oleh Salmadanis, 2002, Dakwah dalam Perspektif
al-Qur’an, Jakarta, TMF, h.79. Salmadanis, 2003, Filsafat Dakwah,
Jakarta, TMF, h
[46]
Abu Zahrah, sebagaimana dikutip oleh Salmadanis, 2002, Dakwah dalam
Perspektif al-Qur’an, Jakarta, TMF, h.84. Salmadanis, 2003, Filsafat
Dakwah, Jakarta, TMF, h.
ôs)s9ur $tRù&us zO¨YygyfÏ9 #ZÏW2 ÆÏiB Çd`Ågø:$# ħRM}$#ur (
öNçlm; Ò>qè=è% w cqßgs)øÿt $pkÍ5 öNçlm;ur ×ûãüôãr& w tbrçÅÇö7ã $pkÍ5 öNçlm;ur ×b#s#uä w tbqãèuKó¡o !$pkÍ5 4
y7Í´¯»s9'ré& ÉO»yè÷RF{$%x. ö@t/ öNèd @|Êr& 4
y7Í´¯»s9'ré& ãNèd cqè=Ïÿ»tóø9$# ÇÊÐÒÈ
Dan
Sesungguhnya kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan
manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami
(ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya
untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga
(tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu
sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah
orang-orang yang lalai.
[49]
Muhammad Quraish Shihab, Tafsiral-Misbah,; Pesan, Kesan, dan Keserasian
al-Qur’an, Jakarta, Lentera Hati, h.
386
[50]
Muhammad Quraish Shihab, Tafsiral-Misbah,; Pesan, Kesan, dan Keserasian
al-Qur’an, Jakarta,Lentera Hati, h. 387
[51]
Muhammad Fu’ad ‘Abdul Baqi’ , 1988, al-Mu’jam
al-Mufahras Li al-Fazh al-Qur’an al-Karim, Dar al-Hadis, Qahirah, h.271
[52]
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002, Departemen Pendidikan Nasional,
Jakarta, Balai Pustaka,h. 401
[53]
Muhammad Husain Fadhlullah, 1997, Metodologi Dakwah dalam al-Qur’an, Peganagan Bagi Para
Aktivis, Jakarta, Lentera, h. 40
[54]
Muhammad Quraish Shihab, Tafsiral-Misbah,; Pesan, Kesan, dan Keserasian
al-Qur’an, Jakarta,Lentera Hati, h.387
[55]
Muhammad Fu’ad ‘Abdul Baqi’ , 1988, al-Mu’jam
al-Mufahras Li al-Fazh al-Qur’an al-Karim, Dar al-Hadis, Qahirah, h.
[57]
Muhammad Husain Yusuf, 1999, Di balik Srtategi Dakwah Rasulullah, Terj.
Syukriadi Sambas & Rosihan Anwar, Bandung, Mandiri Press, h. 49-50
[58]
‘Abdu a-Rahim bin Muhammad al-Maghzawi, sebagaimana dikutip oleh Salmadanis,
2002, Dakwah dalam Perspektif al-Qur’an, Jakarta, TMF, h.128.
Salmadanis, 2003, Filsafat Dakwah, Jakarta, TMF, h
[60]Abdul Karim Zaidan, sebagaimana dikutip oleh Salmadanis,
2002, Dakwah dalam Perspektif al-Qur’an, Jakarta, TMF, h.93. Salmadanis,
2003, Filsafat Dakwah, Jakarta, TMF, h
0 Comment