PENGERTIAN, ARAH DAN TUJUAN DAKWAH DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT ISLAM
A. Pendahuluan
Sejarah
sosial umat Islam lahir, tumbuh dan berkembang tidak bisa dipisahkan dengan
riwayat jatuh bangunnya proses sosial umat Islam dalam berdakwah, secara
teologis dakwah dianggap (mission sacre)
proyek berpahala dan kedudukan dakwah itu sendiri bersifat conditio sine quanon adanya, tidak tercegah dan inheren. Tentang
kenyataan ini harus diakui benar bahwa Nabi Muhammad SAW mengatakan dalam
pesannya “Sampaikan apa yang kamu terima dariku meski satu ayat”
karenanya wajar dalam pentas sejarah pendekatan kerja dakwah terus terlahir, baik yang bersifat teknis operasional maupun
yang konseptual,
tentu saja tidak bisa dilepas dengan konteks sosial, realitas yang spesifik,
dakwah bersifat dinamis seiring dengan perkembangan laju persoalan dan
kebutuhan masyarakat.
Masyarakat
dalam kehidupan selalu mengalami perubahan-perubahan, baik perubahan yang alami maupun yang
dirancang oleh masyarakat itu sendiri. Perubahan
itu tidak selalu lebih baik bahkan sering terjadi sebaliknya. Manusia akan
mengalami krisis identitas dirinya sebagai makhluk yang mulia disisi Allah
maupun bagi sesamanya. Karena itu dakwah juga mengalami perubahan-perubahan
sesuai dengan transformasi
sosial yang berkembang seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
B. Pengertian Dakwah
Secara etimologis, kata “dakwah” berasal dari bahasa Arab
yang mempunyai arti: panggilan, ajakan, dan seruan. Sedangkan dalam ilmu tata
bahasa Arab, kata dakwah adalah bentuk dari isim
masdar yang berasal dari kata
kerja : دعا, يدعو, دعوة
artinya : menyeru, memanggil, mengajak.
Dalam
pengertian yang integralistik
dakwah merupakan suatu proses
yang berkesinambungan yang ditangani oleh para pengemban dakwah untuk mengubah sasaran dakwah agar bersedia masuk ke jalan Allah,
dan secara bertahap menuju perikehidupan yang Islami. oleh karenanya perlu
memperhatikan unsur penting dalam berdakwah sehingga dakwah menghasilkan perubahan sikap bagi mad'u. Sedangkan
ditinjau dari segi terminologi, banyak sekali perbedaan pendapat tentang definisi dakwah di kalangan para ahli, antara lain:
Menurut A. Hasmy dakwah yaitu mengajak orang lain untuk
meyakini dan mengamalkan akidah dan syariat Islam yang terlebih dahulu telah
diyakini dan diamalkan oleh pendakwah itu sendiri.[1]
Menurut
Amrullah Ahmad .ed., dakwah Islam merupakan aktualisasi, Imani (teologis) yang dimanifestasikan dalam suatu
sistem kegiatan manusia beriman dalam bidang kemasyarakatan yang dilaksanakan
secara teratur untuk mempengaruhi cara merasa, berpikir, bersikap, dan
bertindak manusia pada tataran kegiatan individual dan sosio kultural dalam
rangka mengesahkan terwujudnya ajaran Islam dalam semua segi kehidupan dengan
cara tertentu.[2]
Menurut
Amin Rais, dakwah adalah gerakan simultan dalam berbagai bidang kehidupan untuk
mengubah status quo agar nilai-nilai Islam memperoleh kesempatan
untuk tumbuh subur demi kebahagiaan seluruh umat manusia.[3]
Menurut
Farid Ma’ruf Noor, dakwah merupakan suatu perjuangan hidup untuk menegakkan dan
menjunjung tinggi undang-undang Ilahi dalam seluruh aspek kehidupan manusia dan
masyarakat sehingga ajaran Islam menjadi shibghah yang mendasari, menjiwai, dan mewarnai
seluruh sikap dan tingkah laku dalam hidup dan kehidupannya.[4]
Menurut
Abu Bakar Atjeh, dakwah adalah seruan kepada semua manusia untuk kembali dan
hidup sepanjang ajaran Allah yang benar, yang dilakukan dengan penuh
kebijaksanaan dan nasehat yang baik.[5]
Menurut
Toha Yahya Umar, dakwah adalah mengajak manusia dengan cara bijaksana ke jalan
yang benar sesuai dengan perintah Tuhan, untuk keselamatan dan kebahagiaan
dunia akhirat.[6]
Dari
beberapa definisi tersebut
paling tidak dapat diambil kesimpulan tentang dakwah:
1. Dakwah itu adalah suatu usaha yang dilakukan
dengan sadar dan terencana.
2. Usaha dakwah
itu adalah untuk memperbaiki
situasi yang lebih baik dengan mengajak manusia untuk selalu ke jalan Allah
SWT.
3. Proses penyelenggaraan itu adalah untuk
mencapai tujuan yang bahagia dan sejahtera, baik di dunia maupun akhirat.
Dalam
kaitannya dengan makna dakwah,
ada beberapa hal yang perlu diperhatikan secara seksama, agar dakwah dapat
dilaksanakan dengan baik.
Pertama,
dakwah sering disalah artikan sebagai pesan yang datang dari luar. Pemahaman
ini akan membawa konsekuensi kesalah langkah-an dakwah, baik dalam formulasi pendekatan
atau metodologis, maupun formulasi
pesan dakwahnya. Karena dakwah dianggap dari luar, maka langkah pendekatan
lebih diwarnai dengan pendekatan interventif,
dan para dai lebih mendudukkan diri sebagai orang asing, tidak terkait dengan
apa yang dirasakan dan dibutuhkan oleh masyarakat.
Kedua, dakwah
sering diartikan menjadi sekadar ceramah dalam arti sempit. Kesalahan ini
sebenarnya sudah sering diungkapkan, akan tetapi dalam pelaksanaannya tetap
saja terjadi penciutan makna, sehingga orientasi dakwah sering pada hal-hal
yang bersifat rohani saja. Istilah “dakwah pembangunan” adalah contoh yang
menggambarkan seolah-olah ada dakwah yang tidak membangun atau dalam makna
lain, dakwah yang pesan-pesannya penuh dengan tipuan sponsor.
Ketiga, masyarakat yang dijadikan
sasaran dakwah sering dianggap masyarakat yang vacum ataupun steril, padahal dakwah sekarang
ini berhadapan dengan satu setting masyarakat dengan beragam corak dan
keadaannya, dengan berbagai persoalannya, masyarakat yang serba nilai dan
majemuk dalam tata kehidupannya, masyarakat yang berubah dengan cepatnya, yang
mengarah pada masyarakat fungsional, masyarakat teknologis, masyarakat
saintifik dan masyarakat terbuka.
Keempat, Sudah menjadi tugas manusia
untuk menyampaikan saja (al-Ghaasyiah: 21-22), sedangkan masalah hasil akhir
dari kegiatan dakwah diserahkan sepenuhnya kepada Allah SWT. Allah sajalah yang mampu memberikan hidayah dan
taufik-Nya kepada manusia, Rasulullah SAW sendiripun tidak mampu memberikan
hidayahnya kepada orang yang dicintainya (al-Qashash: 56). Akan tetapi, sikap
ini tidaklah berarti menafikan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi dari
kegiatan dakwah yang dilakukan. Dakwah,
jika ingin berhasil dengan baik, haruslah memenuhi prinsip-prinsip manajerial
yang terarah dan terpadu, dan inilah mungkin salah satu maksud hadis Nabi, “Sesungguhnya Allah sangat
mencintai jika salah seorang di antara kamu beramal, amalnya itu dituntaskan.” (HR Thabrani). Karena itu, sudah tidak pada tempatnya
lagi kalau kita tetap mempertahankan kegiatan dakwah yang asal-asalan.
Kelima, secara konseptual Allah SWT
akan menjamin kemenangan hak para pendakwah, karena yang hak jelas akan mengalahkan yang bathil (al-Isra’:81). Akan tetapi, sering dilupakan bahwa untuk berlakunya sunatullah yang
lain, yaitu kesungguhan (ar-Ra’d: 11). Hal ini berkaitan dengan erat dengan
cara bagaimana dakwah tersebut dilakukan, yaitu dengan al-Hikmah, mau’idzatil hasanan, dan mujadalah billatii hiya
ahsan (an-Nahl: 125).
Berbicara
tentang dakwah adalah berbicara tentang komunikasi, karena komunikasi adalah
kegiatan informatif, yakni agar orang lain mengerti, mengetahui dan kegiatan
persuasif, yaitu agar orang lain bersedia menerima suatu paham atau keyakinan,
melakukan suatu faham atau keyakinan, melakukan suatu kegiatan atau perbuatan
dan lain-lain. Keduanya (dakwah dan komunikasi) merupakan bagian integral
yang tidak dapat dipisahkan.
Dakwah
adalah komunikasi, akan tetapi komunikasi belum tentu dakwah, adapun yang
membedakannya adalah terletak pada isi dan orientasi pada kegiatan dakwah dan kegiatan komunikasi. Pada
komunikasi,
isi pesannya umum bisa juga berupa ajaran agama, sementara orientasi pesannya
adalah pada pencapaian tujuan dari komunikasi itu sendiri, yaitu munculnya efek
dan hasil yang berupa perubahan pada sasaran. Sedangkan
pada dakwah isi pesannya jelas berupa ajaran Islam dan orientasinya adalah
penggunaan metode yang benar menurut ukuran Islam. Dakwah merupakan komunikasi
ajaran-ajaran Islam dari seorang da’i kepada ummat manusia dikarenakan
didalamnya terjadi proses komunikasi
C. Pengertian Pemberdayaan Masyarakat Islam
Pemberdayaan berasal dari bahasa Inggris “empowerment” yang
secara harfiah bisa diartikan sebagai “pemberkuasaan”, dalam arti pemberian
atau peningkatan “kekuasaan” (power) kepada masyarakat yang
tidak beruntung.
Sekilas,
makna pemberdayaan memiliki makna luas dari beberapa sudut pandang. Agar dapat memahami secara mendalam tentang
pengertian pemberdayaan maka perlu mengkaji beberapa pendapat para ilmuwan yang
memiliki komitmen terhadap pemberdayaan masyarakat.
Robinson
menjelaskan bahwa pemberdayaan adalah suatu proses pribadi dan sosial; suatu
pembebasan kemampuan pribadi, kompetensi, kreatifitas dan kebebasan bertindak.[7]Sedangkan
Ife mengemukakan bahwa pemberdayaan mengacu pada kata “empowerment,” yang
berarti memberi daya, memberi ”power” (kuasa), kekuatan, kepada pihak yang
kurang berdaya.[8]
Payne
menjelaskan bahwa pemberdayaan pada hakekatnya bertujuan untuk membantu klien
mendapatkan daya, kekuatan dan kemampuan untuk mengambil keputusan dan tindakan
yang akan dilakukan dan berhubungan dengan diri klien tersebut, termasuk
mengurangi kendala pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan.[9]
Orang-orang yang telah mencapai tujuan kolektif diberdayakan melalui
kemandiriannya, bahkan merupakan “keharusan” untuk lebih diberdayakan melalui
usaha mereka sendiri dan akumulasi pengetahuan, keterampilan serta sumber lainnya dalam rangka
mencapai tujuan tanpa tergantung pada pertolongan dari hubungan eksternal.
Empowerment
atau pemberdayaan secara singkat dapat diartikan sebagai upaya untuk memberikan
kesempatan dan kemampuan kepada kelompok masyarakat untuk berpartisipasi,
bernegosiasi,
mempengaruhi, dan mengendalikan kelembagaan masyarakat secara bertanggung jawab
demi perbaikan kehidupannya. Pemberdayaan
juga diartikan sebagai upaya untuk memberikan daya (empowerment) atau kekuatan (strength)
kepada masyarakat.
Secara etimologis pengembangan
berarti membina dan meningkatkan kualitas, dan masyarakat Islam berarti
kumpulan manusia yang beragama Islam yang memilih hubungan dan keterkaitan
ideologis satu dengan yang lainnya. Manusia memiliki fitrah keagamaan, sehingga
manusia membutuhkan agama. Kelahiran Islam, yang ditandai dengan lahirnya Nabi
Muhammad SAW pada tahun gajah tanggal 12 Rabiul awal, atau tahun 570 M, adalah
sebuah momen penting dalam sejarah Islam. Karena dari sinilah dimulai
perjalanan panjang pengembangan masyarakat Islam yang menyatu dalam dakwah
syi'ar Islam di jazirah arab.
Pengembangan masyarakat (community
development) merupakan wawasan dasar bersistem tentang asumsi perubahan
sosial terancang yang tepat dalam kurun waktu tertentu. Sedangkan teori dasar
pengembangan masyarakat yang menonjol pada saat ini adalah teori ekologi dan
teori Sumber daya manusia. Teori ekologik mengemukakan tentang “batas
pertumbuhan”. Untuk sumber-sumber yang tidak dapat diperbaharui perlu dikendalikan
pertumbuhannya. Teori ekologik menyarankan kebijaksanaan
pertumbuhan diarahkan sedemikian rupa sehingga dapat membekukan proses
pertumbuhan (zero growth) untuk produksi dan penduduk.
Sering dikatakan bahwa
pengembangan masyarakat Islam adalah wujud dari dakwah bil Hal. Tokoh Amrullah
Ahmad, Nanih Machendrawati, dan Agus Ahmad mendefinisikan bahwa
pengembangan masyarakat Isam adalah suatu sistem tindakan nyata yang menawarkan
alternatif model pemecahan masalah ummah dalam bidang sosial, ekonomi, dan
lingkung-an dalam perspektif Islam. Menstransformasikan dan melembagakan semua
segi ajaran Islam dalam kehidupan keluarga (usrah) kelompok sosial (jamaah),
dan masyarakat (ummah). Model empiris pengembangan perilaku individual dan
kolektif dalam dimensi amal sholeh (karya terbaik), dengan titik tekan pada
pemecahan masalah yang dihadapi oleh masyarakat.
Tim Islamic Community Development
Model dari Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN pernah juga merumuskan definisi
untuk model pengembangan masyarakat Islam, terdiri dari unsur-unsur:
1
Mengutamakan perilaku
pengembangan atau pemberdayaan masyarakat yang beragama Islam atau organisasi
yang berasaskan Islam.
2
Mengutamakan pemberdayaan umat
Islam yang tertinggal dalam segala hal.
3
Mengutamakan penggunaan dana yang
bersumber dari dana filantropi Islam seperti Zakat Mall, Zakat Fitrah, Infak
atau Sodaqoh.
4
Pendekatan pemberdayaan
menggunakan pendekatan ke-Islaman.
5
Filantropi Islam jika dijadikan
sebagai bantuan modal sebaiknya menggunakan sistem bagi hasil.
6
Pendamping atau agen perubah
diutamakan yang beragama Islam dan
7
Melibatkan institusi mitra lokal
yang berasaskan Islam.
Pranarka dan Vidhyandika menjelaskan bahwa proses
pemberdayaan mengandung dua kecendrungan. Pertama, proses pemberdayaan yang
menekankan pada proses memberikan atau mengalihkan sebagai kekuatan, kekuasaan
atau kemampuan kepada masyarakat agar individu lebih berdaya. Kedua, proses
pemberdayaan yang menekankan pada proses menstimulasi, mendorong atau
memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan
apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog.
Para
ilmuwan sosial dalam memberikan pengertian pemberdayaan mempunyai rumusan yang
berbeda-beda dalam berbagai konteks dan bidang kajian, hal tersebut dikarenakan
belum ada definisi yang tegas mengenai konsep pemberdayaan. Oleh karena
itu, agar dapat memahami secara mendalam tentang pengertian pemberdayaan maka
perlu mengkaji beberapa pendapat para ilmuwan yang memiliki komitmen terhadap
pemberdayaan masyarakat.
Pertama akan
kita pahami pengertian tentang pemberdayaan. Menurut Sulistiyani secara
etimologis pemberdayaan berasal dari kata dasar
“daya” yang berarti kekuatan atau kemampuan.[10] Bertolak dari pengertian
tersebut, maka pemberdayaan dapat dimaknai sebagai suatu proses menuju berdaya
atau proses pemberian daya (kekuatan/kemampuan)
kepada pihak yang belum berdaya. Kedua pengertian
tentang masyarakat, menurut Soetomo masyarakat
adalah sekumpulan orang yang saling berinteraksi secara kontinyu, sehingga terdapat relasi sosial
yang terpola, terorganisasi.[11]
Menurut Sunyoto Usman, pemberdayaan masyarakat adalah
sebuah proses dalam bingkai usaha memperkuat apa yang lazim disebut community
self-reliance atau kemandirian. Dalam proses ini masyarakat didampingi
untuk membuat analisis masalah yang dihadapi, dibantu untuk menemukan
alternatif masalah tersebut, serta diperlihatkan strategi memanfaatkan
berbagai resources yang dimiliki dan dikuasai. Dalam proses
itu masyarakat dibantu bagaimana merancang sebuah kegiatan sesuai dengan
kemampuan yang dimiliki, bagaimana mengimplementasikan rancangan tersebut,
serta bagaimana membangun strategi memperoleh sumber-sumber eksternal yang
dibutuhkan sehingga memperoleh hasil optimal.[12]
Sedangkan menurut
Abdurrahman Wahid, Pengembangan
Masyarakat islam adalah usaha untuk membina dan mengembangkan
masyarakat Islam dalam aspek social engencering dan kesejahteraan sosial
melalui pengkajian, penelitian, dan rekayasa sosial untuk mewujudkan sumber daya manusia yang bermutu dan
berkualitas. Pengembangan diri dan
masyarakat menjadi agent perubahan sosial dan kesejahteraan dalam sosial
pembangunan masyarakat Islam.
Secara konseptual, pemberdayaan masyarakat adalah upaya
untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi
sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari kemiskinan dan keterbelakangan.
Dengan kata lain memberdayakan dan memampukan masyarakat.[13]
Kedua definisi tersebut bila digabungkan dapat
dipahami makna pemberdayaan masyarakat. Namun
sebelum kita tarik kesimpulan, terlebih dahulu kita pahami makna pemberdayaan
masyarakat menurut para ahli
lainnya.
Menurut Moh. Ali Aziz, dkk “Pemberdayaan masyarakat merupakan suatu
proses di mana masyarakat, khususnya mereka yang kurang memiliki akses ke
sumber daya pembangunan, didorong untuk meningkatkan kemandiriannya di dalam
mengembangkan perikehidupan mereka. Pemberdayaan masyarakat juga merupakan
proses siklus terus-menerus, proses partisipatif di mana anggota masyarakat
bekerja sama dalam kelompok formal maupun informal untuk berbagi
pengetahuan dan pengalaman serta berusaha mencapai tujuan bersama. Jadi,
pemberdayaan masyarakat lebih merupakan suatu proses”.[14]
Selanjutnya
pemaknaan pemberdayaan masyarakat menurut Madekhan Ali yang mendefinisikan
pemberdayaan masyarakat sebagai berikut ini :
“Pemberdayaan masyarakat sebagai sebuah
bentuk partisipasi untuk membebaskan diri mereka sendiri dari ketergantungan
mental maupun fisik. Partisipasi masyarakat menjadi satu elemen pokok dalam
strategi pemberdayaan dan pembangunan masyarakat, dengan alasan; pertama, partisipasi
masyarakat merupakan satu perangkat ampuh untuk memobilisasi sumber daya lokal,
mengorganisir serta membuka tenaga, kearifan, dan kreativitas masyarakat. Kedua,
partisipasi masyarakat juga membantu upaya identifikasi dini terhadap kebutuhan
masyarakat”.[15]
Sehingga kelebihan
itu perlu dibina agar dapat mengembangkan potensi pribadi untuk dapat
membangun. Adapun menurut Amarullah Ahmad, pengembangan masyarakat Islam adalah
system tindakan nyata yang menawarkan alternatif modern pemecahan masalah Ummah
dalam bidang sosial, ekonomi, dan lingkungan dalam perspektif Islam,
dengan demikian penggabungan prilaku individu dan kolektif dalam dimensi amal
sholeh.
Masyarakat Islam berarti kumpulan manusia yang beragama
Islam, yang meneliti hubungan dan keterkaitan ideologis yang satu dengan yang
lainnya. Dalam pemikiran sosiologis, Ibnu Kaldun menjelaskan bahwa manusia itu
secara individu diberikan kelebihan namun secara kodrati manusia memiliki
kekurangan.
Mengacu pada pengertian dan teori para ahli, pemberdayaan
dapat diartikan sebagai upaya membangkitkan kesadaran akan potensi yang
dimiliki serta berupaya untuk mengembangkannya sehingga masyarakat dapat
mencapai kemandirian. Kemudian dapat disimpulkan bahwa pemberdayaan masyarakat
adalah upaya untuk meningkatkan daya atau kekuatan pada masyarakat dengan cara
memberi dorongan, peluang, kesempatan, dan perlindungan dengan tidak mengatur
dan mengendalikan kegiatan masyarakat yang diberdayakan untuk mengembangkan
potensinya sehingga masyarakat tersebut dapat meningkatkan kemampuan dan
mengaktualisasikan diri atau berpartisipasi melalui berbagai aktivitas.
D. Arah Dakwah
& Pemberdayaan Masyarakat Islam
Membangun
(mengembangkan) suatu masyarakat agar menjadi maju, mandiri dan berbudi
bukanlah sesuatu yang mudah, seperti membalikkan telapak tangan. Upaya tersebut
tidak saja membutuhkan tekad dan keyakinan, tetapi juga kerja keras dan tak
kenal lelah. Berbagai teori pembangunan bermunculan, dan dianut oleh
berbagai bangsa dan negara seperti teori pertumbuhan yang dikembangkan
oleh Rostow dan Harrod Domar, dan konsep ini pula tampaknya telah diadopsi
pemerintah Indonesia pada masa Orde Baru dengan Istilah masyarakat tingggal
landas. Walaupun pada akhirnya keadaan ekonomi bangsa Indonesia terpuruk ke
titik nadir karena tidak mempertimbangkan pembangunan dari aspek mental bangsa.
Masalah
lain yang kemudian muncul adalah bagaimana arah pengembangan atau pembangunan masyarakat Islam? Untuk menjawab
pertanyaan sederhana ini layak kiranya kita telaah terlebih dahulu makna
masyarakat Islam. Yusuf Qardhawy mengemukakan bahwa masyarakat Islam adalah
masyarakat yang komitmen memegang teguh aqidah Islamiyah “Laa ilaaha Illallah
Muhammadan Rasulullah”(menolak keyakinan lain) tertanam dan berkembang dalam
hati sanubari, akal dan perilaku diri pribadi menularkan kepada sesama dan
generasi penerus.
Sedangkan
yang akan dituju dalam pengemabangan masyarakat Islam adalah masyarakat Islam
Ideal, seperti gambaran masyarakat yang dibangun oleh Rasulullah bersama umat
Islam pada awal kehadirannya di Madinah, kota yang dahulu bernama Yatsrib
dirubah dengan nama baru “Madinah al-nabi” dari asal kata madaniyah atau tamaddun
(civilization) yang berarti peradaban, maka masyarakat Madinah atau
Madani (civil Society) adalah masyarakat yang beradab yang dilawankan dengan
masyarakat Badwy, yang berarti masyarakat yang pola kehidupannya berpindah
(Nomaden) dan belum mengenal norma aturan.[16]
Melihat
gambaran masyarakat Islam ideal dari kondisi jahiliyah menjadi masyarakat yang
beradab, berwawasan bernorma, maka arah pengembangan masyarakat islam bukan
sekedar mengejar pertumbuhan ekonomi seperti Rostow dan Harorod Domar, tetapi
harus diimbangi dengan landasan moral spiritual sebagai alat kontrol. Dalam pengertian dakwah pembangunan atau pengembangan
masyarakat arahnya untuk mencapai kondisi mental (iman, taqwa, ihsan dan
sejenisnya) yang stabil dengan kondisi kehidupan yang lain baik dalam kehidupan
individu maupun sosial. Dan paradigma
yang digunakan Comte, Durkheim maupun Weber, tetapi paradigm spiritual yang
bersumber dari Al-Qur’an (tentunya harus dijabarkan lebih lanjut),Yakni “Litukhrijan
naasa minadzulimaati ilan nuri”, dalam bahasa dakwah dipahami dengan apa
yang disebut ‘an-nahyu ‘ani al-munkar, dan lain-lain yang tidak termasuk
kategori munkar
tetapi memerlukan perbaikan dan peningkatan, seperti: Kemiskinan, kebodohan,
keterbelakangan,
ketertindasan dan sejenisnya.
Pendek
kata semua bentuk dan jenis masalah yang dihadapi dalam kehidupan masyarakat. Sedang ‘ila an-nur, dalam pengertian dakwah
dapat dipahami dalam konsep ‘al Amru bil al-ma’ruf. Mengajak
manusia kepada iman, taqwa, ihsan,
akhlakul
karimah, kemajuan, keadilan, pemerataan dan lain-lain. Dalam hal ini bagaimana bagi mereka yang
sudah dalam kategori atau kondisi ‘an-nur atau ‘al-ma’ruf? Apakah mereka tidak
perlu lagi pengembangan?
Pertanyaan
ini dapat dijawab dengan dasar asumsi, bahwa
seseorang atau kelompok ataupun masyarakat tentu menggali persoalan, hanya saja berat ringatnya
persoalan berbeda. Maka
jawaban dari pertanyaan tersebut adalah semua orang atau masyarakat memerlukan
usaha pengembangan, hanya saja dalam pengembangan
masyarakat harus dilihat dari skala prioritas, mana
yang penting dan mana yang kurang penting. Bagi masyarakat yang dalam kondisi sudah baik kondisi
sosial, ekonomi dan budayanya maka pengembangan lebih bermakna peningkatan dan
memelihara kondisi baik tersebut agar tidak terkena virus munkar.
E. Tujuan Dakwah & Pemberdayaan Masyarakat Islam
Berangkat
dari sebuah asumsi dasar bahwa setiap orang dalam kelompok masyarakat mesti
mengalami perubahan baik lambat maupun cepat, dalam merancang perubahan
tersebut dalam masyarakat muncul persoalan hidup dan kehidupan, baik yang
berkaitan dengan persoalan material maupun non material baik individu maupun
kelompok. Setiap manusia anggota masyarakat selalu berusaha untuk mengatasi
masalah tersebut ada yang mampu mengatasinya sendiri dengan memanfaatkan
segala daya kemampuannnya dan ada pula yang membutuhkan bantuan orang lain.
Artinya ada yang mampu mengaktualisasikan kemampuan yang dimiliki dalam
mengatasi masalahnya, ada pula yang yang membutuhkan bantuan orang lain atau
kelompok lain. Disinilah fungsi dakwah sebagai penyebar an-nur dan rahmat
(fungsi pengembang) bagi seluruh umat manusia bahkan alam semesta.
Dakwah
yang dilaksanakan dalam rangka mengembangkan masyarakat, sesuai dengan namanya
maka, hendaknya dilaksanakan dengan gerakan jama’ah dan dakwah jamaah, artinya:
jama’a menunjukkan suatu kelompok masyarakat kecil yang lebih luas dari
keluarga yang hidup bersama untuk secara bersama-sama mengidentifikasi
persoalan dan masalah hidup, mengenai kebutuhannya baik dalam urusan ubudiyah,
uluhiyah maupun bidang kehidupan lainnya seperti: sosial, ekonomi, budaya,
politik dan lain-lain. Karena itu kata jama’ah tidak ada kaitannya dengan jama’ah Islamiyah yang pernah
berkembang di Indonesia.[17]
Pelaksanaan
dakwah jama’ah merupakan program kegiatan dakwah yang menempatkan seseorang
atau kelompok orang yang menjadi inti utama gerakan jama’ah (pengembang
masyarakat) atau da’i. Sedangkan
jama’ah adalah kelompok masyarakat yang berada dalam lingkup geografis yang
sama dengan inti jama’ah dan brsama-sama mengembangkan potensi yang dimiliki
jama’ah dalam rangka mengatasi persoalan hidup yang dimiliki jama’ah dalam rangka mengatasi
persoalan hidup mereka, jika perlu maka
dapat diangkat pamong jama’ah yang berfungsi sebagai coordinator (sesepuh
jama’ah atau masyarakat) dalam mendiskusikan segala permasalahan yang mereka
hadapi.
Inti
jama’ah sebagai pengembang masyarakat dituntut memiliki kemampuan lebih (dalam
bidang tertentu) dibandingkan jama’ah, tetapi dalam bidang tertentu lainnya
jama’ah sebenarnya lebih mengetahui dan menguasai. Setidaknya inti jama’ah
(pengembang atau da’i) memiliki kemampuan dan keahlian: Pertama, Menganalisis
problem sosial keagamaan masyarakat, Kedua, Merancang kegiatan pengembangan
masyarakat berdasarkan hasil analisis problem. Ketiga, mengelola dan
melaksanakan kegiatan pengembangan berdasarkan rencana yang telah disepakati. Keempat, mengevaluasi kegiatan pengembangan masyarakat
dan kelima, melatih jama’ah atau masyarakat dalam menganalisis problem yang
dihadapi jama’ah atau masyarakat, merancang, mengelola dan melaksanakan
kegiatan pengembangan serta mengevaluasi kegiatan pengembangan.
Berdasarkan uraian tersebut dapat dirumuskan beberapa
tujuan pengembangan masyarakat Islam yaitu memiliki akidah yang kuat, akhlak
mulia dan istiqamah serta memiliki keahlian (skill) yang yang memadai. Secara
sistematis arah tujuan pengembangan masyarakat Islam tersebut adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis
problem sosial secara umum dan keagamaan secara khusus yang muncul dalam
kehidupan masyarakat sebagai akibat adanya perubahan sosial.
2. Merancang
kegiatan pengembangan masyarakat berdasarkan problem yang ada, berdasarkan
skala prioritas.
3. Mengelola
dan melaksanakan kegiatan pengembangan masyarakat berdasarkan rencana yang
disepakati (kemampuan menjadi pendamping)
4. Mengevaluasi
seluruh proses pengembangan masyarakat (evaluasi pendampingan)
[1] A.Hasmy, Dustur Dakwah menurut al-Qur’an, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), hal.
18
[2] Amrullah
Ahmad, ed. Dakwah dan
Perubahan sosia,l (Yogyakarta:
Prima Duta, 1983), hal 2.
[3] Amin
Rais, Cakrawala Islam, (Bandung,: Mizan, 1991), hal 26.
[4] Farid
Ma’ruf Noor, Dinamika dan
Akhlak Dakwah, (Surabaya: Bina Ilmu, 1981), hal.29.
[5] Abu
Bakar Atjeh, Beberapa Catatan
Mengenai Dakwah Islam. (Semarang:
Ramadani, 1979), hal. 6.
[6] Toha
Yahya Oemar, Ilmu Dakwah (Jakarta:
Wijaya, 1976), hal. 1.
[7].Robinson, J.R..Community
Development in Perspective. (Ames: Iowa State University Press,1994), h.
125
[8].Ife, J.W..Community
Development: Creating Community Alternatives, (Vision, Analysis and
Practice: Longman. Australia, 1995), h. 182
[9].Payne, M..Social
Work and Community Care. London: McMillan, 1997
[10].Sulistyani, Ambar
T& Rosidah..Manajemen Sumber Daya Manusia : Konsep, Teori dan
Pembangunan dalam Konteks Organisasi Publik. (Yogyakarta : Graha Ilmu,
2003, h. 77
[11].Soetomo, Pemberdayaan
Masyarakat. (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2011), h. 25
[12].Abu Huraerah, Pengorganisasian dan Pengembangan
Masyarakat, (Bandung: Humaniora, 2008), h.87
[13].Murdi Yatmo Hutomo, Pemberdayaan Masyarakat Dalam
Bidang Ekonomi Tinjaun Teoritik dan Implementasi (Tesis, Universitas Indonesia,
Jakarta, 2001), h.10.
[14] Moh.
Ali Aziz dkk, Dakwah Pemberdayaan Masyarakat, Paradigma Aksi Metodologi,
(Yogyakarta, Pustaka Pesantren, 2005), h. 136
[15] Madekhan
Ali, Orang Desa Anak Tiri Perubahan,
(Malang, Averroes Press. 2007) h. 86
[16]. Nur
Kholis Majid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Dian Rakyat & Paramadina,, 1992,)
h. 312-315
[17]Munir Mulkhan, Ideologi Gerakan
Dakwah, (Yogyakarta: Sipress, 1996), h. 214
0 Comment