A.
Pendahuluan
Masing-masing manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah
(suci). Sesuai dengan hadits Nabi SAW yang mengatakan bahwa : “Tiap-tiap
anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci)....”. Tentu dalam hal ini
yang dimaksud “suci” adalah ruh si anak tersebut. Karena manusia terdiri dari
dua unsur, yaitu jasmani dan ruh (jiwa), ruh yang ditiupkan ke dalam diri
manusia itu suci dan bersih karena ia berasal dari Yang Maha Suci (Allah).
Lebih lanjut hadits Nabi tersebut menjelaskan bahwa yang akan menjadikan
seseorang anak itu apakah cenderung dan mengikuti serta berpegang kepada agama
yahudi, nasrani atau majusi adalah orang tuanya yang mengasuh dan mendidiknya.
Oleh karena itu manusia yang terlahir ke dunia ini pada hakikatnya seperti
kaset kosong yang siap merekam dan mengikuti apa yang ditanamkan dan
didengarnya ketika dimasa kecilnya.
Dalam al-Qur’an juga digambarkan dengan jelas bahwa
manusia setelah ditiupkan ruh semasa dalam kandungan dan bersaksi bahwa ia
hanya bertuhankan kepada Allah SWT, dan mengakui dengan sebenar-benarnya bahwa
yang menciptakan dan memberikan kepada kehidupan adalah Allah SWT.
Namun, ketika manusia sudah terlahir ke dunia, maka ia
akan bertemu dengan benda-benda keduniawian yang di satu saat dapat
melalaikannya dari mengingat akan janjinya kepada Allah semasa dalam kandungan
dan adakalanya manusia itu ingat kepada Dzat yang telah menciptakannya.
Karena yang menciptakan dan
menjadikan manusia itu adalah Allah, maka secara fitriah ia akan terus
membutuhkan kepada dzat yang menciptakannya. Ketika ia tidak menemukan apa yang
dibutuhkannya secara fitriah itu maka manusia akan mengalami keguncangan jiwa
dan terkadang berimbas kepada fisiknya seperti stres dan suka berbuat jahat dan
sebagainya.
Disamping itu manusia juga merupakan makhluk yang
tercipta dengan sesempurna ciptaan Allah SWT dibanding dengan yang lainnya, hal
ini karena manusia memiliki dua alat yang diberikan untuk memenuhi kebutuhannya
yaitu Aql dan Qalb. Dengan adanya alat tersebut, manusia menjadi
hamba Allah (‘abd Allah) dan wakil Allah (khalifah Allah)
di bumi.
Musa Asy’arie menyatakan sebagaimana yang dikutip
Ramayulis bahwa esensi manusia sebagai ‘abd adalah ketaatan, ketundukan,
dan kepatuhan yang kesemuanya itu hanya layak diberikan kepada Tuhan.[1] Karena manusia
hamba Allah maka manusia tidak dapat lepas dari kekuasaanya, dan perasaan
membutuhkan kepada Tuhan ini selalu ada dalam diri manusia yang disebut dengan
fitrah beragama.
Manusia sebagai wakil Allah (khalifah Allah), diberikan fasilitas yang lebih dan utama antara yang satu dengan yang lainnya, agar tercipta peradaban yang maju dan berkembang. Hal ini terkandung dalam surat Al-A’raf ayat 69 yang artinya
“Apakah kamu (tidak percaya) dan heran bahwa datang kepadamu peringatan dari Tuhanmu yang dibawa oleh seorang laki-laki di antaramu untuk memberi peringatan kepadamu? Dan ingatlah oleh kamu sekalian di waktu Allah menjadikan kamu sebagai pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah lenyapnya kaum Nuh, dan Tuhan telah melebihkan kekuatan tubuh dan perawakanmu (daripada kaum Nuh itu). Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah supaya kamu mendapat keberuntungan” (Q.S. Al-A’raf ayat 69)
Quraisy Shihab mengatakan sebagaimana yang dikutip
Ramayulis bahwa dengan adanya kelebihan dan kekurangan itu hubungan antar
manusia dengan manusia lainnya atau manusia dengan alam, bukan hanya merupakan
hubungan antara tuan dengan hamba, tetapi hubungan kebersamaan dalam ketundukan
dan kepatuhan terhadap Allah SWT.
Berangkat dari wacana di atas, dan tugas pokok yang
diberikan pembimbing mata kuliah Filsafat Ilmu Dakwah- oleh Prof. Dr.
Salmadanis, M.A, maka pemakalah mencoba menampilkan makalah dengan judul; Kebutuhan
Manusia terhadap Dakwah dan Filsafat.
Tujuan pokok dalam penulisan makalah ini adalah mengemukakan hal-hal yang mendasar tentang kebutuhan manusia terhadap dakwah dan filsafat. Disamping itu dalam makalah ini terkandung; (1) kebutuhan manusia kepada dakwah; (2) kebutuhan manusia terhadap filsafat.
B.
Pembahasan
1. Kebutuhan Manusia Kepada Dakwah
Dengan adanya fitrah agama pada diri manusia yang pada
perkembangannya tidak semua manusia mampu untuk mempertahankannya, mengikutinya
dan fitrah itu sendiri tidak akan berjalan dengan otomatis, malainkan
tergantung kepada manusia itu sendiri. Maka Allah mengutus rasul-Nya sebagai
contoh dan tauladan bagi manusia untuk menjelaskan bagaimana seharusnya manusia
hidup di muka bumi ini sesuai dengan fitrahnya. Karena manusia yang tidak mampu mempertahankan fitrahnya
maka derajatnya tidak akan berbeda dengan makhluk yang lainnya.
Kedudukan, fungsi dan kelebihan yang diberikan Allah SWT
kepada manusia (karena dibekali dengan akal dan qalbu) dibanding makhluk yang
lainnya, menjadikan manusia memiliki konsekwensi nilai moral relegius.
Dan setiap manusia harus mempertahankan dan
mempertanggung jawabkan segala amal perbuatannya semasa di dunia kepada Allah
SWT. Oleh karena itu dalam rangka mengaplikasikan aturan agama yang diturunkan
Allah melalui rasul-Nya kepada seluruh manusia perlu adanya kegiatan dakwah
agar manusia tidak lari dari fitrahnya dan tidak manjadikan manusia lupa kepada
penciptanya.
Adapun dakwah yang merupakan kegiatan menyampaikan
informasi-informasi agama kepada manusia, yang mana informasi yang paling mulia
itu sendiri adalah wahyu (agama) dan setiap manusia akan membutuhkan agama
karena itu salah satu kegiatan yang dapat dilakukan untuk membimbing dan
mengingatkan manusia kepada penciptanya adalah dakwah.
Berkaitan dengan pengertian fitrah, Abu Su’ud menjelaskan
sebagaimana yang dikutip Salmadanis bahwa fitrah adalah potensi yang terdapat
dalam diri manusia untuk menerima kebenaran. Bila manusia mengingkari dan tidak
mau menjadikan agama Islam sebagai landasan moralitas dalam hidupnya, pada
hakikatnya mereka telah disesatkan oleh tipu daya setan.[2] Hal ini dapat
dibuktikan dari riwayat yang menjelaskan bahwa orang yang paling gencar
mengingkari dan menyerang Rasulullah SAW adalah pamannya sendiri Abu Lahab,
pernah ditanya sahabatnya ketika mereka berdua, tentang bagaimana sesungguhnya
pendapat Abu Lahab terhadap Nabi Muhammad SAW, Abu Lahab menjawab bahwa
sesungguhnnya Nabi adalah orang yang paling benar.
Oleh karena itu fitrah yang ada pada diri manusia
cenderung kepada kebaikan dan kebenaran, namun karena rasa sombong dan cangkak
yang ada dalam diri manusia itu menjadikan manusia tidak mau dan enggan menerima agama tersebut.
Maka manusia yang memiliki dua unsur yaitu jasmani dan
ruhani, harus dapat memberikan kebutuhannya masing-masing. Jasmani butuh
makanan dan begitu juga dengan ruhani, kalau jasmani makanannya adalah bersifat
material sebaliknya ruhani makanannya adalah non material (agama Islam),
apabila manusia tidak dapat memenuhi kebutuhan jasmani dan ruhaninya maka tentu
manusia tersebut akan merasa gelisah dan gundah gulana dan hal ini tentu
bertentangan dengan fitrahnya sebagai manusia yang dibekali dengan aqal
dan qalbu.
Segala kebutuhan ruhani manusia yang sesuai dengan agama
disebut dengan ibadah. Dan ibadah itu dikerjakan adalah dengan
merendahkan diri kepada Allah SWT dan menghinakan diri di hadapan-Nya.
Tugas-tugas berupa perintah (untuk melaksanakan perintah-Nya) dan meninggalkan
larangan-Nya yang di perintahkan kepada mukallaf disebut sebagai ibadah,
dikarenakan ibadah itu dikerjakan dengan merendahkan dan menghinakan diri di
hadapan Allah SWT.
Kemudian, ketika ibadah itu tidak mungkin dapat
ditentukan perinciannya semua manusia dengan akalnya, sebagaimana tidak mungkin
pula akal manusia dapat mengetahui hukum-hukum berupa perintah dan larangan secara
terperinci, maka Allah SWT mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab suci
untuk menjelaskan tentang tujuan Allah menciptakan makhluk, menerangkan serta
menguraikan perinciannya kepada manusia, sehingga mereka menyembah Allah di
atas petunjuk yang terang, dan sehingga mereka berhenti dari apa yang dilarang
Allah untuk mereka di atas petunjuk yang terang pula.
Dari sejarah dapat dilihat bahwa para rasul Allah adalah petunjuk bagi
makhluk, mereka adalah para a`immatul huda (imam yang memberikan petunjuk)
dan da’i bagi seluruh manusia dan jin yang berdakwah kepada ketaatan dan
peribadatan hanya kepada Allah. Allah SWT pun memuliakan hamba-hamba-Nya dengan
eksistensi para Rasul dan menunjukkan kasih sayang-Nya dengan mengutus para
Rasul kepada mereka.
Allah menjelaskan melalui perantaraan para nabi jalan
yang lurus dan shirathal mustaqim, sampai manusia memperoleh kejelasan
akan urusan mereka dan sampai mereka tidak berkata lagi : “Kami tidak tahu apa
yang Alloh kehendaki dengan kami, tidak datang kepada kami seorang pembawa
berita gembira dan peringatan”, maka Allah memutuskan dalih apologi ini dan
menegakkan hujah dengan mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab suci,
sebagaimana firman Allah SWT yang artinya:
Dan sesungguhnya kami Telah mengutus
Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): Sembahlah Allah (saja), dan
jauhilah Thaghut.”
(Q.S. an-Nahl : 36)
Allah SWT menjelaskan bahwa bahwa Ia mengutus para rasul
dan menurunkan kitab suci adalah untuk memberikan keputusan di tengah-tengah
manusia dengan al-Haq (kebenaran) dan al-Qisthi (keadilan) dan
untuk menerangkan kepada manusia tentang apa yang mereka perselisihkan di
dalamnya berupa hukum-hukum dan aqidah serta tauhidullah dan
syariat-Nya.
Allah menurunkan kitab suci adalah untuk menjelaskan hukum-Nya
terhadap segala hal yang manusia perselisihkan, untuk menjelaskan tentang
segala hal yang tidak diketahui manusia dan untuk memerintahkan manusia agar
mereka komitmen terhadap syariat Allah dan berhenti pada batasan-batasannya
serta melarang manusia dari segala hal yang dapat mencelakai mereka baik di
dunia maupun di akhirat.
Allah SWT menutup para rasul dengan rasul yang
paling utama, yaitu Nabi Muhammad SAW, beliau menyampaikan risalah, menunaikan
amanah, menasehati ummat, berjihad di jalan Allah dengan sebenar-benarnya jihad
dan menyeru kepada Alloh baik secara sembunyi maupun terang-terangan.
Beliau
menegakkan tanggung jawab risalah dengan sempurna, selama 13 tahun menyampaikan
risalah Allah dan menyeru kepada-Nya serta menyebarkan hukum-hukum Allah.
Diantaranya selama 13 tahuh beliau di Ummu Quro –Makkah al-Mukarramah-,
berdakwah pertama kali dengan sembunyi-sembunyi kemudian secara
terang-terangan, menjelaskan kebenaran, lalu beliau dihalang-halangi.
Akan tetapi, beliau tetap bersabar di dalam dakwah dan
sabar terhadap gangguan manusia, padahal mereka (kaum kafir) pada waktu itu
mengakui akan kejujuran dan sifat amanah beliau. Mereka mengakui
keutamaan, nasab dan kedudukan beliau, akan tetapi (mereka menolak) dikarenakan
hawa nafsu, hasad (dengki) dan penentangan para pembesar mereka, dan
dikarenakan kebodohan dan taklid kaum awam mereka. Para pembesar mereka
menolak, angkuh dan dengki sedangkan kaum awam mereka bertaklid, membeo dan
membebek, sehingga Nabi diganggu dengan sebab ini dengan gangguan yang luar
biasa.
Firman Allah SWT menunjukkan kepada bahwa para pembesar
(kaum kafir) mengakui kebenaran namun mereka menentangnya, yaitu:
”Sesungguhnya
Kami mengetahui bahwasanya apa yang mereka katakan itu menyedihkan hatimu,
(janganlah kamu bersedih hati), Karena mereka Sebenarnya bukan mendustakan
kamu, akan tetapi orang-orang yang zhalim itu mengingkari ayat-ayat Allah.”
(Q.S. al-’An’am : 33)
Allah SWT menjelaskan bahwa mereka bukanlah mendustakan
Rasulullah SAW, bahkan mereka mengetahui akan kejujuran dan sifat amanah Rasul
di dalam batin mereka. Mereka dahulu menyebut Nabi sebagai ”al-Amin” (orang
yang terpercaya) sebelum Nabi diberi wahyu, akan tetapi mereka mengingkari
kebenaran dikarenakan dengki dan bersikap aniaya kepada Nabi Muhammad SAW.
Para sahabat beliau memikul amanat sepeninggal Nabi SAW,
mereka menapaktilasi jalan Nabi dan menyeru kepada Allah SWT. Mereka tersebar
di seluruh penjuru dunia sebagai para du’at yang menyeru kepada
kebenaran dan para mujahid di jalan Allah. Mereka tidak takut di jalan Allah,
celaan para pencela dan mereka tetap menyampaikan risalah Allah. Mereka hanya
takut kepada Allah dan tidak takut kepada seorangpun kecuali hanya kepada Allah
SWT.
Mereka tersebar di muka bumi sebagai para mujahidin
perang, du’at (penyeru) yang membawa petunjuk dan para shalihin
yang melakukan perbaikan. Mereka menyebarkan agama Allah dan mengajarkan
manusia syariat-Nya. Mereka menerangkan aqidah yang Allah mengutus para Rasul
dengannya, yaitu mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah semata dan
meninggalkan peribadatan kepada selain-Nya, baik kepada pepohonan, bebatuan,
patung-patung dan selainnya. Tidak berdo’a melainkan hanya kepada Allah saja,
tidak beristighotsah (meminta pertolongan) melainkan hanya kepada Allah,
tidak berhukum kecuali dengan syariat-Nya, tidak sholat kecuali ditujukan
untuk-Nya, tidak bernadzar melainkan untuk Allah dan perbuatan ibadah
lainnya. Mereka menerangkan kepada manusia, bahwa ibadah itu hanyalah hak Allah
semata.
Mereka bersabar atas dakwah dengan kesabaran yang luar
biasa dan mereka berjihad di jalan Allah dengan sebesar-besarnya jihad. Allah
pun ridha terhadap mereka dan mereka juga ridha kepada Allah. Para imam pembawa
petunjuk dari para tabi’in dan atba’ut tabi’in, baik dari Arab maupun
non Arab, turut mencontoh mereka. Mereka meniti jalan ini, yaitu jalan
dakwah kepada Allah SWT . Mereka
mengemban tanggung jawab dakwah ini dan menunaikan amanat, diiringi dengan
kejujuran, kesabaran dan ikhlas di dalam jihad di jalan Allah. Mereka memerangi
siapa saja yang keluar dari agama-Nya dan orang yang tidak membayar jizyah
(upeti) yang telah Allah wajibkan apabila mereka memang termasuk orang yang
wajib membayarnya (kafir dzimmi). Mereka adalah pengemban dakwah dan
imam petunjuk pasca Rasulullah SAW.
Demikianlah para pengikut sahabat dari para tabi’in
dan atba’ut tabi’in serta para A`immatul Huda (imam pembawa
petunjuk). Mereka meniti jalan ini sebagaimana pendahulu mereka dan mereka
bersabar di dalamnya.
Agama Allah tersebar dan kalimat-Nya menjadi tinggi
melalui upaya para sahabat dan para pengikut mereka dari kalangan ahli ilmu dan
iman. Sehingga mereka memiliki kekuasaan, kepeloporan dan kepemimpinan di dalam
agama oleh sebab kesabaran, keimanan dan jihad mereka di jalan Allah SWT.
Mereka telah menjadi para imam yang memberi petunjuk dan du’at
(penyeru) kepada kebenaran serta para figur pemimpin yang diteladani.
Disebabkan oleh kesabaran dan keimanan itulah mereka dapat meraih kepemimpinan
di dalam agama. Para sahabat Rasulullah SAW dan para pengikutnya yang mengikuti
mereka dengan baik sampai hari ini (da’i), mereka adalah para imam, para
pemberi petunjuk kebenaran kepada manusia dan mereka adalah menjadi teladan di
jalan kebenaran.
Dengan demikian, maka menjadi jelaslah bagi manusia,
bahwa dakwah merupakan suatu hal yang paling urgen, dan bahwasanya umat di
setiap zaman dan tempat benar-benar sangat membutuhkan kepada dakwah, bahkan
kebutuan mereka terhadap dakwah adalah suatu hal yang dharurat (sangat
mendesak).[3]
Dalam hal ini Jum’ah Amin Abdul Aziz menyatakan bahwa
manusia sangat membutuhkan dakwah karena beberapa faktor, diantaranya;
1.
Karena manusia
membutuhkan orang yang dapat menjelaskan kepada mereka tentang apa saja yang
diperintahkan oleh Allah kepadanya sebagai hamba dan wakil tuhan di muka bumi.
2.
karena kondisi
manusia pasti diwarnai dengan kerusakan, ketamakan, dan hawa nafsu.[4]
Apabila hal ini dikaitkan dengan keilmuan dakwah maka
jelaslah bahwa dakwah agama yang disampaikan si da’i kepada manusia (mad’unya)
agar manusia tersebut hidup sesuai dengan fitrahnya (menjalankan agama Islam)
agar hidupnya bahagia di dunia dan di akhirat maka mad’u yang tidak mengetahui
dan tidak memahami bagaimana seharusnya ia hidup di muka bumi ini sebagai wakil
dan hamba Allah sangat jelas membutuhkan dakwah tersebut.
Menanggapi pentingnya dakwah bagi kehidupan manusia, Isa
Anshary dengan retorika khasnya menyebutkan bahwa dakwah harus aktif memberikan
darah suci pada tubung kemanusiaan, aktif dan positif berkata dan
berbicara kepada dunia demi untuk menyelamatkan manusia dan dunia dari bencana
keruntuhan, dakwah harus mampu membawa umat memandang ke tepi langit, melihat
dengan bashirah, hidup dengan Aqidah Islamiyah.[5]
Dari sudut filsafat menurut Salmadanis secara prinsip
bahwa manusia yang lahir tanpa mengetahui, namun ketika sudah terlahir ke dunia
ingin mengetahui karena sudah merupakan kebutuhannya agar tetap bertahan hidup,
maka dengan panca indra yang diberikan kepadanya, manusia dengan bertahap akan
mencari apa-apa yang tidak diketahuinya tersebut. Selanjutnya manusia adakalanya
berhasil menemui apa yang tidak diketahuinya dan adakalanya ia tidak berhasil
menemukannya. Oleh karena itu menusia membutuhkan informasi dari manusia lain
tentang apa saja kebutuhannnya di dunia ini, manusia membutuhkan informasi dari
orang lain, sedang informasi yang paling mulia dan tinggi itu adalah wahyu
(agama), dan kegiatan menyampaikan wahyu (agama) itu dilakukan oleh dai melalui
kegiatan ddakwahnya.
Disamping itu menurut Salmadanis bahwa kebutuhan manusia
terhadap dakwah ada tiga sistem yaitu, hikmah, mau’idzah al-hasanah
dan mujadalah bi al-lati hiya ahsan. Oleh karena itu menurut
Thaba’thaba’i sebagaimana yang dikutip Salmadanis bahwa apa saja yang
dihasilkan oleh fitrah manusia keberadaannya akan sesuai dengan yang dihasilkan
oleh akal dan tidak bertentangan dengan logika keilmiahan. Sehingga dapat juga
dikatakan bahwa fitrah itu adalah akal,
karena akal menghasilkan sesuatu yang benar, akal akan selalu mencari hakikat
kebenaran, dan hakikat kebenaran itu ada dalam agama Islam (Allah SWT).[6]
Lebih lanjut A. Hasjmy menyatakan bahwa dari awal sejarah
kehidupan manusia, terbukti bahwa manusia sangat membutuhkan dakwah, sehingga
sebelum Nabi Muhammad diutus, para nabi-nabi sebelumnya juga Allah telah
mengutus rasul-rasul-Nya khusus kepada kaumnya masing-masing. Hal ini terekam
dalam al-Qur’an surat Ar-Ruum ayat 47,[7] yang artinya
“Dan Sesungguhnya Kami telah mengutus sebelum kamu beberapa orang rasul kepada kaumnya, mereka datang kepadanya dengan membawa keterangan-keterangan (yang cukup), lalu Kami melakukan pembalasan terhadap orang-orang yang berdosa . Dan Kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman”. (Q.S Ar-Ruum ayat 47).
2.
Kebutuhan
Manusia kepada Filsafat
Filsafat menurut Al-Kindi sebagaimana yang dikutip
Salmadanis adalah ilmu tentang sesuatu menurut esensinya[8]. Oleh karena
itu Al-Kindi berpendapat bahwa filsafat bisa masuk ke segala bidang ilmu
termasuk ilmu ketuhanan (tauhid) atau teologi. Dan ujungnya semua ilmu
itu menunjukkan kepada kebaikan dan menghindari keburukan serta kejelekan yang
dalam istilah dakwah dikenal dengan amar ma’ruf dan nahi munkar.
Adapun Nabi dan rasul datang dan diutus kepermukaan bumi ini dalam rangka
menyampaikan kebenaran mutlak yang bersumber dari Allah SWT.
Mempelajari filsafat agama (dakwah) berarti memasuki
arena pemikiran yang mendasar, sistematis, logis dan menyeluruh (universal)
tetang dakwah dan seluruh aspek yang mengitarinya. Pada hakikatnya melakukan
pemikiran filsafiyah adalah usaha menggerakkan semua potensi psikologis manusia
seperti, pikiran, keserdasan, kemauan, perasaan, ingatan serta pengamatan panca
indra tentang gejala kehidupan manusia dan alam sekitarnya sebagai ciptaan
Tuhan.
Sebagai hasil pemikiran yang bercorakkan khas Islam,
filsafat dakwah pada hakikatnya adalah konsep berpikir tentang dakwah yang
berlandaskan dan bersumberkan kepada al-Qur’an dan Hadits dan bagaimana hakikat
manusia untuk dapat dibina, dikembangkan serta dibimbing agar menjadi manusia
muslim yang seluruh pribadinya diwarnai oleh ajaran Islam.
Dalam level teoritis filsafat dan dakwah sama-sama
memiliki wilayah cakupan yang tidak berbeda yaitu keesaan Tuhan, dan di level teoritis
tujuan yang sama yaitu mendorong manusia untuk mencapai kehidupan moral yang
mulia. Karena filsafat merupakan ilmu
tentang kebenaran maka seluruh manusia sangat membutuhkannya.[9]
Dalam memahami agama misalnya sangat diperlukan filsafat,
seperti dalam al-Qur’an: “Dan semua bintang serta pepohonan bersujud kepada-Nya”
(Q.S. Ar-Rahmaan ayat 6).
Dalam memahami ayat ini Al-Kindi mengambil makan filosofisnya agar terjadi keselarasan antara agama dan filsafat, kata “sujud” memiliki dua pemahaman, pertama berarti menundukkan tubuh dan kepala ketika shalat sambil merapatkan bagian dalam telapak tangan dan dua lutut. Kedua berarti ketundukkan kepada kehendak Tuhan (sujud tha’ah). Sujudnya bintang dan pepohonan berarti ketundukannya terhadap alur peredaran yang telah ditetapkan oleh Allah. Karna seandainya benda-benda langit dan bumi tidak tunduk terhadap peredaran yang ditetatkan Allah SWT maka tidak akan terjadi perubahan waktu, jika demikian mustahil akan terjadi kelahiran dan kematian di bumi ini.
C.
Penutup
Demikianlah argumen dan bukti pentingnya filsafat dalam
kehidupan manusia dan ada kesamaan antara filsafat dan agama, yaitu mencapai
kebenaran. Kebenaran agama dicapai dengan wahyu sedangkan kebenaran filsafat
diraih dengan akal. Dan kebenaran itu sendiri adalah Islam (Allah SWT).
Baca Juga;//........................................
👉HAKIKAT METODE DAKWAH BI AL-HIKMAH
👉HAKIKAT METODE DAKWAH
👉PERKEMBANGAN AKTIVITAS DAKWAH DALAM ALQUR’AN
👉KEBUTUHAN MANUSIA TERHADAP DAKWAH DAN FILSAFAT
👉HAKIKAT METODE DAKWAH MAUIZAH AL-HASANAH
👉PANDANGAN FILSAFAT DAKWAH TERHADAP ILMU PENGETAHUAN
👉HAKIKAT TUJUAN DAKWAH
👉Hakikat Metode Dakwah Mujadalah Billati Hiya Ahsan
👉HAKEKAT MEDIA/ ALAT DAKWAH
👉HAKIKAT DAN PESAN DAKWAH
👉HAKIKAT KEPEMIMPINAN UMAT
Daftar Pustaka
A. Hasjmy, Dustur Dakwah Menurut al-Qur’an,
Jakarta: Bulan Bintang, 1974
Anshary, Isa, Mujahid
Dakwah, Bandung: Diponegoro, 1961
Arifin,
Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1996
Aziz,
Jum’ah Amin Abdul, Fiqh Dakwah, Solo: Era Intermedia,
2003
Baz, Imam Ibnu, Ad-Da’watu ilallâh wa Akhlâqud Du’ât, Maktabah
Abu Salma al-Atsary, Copyleft 2007
Ramayulis, Pengantar Ilmu Pendidikan, Padang: IAIN
Press, 2003
Salmadanis, Filsafat Dakwah, Jakarta: Surau, 2003
[1] Ramayulis, Pengantar
Ilmu Pendidikan, (Padang : IAIN Press,2003), h. 18
[2] Salmadanis, Filsafat
Dakwah, (Jakarta : Surau, 2003), h. 37-38
[3]Imam Ibnu Baz, Ad-Da’watu
ilallâh wa Akhlâqud Du’ât, Maktabah Abu Salma al-Atsary, Copyleft 2007
[4] Jum’ah Amin
Abdul Aziz, Fiqh Dakwah, (Solo : Era Intermedia, 2003), h. 39
[5] Isa Anshary, Mujahid
Dakwah, (Bandung : Diponegoro, 1961), h. 31
[6] Op.Cit
[7] A. Hasjmy, Dustur
Dakwah Menurut al-Qur’an, (Jakarta : Bulan Bintang, 1974), h. 37
[8] Salmadanis, Op.Cit,
h. 44
[9] Arifin, Filsafat Pendidikan
Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1996),h. xi
0 Comment