A. PENDAHULUAN
Sejarah Islam telah membuktikan tentang pertumbuhan dan
perkembangan yang luar biasa. Sepeninggal Rasulullah, empat orang pengganti
beliau adalah para pemimpin yang adil dan benar. Mereka menyelamatkan dan
mengembangkan dasar-dasar tradisi dari sang Guru Agung bagi kemajuan Islam dan
umatnya. Oleh karena itu, gelar Al-Khulafa Ar-Rasyidin yang mendapat
bimbingan di jalan lurus diberikan kepada mereka.
Seperti yang telah dibahas pada makalah terdahulu, kita ketahui
bahwa khalifah pertama yang menggantikan nabi adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Usaha
yang dilakukan semasa pemerintahannya diantaranya melaksanakan pemerintahan
yang demokrasi, memerangi orang-orang murtad dan enggan membayar pajak,
memerangi nabi-nabi palsu dan mengumpulkan ayat-ayat al-qur’an. Setelah Abu
Bakar wafat, kepemimpinan digantikan oleh Umar bin Khatthab. Dimasa ini banyak
dilakukan perluasan wilayah kekuasaan Islam. Umar wafat akibat tikaman oleh
Fairuz atau Abu Lu’lu’ah saat Umar akan melaksanakan shalat subuh.
Kemudian kepemimpinan Umar digantikan oleh Usman bin Affan.
Terpilihnya Usman berdasarkan hasil musyawarah kaum muslimin. Kebijakan yang
dilakukan oleh Usman merupakan
kelanjutan dari usaha Umar dalam memperluas wilayah. Kemudian khalifah yang
keempat yang menggantikan Usman adalah Ali bin Abi Thalib. Ali dibai’ah menjadi
khalifah disaat situasi kota madinah belum stabil akibat terjadinya
pemberontakan terhadap khalifah Usman.
Pada makalah ini akan dibahas lebih jauh mengenai kepemimpinan Usman dan Ali. Dari awal pengangkatannya, kemajuan-kemajuan yang terjadi semasa pemerintahan mereka dan bagaimana akhir dari masing-masing pemerintahan mereka.
B.
KHALIFAH USMAN BIN AFFAN
1.
Latar Belakang Pengangkatan Usman bin Affan
Khalifah Usman bin Affan adalah khalifah yang ketiga. Nama
lengkapnya adalah Usman bin Affan bin Abil Ash bin Umayyah dari suku Quraisy. Ia
dilahirkan pada waktu nabi Muhammad saw berusia lima tahun.[1]
Ia memeluk Islam karena ajakan Abu Bakar, dan menjadi salah seorang sahabat
dekat nabi saw. Ia sangat kaya tetapi berlaku sederhana, dan sebagian besar
kekayaannya digunakan untuk kepentingan Islam. Ia mendapat julukan zun nurain,
artinya yang memiliki dua cahaya karena menikahi dua putri nabi saw yang
bernama Ruqayyah dan Ummu Kalsum secara berurutan setelah yang satu meninggal.
Ia juga merasakan penderitaan yang disebabkan oleh tekanan kaum Quraisy
terhadap muslimin di Mekah, dan ikut hijrah ke Abesinia beserta istrinya. Usman
menyumbang 950 ekor unta dan 50 bagal serta 1.000 dirham dalam ekspedisi untuk
melawan Bizantium di perbatasan Palestina. Ia juga membeli mata air orang-orang
Romawi yang terkenal dengan harga 20.000 dirham untuk selanjutnya diwakafkan
bagi kepentingan umat Islam, dan pernah meriwayatkan hadits kurang lebih 150
hadits. Seperti halnya Umar, Usman diangkat menjadi khalifah melalui proses
pemilihan. Bedanya, Umar dipilih atas penunjukan langsung sedangkan Usman
diangkat atas penunjukan tidak langsung, yaitu melewati badan Syura yang
dibentuk oleh Umar menjelang wafatnya.[2]
Sebelum peristiwa penyerangan terhadap dirinya, Umar telah
memerintahkan dibentuknya majelis Syura yang beranggotakan enam orang, yaitu
Ali bin abi Thalib, Usman bin Affan, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdurrahman bin
Auf, az-Zubair bin al Awwam, dan Thalhah bin Ubaydullah. Kemudian ditambahkan
kepada enam orang itu, putranya sendiri, Abdullah, agar pendapatnya cenderung
pada pemilihan atau penolakan. Setelah melalui perdebatan dan diskusi yang
panjang, suara kaum Muslim ditentukan melalui voting. Sebagian meminta
penyerahan jabatan khalifah kepada Ali bin Abi Thalib dan sebagian lain meminta
diserahkan kepada Usman. Namun, Ali, Sa’ad, dan az-Zubair memilih Usman. Pada
hari keempat, setelah wafatnya Umar bin Khattab, Abdurrahman bin Auf pun
bergabung bersama mereka. Selanjutnya penduduk Madinah keluar rumah untuk
membaiat Usman bin Affan. Hal itu terjadi pada awal Muharram 24 H.[3]
2.
Peradaban Islam Masa Usman bin Affan
a.
Politik dan Pemerintahan
Usman terpilih karena sebagai calon konservatif, ia adalah orang
yang baik dan saleh. Namun, dalam banyak hal kurang menguntungkan, karena Usman
terlalu terikat dengan kepentingan orang-orang Mekah, khususnya kaum Quraisy
dari kalangan Bani Umayyah. Kemenangan Usman adalah sekaligus sebagai suatu
kesempatan yang baik bagi sanak saudaranya dari keluarga besar Bani Umayyah.
Oleh karena itu, Usman berada dalam pengaruh dominasi seperti itu maka satu
persatu kedudukan tinggi kekhalifahan diduduki oleh anggota keluarga itu.[4]
Ketika Usman mengangkat Marwan bin Hakam, sepupu khalifah yang
dituduh sebagai orang yang mementingkan diri sendiri dan suka intrik menjadi
sekretaris utamanya, segera timbul mosi tidak percaya dari rakyat. Begitu pula
penempatan Muawiyah, Walid bin Uqbah dan Abdullah bin Sa’ad masing-masing
sebagai gubernur Suriah, Irak dan Mesir, sangat tidak disukai oleh umum.
Ditambah lagi tuduhan-tuduhan keras bahwa kerabat khalifah memperoleh harta pribadi
dengan mengorbankan kekayaan umum dan tanah negara. Hakam, ayah Marwan mendapat
tanah Fadah, Marwan sendiri menyalahgunakan harta baitul mal, Muawiyah
mengambil alih tanah negara Suriah dan khalifah mengizinkan Abdullah untuk
mengambil seperlima dari harta rampasan perang Tripoli untuk dirinya.[5]
b.
Militer
Pada masa-masa awal pemerintahannya, Usman melanjutkan sukses para
pendahulunya, terutama dalam perluasan wilayah kekuasaan Islam. Daerah-daerah
strategis yang sudah dikuasai Islam seperti Mesir dan Irak terus dilindungi dan
dikembangkan.[6]
Di Mesir pasukan muslim diinstruksikan untuk memasuki Afrika Utara. Salah satu pertempuran penting di sini adalah Zatis Sawari (peperangan tiang kapal) yang terjadi di Laut Tengah dekat kota Iskandariyah, antara tentara Romawi di bawah pimpinan Kaisar Constantin dengan Laskar Muslim pimpinan Abdullah bin Abi Sarah. Dinamakan perang kapal karena banyaknya kapal-kapal perang yang digunakan dalam peperangan tersebut. Disebutkan terdapat 1.000 buah kapal, 200 buah kapal milik kaum muslim sedangkan sisanya milik bangsa Romawi. Pasukan Islam berhasil mengusir pasukan lawan. Pasukan Islam bergerak dari kota Basrah untuk menaklukkan sisa wilayah kerajaan Sasan di Irak, dan dari kota Kufah, gelombang kaum muslimin menyerbu beberapa provinsi di sekitar laut Kaspia.[7]
c.
Pembukuan Al-Qur’an
Mushaf yang telah dikompilasi pada zaman Abu Bakar, setelah
wafatnya, berpindah kepada Umar bin Khattab, lalu berpindah lagi ke tangan
putrinya Hafsah. Kemudian Khalifah Usman meminta mushaf tersebut hingga
dilakukan penyalinannya setelah di beberapa wilayah taklukan tampak terjadi
perbedaan dalam membaca teks ayat-ayat al-Qur’an.
Usman menugaskan empat orang sahabat besar untuk mengedit teksnya.
Mereka adalah Zaid bin Tsabit, Said bin al-Ash, Abdullah bin az-Zubair, dan
Abdullah bin Harits bin Hisyam. Setelah dilakukan penyalinan mushaf dengan
dialek Quraisy, ia mengembalikan naskah aslinya kepada Hafsah, lalu naskah
salinan dikirimkan ke beberapa wilayah yang telah dikuasai Islam. Selanjutnya
penyalinan dan pendistribusiannya dilakukan oleh para fuqaha dan para ulama.
Adapun naskah-naskah yang ada sebelumnya, yang di dalamnya terdapat
perbedaan, Usman memerintahkan agar dibakar. Dengan demikian, mushaf yang telah
disalin itu dinamakan Mushaf Usmani, dinisbahkan kepada Usman bin Affan
sebagai penghormatan kepada karya besarnya.[8]
3.
Akhir Pemerintahan Usman
Situasi politik diakhir masa pemerintahan Usman benar-benar semakin
mencekam. Bahkan juga berbagai usaha yang bertujuan baik dan mempunyai alasan
kuat untuk kemaslahatan umat disalahpahami dan melahirkan perlawanan dari
masyarakat.
Kodifikasi al-Qur’an yang dimaksudkan untuk menyelesaikan
kesimpangsiuran bacaan al-Qur’an sehingga dapat perbedaan serius mengenai kitab
suci dapat dihindari, telah mengundang kecaman yang sangat hebat.
Lawan-lawannya menuduh bahwa Usman sama sekali tidak mempunyai otoritas untuk
menerapkan edisi al-Qur'an.[9]
Terhadap berbagai kecaman tersebut, khlaifah telah berupaya untuk
membela diri dan melakukan tindakan politis sebatas kemampuan. Tentang
pemborosan uang negara misalnya, Usman menepis keras tuduhan ini. Benar jika
dikatakan ia banyak membantu saudara-saudaranya dari Bani Umayyah, tetapi itu
diambil dari kekayaan pribadinya, bahkan khalifah tidak mengambil gaji yang
menjadi haknya.[10]
Di Kufah dan Basrah, yang dikuasai oleh Thalhah dan Zubair, rakyat
bangkit menentang gubernur yang diangkat oleh khalifah. Hasutan yang lebih
keras terjadi di Mesir, selain ketidaksetiaan rakyat terhadap Abdullah bin
Saad, saudara angkat khalifah, sebagai pengganti gubernur Amr bin Ash juga
karena konflik soal pembagian ghanimah. Pemberontakan berhasil mengusir
gubernur yang diangkat khalifah, lalu mereka terdiri dari 600 orang Mesir itu
berarak-arakan menuju Madinah. Para pemberontak dari Kufah dan Basrah bertemu
dan menggabungkan diri dengan kelompok dari Mesir. Wakil-wakil mereka menuntut
khalifah untuk mendengarkan keluhan mereka. Khalifah menuruti kemauan mereka
dengan mengangkat Muhammad bin Abu Bakar sebagai gubernur di Mesir. Mereka
merasa puas atas kebijaksanaan khalifah tersebut dan pulang ke negeri
masing-masing. Akan tetapi di tengah jalan para pemberontak menemukan surat
yang dibawa oleh utusan khusus yang menerangkan bahwa para wakil itu harus
dibunuh setelah sampai di Mesir. Menurut mereka surat itu ditulis oleh Marwan
bin Hakam, sekretaris khalifah, sehingga mereka meminta Marwan diserahkan
kepada para pemberontak. Tuntutan itu tidak dipenuhi oleh khalifah. Sedangkan
Ali bin Abi Thalib ingin menyelesaikan persoalan tersebut dengan jalan damai,
tetapi mereka tidak mau menerimanya.[11]
Mereka mengepung rumah khalifah selama 40 hari. Ketika tersebar informasi bahwa didatangkan pasukan untuk menyelamatkan khalifah yang terkepung, para penentang menjadi tidak sabaran. Namun, mereka dihalangi oleh anak-anak para sahabat yang membela hak dan kehidupan khalifah. Mereka pun segera mundur, lalu mencabuti pagar rumah itu setelah gagal mendobrak pintunya. Dalam hal itu, mereka dipimpin oleh Muhammad bin Abu Bakar. Ia menemui Usman yang sedang membaca al-Qur’an, menarik janggutnya, mereka mencela tindakan-tindakannya, mencacinya, dan memukulnya hingga tersungkur. Kemudian, Kinanah bin Basyar datang lalu memukul khalifah dengan pedang. Berikutnya, Sauran bin Hamran datang lalu menikam sisi perut khalifah yang sedang tersungkur. Terakhir, Amr bin al-Hamq datang, mengangkat dada khalifah yang tersungkur, lalu menikamnya dengan khanjar sebanyak sembilan kali. Akibatnya, Usman mati syahid. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 18 Dzulhijjah 35 H.[12]
C.
KHALIFAH ALI BIN ABI THALIB
1.
Latar Belakang Pengangkatan Ali bin Abi Thalib
Khalifah keempat adalah Ali bin Abi Thalib. Ali adalah keponakan
dan menantu nabi. Ali adalah putra Abi Thalib bin Abdul Muthalib. Ia adalah
sepupu nabi yang telah ikut bersamanya sejak bahaya kelaparan mengancam kota
Mekah, demi untuk membantu keluarga pamannya yang mempunyai banyak putra.
Abbas, paman nabi yang lain membantu Abu Thalib dengan memelihara Ja’far, anak
Abu thalib yang lain. Ia telah masuk Islam dengan usia yang sangat muda. Ia
menemani nabi dalam perjuangan menegakkan Islam, baik di mekah maupun di
Madinah, dan ia diambil menantu oleh nabi dengan menikahkannya dengan Fatimah,
salah seorang putri Rasulullah, dan dari sisi inilah keturunan nabi
berkelanjutan. Karena kesibukannya merawat dan memakamkan jenazah Rasulullah,
ia tidak berkesempatan membaiat Abu Bakar sebagai khalifah, tetapi ia baru
membaiatnya setelah Fatimah wafat.[13]
Setelah Usman bin Affan wafat, kaum muslim melihat bahwa masalah
pengangkatan khalifah baru sulit dipecahkan.. banyak sahabat nabi seperti Ali
bin Abi Thalib, Abdullah bin Umar, Saad bin Abi Waqqash, dan Zubair bin
al-Awwam menolak menjadi khalifah. Oleh karena itu, orang-orang berkumpul di
Madinah untuk mendiskusikan siapa yang pantas menjadi khalifah. Namun mereka
tidak menemukan orang yang lebih pantas daripada Ali bin Abi Thalib. Dialah
orang kedua yang dipilih kaum muslim setelah Umar bin Khattab wafat. Dia juga
putra paman nabi dan anak muda pertama yang masuk Islam. Kemudian, mayoritas
yang hadir memilihnya. Peristiwa itu terjadi pada hari keenam setelah Usman
terbunuh, yaitu pada tanggal14 Dzulhijjah 35 H. Ali bin Abi Thalib adalah
khalifah pertama bagi kaum muslim berasal dari Bani Hasyim, yang kepadanya nabi
saw bernasab.[14]
2.
Peradaban Islam Pada masa Ali bin Ab Thalib
a.
Politik dan Pemerintahan
Ali menyadari bahwa saat dirinya diangkat menjadi khalifah, kondisi
keamanan di Madinah khususnya dan negara Islam umumnya masih belum stabil. Ini
disebabkan oleh pemberontakan kepada Usman dan gelombang fitnah yang
dipropagandakan oleh Abdullah bin Saba’ beserta pengikutnya. Maka kebijakan
pertama yang dilakukan Ali adalah menunda pengusutan pembunuh Usman. Hal ini
dilakukan karena situasi keamanan yang belum stabil serta keinginan untuk
memprioritaskan pemulihan keamanan negara dan menertibkan pemerintahan untuk
menggalang persatuan umat.[15]
Ia juga menarik kembali semua tanah dan hibah yang telah dibagikan
oleh Usman kepada kaum kerabatnya ke dalam kepemilikan negara. Ali juga segera
menurunkan semua gubernur yang tidak disegani rakyat. Usman bin Hanif diangkat menjadi
penguasa Basrah menggantikan Ibnu Amir, dan Qais bin Saad dikirim ke Mesir
untuk menggantikan gubernur negeri itu yang dijabat oleh Abdullah. Gubernur
Suriah, Muawiyah, juga diminta meletakkan jabatan, tetapi ia menolak perintah
Ali, bahkan ia tidak mengakui kekhalifahannya.[16]
b.
Kelompok Oposisi / Peperangan dan Tahkim
Oposisi terhadap khalifah secara terang-terangan dimulai oleh
Aisyah, Thalhah, dan Zubair. Mereka sepakat menuntut khalifah segera menghukum
para pembunuh Usman. Tuntutan yang sama juga diajukan oleh Muawiyah, bahkan ia
memanfaatkan peristiwa berdarah itu untuk menjatuhkan legalitas kekuasaan Ali,
dengan membangkitkan kemarahan rakyat dan menuduh Ali sebagai orang yang
mendalangi pembunuhan Usman, jika Ali tidak menemukan dan menghukum pembunuh
sesungguhnya.[17]
Khalifah Ali sebenarnya ingin menghindari pertikaian dan mengajukan
kompromi kepada Thalhah dan kawan-kawan. Tetapi tampaknya penyelesaian damai
sulit dicapai. Oleh karena itu, kontak senjata tidak dapat dielakkan lagi.
Thalhah dan Zubair terbunuh ketika hendak melarikan diri, sedangkan Aisyah
dikembalikan ke Madinah. Peperangan ini terkenal dengan nama Perang Jamal
(Perang Unta), yang terjadi pada tahun 36 H, karena dalam pertempuran tersebut,
Aisyah istri nabi mengendarai unta. Dalam pertempuran tersebut sebanyak 20.000
kaum muslimin gugur.[18]
Segera setelah menyelesaikan gerakan Thalhah dan kawan-kawan, pusat
kekuasaan Islam dipindahkan ke kota Kufah. Ali menjadi pemimpin dari seluruh
wilayah Islam, kecuali Suriah.
Dengan dikuasainya Syiria oleh Muawiyah, yang secara terbuka
menentang Ali, dan penolakannya atas perintah meletakkan jabatan gubernur,
memaksa khalifah Ali untu bertindak. Pertempuran sesama muslim terjadi lagi,
yaitu antara angkatan perang Ali dan
pasukan Muawiyah di kota tua Siffin, dekat sungai Eufrat, pada tahun 37
H. Khalifah Ali mengerahkan 50.000 pasukan untuk menghadapi Muawiyah.
Sebenarnya pihak Muawiyah sudah terdesak kalah, dengan 7.000 pasukannya
terbunuh, yang menyebabkan mereka mengangkat al-Qur’an sebagai tanda damai
dengan cara tahkim (arbitrase). Khalifah diwakili oleh Abu Musa al-Asy’ari,
sedangkan Muawiyah diwakili oleh Amr bin Ash yang terkenal cerdik. Dalam tahkim
tersebut khlaifah dan Muawiyah harus meletakkan jabatan, pemilihan baru harus
dilaksanakan. Abu Musa pertama kali menurunkan Ali sebagai khalifah. Akan
tetapi Amr bin Ash berlaku sebaliknya, tidak menurunkan muawiyah tetapi justru
mengangkat muawiyah sebagai khalifah, karena Ali telah diturunkan oleh Abu
Musa. [19]
c.
Paham Keagamaan
Kemunculan Khawarij merujuk pada kelompok muslim garis keras yang
memaksa Ali bin Abi Thalib untuk menyetujui diadakannya tahkim dengan muawiyah.
Kemudian, setelah Ali menerima tahkim, mereka menarik sikap mereka,
menyesalinya, menolak melanjutkan tahkim dan kembali memerangi Muawiyah. Namun,
Ali menolak sikap mereka sehingga mereka marah. Mereka memisahkan diri darinya
dan menjadi kelompok yang lebih memusuhinya daripada Muawiyah. Mereka menyeret
Ali ke dalam pertempuran-pertempuran. Dengan demikian, sikap mereka memuluskan
langkah Muawiyah untuk memperoleh kursi kekhalifahan.[20]
3.
Akhir Pemerintahan Ali
Muawiyah memanfaatkan situasi terus merebaknya berbagai pergolakan
dan pemberontakan khawarij di Irak dan Persia melawan Ali bin Abi thalib. Lalu
ia melancarkan serangan-serangan ke sepanjang perbatasan antara Syam dan Irak.
Bahkan ia mengirim ekspedisi militer ke Mekah, Madinah dan Yaman untuk
menghancurkan basis-basis kekuatan pendukung Ali.[21]
Di ambang kejatuhannya, Ali bin Abi Thalib ditikam yang kemudian menyebabkan
kematiannya. Pembunuhnya adalah Abdurrahman bin Muljam, seorang Khawarij.
Peristiwa itu terjadi pada tanggal 17 Ramadhan 40 H.[22]
Hasan sebagai anak tertua Ali mengambil alih kedudukan ayahnya
sebagai khalifah kurang lebih selama lima bulan. Tentaranya dikalahkan oleh
pasukan Syiria, dan para pendukungnya di Irak meninggalkannya sehingga tidak
dapat lagi mempertahankan kekuasaannya lebih lama. Dengan demikian, berakhirlah
masa kekhalifahan Rasyidah dan dimulailah daulah Bani Umayyah.[23]
D.
KESIMPULAN
1.
Usman bin Affan adalah khalifah yang ketiga. Ia diangkat atas
persetujuan dewan syura yang telah dibentuk oleh Umar sebelum wafatnya. Dmasa
pemerintahannya banyak dilakukan perluasan wilayah dan ia juga memerintahkan
untuk membukukan al-Qur’an (mushaf usmani). Namun karena adanya isu nepotisme
menyebabkan banyak terjadi pemberontakan. Usman meninggal pada tanggal 18
Dzulhijjah 35 H.
2.
Khalifah yang ke empat adalah Ali bin Abi Thalib. Kebijakan pertama
yang dilakukannya adalah menunda pengusutan pembunuh Usman. Hal ini menimbulkan
terbentuknya kelompok oposisi dan menyebabkan terjadinya peperangan yaitu
perang jamal dan perang siffin. Perang siffin berakhir dengan diadakannya
tahkim. Tetapi hal ini tidak menyelesaikan masalah, tetapi justru menjadi
penyebab timbulnya golongan khawarij. Ali wafat pada tanggal 17 Ramadhan 40 H.
DAFTAR PUSTAKA
al-Afifi, Abdul
Hakim, 1000 Peristiwa dalam Islam, penerjemah Irwan Kurniawan, (Bandung:
Pustaka Hidayah, 2002)
Amin, Samsul
Munir, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: AMZAH, 2009)
A.
Syalaby, Sejarah dan Kebudayaan
Islam, (Jakarta: Pustaka al Husna, 1990)
A. Syalabi, Sejarah Peradaban Islam I, (Jakarta: PT. Al-Husna Zikra, 1997)
[1]A. Syalaby, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta:
Pustaka al Husna, 1990), h. 266
[2]Samsul Munir
Amin, Sejarah Pradaban Islam, (Jakarta: AMZAH, 2009), h. 104
[3]Abdul Hakim
al-Afifi, 1000 Peristiwa dalam Islam, penerjemah Irwan Kurniawan, (Bandung:
Pustaka Hidayah, 2002), h. 85-86
[4]Samsul Munir
Amin, Op Cit, h. 106
[5]Ibid, h. 106-107
[6]Ibid, h. 105
[7]Ibid
[8]Abdul Hakim
al-Afifi, Op Cit, h. 87
[9]Samsul Munir Amin, Op
Cit, h. 107
[10]Ibid
[11]Ibid
[12]Abdul Hakim
al-Afifi, Op Cit, h. 93
[13]Samsul Munir Amin, Op
Cit, h. 109
[14]Abdul Hakim
al-Afifi, Op Cit, h. 93
[15]A. Syalabi, Sejarah
Peradaban Islam I, (Jakarta: PT. Al-Husna Zikra, 1997), h. 281-282
[16]Samsul Munir Amin, Op
Cit, h. 110
[17]Ibid
[18]Ibid, h. 111
[19]Ibid
[20]Abdul Hakim
al-Afifi, Op Cit, h. 97
[21]Ibid, h. 98
[22]Ibid
[23]Ibid
0 Comment