HAKIKAT METODE DAKWAH
A.
Pendahuluan
Dakwah adalah merupakan suatu upaya
mengajak manusia kepada kebaikan dan petunjuk, menyuruh berbuat baik dan
mencegah berbuat munkar untuk mencapai kebahagiaan dunia dan kebahagiaan
akhirat. Upaya
mengajak agar timbul pengertian, kesadaran, penghayatan dan pengamalan ajaran
agama secara baik dan benar memerlukan cara atau jalan. Cara atau jalan inilah
yang disebut juga dengan metode.
Metode atau cara adalah merupakan hal penting untuk
mencapai suatu tujuan. Jika metode atau cara yang dipakai untuk mencapai suatu
tujuan sesuai dengan situasi dan kondisi atau kebutuhan, maka Insya Allah
tujuan yang diinginkan itu akan tercapai dengan baik. Begitu juga sebaliknya,
jika metode yang dipakai tidak cocok dengan situasi atau kondisi bahkan dengan
kebutuhan audien maka besar kemungkinan tujuan tidak akan tercapai dengan baik.
Karena itulah diantaranya bahwa metode dalam dakwah adalah merupakan salah satu
komponen yang tidak bisa diabaikan bahkan sangat menentukan dalam tingkat
keberhasilan pencapaian tujuan dakwah.
Metode atau cara yang dimaksudkan di sini adalah terkait
dengan dakwah, atau dengan kata lain disebut juga dengan metode dakwah. Metode
Dakwah pada dasarnya sudah ada dijelaskan dalam Al-Quran sebagai pegangan atau
pedoman bagi umat. Namun karena manusia itu bersifat dinamis, maka metode
inipun berkembang sesuai dengan perjalanan zaman yang juga tumbuh dan
berkembang mengikuti waktu.
Persoalan-persoalan umat yang terjadi hampir setiap saat
berubah yang kadangkala upaya dakwah yang akan dilakukan juga harus mampu
membaca kondisi seperti ini, jalan atau cara apa yang lebih cocok untuk
dilakukan atau ditempuh menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut.
Sesuai dengan arahan Bapak Pembimbing, penulisan ini akan
membicarakan Hakikat Metode Dakwah dengan bahasan berkenaan dengan
Pengertian, Teknik, Pendekatan, Dasar Metode Dakwah dan Pembahagiannya.
Untuk lebih jelasnya dapat kita jelaskan dalam uraian berikut.
B. Pengertian.
Sebelum lebih jauh membicarakan tentang hakikat metode
dakwah, terlebih dahulu perlu disamakan persepsi kita tentang hakikat metode
dakwah tersebut, sehingga dalam pembicaraan berikutnya lebih terarah dan tidak
mengambang kesana kemari.
Hakikat adalah merupakan intisari atau dasar atau kenyataan yang
sebenarnya (sesungguhnya)[1],
artinya sesuatu yang sangat prinsip dan sangat mendasar untuk diketahui atau
dimiliki.
Metode berasal dari dua kata yaitu "meta"
(melalui) dan "hodos" (jalan, cara), artinya metode itu adalah
cara atau jalan yang harus dilalui untuk mencapai suatu tujuan[2].
Metode adalah suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu, yang mempunyai
langkah-langkah yang sistematis[3].
Dengan demikian Metode dapat diartikan sebagai suatu cara atau jalan yang
tersusun secara sistematis dalam mencapai suatu tujuan.
Dakwah artinya seruan, ajakan atau panggilan[4].
Dakwah adalah panggilan atau seruan bagi umat manusia untuk menuju jalan Allah
yaitu jalan menuju Islam, upaya tiap muslim untuk merealisasikan
(aktualisasikan) fungsi ke-Islaman dan fungsi kerahmatan[5].
Dengan demikian dakwah itu mempunyai pengertian yang cukup luas karena terkait
dengan suatu upaya untuk mengikuti keislaman secara keseluruhan dan rahmatan
mencakup sekalian alam.
Dari uraian di atas dapat diambil suatu pengertian bahwa Hakikat Metode Dakwah adalah suatu prinsip atau mendasar yang harus dilakukan atau dimiliki dengan jalan atau cara untuk mencapai tujuan keislaman secara keseluruhan dan menjadi rahmat untuk sekalian alam. Cara atau jalan inilah yang perlu dipelajari, dipahami secara baik dan benar serta berupaya untuk melakukannya dengan baik dan benar pula sehingga apa yang diinginkan yaitu kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat bisa terwujud dengan baik.
C. Teknik
Teknik adalah cara, kepandaian dan sejenisnya membuat
atau melakukan sesuatu yang berhubungan dengan seni atau system mengerjakan
sesuatu [6]
Artinya teknik dalam hal ini merupakan seni dan kemampuan dalam melakukan
sesuatu. Jika dihubungkan dengan dakwah, bagaimana seni seseorang dalam
melakukan dakwahnya. Dan ini lebih cenderung kepada hal yang bersifat teknis.
Teknik dalam hal ini dapat dibedakan antara keras dan
menyejukkan. Dakwah dengan cara "keras" dapat berarti dilihat
dari sisi intonasi suara yang kasar, pilihan kata-kata dalam tulisan ataupun manifestasi
tindakan yang terkesan "anarkis" dalam dakwah bil hal.
Teknik atau metode Keras ini bisa terjadi untuk :
1. Mencegah kemungkaran atau orang-orang kafir, seperti firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 54 :
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu'min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui” (Q.S. Al-Maidah: 54)
2. Dakwah Islam dihalangi, seperti firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 190:
“Dan
perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah
kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
melampaui batas” (Q.S.
al-Baqarah:
190)
Dakwah dengan cara menyejukkan, yaitu dalam bentuk :
3. Mencari
titik temu atau sisi kesamaan.
Firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 64 :
“Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)". (Q.S. Ali Imran: 64)
4. Menggembirakan
sebelum menakut-nakuti.
Firman Allah dalam surat al Hijr ayat 49-50 :
“Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku, bahwa sesungguhnya Aku-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,dan bahwa sesungguhnya azab-Ku adalah azab yang sangat pedih” (Q.S. al Hijr: 49-50)
5. Memudahkan,
tidak mempersulit.
Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 185 :
“..Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu..” (Q.S. al-Baqarah: 185)
6. Memperhatikan
penahapan beban dan hukum.
Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 219 :
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfa`at bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfa`atnya". Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: "Yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir” (Q.S. al Baqarah:219)
Berikutnya turun lagi firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 90-91 :
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)”. (Q.S. al Maidah: 90-91)
7. Memperhatikan
Psikologis mad'u.
Muhammad Natsir dalam "Fiqh Dakwah"nya seperti yang dikutip Munzier, mengemukakan pendapat yang berkaitan dengan kondisi psikologis mad'u ini bahwa : pokok persoalan bagi seorang pembawa dakwah ialah bagaimana menentukan cara yang tepat dan efektif dalam menghadapi suatu golongan tertentu dalam suatu keadaan dan suasana tertentu. Seorang da'i harus memperhatikan kedudukan sosial penerima dakwah.[7]
D. Pendekatan.
Dalam melakukan kegiatan dakwah, metode pendekatan sangat
diperlukan Kadangkala sasaran dakwah harus dipahami oleh yang memberikan dakwah
secara baik. Apabila pendakwah tidak memahami situasi dan kondisi orang yang
didakwahi, maka akan sulit untuk menentukan cara apa yang harus dipakai dengan
orang yang dihadapinya. Tapi apabila situasi dan kondisi orang yang didakwahi
dapat dipahami oleh pendakwah, maka kesulitan-kesulitan yang akan dihadapi bisa
diantisipasi sejak dini atau pendakwah memikirkan metode apa yang lebih cocok
untuk dipakainya.
Untuk menentukan keadaan seperti ini, perlu metode
pendekatan yang akan dilakukan oleh pendakwah. Dari tiga metode dakwah yang
lebih dikenal yaitu Bil Hikmah, Mauizhah Hasanah, Wajadilhum Billati Hiya
Ahsan, Rasulullah mengaplikasikannya dalam beberbagai pendekatan[8],
diantaranya yaitu:
1. Pendekatan
Personal.
Pendekatan dengan cara ini terjadi dengan cara individual
yaitu antara da'i dan mad'u langsung bertatap muka sehingga materi yang
disampaikan langsung diterima dan biasanya reaksi yang ditimbulkan mad'u akan
langsung diketahui. Pendekatan dakwah seperti ini pernah dilakukan pada zaman
Rasulullah ketika berdakwah secara rahasia. Rasulullah berdakwah kepada
orang-orang terdekatnya secara rahasia. Hal ini ditujukan agar tidak timbul
keguncangan reaksioner pada kaum masyarakat Quraisy karena pada saat itu mereka
masih memegang teguh keyakinan warisan leluhurnya (animisme).
Walaupun ini terjadi ini di masa Rasulullah, penulis juga
sependapat seperti yang dikemukakan Munzier Suparta dan Harjani Hefni, bahwa di
zaman modern seperti sekarang ini pendekatan personil harus tetap dilakukan
karena mad'u terdiri dari berbagai karakteristik. Dan di sinilah letak
elastisitas pendekatan dakwah[9]. Memang kondisi sekarang tidak sama atau
berbeda dengan di masa Rasulullah, akan tetapi jika diperhatikan karakteristik
dari sasaran dakwah ada yang bersamaan yaitu dalam bentuk karakteristik.
Masing-masing manusia mempunyai karakter yang berbeda sehingga ada yang bisa didakwahi
secara terang-terangan dan ada pula yang tidak sudi didakwahi secara
terang-terangan.
2. Pendekatan
Pendidikan.
Dakwah yang dilakukan melalui pendidikan di masa Nabi
beriringan dengan masuknya Islam kepada para kalangan sahabat. Dakwah dilakukan
dari rumah ke rumah, dan bahkan ada rumah sahabat yang dijadikan tempat untuk
berkumpul secara berkelompok yaitu rumah al-Arqam bin Abi Arqam dan sahabat
lainnya.
Pada masa sekarang juga ada yang dilakukan dengan
pendekatan pendidikan. Hal ini bisa terlihat dari munculnya lembaga-lembaga
pendidikan, pesantren, yayasan-yayasan yang bercorakan Islam bahkan perguruan
tinggi yang juga bercorakan Islam.
3. Pendekatan
Diskusi.
Pendekatan Disuksi pada era sekarang ini cukub banyak dan
sering sekali dilakukan melalui berbagai diskusi keagamaan. Tidak jarang
terjadi bahwa da'i berperan sebagai nara sumber dan mad'u
berperan sebagai audiencenya. Adapun tujuan dari diskusi ini adalah
untuk membahas dan menemukan pemecahan berbagai permasalahan yang terkait
dengan dakwah sehingga apa yang menjadi problem dapat ditemukan dan dicarikan
jalan keluarnya.
4. Pendekatan
Penawaran.
Salah satu falsafah pendekatan penawaran yang dilakukan
Nabi adalah ajakan untuk beriman kepada Allah tanpa menyekutukan-Nya dengan
yang lain. Cara ini dilakukan Nabi dengan memakai metode yang tepat tanpa
paksaan sehingga mad'u ketika meresponinya tidak dalam keadaan tertekan
bahkan ia melakukannya dengan niat yang timbul dari hati yang paling dalam.
Cara ini pun harus dilakukan oleh da'i dalam mengajak mad'unya.
Ajakan-ajakan inilah yang juga dikuasai hendaknya oleh
seorang da'i dalam menyampaikan dakwahnya sehingga perobahan yang terjadi pada
diri seseorang ke arah yang lebih baik sesuai dengan ajakan adalah berdasarkan
atas kesadarannya sendiri. Cara, bentuk atau gaya bahasa yang menyejukkan mad'u
harus diupayakan dan dikemas secara menarik sehingga sesungguhnya yang
tersentuh itu adalah rasa.
5. Pendekatan
Misi.
Pendekatan misi ini adalah dimaksudkan untuk sebagai
pengiriman tenaga para da'i ke daerah-daerah di luar tempat ia berdomisili.
Ketka Nabi di Makkah pendekatan ini pernah dilakukan akan tetapi belum
berhasil. Selanjutnya pendekatan ini juga dikembangkan di Madinah. Pendekatan
seperti inipun pernah dilakukan di masa sahabat Umar bin Khatab, misalnya misi
dakwah ke Yatsrib, Najeb, Najran dan sebagainya.
Untuk saat ini, pendekatan-pendekatan seperti ini banyak juga yang dilakukan oleh organisasi-organisasi yang bergerak di bidang dakwah untuk mengirimkan para da'inya ke daerah-daerah lain yang minim da'inya. Disamping itu daerah yang menjadi tujuan adalah biasanya yang kurang memahami ajaran-ajaran Islam yang prinsipil.
E. Dasar
Metode Dakwah dan Pembahagianya.
Metode Dakwah dalam perspektif al-Quran telah dilakukan
oleh Nabi Muhammad secara teratur dan telah tersusun secara baik untuk mencapai
pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah di dalam ayat-ayat-Nya.
Kenyataan ini memberkan gambaran bahwa metode dakwah yang dilakukan Nabi dalam
membawa manusia kepada Islam berisikan langkah atau cara-cara yang harus
ditempuh ketika melakukan dakwah Islam kepada manusia, tanpa melakukan hal
tersebut, maka hasilnya tidak seoptimal yang diharapkan.[10]
Dalam memahami metode dakwah ini, ada yang berpendapat
bahwa metode dakwah itu bisa dipandang dari beberapa sisi , pertama sisi subjek
yang berdasarkan kepada hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, Turmidzi, Ibnu
Majah dan Nasa'i yang artinya :
Dari Abi Sa'id al-Kudri r.a berkata : aku telah mendengar
Rasulullah SAW bersabda : siapa diantara kamu yang melihat kemungkaran, maka
hendaklah ia mencegahnya dengan tangan, seandainya tidak sanggup, maka cegahlah
dengan lidah, dan kalau tidak sanggup, maka cegahlah dengan hati, dan demikian
itu adalah selemah-lemah iman.
Dalam hadis ini, ada tiga bentuk yang dapat dilakukan
yaitu mencegah dengan tangan, mencegah dengan lisan dan dengan hati.
Kedua sisi objek yang didasarkan pada surat An-Nahl ayat 125 :
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk” (Q.S. An Nahl: 125)
Berdasarkan ayat ini ada pula tiga bentuk yaitu bil Hikmah, Mauizhah Hasanah dan mujadalah.
Ketiga dari sisi materi didasarkan pada surat al-Ahzab ayat 45:
“Hai Nabi sesungguhnya kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan”. (Q.S. al Ahzab: 45)
Dari ayat ini, ada dua bentuk dakwah yaitu Tabsyir
(pemberi kabar gembira) dan Tanzir (pemberi kabar pertakut, siksa atau
azab Allah).
Dari beberapa sisi pandang di atas tentang metode dakwah, penulis berpendapat bahwa dasar dari metode dakwah adalah yang berdasarkan surat an-Nahl ayat 125 yaitu metode al-Hikmah, Mauizhah Hasanah dan Mujadalah. Adapun tentang upaya yang dilakukan dengan tangan, lidah, hati, Tabsyir ataupun Tanzir, tercakup dalam lingkup al-hikmah, mauizhah hasanah atau mujadalah.
1. Metode
al-Hikmah.
Kata hikmah berasal dari bahasa Arab yang berarti
ungkapan yang mengandung kebenaran dan mendalam. Dalam Bahasa Indonesia
diartikan dengan kata bijaksana, yang mempunyai arti (1) selalu
mempunyai akal budi (pengalaman dan pengetahuannya: 'arif, tajam fikiran (2)
pandai dan ingat-ingat. Secara linguistik hikmah berarti kebijaksanaan, sehat
pikiran, ilmu pengetahuan, filsafat, ke-Nabian, keadilan, peribahasa, pepatah
dan al-Qur'an. Secara terminologi, hikmah dapat diberikan beberapa pengertian,
yaitu :
1. Hikmah
merupakan ke-Nabian (al-Nubuwat).
2. Hikmah
merupakan pengetahuan tentang al-Qur'an itu sendiri, meliputi : pemahamannya,
nasikh mansukh, muhkamat, mutasyabihat, ayat-ayat yang didahulukan dan yang
diakhirkan, halal, haram, amtsal dan sebagainya.
3. Hikmah
merupakan kebijaksanaan pembicaraan dan perbuatan.
4. Hikmah
adalah pengetahuan tentang hakikat kebenaran dan perwujudannya dalam kehidupan.
5. Hikmah
adalah ilmu yang bermanfaat, ilmu amaliyah dan aktifitas yang membawa kepada
kemaslahatan umat.
6. Meletakkan
suatu urusan pada tempatnya yang benar, mengetahui hal-haI terhadap objek
dakwah dan memilih metode serta media yang relevan dengan mereka.
7. Mengetahui
kebenaran dan beramal dengan kebenaran tersebut, berpengetahuan yang luas dalam
pembicaraan dan amal. Hal ini tidak akan diperoleh kecuali melaui pemahaman
al-Qur'an, fiqh syari'at dan hakikat iman.
8. Hikmah
merupakan kondisi psikologis, seperti ketundukan, kepasrahan dan ketakutan
kepada Allah.
9. Hikmah
merupakan sunah Nabi.
10. Hikmah
adalah merupakan wara' pada agama Allah.
11. Hikmah merupakan sikap adil sehinga pemikirannya dapat menempatkan sesuatu pada tempatnya.[11]
Al-Maghzawi mengemukakan bahwa ungkapan hikmah mengandung
semua makna yang terkandung dalam al-Qur'an, bukan hanya kata hikmah yang
terdapat dalam surat An-Nahl ayat 125 saja, karena kata hikmah pada ayat-ayat
lain mempunyai hubungan yang sangat signifikan sekali. Jadi kata hikmah tidak
hanya berarti bijaksana.[12]
Ibnu Qoyim berpendapat bahwa pengertian hikmah yang
paling tepat adalah seperti yang dikatakan oleh Mujahid dan Malik yang
mendefinisikan bahwa hikmah adalah pengetahuan tentang kebenaran dan
pengamalannya, ketepatan dalam perkataan dan pengamalannya. Hal ini tidak bisa dicapai kecuali dengan memahami
al-Qur'an dan mendalami syari'at-syari'at Islam serta hakikat iman.
Dengan demikian al-hikmah adalah merupakan kemampuan dan
ketepatan da'i dalam memilih, memilah dan menyelaraskan teknik dakwah dengan
kondisi objektif mad'u. Al-hikmah merupakan kemampuan da'i dalam menjelaskan
doktrin-doktrin Islam serta realitas yang ada dengan argumentasi yang logis dan
bahasa yang komunikatif. Oleh karena itu al-hikmah sebagai sebuah system yang
menyatakan antara kemampuan teoritis dan praktis dalam berdakwah.[13]
Keberhasilan dakwah akan sulit
diraih apabila metoda dakwah yang dipakai untuk menghadapi orang bodoh sama
dengan yang dipakai untuk menghadapi orang terpelajar. Kemampuan kedua kelompok
ini dalam berfikir dan menangkap dakwah
yang disampaikan tidak dapat disamakan daya pengungkapan dan pemikiran yang dimiliki
manusia berbeda-beda.
Hikmah adalah bekal da’i menuju sukses. Karunia Allah yang diberikan kepada orang yang mendapatkan hikmah insya Allah juga akan berimbas kepada para mad’unya, sehingga mereka termotivasi untuk mengubah diri dan mengamalkan apa yang disampaikan da’i kepada mereka. Tidak semua orang mampu meraih hikmah, sebab Allah hanya memberikannya untuk orang yang layak mendapatkannya, seperti firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 269 :
“Allah
menganugrahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur'an dan As Sunnah)
kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugrahi al hikmah itu,
ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang
berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)”. (Q.S. al Baqarah: 269)
Dalam dakwah bil-hikmah, ada hal-hal yang sangat penting
untuk dipahami dan dilaksanakan oleh da'i, diantaranya adalah :[14]
- Mengenal strata mad'u sebagai
landasan normatif.
- Kapan
harus bicara dan pabila harus diam.
- Mencari
titik temu dalam dakwah, perbedaan-perbedaan dapat dipertemukan dalam satu
titik persamaan.
- Toleransi
tanpa kehilangan sibghah, artinya lapang dada, sabar, tahan dan
dapat menerima dengan tetap sesuai dengan warna celupan dan agama (Islam)
sehingga tercermin dalam bentuk semangat, taat, peduli dan toleran.
- Memilih
kata yang tepat, artinya ungkapan sesuai dengan situasi dan kondisi yang
dihadapi saat itu.
- Cara
berpisah dalam artian hijrah untuk tetap berjalan kepada Allah.
- Uswatun
Hasanah (contoh yang baik, kebaikan yang ditiru, contoh identifikasi, suri
tauladan).
- Dakwah bi lisan al-haal, artinya memanggil, menyeru ke jalan Tuhan untuk kebahagiaan dunia dan akhirat dengan mwenggunakan bahasa keadaan manusia yang didakwahi (mad'u) atau memangil menyeru ke jalan Tuhan untuk kebahagian manusia dunia dan akhirat dengan perbuatan nyata yang sesuai dengan keadaan manusia.
Jadi jelas bahwa metode al-hikmah ini adalah suatu hal yang harus dimiliki atau dikuasai oleh da'i karena metode ini juga berarti mensinergikan antara teoritis dengan kondisi yang ada atau riil, sehingga mad'u lebih mudah mengerti dan memahami apa yang diinginkan sesungguhnya terhadap apa yang disampaikan oleh da'i tersebut.
2. Metode
Mauizhah Hasanah.
Mauizhah Hasanah berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata yaitu
mauizhah dan Hasanah. Kata mauizhah
berarti nasihat, bimbingan, pendidikan dan peringatan, sementara hasanah
adalah suatu kebaikan.
'Abdu al-Rahim mengemukakan bahwa mawizhah ialah
peringatan yang baik yang dengannya dapat melemahkan hati yaitu melunakkan hati
yang kesat, meneteskan air mata yang beku dan memperbaiki amal yang rusak.
Pendapat ini sejalan dengan Sayyid Quthb seperti dikutip Salmadanis dalam
bukunya Fi Zila al-Qur’an, bahwa metode mauizhah hasanah adalah
dakwah yang mampu meresap ke dalam hati dengan halus dan merasuk ke dalam
perasaan dengan lemah lembut. Tidak bersikap menghardik, memarahi dan mengancam
dalam hal-hal yang tidak perlu, tidak membuka a’ib atas kesalahan-kesalahan
audiens, karena mereka melakukan hal itu disebabkan tidak tahu. Oleh sebab itu
sifat lemah lembut dalam penyampaian ajaran Islam kepada mereka, pada umumnya
mendatangkan petunjuk bagi hati yang sesat dan menjinakkan hati yang benci
serta mendatangkan kebaikan.[15]
Abd. Hamid al-Bilali berpendapat,
bahwa mauizhah hasanah adalah merupakan salah satu manhaj (metode) dalam
dakwah untuk mengajak ke jalan Allah dengan memberikan nasihat atau membimbing
dengan lemah lembut agar mereka mau berbuat baik.[16]
Dari beberapa pengertian di atas,
setidaknya ditemukan dua bentuk, pertama mauizhah sebagai materi dakwah
dengan alasan bahwa mauizhah lebih dekat sebagai dalil, pelajaran yang
berkaitan dengan kepuasan hati dan jiwa. Kalau dikompromikan dengan dalil-dalil
yang tepat, sehingga dapat memuaskan orang yang dihadapi sampai menjadi tenang.
Alasan kedua jika mauizhah sebagai metode dakwah, adalah suatu metode
dengan menggunakan ungkapan yang indah dengan penjelasan yang dapat menembus
jiwa dan melembutkan hati disertai argumentasi yang tepat, sehingga objek
dakwah menjadi puas menerima pelajaran yang diberikan.[17]
Dalam dakwah al-Mauizhatil Hasanah, ada hal-hal yang
sangat penting untuk dipahami dan dilaksanakan oleh da'i, diantaranya adalah :[18]
1.
Sebagai nasihat,
artinya murni dan bersih dari segala kotoran, memerintah atau melarang atau
menganjurkan yang dibarengi dengan motivasi dan ancaman.
2.
Tabsyir wa
Tandzir. Tabsyir mempunyai arti memperhatikan, merasa senang
atau penampakan sesuatu dengan baik dan indah. Dan bisa juga diartikan dengan
berita gembira karena membawa kebaikan dan keindahan. Tandzir adalah menunjukkan penakutan, atau
dengan kata lain penyampaian dakwah yang isinya berupa peringatan terhadap
manusia tentang adanya kehidupan akhirat dengan segala konsekwensinya.
3.
Wasiat, yang berarti
pesan penting berhubungan dengan sesuatu hal, atau berpesan kepada seseorang
yang bermuatan pesan moral.
4. Kisah, yang berarti menceritakan atau mengandung arti menelusuri atau mengikuti jejak.
3.
Metode
Mujadalah al-Lati Hiya Ahsan.
Mujadalah berasal dari
akar kata "jadala, yujadilu, mujadalah, wajidalan", yang
berarti munaqasyah dan khashamah (diskusi dan perlawanan). Atau
metode dalam berdiskusi dengan mempergunakan logika yang rasional dengan
argumentasi yang berbeda. Jadala artinya berbantah-bantah, berdebat,
bermusuh-musuhan, bertengkar. Kalau dibaca "jadala" artinya
memintal, memilin. Atau dapat juga dikatakan berhadapan dalil dengan dalil,
sedangkan "Mujadalah" diartikan dengan berbantah-bantahan dan
memperundingkan, atau perundingan yang ditempuh melalui perdebatan dan
pertandingan. Atau penyimpangan dalam berdiskusi dan kemampuan
mempertahankannya.[19]
Menurut Ibn Sina, Jidal adalah
bertukar fikiran dengan cara bersaing dan berlomba untuk mengalahkan lawan
bicara. Al-Jurjani berpendapat bahwa Jidal ialah mengokohkan pendapatnya
masing-masing dan berusaha menjatuhkan lawan bicara dari pendirian yang
dipeganginya.[20]
Dari pengertian di atas, maka
ditemukan dua bentuk jidal yaitu jidal yang terpuji dan yang tercela.
Jidal yang bertujuan untuk menegakkan dan membela kebenaran, dilakukan dengan ushlub
yang benar dan relevan dengan masalah yang dijadikan masalah pokok bahasan.
Sedangkan sebaliknya adalah sesuatu yang membawa kepada kebathilan, maka jidal
seperti ini adalah tercela.
Dalam memahami kata "mujadalah"
dalam surat An-Nahl ayat 125 adalah dengan arti berbantah-bantahan, sebab bila
diambil arti bermusuh-musuhan, bertengkar, memintal dan memilin, tampaknya
tidak memenuhi apa yang dimaksud oleh ayat tersebut secara keseluruhan. Agaknya
bila diambil dari kata "Mujadalah" tersebut, secara lugas
untuk memahami dakwah, maka pengertiannya akan menjadi negatif, akan tetapi
setelah dirangkaikan dengan kata "hasanah", maka artinya
menjadi positif.[21]
Sayyid Muhammad Thantawi berpendapat
bahwa Mujadalah adalah suatu upaya yang bertujuan untuk mengalahkan
pendapat lawan dengan cara menyajikan argumentasi dan bukti yang kuat. Ini
mengandung arti, berbantahan dengan baik yaitu dengan jalan yang sebaik-baiknya
dalam bermujadalah, antara lain dengan perkataan yang lunak, lemah lembut,
tidak dengan ucapan yang kasar atau dengan mempergunakan sesuatu (perkataan)
yang bisa menyadarkan hati, membangunkan jiwa dan menerangi akal fikiran, ini
merupakan penolakan bagi orang yang enggan melakukan perdebatan dalam agama.[22]
Berdasarkan pengertian di atas dapat
diambil suatu kesimpulan bahwa "Mujadalah" merupakan tukar
pendapat yang dilakukan oleh dua pihak secara sinergis, yang tidak melahirkan
permusuhan dengan tujuan agar lawan menerima pendapat yang diajukan dengan
memberikan argumentasi dan bukti yang kuat. Antara satu dengan lainnya saling
menghargai dan menghormati pendapat keduanya berpegang pada kebenaran, mengakui
kebenaran pihak lain dan ikhlas menerima hukuman kebenaran tersebut.
Dalam metode dakwah Mujadalah ini, ada hal-hal yang
sangat penting untuk dipahami dan dilaksanakan oleh da'i, diantaranya adalah :[23]
1. Al-Hiwar (berdialog), dialog dilaksanakan berlandaskan
kejujuran, thematik dan objektif, argumentatif dan logis, bertujuan untuk
mencapai kebenaran, tawadhu' dan memberi kesempatan kepada pihak lawan.
Adapun langkah-langkah atau cara dalam berdialog adalah
mempersiapkan materi, mendengarkan pihak lawan dengan arif, bijak dan seksama,
menggunakan ilustrasi/kiasan/gambaran, mematahkan pendapat/alasan dengan serang
balik, apologetik (tidak fanatik terhadap paham yang dianutnya) dan elentika
(fanatik dengan fahamnya), jangan marah.
2. As-Ilah
wa Ajwibah
(Tanya jawab),
Bentuk
dari bertanya ini bisa terjadi :
-
Yastaftunaka, artinya mereka minta fatwa kepadamu,
-
Yasaluka, artinya dia bertanya padamu,
- Yasalunaka, artinya mereka bertanya kepadamu.
Dalam
bentuk jawaban, bisa pula terjadi:
-
jawaban yang lugas, langsung pada apa yang ditanyakan.
-
Dengan lelucon atau guyon.
- Jawaban dalam bentuk pertanyaan yang tidak memerlukan
jawaban lisan, tetapi cukup direnungkan maksudnya.
-
Jawaban yang sama dari pertanyaan yang sama dan
berulang-ulang.
-
Jawaban yang berbeda-beda dari pertanyaan yang sama.
-
Jawaban dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya.
-
Jawaban tidak selamanya harus dijawab dengan lisan,
tetapi bisa juga dengan diam atau gerakan tubuh.
-
Jawaban yang bertingkat-tingkat.
- Pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban
Baca Juga://.............................
👉HAKIKAT METODE DAKWAH BI AL-HIKMAH
F. Penutup
Dari uraian yang telah disajikan di atas, dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut :
1. Hakikat
Metode Dakwah adalah suatu prinsip atau mendasar yang harus dilakukan atau
dimiliki dengan jalan atau cara untuk mencapai tujuan keislaman secara
keseluruhan dan menjadi rahmat untuk sekalian alam. Cara atau jalan inilah yang
perlu dipelajari, dipahami secara baik dan benar serta berupaya untuk
melakukannya dengan baik dan benar pula sehingga apa yang diinginkan yaitu
kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat bisa terwujud dengan baik.
2. Diantara
teknik atau metode dalam dakwah yang dapat dilakukan oleh seorang da'i adalah
cara :
a. Keras, yang ditujukan kepada kemungkaran, orang-orang kafir dan yang menghalang-halangi dakwah Islam.
b. Menyejukkan.
3. Bentuk
pendekatan dalam metode dakwah adalah :
a. Pendekatan
personal.
b. Pendekatan
pendidikan.
c. Pendekatan
diskusi.
d. Pendekatan
penawaran.
e. Pendekatan
misi.
4. Metode
dakwah dan pembahagiannya adalah :
a. Metode
bil Hikmah, dengan memperhatikan :
-
Mengenal strata mad'u.
-
Bila harus berbicara dan bila harus diam.
-
Mencari titik temu dalam dakwah.
-
Toleransi tanpa kehilangan sibghah.
-
Memilih kata yang tepat.
-
Cara berpisah / hijrah.
-
Uswatun hasanah.
-
Dakwah bilisan al-haal.
b. Metode
Mauizhah Hasanah, dengan memperhatikan:
-
Nasihat.
-
Tabsyir wa Tandzir.
-
W a s i a t .
-
K i s a h .
c. Metode
Mujadalah.
-
Al-Hiwar.
-
As-ilah wa Ajwibah.
Demikianlah makalah ini dibuat, tentunya banyak terdapat kekurangan atau kelemahan dalam penulisan ini dikarenakan keterbatasan yang penulis miliki, untuk itu dengan senang hati segala saran, masukan atau kritikan demi penyempurnaan penulisan ini serta penulisan berikutnya, dengan lapang dada dapat merimanya
Daftar Pustaka
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi
Ketiga, Jakarta, Balai Pustaka, 2005
Hasnawirda,
Ilmu Dakwah, Padang, IAIN IB Press, 1999
Isa Anshary, Mujahid Da'wah, Bandung, C.V
Diponegoro, 1995
Jujun
S. Sumantri, Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Popular, Jakarta, Pustaka
Sinar Harapan, 2005
Munzier Suparta dan Harjani Hefni, Metode Dakwah,
Edisi Revisi, Jakarta, Prenada Media, 2006
Salmadanis,
Filsafat Dakwah, Jakarta, Surau, 2003
[1]
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi
Ketiga, Jakarta, Balai Pustaka, 2005, h.
383.
[2]
Munzier Suparta dan Harjani Hefni, Metode Dakwah,
Edisi Revisi, Jakarta, Prenada Media, 2006, h.6.
0 Comment