HAKIKAT METODE DAKWAH MAUIZAH AL-HASANAH
A.
Pendahuluan
Filsafat Ilmu dakwah merupakan ilmu yang membahas
tentang hakikat dari dakwah, menhaj atau metode dakwah merupakan salah
satu rumpun kajian dari filsafat ilmu
dakwah. Metode dakwah yang telah
tertuang dalam surat an-Nahl ayat 125 merupakan pokok kajian metode dalam
menyampaikan dakwah.
Inti dari surat an-Nahl ayat 125 yaitu dakwah disampaikan
dengan cara hikmah, mauizah hasanah, serta jidal (dalam ayat wajadilhum
bi al lati hiya ahsan) yang merupakan suatu ikatan komponen metode
dakwah.
Untuk pembahasan yang lebih jelas, yatitu salah satu
metode dakwah yang menggunakan yaitu metode mauizah al hasanah,
yang merupakan ungkapan nasehat untuk kebenaran dan bermanfaat dan dianggap baik oleh manusia sebagai pendengar.
Selanjutnya, penulis akan mengupas tentang hakikat metode mauizah al hasanah yang meliputi pengertian, tujuan dan fungsi, serta ruang lingkup dan aplikasinya terhadap umat. Semoga makalah ini dapat mennambah wawasan serta khasan kita semua
B. Pengertian
Secara bahasa, mauizah al-hasanah
terdiri dari dua kata, yaitu mauizah dan hasanah. Kata mauizah berasal dari
kata wa’aza-ya’izu-wa’dzan-’idzatan yang berarti; nasehat, bimbingan,
pendidikan dan peringatan[1].
Kata mauizah sebagaimana yang
diungkapkan oleh Muhammad Fuad Abdul al-Baqi adalah dengan segala bentuknya
terulang sebanyak 25 kali[2]
dalam berbagai ayat dan surat . Rincian ayat yang berakar dari wau, ’ain,
dan zha dalam al-Qur’an bentuk mau’aizah terdapat terdapat sembilan kali, yaitu: Surat al-Baqarah: 66,
275, Ali Imran: 138, al-Maidah 46, al-’A’raf: 145, Yunus: 57, Hud, an-Nahl:
125, an, Nur: 34.[3]
Sedangkan hasanah merupakan kebaikan dari sayyi’ah
yang berarti kebaikan lawannya kejelekan.[4]
Adapun pengertian secara istilah, ada beberapa pendapat, antara lain;[5]
- Menurut pendapat Abdullah bin Ahmad an-Nasafi, Mauizah
al-hasanah adalah (perkataan-perkataan) yang tidak tersembunyi bagi
mereka, bahwa engkau memberi nasehat dan menghendaki manfaat kepada mereka
atau dengan al-Qur’an.
- Menurut Abd Hamid al Bilali al-mauizah al-hasanah
merupakan salah satu menhaj (metode) dalam dakwah untuk mengajak ke
jalan Allah dengan memberikan nasehat atau membimbing dengan lemah lembut
agar mereka mau berbuat baik.
Mauizah hasanah dapat diartikan sebagai ungkapan
yang mengandung unsur bimbingan, pendidikan, pengajaran, kisah-kisah, berita gembira, peringatan, pesan-pesan
positif yang bisa dijadikan pedoman dalam kehidupan agar mendapatkan keselamatan
didunia dan akhirat.
Dalam surat Luqman ayat 13 ” Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, yaitu
memberikan mauizah (nasehat) kepadanya; Hai anakkku, janganlah kamu
mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah kezaliman yang
besar.[6]
Salah satu contoh mauizah hasanah di atas akan mengandung arti kata-kata yang masuk ke dalam qalbu dengan penuh kasih sayang dan ke dalam perasaan dengan penuh kelembutan, tidak membongkar dan membeberkan kesalahan orang lain di depan umum sebab kelemah-lembutan dan menesehati sering dapat meluluhkan hati yang keras dan menjinakkan qalbu yang liar, atau lebih memudahkan melahirkan kebaikan dari pada ancaman. Dalam hal ini hakikat mauizah hasanah adalah kelemah lembutan dalam memberikan pesan kebenaran kepada umat.
C. Tujuan dan Fungsi
1. Tujuan
Dalam menyiarkan dakwah tujuan dan fungsi mauizah
hasanan harus memenuhi syarat-syarat sebagi berikut:[7]
a.
Nasihat harus
bersifat sir (sembunnyi-sembunyi), cara ini penting jika orang yang
dinasehati tidak melakukan kesalahaan berulang dan bersifat sembunyi (tidak
diketahui oleh orang banyak). Nasehat tersebut langsung ditujukan kepada
pribadinya. Cara sir ini adalah jalan terbaik yang akan menggugah jiwa
orang yang dinasehati. Para ulama berkata ” Barang siapa yang menasehati
saudaranya secara sembunyi-sembunyi berarti dia menghormatinya, dan barang
siapa yang menasehatinya secara terang-terangan, berarti ia menghina dan
menjatuhkan harga dirinya”. Tetapi sebaliknya, apabila kesalahan orang itu
bersifat terang-terangan, semua orang tahu sedang si pemberi nasehat itu
tujuannya mengingatkan supaya ia jangan sampai melakukan kesalahan itu lagi
atau mengajak orang lain untuk menguikutinya, maka menasehatinya secara
terang-terangan adalah lebih baik, tetapi jika kesalahan tersebut, atau
menyebut namanya, Ia harus meneladani Rasulullah, yaitu saat beliau memberi
peringatan atas sebagian kesalahan yang diperbuat orang-orang yang cukup
dikenal.
Hal diatas
dapat diketahui bahwa cara sembunyi-sembunyi bukan merupakan syarat mutlak bagi
setiap nasehat dan peringatan, sehingga setiap nasehat atau mauizah adalah
cara masinh-masing sesuai dengan sikon.
b.
Nasihat harus
tidak menimbulkan fitnah dan bencana yang lebih besar, syarat ini mutlak wajib
bagi setiap bentuk nasihat, sebab dengan
nasehat tersebut kita justeru mengharapkan hilangnya fitnah dan bencana.
Apabila yang terjadi sebaliknya, lebih baik kita diam. Seseorang yang berakal tidak akan melarang
khamar (minuman keras), jika mengetahui akibat perbuatannya itu ia akan dibunuh.
Jadi membiarkan perbuatan tersebut demi menjaga timbulnya fitnah yang besar itu
harus dan wajib. Dengan demikian, amar
makruf apa saja yang akan menimbulkan perbuatan haram lebih besar dari pada
apabila kita meninggalkan amar makruf tersebut, maka pada saat itu yang makruf
justeru meninggalkannya, begitu juga dengan nahi mungkar yang akan
mendatangkan kemungkaran yang lebih besar, maka lebih baik ia
meninggalkannya.
c. Hendaklah nasehat tersebut berpenampilan sebagai barang baru, yaitu tidak ada cacian atau mengandung cercaan yang menyinggung orang yang dinasehati. Ia bersih dari gambaran-gambaran berupa pernyataan seseorang yang menentang (memusuhi). Itulah syarat nasehat dan peringatan.
Syarat di atas dapat dilihat dri contoh bahwa seorang
pemberi nasehat pernah dihadapi Harun al-Rasyid, lalu ia ceramah dengan
kata-kata kasar penuh emosi, maka Harun al-Rasyid menegurnya: inikah nasehat?”,
Allah Azza wa Jalla telah mengutus orang yang lebih baik darimu kepada orang
yeng lebih buruk dariku. Ia menyuruh
keduanya untuk lemah lembut dan sopan. Allah berfirman: ”Pergilah kalian
berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya ia melampaui batas, katakanlah kepadanya
dengan lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat dan takut” [8]
Ayat ini merupakan dalil landasan bagi syarat di atas.
Ayat ini memberikan pemahaman tentang melembutkan perkataan yang menimbulkan
simpati orang yang diberi nasehat agar timbul baginya kesadaran.
Syarat Metode mauizah hasanah diatas, sebagaimana
ayat-ayat yang terkait dengannya, menunjukkan suatu cara yang diajarkan Allah
kepada Nabi-Nya untuk mengajak orang lain kepada Islam dengan tahapan dan
perencanaan yang jelas.
Makna yang terkadung dari kalima mauizah meliputi
nasehat dan peringatan dengan kebaikan sehingga berfungsi melembutkan hati dan mendorong untuk beramal.
Pemberian nasehat adalah merupakan penjelasan mengenai kebenaran dan kepentingan sesuatu dengan tujuan agar
orang yang dinesehati menjauhi kemaksiatan sehingga terarah kepada sesuatu yang
dapat mewujudkan kebahagiaan dan kemenangan. Lebih jauh konsep nasehat dapat
menggugah berbagai perasaan, afeksi, dan emosi yang mendorong seseorang
melakukan amal shaleh dan segera menuju ketaatan kepada Tuhannya. Nasehat dapat
terjadi melalui berbagai sarana antara lain: melalui kematian, melalui sakit,
dan melalui perhitungan amal, melaui peringatan-peringatan lain dan sebagainya.[9]
Terma mauizah dalam bentuk nasihat adalah
membengkitkan perasaan ke-Tuhanan yang dikembangkan dalam jiwa objek dakwah, sehinggga
menimbulkan rasa takut dan ketundukan kepada Tuhannya, Selain itu membangkitkan ketangguhan agar
senantiasa berpegang kepada pemikiran yang sehat, membangkitkan untuk berpegang
kepada kesatuan jamaah, bahkan yang tidak kalah penting adalah nasehat itu
menyucikan dan membersihkan diri yang merupakan salah satu tujuan utama dalam
dakwah Islam.[10]
Tujuan dan fungsi mauizah yang sesuai dengan
syarat di atas adalah seseorang pemberi nasehat dan peringatan harus mengetahui
hukum syarak dan berhati-hati dalam memilih cara yang paling cocok dalam
menasehati serta harus mengamalkan isi nasehat itu itu sebelum menyampaikannya
kepada orang lain. Nasehat seperti ini tidak akan menimbulkan fitnah atau
bencana dan akan diterima oleh orang
dengan baik. Ia mengandung manfaat besar buat mereka yang dibebri
nasehat, juga merupakan pelajaran bagi setiap orang Islam yang memikul tugas
ini.
Mauizah hasanah juga tidak berkisar pada lingkungan
kecil dan sempit, tidak menjangkau lapisan luas masyarakat dan umum di
jalan-jalan, di kedai-kedai, kantor dan pasar, mesjid aatau sekolah-sekolah,
tetapi ia menjangkau semuanya itu sampai kepada departemen-departemen
pemerintahan dan menembus yang dapat qalbu. Islam menjadikan nasehat
seperti itu berada pada tingkatan dan kedudukan paling tinggi dan paling
penting melebihi hal-hal lainya dalam ajaran Islam. Balasannya adalah surga
yang seluas langit dan bumi.
Abd Hamid al-Bilali sebagaimana yang dikutip oleh Munzier
dan Harjani, mengatakan bahwa mauizah hasanah adalah merupakan salah
satu menhaj (metode) dalam dakwah untuk mengajak kepada jalan Allah
dengan memberikan nasehat atau bimbingan dengan lemah lembut agar mau berbuat
baik.[11]
Dengan demikian, tujuan yang jelas menenai hakikat metode dakwah mauizah hasanah adalah untuk membuat mental orang yang telah keluar dari jalan Allah agar mau menerima ajaran Allah kembali. Sehingga dengan cara dan ucapan yang lemah lembut akan membuat seseorang yang bermental keras menjadi lunak, sehingga metode mauizah hasanah merupakan salah satu metode yang sangat ampuh dalam menyampaikan dakwah.
2.
Fungsi
’Abdu al-Rahim mengatakan bahwa mauizah ialah
peringatan yang baik dengannya, dapat melemahkan hati, yaitu melunakkan hahti
yang kesat meneteskan air mata yang beku, dan memperbaiki amal yang rusak.
Pendapat ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Sayyid Quthb, bahwa metode mauizah
hasanah adalah dakwah yang mampu meresap ke dalam hati dengan halus dan
merasuk kedalam peresaan dengan lemah lembut. Tidak bersikap menhardik,
memarahi, dan mengancam dalam hal-hal yang tidak perlu, tidak membuka aib atas
kesalahan-kesalaha audiens, karena mereka melakukan hal itu disebabkan tidak
tahu. Oleh karena itu sifat lemah lembut dalam menyampaikan ajaran Islam kepada
mereka, pada umumnya mendatangkan petunjuk bagi hati yang sesat dan menjinakkan
hati yang sesat dan menjinakkan hati yang benci serta mendatangkan kebaikan.[12]
Penjelasan diatas memberikan keterangan bahwa fungsi dari mauizah hasanan adalah untuk mengembalikan manusia kepada Jalan yang diredhai Allah, sehingga timbul penyesalan baginya terhadap kesalahan yang telah dilakukannya yang berhubungan dengan masalah yang dilarang oleh Allah.
D. Ruang lingkup dan aplikasinya kepada umat
Sesuai dengan pembahasannya, ruang lingkup serta
pengaplikasian pelaksanaan mauizah hasanah telah dijelaskan dalam
al-Qur’an karena bukanlah suatu metode jika sesuatu itu dikerjakan bukan
melalui tahapan dan perencanaan yang
jelas. Hal ini terlihat pada ayat-ayat al-Qur’an, misalnya bahwa bila
ditemukan kata-kata yang bersumber dari
akar kata waw, ’ain dan zha dalam al-Qur’an maka pelaksanaanya
mempunyai tahapan-tahapan, misalnya;[13]
- Dilihat dari ancaman yang diinformasikan terhadap
pelakunya seperti kera (al-Baqarah: 66)
- Dilihat dari gejala-gejala negatif yang ditimbulkan
seperti pelaku riba (al-Baqarah: 275)
- Dilihar dari cara melaksanaannya, misalnya pelaku
kisas (al-Maidah: 46)
- Dilihat dari priritah melaksanakannya, yaitu
mendahulukan yang penting dari yang penting (al-A’raf: 145)
- Dilihat dari segi kehati-hatian dalam memberikan
materi, seperti melakukan targhib wa al-tadrib (Yunus: 57)
- Dilihat dari keseimbangan antara kehidupan di dunia
dan akhirat (Hud: 120)
- Dilihat dari segi bahasa yang dipakai (al-Nahl: 125)
- Dilihat dari segi penjelas (bayan) (al-Nur: 34)
- Dilihat dari segi kondisi sosial yang mengitari seperti cara menghadapi orang kafir dan munafik (al-Nisa’: 63)
Sesuai dengan surat al-Baqarah ayat 66[14]
adalah mengacu kepada kepada Bani Israil yang telah melangggar perjanjian
dengan Allah untuk tidak keluar di hari
sabtu mencari ikan ke laut, ternyata kaum Bani Israil melanggarnya. Akibat
pelanggaran tersebut Allah memberi azab kepada orang-orang Bani Israil dengan
mengklaim sebagai kera yang hina. Kata
Wahbabh al-Zuhali yang dimaksud dengan
kera yang hina itu adalah kalimat isti’arah, yaitu sindiran Allah kepada orang yang melanggar aturan
diibaratkan dengan kera yaitu hati pamahamannya sama dengan kera karena tidak
mau menerima nasehat dan peringatan.[15]
Dalam surat Ali Imran ayat 138[16]
ayat ini menjelaskan bahwa al-Qur’an adalah sebagai pelajaran bagi orang orang
yang bertaqwa, yaitu orang-orang yang tidak ada keraguan, meyakini sebagai
hakim, sebagai petunjuk dan rahmat dalam segala urusan, dan juga Allah
memberikan peringatan kepada kaum muslim untuk berhati-hati kepada kaum
munanfik yang mereka ragu tentang kebenaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw[17]
Dalam hal ini kata Mauizah mengandung pemaknaan
sistem dan strategi yang harus dijadikan pedoman dalam melaksanakan suatu
kegiatan[18]
Apabila sistem dan strategi tidak digunakan dalam memberikan nasehat kepada
orang lain dalam usah pelaksanaan amar
makruf nahi mungkar, maka pelaksanaan dakwah yang bertujuan sebagai
nasehat akan mendapat tantangan atau dakwah yang di sampaikan melalui nasehat
tidak akan berhasil sama sekali.
Strategi dalam menyampaikan nasehat sangat penting sekali
apabila tantangan dakwah sangat keras sekali. Dan disanalah titik keberhasilan
dakwah dengan mauizah al hasanah.Surat al-Maidah ayat 46.[19]
Kata mauizah pada ayat ini menggambarkan bahwa
kitab Injil dan Taurat adalah pelajaran
bagi orang-orang yang taqwa[20]
Makna ini adalah mauzah merupakan pelajaran bagi orang yang bertaqwa.
Seperti al-Qur’an yang merupakan
pegangan bagi umat Islam juga merupakan
petunjuk dan pengajaran bagi setiap muslim yang mana di dalamnya terdapat
berbagai informasi mengenai berbagai macam hal yang sangat berhubungan hukum
dan perbuatan manusia kepada sesamanya dan sang pencipta.
Surat al-A’raf ayat 145[21]
Ayat ini pelajaran bagi kaum Nabi Musa
untuk berpegang teguh kepada Taurat, yaitu mendahulukan hal-hal yang wajib
ketimbang yang sunnah dan mubah, sekaligus Allah akan memperlihatkan bertapa
ngeri yang dimunculkan-Nya akibat kefasikan para penduduknya.
Mauzah yang dimaksud di sini adalah
meliputi semua kewajiban mentaati
nasehat[22]
ayat ini Allah juga memberikan pelajaran dan nasehat kepada setiap muslim untuk
melihat contoh-contoh terhadap apa yang ia timpakan kepada kaum-kaum yang fasik.
Pada surat Yunus ayat 57[23] Ayat ini menunjukkan bahwa al-Qur’an adalah
sebagai pelajaran bagi orang yang beriman,[24]
al-Qur’an yang berupa petunjuk dan
pelajaran yang mampu menyembuhkan berbagai penyakit hati yaitu segala
macam penyakit yang bertentangan dengan syariat Islam.
Dalam Surat Hud ayat 120[25]
menggambarkan tentang kisah-kisah dalam al-Qur’an sebagai pelajaran dalam upaya
memperteguh hati orang-orang yang beriman. Mauizah pada ayat ini
mengingatkan semua yang menyangkut ketergantungan hidup hanya untuk dunia dan
mengisyaratkan adanya kebahagiaan hidup diakhirat kelak.[26]
Makna ini memberikan pemahaman kepada seseorang bagaimana
Allah memberikan keteguhan hati mereka dengan
berbagai macam peringatan yang dengannya diberikan berupa pembuktian
kisah-kisah kebebenaran adanya rasul-rasul Allah yang diturunkan kepada umat
manusia.
Pada surat al-Nahal 125[27]
mengemukakan bahwa melakukan dakwah adalah melalui pelajaran yang baik. Mauizah
pada ayat ini adalah ungkapan yang bermanfaat dan pembicaraan yang mengesankan
yang membawa dampak kepada hati audiens.[28]
Hal ini mengisyaratkan kepada pemberi nasehat
bahwa bahwa dalam memberikan pelajaran yang baik harus mengunakan tata cara
yang lembut yang penuh dengan pengertian supaya orang kelompok yang dinasehati
akan tergugah hatinya untuk meninggalkan kemungkaran
Begitu juga dalam surat an-Nur ayat 34[29]
bahwa al-Qur’an adalah sebagai penerangan dan conntoh-contoh dari orang yang
terdahulu dan pelajaran bagi orang yang
bertaqwa. Penerangan disini ialah suatu yang dibutuhkan kepada ajaran
agama meliputi hukum, hudud dan etika. Sedangkan melalui contoh-contoh
ialah kisah-kisah yang menakjubkan seperti kisah ’Aisyah, Yusuf.
Dan Maryam. Sehingga mauizah pada ayat ini adalah penejasan bagi
orang-orang yang taqwa dan orang-orang yang takut kepada azab Allah. Dengan
demikian mauizah pada ayat ini diartikan dengan penjelasan yang semakna
dengan bayan.[30]
Ada beberapa lingkup kajian mauizah hasanah yang
terdapat dari beberapa contoh ayat diatas. Sesuai dengan pembahasannya mauizah hasanah yang sesuai dengan ayat diatas
dapat berupa petunjuk kepada umat manusia khususnya umat Islam, sebagai
penerang, hikmah atau ilmu pengetahuan,
memberikan obat kepada hati yang berada di ambang kesesatan serta penjelas
kepada semua umat, sehingga metode ini kalau disimpulkan menjadi bentuk
nasehat, tabsyir wa tanzir, serta
wasiat;
1.
Nasehat.
Kata nasehat berasal dari bahasa Arab, dari kata kerja ”nashaha”
yang berarti khalasha yaitu murni dan bersih dari segala kotoran, juga
berarti khata yaitu menjahit. Dan dikatakan bahwa nasehat berasal dari
kata orang yang menjahit pakaian, maka mereka mengumpamakan perbuatan penesehat
yang selalu menginginkan perbaikan orang yang dinasehatinya dengan jalan
memperbaiki pakaian yang robek.[31]
Pembahasan ruang lingkup mauizah dalam mengaplikasikannya
kepada umat juga harus sesuai dengan penjelasan keterangan ayat diatas, bahkan harus berhubungan dengan syarat-syarat
yang telah dijelaskan diatas. Dengan
demikian gambaran ruang lingkup nasehat
yang memenuhi syarat, seorang pemberi nasehat atau mauizah dan pemberi
peringatan harus memenuhi hukum syarak, dan berhati-hati dengan memilih
cara yang cocok dalam menasehati serta terus mengamalkan isi nasehat itu
sebelum menyampaikannya kepada orang lain.
Nasehat merupakan salah satu cara mauizah hasanah
yang bertujuan untuk memberikaan ajakan, pendidikan, pengajaran yang baik
kepada orang yang melanggar aturan agama supaya ia tidak lagi melakukan hal-hal
yang dilarang oleh agama.
Nasehat juga juga sebagai tindakan mengingatkan orang
lain, dengan cara hasanah atau dengan cara yang baik, lemah lembut dan
langsung tertuju kepada hati orang yang melanggar aturan agama.
Secara terminologi nasehat adalah memerintah atau
melarang atau menganjurkan yang dibarengi dnegan motivasi dan ancaman.[32]
Beberapa penjelasan mengenai nasehat mengandung berbagai macam makna yang mana
nasehat itu harus dibarengi dengan cara yang baik. Hal ini juga telah
dijelaskan dalam ayat al-Qur’an yaitu: ”Dan sesungguhnya kalau mereka
melaksanakan pengajaran yang diberikan kepada mereka tentulah hal yang demikian
itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka)”. (QS.
An-Nisa: 66).[33]
Ada makna yang tersirat dari ungkapan ayat diatas bahwa pengajaran atau nasehat yang diberikan lebih menguatkan hati (iman) yaitu nasehat harus berkesan dalam jiwa atau bisa mengikat jiwa dengan keimanan dan petunjuk yang yang sesuai dengan kaidah kaidah yang terdapat dalam makna mauizah hasanah.
2.
Tabsyir wa Tanzir
Menurut Ahmad Warson (1997:85) sebagaimana yang
dikutip oleh M. Munir, kata tabsyir secara bahasa berasal dari kata basyara
yang mempunyai arti memperhatikan, merasa senang.[34]
Sedangkan menurut Quraish Shihab, kata basyara berarti menampakkan
sesuatu dengan baik dan indah[35]
Sedangkan tabsyir dalam istilah adalah penyampaian yang berisi
kabar-kabar yang menggebirakan bagi orang-orang yang mengikuti dakwah[36]
Dari pengertian di atas, kata tabsyir dapat
diartikan sebagai informasi yang diberikan dan memiliki nilai motivasi supaya
ada peningkata dalam menjalankan ajaran dengan baik, sehingga motovasi ini
terbagi atas dua keinginan bagi objek dakwah yaitu motovasi untuk menjalankan
ajaran Islam dengan baikserta motivasi untuk meninggalkan larangan Islam.
Dalam al-Qur.an kata tabsyir terdapat 18 kali[37]
dari sekian banyak kata tabsyir, semua diartikan sebagi kabar gembira
atau berita pahala, hanya saja bentuk kabar gembiranya yang beragam, antara
lain kabar gembira dengan syariat Islam, kabar gembira dengan kedatangan rasul,
kabar gembira tentang akan turunnya al-Qur’an dan kabar gembira tentang surga.[38] Namun ke semua hal ini merupakan motivasi
bagi seorang yang menyampaikan nasehat kepada orang orang lain sesuai dengan
metode yang digunakan dan harus dengan cara yang baik.
Tanzir yaitu penyampain dakwah dimana
isinya berupa peringatan terhadap manusia tentang adanya kehidupan akhirat
dengan segala konsekwensinya.[39]
Dalam hal ini tanzir mengandung unsur peringatan sebagimana yang
dijelaskan dalam al-Qur’an: Sesungguhnya Kami telah mengutusmu (Muhammad)
dengan kebenaran, sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan
kami tidak akan diminta (pertanggung jawaban) tentang penghuni-penghuni
neraka.” (QS. al-Baqarah: 119)[40]
Sebuah peringatan merupakan hal yang sangat penting dalam
menyampaikan mauizah, karena dilihat dari keadaan sekarang, tanzir
sangatlah penting karena manusia sudah banyak yang melampaui batas dan sangat
cenderung sekali dengan kehidupan dunia, sehingga para juru dakwah tidak selalu
memperbanyak memberikan kebar kembira (tabsyir) namun sekarang tanzirlah
yang harus banyak disampaikan kepada orang yang diberi nasehat.
A Hasjmy mengemukanan
bahwa benntuk-bentuk tanzir adalah:[41]
1.
Menyebut Nama
Allah
Menyebut nama Allah dilakukan terhadap orang yang berbuat
kemungkaran, yang mana apabila seorang individu melihat orang lain melakukan
perbuatan yang melanggar aturan agama, maka dengan peringatan menyebut nama
Allah, hal ini bisa menyebabkan dirinya bergetar dan merasa takut dengan
menyebut kebesaran Allah
2.
Menunjukkan
keburukan
Meskipun manusia suka berbuat jahat dan buruk, kadang
kadang perbuatan itu dia tutupi agar tidak ketahuan oleh orang lain,
pengungkapan itu bisa dilakukan dengan jalan menggunakan media pers. Hal ini
kadang-kadang dapat mengungkapkan keburukan dari kejahatan yang dilakukan oleh
orang tersebut, pengungkapan itu dapat menyadarkan manusia untuk kembali kepada
kebaikan sehinga mereka bisa menjadi sadar dengan dosa yang ia lakukan.
Namun kendatipun demikian hal ini boleh dan bagian dari
peringatan yang layak dijadikan sebagai metode dakwah, tetapi dalam hal ini,
sebagai juru dakwah dalam rangka membongkar keburukan seseorang tokoh dengan
memanfaatkan media informasi harus tetap dengan tuntutan agama, yaitu tidak
boleh ditunjuk langsung si pelaku keburukan dan kejahatan, bahkan andaikata
dilakukan penyebutan kejahatan orang lain dengan namanya, justeru hal ini sama
dengan melakukan keburukan, sebagai contoh seperti yang diberitakan oleh media
massa, kebanyakan media massa menyebut pelaku kejahatan yang di selidikinya
hanya dengan menyebutkan inisial atau
nama samaran dan wajahnya juga dikaburkan sehingga tidak terlihat secara jelas
pelaku kejahatan (kemaksiatn) yang di siarkan melalui media massa. Dalam
al-Qur’an juga menungkapkan keburukan manusia, maka tidak langsung menunjuk
nama sebenarnya, tetapi dengan laqab
atau sebutan yang lain . Antara lain ketika meyebutkan kejelekan Zulaikha,
Allah menggunakan kata Imra’atul ”aziz, demikian pula dengan sebutan Sir’un, Abu
Lahab, Itu bukan nama sesunguhnya.
3.
Pengungkapan
bahaya
Pengungkapan bahaya ini bisa berupa bahaya yang atau
dampak dari perbuatan yang dilakukan oleh seseorang, seperti seseorang yang
melakukan perzinaan, maka bahayanya akan menyebabkan penyakit yang mematikan,
serta meminum minuman keras dapat menyebabkan kematian dan timbulnya kangker
pada tubuh si peminum.
4.
Penegasan
adanya bencana segera
Menakut nakuti agar tidak melakukan kriminal dan
kezaliman, terkadang dapat dilaksanakan dengan menegaskan adanya bencana dan
kemelaratan yang segera akan menimpa tubuh manusuia sendiri, keluarganya,
anak-anaknya dan kedudukannya, dengan demikian, manusia akan menjauhi
kejahatan, karena takut akan bahaya yang segera menimpa.
5.
Menyebut
peristiwa akhirat
Dengan menyebutkan berbagai peristiwa akhirat seperti
azab neraka yang dahyhat dan kehinaan, maka seseorang yang diberi peringatan
mampu meninggalkan berbagai macam kegiatan kejahatan dan kezaliman di bumi ini.
Tabsyir dan tanzir merupakan salah satu dari beberapa pendekatan dawah yang dikenalkan al-Qur’an. Karena hakikat mad’u adalah manusia sendiri yang mempunyai sifat karakter manusiawi, yaitu sosok makhluk mencintai kesenangan material, ingin mempunyai masa depan yang bahagia, senang terhadap penghargaan, ingin terhindar dari malapetaka dan bencana, uslub dakwah yang diintrodusir al-Qur’an ditemukan nada pendekatannya, memang sesusi dengan karakteristik manusiawi yaitu tabsyir wa tanzir .[42] sehingga tabsyir dan tanzir disampaikan harus dengan cara yang baik sesuai dengan tuntutan syariat Islam.
1.
Wasiat
Secara etimologi kata wasiat berasal dari bahasa Arab,
terabil dari kata washa-washiya-washiatan,
yang berarti pesan penting yang
berhubungan dengan sesuatu hal[43]
Secara terminologi ada beberapa pendapat yaitu menurut Selin bin Ie’d al-Hilali
sebagaimana yang dikutip oleh M. Munir yaitu Sekumpulan kata-kata yang berupa
peringatan, support dan perbaikan. Dan menurut Majid al-Sayyid Ibrahim
mengatakan bahwa Pelajaran tentang amar makruf nahi mungkar atau berisi anjuran
berbuat baik dan ancaman berbuat jahat.[44]
Pengertian wasiat dalam konteks dakwah adalah ucapan
berupa arahan (taujih) kepada orang lain (mad’u) terhadap sesuatu
yang belum dan akan terjadi.[45]
Berbeda dengan konteks umum bahwa wasiat merupakan pesan terakhir yang
dikatakan atau dituliskan oleh orang yang kan meninggal, berkenaan dengan harta
benda dan sebagai, surat wasiat; surat warisan.[46]
Jadi wasiat dalam konteks dakwah sangat khusus sekali, serta mengandung
ungkapan bahwa wasiat harus memberikan kekuatan ingatan yang menyebabkan seorang
mad’u disaat akan melakukan sesuatu bisa berpikir terlebih dahulu.
Dalam al-Qur’an banyak ayat yang menjelaskan mengenai
wasiat, diantaranya adalah surat an-Nisa’ ayat 131;” Milik Allah yang
dilangit dan di bumi dan sesungguhnya Kami telah mewasiatkan kepada orang-orang
yang diberi kitab sebelum kamu dan juga kepadamu untuk bertqwa kepada Allah.”[47]
2.
Targhib wa
tarhib
Asal dari targhib wa tarhib adalah mendapat
pembalasan di akhirat dengan mecurahkan berbagai macam kebaikan. Sehingga targhib
adalah mempunayai nilai redha dari Allah dan rahmat-Nya, dan jazilah pahala
di akhirat. Dan tahrib yaitu yang ditakutkan dari marah Allah di
akhirat.Hal ini sesusi dengan firman Allah surat al-A’raf : 63, Nuh: 1-3,
Taghabun: 7-9, dan surat Muhammad: 1-2 [48]
Suatu kaum yang berada pada jalan kebenaran yang menyeru
untuk taat kepada Allah supaya tidak tergelincir kepada azab. Hal ini juga
dilelaskan dalam surat a-Syu’ara: 130-131, dan surat al-A’raf: 69 dan 73.[49]
Untuk itu, kata taghib juga termasuk kabar kembira, dan tahrib
bersifat ancaman.[50]
Dari keterangan diatas tujuan dari targhib yaitu hal yang
bisa diterima oleh mad’u dengan benar, dan tarhib sikap merupakan sika untuk
menjaga dan memelihara diri mad’u dari kebodohan. Oleh sebab itu upaya
pemeliharaan diri mad’u merupakan cara yang digunakan oleh da’i
dalam menyampaikan kebenaran ajaran Islam, dan memeliharanya agar terjaga dari
perbuatan yang dilarang oleh Allah. Sehingga tujuan akhir dari targhib wa
tarhib adalah mendapat pembalasan
dari Allah
3.
Tarbiyah wa
Ta’lim
Kata tarbiyah berasal dari kata rabba, yaitu mendidik[51].
Tarbiyah (pendidikan)[52]
merupakan upaya dakwah mencerdaskan umat Islam. Seorang da’i tidak
berhenti memberikan suatu ilmu tetang
makna Islam[53]
– dan kemudian kewajiban para dalam menyampaikan ilmu keislaman ini dengan cara
lemeh lembut, sehingga ilmu yang diberikan oleh para da’i dapat diteima
oleh mad’u tanpaadanya unsur paksaan.
Cara penyampaikan ilmu keislaman tidak boleh lepas dari tujuan metode mauizah hasanah,karena, apabila ilmu keislaman diberikan dengan cara keras, maka tidak akan pernah diterima oleh siapapun
E. Kesimpulan
Metode dakwah merupakan salah satu rumpun kajian dari filsafat ilmu dakwah. Metode dakwah yang telah tertuang dalam surat
an-Nahl ayat 125 merupakan pokok kajian metode dalam menyampaikan dakwah.
Secara bahasa, mauizah al-hasanah terdiri dari dua kata, yaitu mauizah
dan hasanah. Kata mauizah berasal dari kata wa’aza-ya’izu-wa’dzan-’idzatan
yang berarti; nasehat, bimbingan, pendidikan dan peringatan Kata mauizah sebagaimana yang diungkapkan Muhammad Fuad
Abdul al-Baqi adalah dengan segala bentuknya terulang sebanyak 25 kali
Mauizah hasanah dapat diartikan sebagai ungkapan
yang mengandung unsur bimbingan, pendidikan, pengajaran, kisah-kisah, berita gembira, peringatan, pesan-pesan
positif yang bisa dijadikan pedoman dalam kehidupan agar mendapatkan
keselamatan didunia dan akhirat. Sehingga ungkapan tersebut merupakan tujuan
dari mauizah hasanan yang berfungsi sebagai upaya menyentuh hati orang
yang diberi nasehat atau peringatan.
Ruang lingkup dari
mauizah al hasanah ini juga terdapat dari beberapa ayat al-Qur’an
diantaranya adalah al-Baqarah: 66 dan275, al-Maidah: 46, al-A’raf: 145, Yunus:
57, Hud: 120, al-Nahl: 125, al-Nur: 34, al-Nisa’: 63. ruamglingkup pembahasan
metode mauizah al hasanah ini
mengandung unsur sebagai penerang, hikmah atau ilmu pengetahuan, memberikan
obat kepada hati yang berada di ambang kesesatan serta penjelas kepada semua
umat, sehingga metode ini kalau disimpulkan menjadi bentuk nasehat, tabsyir
wa tanzir, serta wasiat.
Cara penyampaian mauizah al hasanah ini harus
sesuai dengan syarat tujuan sehingga metode ini bisa berfungsi dan teraplikasi
dengan baik kepada umat yang diberi
nasehat dan peringatan.
Baca Juga;//................................
👉HAKIKAT METODE DAKWAH BI AL-HIKMAH
👉HAKIKAT METODE DAKWAH
👉PERKEMBANGAN AKTIVITAS DAKWAH DALAM ALQUR’AN
👉KEBUTUHAN MANUSIA TERHADAP DAKWAH DAN FILSAFAT
👉HAKIKAT METODE DAKWAH MAUIZAH AL-HASANAH
👉PANDANGAN FILSAFAT DAKWAH TERHADAP ILMU PENGETAHUAN
👉HAKIKAT TUJUAN DAKWAH
👉Hakikat Metode Dakwah Mujadalah Billati Hiya Ahsan
👉HAKEKAT MEDIA/ ALAT DAKWAH
👉HAKIKAT DAN PESAN DAKWAH
👉HAKIKAT KEPEMIMPINAN UMAT
Daftar Pustaka
A. Hajsmy, Dustur
Dakwah Menurut al-Qur’an, Jakarta: Bulan Bintang, 1994
al-Baqi, Muhammad Fuad Abd, Al-Mu’jam
al-Mufahras li Alfadz al-Qur’an al-Karim, Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1992
Harjani, Munzier Suparta dan Hafni, Metode
Dakwah, Jakarta: Kencana, 2006
Ibrahim, Majid
al- Sayyid, 50 Wasyiyat min Washaya al-Rasulullah li al-Nisa’ (Edidi
Indonesis), Semarang: Cahaya Indah, 1994
M. Munir, Metode Dakwah, Jakarta:
Kencana, 2006
Ma’luf, Lois, Munjid fi-al-Lughah
wa A’lam, Beirut: Dar Fikr, 1986
Muhiddin, Asep,
Dakwah Perspektif al-Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, 2002
Munawir, Ahmad
Warson, Kamus al-Munir, Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1984
Pratama, Andini
T. Nirmala & Aditya A., Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya:
Prima Media, 2003
Salmadanis, Dakwah
dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadis, Jakarta: TMF, 2002
Salmadanis,
Filsafat Dakwah, Jakarta: Surau, 2003
Shihab, Quraish, Wawawasan
Al-Qur’an, Bandung: Mizan cet - 1, 1996
Sidik, Aban, Majalah Kubah Emas,
Jakarta: Gold Communication, 2008
Yaqub, Ali Mustafa, Sejarah dan
Metode Dakwah Nabi, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997
Yunus, Mahmud, Kamus
Arab-Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, 1990
al-Wakil,
Muhammad Sayyid, Ususu ad-Da’wah wa Adabu ad-Du’ad, Medinah, 1978
[1] Lois Ma’luf (1986), Munjid
fi-al-Lughah wa A’lam, Beirut: Dar Fikr, h. 907
[2] Muhammad Fuad Abd al-Baqi (1992), Al-Mu’jam
al-Mufahras li Alfadz al-Qur’an al-Karim, Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1992, h.
923
[3] Salmadanis
(2003), Filsafat Dakwah, Jakarta: Surau, h. 149
[4] M. Munir (2006), Metode Dakwah, Jakarta:
Kencana, h. 15
[5] Ibid
[7] Muhammad
Sayyid al-Wakil (1978), Ususu ad-Da’wah wa Adabu ad-Du’ad, Medinah, h.
30-31
[8] Ibid
[9] Salmadanis
(2002), Dakwah dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadis, Jakarta:
TMF, h. 126
[10]Ibid.
[11] Munzier Suparta dan Hafni Harjani
(2006), Metode Dakwah, Jakarta: Kencana, h. 16
[12]
Lihat Salmadanis dalam buku Filsafat Dakwah, h. 148
[13]Salmadanis, Op.cit., h.
162-163
[15] Salmadanis, Loc.cit
[17]Ibid., h. 152
[18]Ibid., h. 153
[20]Salmadanis, Loc.cit
[22]Salmadanis, Op.cit., h. 154
[24]Salmadanis, Op.cit., h. 155
[26]Salmadanis, Loc.cit
[28]Salmadanis, Op.cit., h. 156
[30] Salmadanis, Loc.cit
[31]M. Munir, Op.cit., h. 242
[32]Ibid., h. 243
[34]Ibid., 256
[35]Quraish Shihab (1996), Wawawasan
Al-Qur’an, Bandung: Mizan cet - 1, h. 279
[36]Ali Mustafa Yaqub (1997), Sejarah
dan Metode Dakwah Nabi, Jakarta: Pustaka Firdaus, h. 50
[37]Abdul Baqi’
Muhammad Fuad, Op.Cit., h. 120
[38]M. Munir, Op.cit.,
h. 257
[39]Ali Mustafa
Ya’cub, Op.cit., h. 49
[41]A.
Hajsmy(1994), Dustur Dakwah Menurut al-Qur’an, Jakarta: Bulan Bintang,
h. 225.
[42]Asep Muhiddin
(2002) Dakwah Perspektif al-Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, h. 79
[43]M.Munir, Op.cit.,
h. 273. Atau Lihat Ahmad Warson Munawir (1984), Kamus al-Munir,
Yogyakarta: Pustaka Progresif, h. 1563
[44]M. Munir, Loc.cit.
lihaht Juga Selin Bin Ied al Hilali (1999), Min
Washaya al Salafi (Edisi Indonesia, Jakarta Pustaka Azzam, h. 14. Lihat
juga Majid al- Sayyid Ibrahim (1994), 50 Wasyiyat min Washaya al-Rasulullah
li al-Nisa’ (Edidi Indonesis), Semarang: Cahaya Indah, h. Ix-x.
[45]Mauizatil
hasanah yang merupakan
pelajaran dan peringatah. Wasiat dalam kajian mauizatil hasanah wasiat
berisikan arahan kepada mad’u berupa pesan-pesan yang membuat mereka selalu
ingat dengan pesan yang kita berikan kepadanya apabila ia akan melukan
perbuatan yang menyimpang. Hal ini juga pernah terjadi di zaman Rasulullah
ketika seseorang pemuda yang suka bermain wanita dan bermabuk-mabukan, yang
mana ia ingin masuk Islam karna kecintaannya terhadap Islam, selain itu
perbuatan maksiat tersebut juga ia cintai, sehingga Rasulullah memberikan
wasiat kepadanya yaitu harus bersikap jujur, setelah ia tidak lagi bersama
Rasulullah si pemuda itu melihat seorang perempuan pezina dan nafsu syahwatnya
bangkit sehingga ia ingin melakukan pebuatan maksiat, setelah ia akan mulai
perbuatan tersebut, ia ingat wasiat atau pesan Rasulullah agar selalu jujur,
dan dia berpikir kalau Rasulullah bertanya apa yang harus dia jawab?, sehingga
si pemuda tesebut tidak jadi melakukan perbuatan maksiat.
[46]Andini T.
Nirmala – Aditya A. Pratama (2003), Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya:
Prima Media, h. 534
Ayat diatas
mengemukakan dorongan yang kuat bagi umat Islam agar melaksanakan wasiat, maka
da’i harus memberikan cara yang tepat untuk memberikan wasiat agar mad’u
termotivasi dalam melaksanakan perintah Allah. dan juga tujuan wasiat dalam
dakwah ini juga memempunyai manfaat yang baik bagi kesejahteraan manusia di
dunia dan akhirat.
[48] Abd Karim
Zaidan (1421H/2001 M), Ushul adh-Da’wah, Beirul Libanon: Mulasasah
ar-Risalah Naasyidun, h. 437
[49] Ibid.
[50] Aban Sidik (2008), Majalah Kubah
Emas, Jakarta: Gold Communication, h. 28
[51] Mahmud Yunus
(1990) Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, h. 137
[52] Ibid
[53] Abd Karim
Zaidan, op.cit., h. 444
0 Comment