A. Pendahuluan
Keberhasilan mencapai sesuatu tidak
selamanya ditentukan oleh kesungguhan dan keuletan, tetapi juga sangat
dipengaruhi strategi atau metode yang
dpergunakan. Metode yang tepat guna sangat diperlukan dalam mencapai
keberhasilan, contoh sederhana, seorang siswa yang rajin mencatat dan menghafal
setipa kata-kata yang diucapkan oleh gurunya belum tentu dapat mengalahkan
siswa yang hanya mencatat da menghafal setiap kata kunci dari satu pelajaran.
Dalam berdakwah, tanpa metode yang
tepat, keberhasilan mustahil didapatkan, Pada perjanjian Hudaibiyah, misalnya.
Walaupun banyak sahabat yang kecewa dengan keputusan Rasul, tetapi itu
merupakan sebuah strategi yang sangat
cangih dan tajam yang disadari kemudiannya oleh para shahabat .
Makalah ini mengajak kita semua megenal salah satu metode yang mesti diperhatikan karena sudah banyak para da’i yang mengabaikan bahkan meninggalkan, seruan ini berulang kali Allah sebutkan dalam al-Qur’an yaitu : bi al-Hikmah.
B. pembahasan
1.
Pengertian
Kata al-Hikmah dengan segala bentuknya
dalam al-Qur’an terdapat sebanyak 208 kali yang tersebar dalam berbagai surat
dan ayat.[1]
Dalam bentuk nakirah maupun ma’rifat
disebutkan sebanyak 20 kali.[2]
Pemakaian kata hikmah banyak digandengkan dengan kata kitab, Injil, Taurat,
sehingga dapat dipahami bahwa kata hikmah itu sebanding dengan kitab, Injil,
Taurat, atau suatu pelajaran yang datangnya dari Allah SWT. Seperti yang
terlihat dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat: 2, 129, 131, 151, 296, surat
al-Imran ayat: 48, 81, 184, al-Nisa’ ayat: 54, 113, al-Maidah ayat: 110 dan
al-Jum’ah ayat 2.[3] Dalam ayat-ayat tersebut dikuatkan makna oleh
Allah SWT bahwa orang yang mendapat hikmah itu adalah orang-orang tertentu saja
sesuai dengan kemauan Allah, bagi yang mendapatkan hikmah mendapatkan kebaikan
yang banyak.
Kata al-Hikmah berasal dari kata Bahasa
Arab, (h, k, m), jama’nya adalah hikam yaitu ungkapan yang mengandung
makna kebenaran dan mendalam. Dalam bahasa Indonesia diartikan dengan kata
bijaksana. Kata bijaksana dalam bahasa Indonesia mengandung arti; selalu
mempunyai akal budi (pengalaman dan pengetahuan), ‘arif, tajam pikiran, pandai
dan ingat-ingat.[4]
Secara etimologi al-Hikmah juga
berarti al-‘Adil, Al-Ilm, al-Halim,
an-Nubuwah, al-Qur’an, Injil dan sunnah.[5]
Bentuk mashdar al-Hikmah adalah “hukman”
yang diartikan secara makna aslinya adalah mencegah. Jika dikaitkan dengan
hukum berarti mencegah dari kezaliman, dan jika dikaitkan dengan dakwah maka
berarti menghindari hal-hal yang kurang relevan dalam melaksanakan tugas dakwah[6].
Sedangkan secara lughawiyah terma hikmah berarti kebijaksanaan, sehat pikiran,
ilmu pengetahuan, filsafat, ke-Nabian, keadilan, peribahasa, pepatah dan
al-Qur’an.[7]
Al-Hikmah juga berarti tali kekang pada binatang, serti istilah hikmatullijam, karena Lijam (cambuk atau kekang kuda) itu
digunakan untuk mencegah tindakan hewan.[8]
Diartikan demikian karena tali kekang itu membuat penunggang kudanya dapat
mengendalikan kudanya, sehingga sipenunggang kuda dapat mengaturnya baik untuk
perintah lari atau berhenti. Orang yang memiliki hikmah dapat diartikan orang
yang memiliki kendali diri yang dapat mencegah dari hal-hal yang kurang
bernilai baik dan hina.
Dalam wikipedia Indonesia dijelaskan
bahwa Dakwah bil Hikmah Yakni
menyampaikan dakwah dengan cara yang arif bijaksana, yaitu melakukan pendekatan
sedemikian rupa sehingga pihak obyek dakwah mampu melaksanakan dakwah atas
kemauannya sendiri, tidak merasa ada paksaan, tekanan maupun konflik. Dengan
kata lain dakwah bi al-hikmah merupakan suatu metode pendekatan komunikasi
dakwah yang dilakukan atas dasar persuasive.[9]
Dalam kitab al-Hikmah fi al dakwah Ilallah ta'ala oleh Said bin Ali bin wahif
al-Qathani diuraikan lebih jelas tentang pengertian al-Hikmah, antara lain:
Menurut bahasa: (1) adil, ilmu, sabar, kenabian, Al-Qur'an
dan Injil, (2)
memperbaiki (membuat manjadi lebih baik atau pas) dan terhindar dari kerusakan
(3) ungkapan untuk mengetahui sesuatu yang utama dengan ilmu yang utama, (4)
obyek kebenaran (al-haq) yang didapat melalui ilmu dan akal, (5) pengetahuan
atau ma'rifat.[10]
Menurut istilah Syar'i: al-Hikmah
berarti valid dalam perkataan dan perbuatan, mengetahui yang benar dan
mengamalkannya, wara' dalam Dinullah, meletakkan sesuatu pada tempatnya dan
menjawab dengan tegas dan tepat.[11]
Dalam fersi lain juga dinayakan bahwa
"Hikmah" adalah al burhan al
aqli (argumentasi rational). Maksudnya, argumentasi yang masuk akal, yang
tidak dapat dibantah, dan memuaskan. Inilah yang bisa mempengaruhi jiwa
(pikiran dan perasaan) siapa saja, sebab manusia tidak akan dapat menutupi
akalnya di hadapan-argumentasi-argumentasi yang jelas, serta dihadapan
pemikiran yang kuat.
Oleh kerana itu, berdakwah dengan
argumentasi dan hujjah ini akan dapat mempengaruhi para pemikir maupun bukan
pemikir. Inilah yang ditakuti oleh orang-orang kafir serta orang-orang atheis,
juga ditakuti oleh orang-orang yang sesat lagi menyesatkan. Sebab, inilah yang
dapat membongkar kebatilan, menerangi wajah kebenaran, serta boleh menjadi api
yang mampu membakar kebatilan dan menjadi cahaya yang dapat menyinari
kebenaran.
Dari sinilah, kita dapat menemukan,
bahwa Al-Qur'an telah mengemukakan hujjah-hujjah yang jelas dan
argumentasi-argumentasi rational. la merupakan bentuk ungkapan yang paling
dalam, serta argumentasi-argumentasi dan hujjah-hujjah yang jelas.[12]
Adapun metodologi Al Quran sebagai berikut:
1.
Menggunakan
perumpamaan untuk memudahkan pemahaman pelik tentang ilmu-ilmu transendental
Ilahi.
2.
Menggunakan
sanggahan yang baik dalam berdebat dengan orang-orang yang besikeras menentang
pokok agama.
3.
Mengkombinasikan
ilmu dan hukum dengan nasehat dan akhlak, pengajaran hikmah dengan bimbingan
dan pembenahan diri.
4.
Menjustifikasikan
persepsi yang dinukil dari yang lain secara akurat.
5.
Mengkaitkan
permasalahan ontologi dengan teologi. Buku ilmiah mengungkap fenomena alam dan
menguraikannya secara horizontal, adapun Al Quran sebagai cahaya petunjuk,
mengungkap fenomena alam serta menjelaskannya secara vertikal (keterkaitan alam
dengan ketuhanan dan hari kebangkitan).
6.
Mengklasifikasikan
pentas-pentas sejarah yang mengandung pelajaran dan mutiara kehidupan dalam
menuturkan cerita-cerita.
7.
Pengulangan
konteks dalam Al Quran, diperlukan sebagai penekanan dalam petunjuk, sebab
Setan senantiasa menjauhkan manusia dari jalan Ilahi, sedangkan pengulangan
konteks dalam buku ilmiah hanya akan mengurangi kualitas isinya.[13]
Disamping defenisi secara etimologi,
para ulama juga memberikan definisi secara terminology. Al-Hikmah secara
terminology didefenisikan sebagai berikut:
Muhammad Abduh berpendapat bahwa,
hikmah adalah mengetahui rahasia dan faedah di dalam tiap-tiap hal. Hikmah juga
digunakan dalam arti ucapan yang sedikit lafaz akan tetapi banyak makna[14]
ataupun diartikan meletakkan sesuatu pada tempatnya atau semestinya.
Dalam konteks ushul fiqh istilah hikmah
dibahas ketika ulama’ ushul membicarakan sifat-sifat yang dijadikan ilat hukum.
Dan pada kalangan tarekat hikmah diartikan pengetahuan tentang rahasia Allah
SWT.
Yahya Umar menyatakan bahwa hikmah
berarti meletakkan sesuatu pada tempatnya dengan berpikir, berusaha menyusun
dan mengatur dengan cara yang sesuai dengan keadaan zaman dengan tidak
bertentangan dengan larangan Tuhan.[15]
Al-Maghzawi mengemukakan bahwa ungkapan
hikmah mengandung semua makna dalam al-Qur’an, bukan saja hikmah yang terdapat
dalam surat al-Nahl ayat 125 saja, karena kata hikmah pada ayat-ayat lain
mempunyai hubungan yang siknifikan.[16]
Pada sisi lain A. Hasymi mempertegas
bahwa hikmah adalah ilmu pengetahuan, sedangkan M. Natsir memahami bahwa hikmah
itu dipergunakan untuk semua golongan, baik cerdik, pandai, awam dan
sebagainya. Sedangkan Sayyid Qutb mengemukakan bahwa dakwah bi al-Hikmah adalah
memperhatikan keadaan serta tingkat kecerdasan penerima dakwah, memperhatikan
kadar materi dakwah yang disampaikan kepada audiens, sehingga mereka tidak
dibebani dengan materi dakwah tersebut, karena belum siap mental untuk
menerimanya.[17]
Dalam makalah ini sengaja diutarakan pengertian al-Hikmah sebagai metode dakwah. Hal ini untuk menjelaskan kedalaman dan keluasan makna metode tersebut untuk diaplikasikan. Dari uraian-uraian di atas terbukti bahwa metode dakwah al-Hikmah merupakan metode dakwah yang memiliki kedalaman makna.
2.
Tujuan
Metode Dakwah al-Hikmah
Da’i akan berhadapan dengan realitas
perbedaan agama yang heterogen. Perbedaan suku bangsa, ras, warna kulit,
psikologis, biologis, sosiologis dan sebagainya yang termanifestasi dalam iklim
pluralisme. Seorang Da’i harus mengakui bahwa pluralisme merupakan keniscayaan.
Kata pluralisme berasal dari kata
“plural” yang artinya “jamak, banyak atau ganda”[18].
Kata Plural berobah menjadi Pluralis (berbentu banyak, penganut paham
pluralisme), Pluralisme (teori yang mengatakan bahwa realitas terdiri dari
banyak substansi), pluralistik (banyak macam) dan pluralitas (kejamakan)[19].
Dari pengertian dan perobahan kata di atas dapat dipahami bahwa pluralisme
merupakan suatu paham yang lebih menghargai keaneka ragaman.
Dalam ilmu sosial, pluralisme adalah
sebuah kerangka dimana ada interaksi beberapa kelompok-kelompok yang
menunjukkan rasa saling menghormati dan toleransi satu sama lain. Mereka hidup
bersama (koeksistensi) serta membuahkan hasil tanpa konflik asimilasi.[20]
Pluralisme dapat dikatakan salah satu
ciri khas masyarakat modern dan kelompok sosial yang paling penting, dan
mungkin merupakan pengemudi utama kemajuan dalam ilmu pengetahuan, masyarakat
dan perkembangan ekonomi.
Dalam sebuah masyarakat otoriter atau
oligarkis, ada konsentrasi kekuasaan politik dan keputusan dibuat oleh hanya
sedikit anggota. Sebaliknya, dalam masyarakat pluralistis, kekuasaan dan
penentuan keputusan (dan kemilikan kekuasaan) lebih tersebar.
Dipercayai bahwa hal ini menghasilkan
partisipasi yang lebih tersebar luas dan menghasilkan partisipasi yang lebih
luas dan komitmen dari anggota masyarakat, dan oleh karena itu hasil yang lebih
baik. Contoh kelompok-kelompok dan situasi-situasi di mana pluralisme adalah
penting ialah: perusahaan, badan-badan politik dan ekonomi, perhimpunan ilmiah.
Bisa diargumentasikan bahwa sifat
pluralisme proses ilmiah adalah faktor utama dalam pertumbuhan pesat ilmu
pengetahuan. Pada gilirannya, pertumbuhan pengetahuan dapat dikatakan
menyebabkan kesejahteraan manusiawi bertambah,
misalnya; lebih tinggi kinerja dan pertumbuhan ekonomi akan menyebabkan
teknologi kedokteran lebih baik. Apabila teknologi kedokteran membaik maka
pelayanan kesehatan lebih meningkat dan secara otomatis kesejahteraan
masyarakat terus meningkat.
Pluralisme juga menunjukkan hak-hak
individu dalam memutuskan kebenaran universalnya masing-masing.
Menurut filosof pluralisme merupakan
suatu paham yang berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan[21].
Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk
itu semua nyata. Pluralisme dalam Dictionary
of Philosophy and Religion dikatakan sebagai paham yang menyatakan bahwa
kenyataan alam ini tersusun dari banyak unsur, lebih dari satu atau dua
entitas. Tokoh aliran ini pada masa Yunani kuno adalah Anaxagoras dan
Empedocles yang menyakan bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri
dari 4 unsur, yaitu tanah, air, api dan udara.[22]
Pernyataan ini benar adanya. Karena
terbukti bahwasanya setiap segala sesuatu itu tidak dapat berdiri sendiri.
Untuk membangun sebuah gugusan, suatu materi membutuhkan materi yang lain. Dari
pernyataan ini dapat digeneralisasikan bahwa suatu kebenaran tidak dapat diukur
dengan kebenaran lain. Tetapi kebenaran lain dapat dijadikan perbandingan
terhadap suatu kebenaran. Misalnya kebenaran Agama Islam tidak dapat diukur
dengan kebenaran Agama Kristen, begitu juga sebaliknya. Karena antara kedua
agama tersebut merupakan dua agama yang sama-sama benar menerut masing-masing
pemeluknya.
Dari uaraian di atas dapat dipahami
bahwa tujuan metode dakwah al-Hikmah diantaranya adalah memberikan pandangan
kepada Da’i bahwasanya dalam berdakwah harus memperhatikan keberagaman mad’u.
sehingga Da’i tidak arogan dalam menyampaikan risalah dakwah. Da’i yang adil
memegang teguh prinsip keadilan dan tidak curang, mampu meletakkan sesuatu pada
posisi yang sesuai.
Memperhatikan pengertian hikmah dalam
surat al-Nahal ayat 125 dari beberapa pendapat ilmuan tafsir, bertujuan sebagai
berikut:
a.
Memberdayakan
akal dan ilmu secara benar dan mendalam dengan pendekatan filosofis dan
rasional (hikmiyah dan akliyah)
diarahkan kepada komunitas pemikir dan intelektual, karena golongan ini
cendrung mempunyai daya tangkap yang cepat, kritis dan wawasan yang luas.
b.
Memberikan
argument yang dapat menghilangkan keragu-raguan dan membawa kepada keyakinan,
bersifat induktif, analitis, objektif, logis dan komparatif.
c.
Meletakkan
sesuatu pada tempatnya.[23]
Perbaiki dirimu dan serulah orang lain.[24]
Itulah langkah pertama dan satu-satunya jalan menuju kebangkitan Islam kembali
mewujudkan kesatuan umat, serta meningkatkan kualitas umat agar dapat menduduki
tempat yang wajar sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah SWT, sebagai golongan
manusia yang memberikan bimbingan kepada manusia lainnya serta menunjukkan
mereka ke jalan yang lurus (shiratal mustaqim).
Allah berfirman, Surat Ali Imran ayat
110: “Kamu adalah umat yang terbaik yang
dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar
dan beriman kepada Allah. Dan Surat al-Baqarah ayat 143: “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan
kamu (umat Islam) umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas
(perbuatan) manusia, dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan)
kamu.
Tujuan memperbaiki diri adalah
melahirkan kader-kader aqidah yang ideal. Sedangkan menyeru orang lain
bertujuan untuk memperbanyak golongan mukminin yang benar, yang satu sama yang
lainnya saling bersaudara dan berkasih sayang.
Para Da’i harus menjadi contoh teladan
yang baik terhadap apa yang diserukannya, dan harus benar-benar sesuai dengan
apa yang diserukannya kepada manusia. Dia mengamalkan apa yang diserukannya
dengan murni dan konsekuen, seluruh perbuatannya sesuai dengan perkataannya agar
dia tidak diancam oleh Allah sebagaiman firman-Nya, Surat Ash-Shaf ayat 2-3: “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu
mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian disisi Allah bahwa
kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.
3.
Fungsi
Metode Dakwah bi al-Hikmah
Hikmah adalah bekal Da’i menuju sukses.
Karunia Allah yang diberikan kepada orang yang mendapatkan hikmah insyaallah
juga akan berimbas kepadapara mad’unya,
sehingga mereka termotivasi untuk mengubah diri dan mengamalkan apa yang
disampaikan Da’i kepada mereka. Tidak semua orang yang mampu meraih hikmah,
karena Allah hanya memberikannya kepada orang-orang yang layak mendapatkannya.
Barangsiapa mendapatkannya, maka dia memperoleh karunia besar dari Allah. Hal
ini sesuai dengan firman Allah, Surat al-Baqarah ayat 269: “Allah menganugerahkan al-Hikmah kepada siapa
yang dia kehendaki. Dan barang siapa yang dianugerahi al-Hikmah itu, ia
benar-benar dianugerahi karunia yang banyak.
Ayat tersebut di atas mengisyaratkan
betapa pentingnya menjadikan hikmah sebagai sifat dan bagian yang menyatu dalam
metode dakwah dan betapa perlunya dakwah mengikuti langkah-langkah yang
mengandung hikmah.
Atas dasar itu maka hikmah berjalan
pada metode yang realistis (praktis) dalam melakukan suatu perbuatan. Dengan
demikian jika hikmah dikaitkan denga dakwah akan ditemukan bahwa hikmah
merupakan peringatan kepada juru dakwah untuk tidak menggunakan satu bentuk
metode saja. Sebaliknya mereka harus menggunakan berbagai macam metode sesuai
dengan realitas yang dihadapi dan sikap masyarakat terhadap agama Islam.
Hikmah merupakan pokok awal yang harus
dimiliki oleh seorang Da’i dalam berdakwah. Karena dengan hikmah ini akan lahir
kebijaksanaan-kebijaksanaan dalam menerapkan langkah-langkah dakwah, baik secara
metodologis maupun praktis.
Dalam
metode dakwah bi al-hikmah, ada beberapa strategi yang harus
diperhatikan seorang da’i agar kesuksesan dakwah tercapai dengan gemilang,
strategi tersebut ialah :
a. Mengenal Strata Mad’u
Allah sengaja menjelaskan bagaimana
keberagaman manusia dari berbagai sudut pandang, hal ini bertujuan untuk supaya
manusia saling mengenal dan mampu memposisikan dirinya dimana saja berada.
Diantara ayat berbicara demikian adalah Surat al-Hujarat ayat 13 dan surat
ar-Ruum ayat 22.
Mengenal tipologi manusia adalah satu
faktor penentu suksesnya tugas dakwah, dan merupakan salah satu fenomene alam
yang hanya bisa diungkap oleh orang alim.[25]
Salah satu makna hikmah dalam berdakwah
adalah menempatkan manusia sesuai dengan kadar yang telah ditetapkan Allah.
Disaat terjun ke sebuah komunitas, atau melakukan kontak dengan seseorang
mad’u, da’i yang baik harus mempelajari terlebih dahulu data riil tentang
komunitas atau pribadi yang bersangkutan.
b. Bila Harus Bicara Bila Harus Diam
Ajaran agama islam menunjukkan agar
seseorang selalu menimbang-nimbang apa yang akan diucapkannya. Sebagaimana
peringatan Allah; Surat Qaaf ayat 18
Kalam yang akar katanya berasal dari
kaa-laam-miim juga mengandung makna “luka”[26].
Ini mengingatkan kita bahwa klam juga dapat melukai seseorang. Bahkan, luka
yang diakibatkan oleh lidah bisa lebih parah daripada yang diakibatkan oleh
pisau. Ini semua seharusnya mengantarkan seseorang untuk berhati-hati,
memikirkan dan merenungkan apa yang akan diucapkannya.
c. Mencari Titik Temu Dalam Dakwah
Sebagaimana diketahui bahwa dakwah
berarti aktivitas mengajak manusia ke jalan Allah. Ia bersifat mengajak. Dalam
mengajak tentunya tidak diperkenankan dengan cara-cara yang memaksa,
menghakimi, dan sebisa mungkin menghindari konfrontasi yang akan merugikan dan
merusak arti dakwah itu sendiri.
Namun realitas menunjukkan bahwa
banyaknya perbedaan baik dari segi kultur maupun social menyebabkan perbedaan
paradigma dan cara pandang mad’u sehingga disinilah dilemanya. Disatu sisi
dakwah tidak boleh keluar dari koridor mengajak. Disisi lain dakwah juga
merupak suatu kewajiban yang harus disampaikan kepada umat. Sementara kita
menyadari adanya benturan-benturan nilai di masyarakat.
Maka peranan da’i dituntut untuk
membaca mad’u dari berbagai persepsinya sehingga da’i dapat mengetahui dari
mana dakwah harus dimulai. Dengan kata lain da’i harus mampu mencari titik
temu, sehingga dakwah yang disampaikan memiliki gelombang yang sama dengan alam
pikiran mad’u. kegagalan mencari titik temu merupakan awal dari kegagalan
berdakwah.
d. Toleransi Tanpa Kehilangan Sibghah
Ajaran Islam merupakan rahmatan lil
alamien. Seberapa ia menjadi rahmat tergantung kepada pemahaman dan kualitas
penganutnya. Salah satu indicator rahmat bagi sekalian alam adalah toleransi dalam
beragama. Dimana hidup rukun dan berprinsip kedamaian menjalankan agama dapat
menjadi rahmat bagi penganutnya. Sebagaimana firman Allah, al-Qur’an Surat
al-Anbiyaa’ ayat 107:
Rasulullah sempat dikritik oleh
pengikutnya ketika mengadakan perjanjian Hudaibiyah, karena perjanjian tersebut
dirasa merugikan kaum muslimin. Motivasi kebijakan ini memerlukan waktu dan
proses untuk dapat diterima dan dilihat keunggulannya oleh para penganutnya.
Walaupun Rasulullah memegang prinsip toleransi dalam beragama namun tidak
menghilangkan “Sibghah”.
Sibghah berarti warna celupan dan agama[27].
Dalam hal ini agama islam sebagai dasar dan tuntunan hidup, fungsi warna dan
celupan tersebut adalah mencemerlangkan barang yang diberi celupan tersebut.
Apabila dikaitkan kepada jiwa, ia akan bersinar memancar yangd alam
realisasinya tampil dalam bentuk semangat, taat, peduli dan toleran.
e. Memilih Kata yang Tepat
Menurut Larry A.Samover manusia tidak
dapat menghindar dari komikasi dalam interaksi sesamanya. Hakikatnya ketika
manusia berkomunikasi pada dasarnya memindahkan atau menyalin pikirannya dalam
bentuk lambing. Agar lambing itu bermakna maka perlu disampaikan secara tepat[28].
Disinilah perlunya keuletan seorang da’i dalam memilih kata yang tepat sehingga
apa yang disampaikan da’i dipahami oleh mad’u. karena tujuan dasar komunikasi
tersebut antara lain mencetak kesan orang lain dan memberikan kontribusi
realitas.
Memilih kata yang tepat perspektif
al-Qur’an adalah term Qaulan Sadida,
dalam laqur’an disebutkan sebanyak 2 kali yaitu pada ayat 9 surat an-Nisa’ dan
al-Ahzab ayat 70-71.
Al-Qosyani menafsirkan Qaulan Sadida dengan ‘kata yang lurus (Qowiman); kata yang benar (Haqqan); kata yang betul, tepat
(Shawaban). Al-Qasyani berkata bahwa sadad dalam pembicaraan berarti berkata dengan
kejujuran dan dengan kebenaran dan disitulah terletak unsure segala
kebahagiaan, dan pangkal dari segala kesempurnaan, karena yang demikian itu
berasal dari kemurnian hati[29].
f.
Cara
Berpisah
Cara berpisah dalam khijrah artinya
pindah dari satu tempat ke tempat lain, pindah dari satu metode ke metode lain
atau pindah dari satu kondisi ke kondisi lain.
hijrah dari negeri orang kafir kenegeri orang Islam, ini wajib dilakukan
setiap muslim apabila ia tidak mampu
menegakkan syi’ar-syi’ar Allah ditambah dengan kezhaliman para penguasa thagut, sementara mereka tidak sanggup
melepaskan diri dari keadaan tersebut dan tidak mampu berdakwah.
Apabila negeri yang ditempati tidak
memberi kjebebasan bagi muslim untuk beribadah dan menegakkan agama Allah, saat
itu muslim harus pindah meskipun meninggalkan tanah kelahiran harta benda dan
mungkin harus berpisah dengan keluarga sebagaimana yang dicontohkan muhajirin
dahulunya.
Sementara dalam kontek da’wah cara
berpisah adalah meninggalkan sang maudhu’
dengan pendiriannya karena tidak mungkin dirobah lagi. Tidak selamanya perdebatan bisa selesai
dengan lancar, adakalaya strategi yang
harus di ambil adalah berpisah, meninggalkan lawan bicara atau maudhu’ agar energi tidak terbuang
percuma seperti terlukis dalam asbab nuzulnya surat al-Kafirun.
g. Uswatun Hasanah
Uwatun Hasanah adalah contoh yag baik,
kebaikan yang ditiru, contoh identifikasi, suri tauladan atau keteladaan.[30]
Manusia dapat dipengaruhi oleh
keteladanan, baik pengaruh positif maupun negatif. Memberi contoh yang baik
yang dilakukan Rasul merupakan salah
satu kunci kesuksesan Rasul, karena betapa bayak manusia yang tidak terkesima
dengan tutur kata yang memukau, tetapi mereka lebih memperhatikan bukti nyata
dalam keseharian. Keteladanan yang aplikatif mempunyai pengaruh besar dan
sangat kuat dalam penyebaran prinsip dan dikrah, karena ia bisa dilihat dan
dicntoh, berbeda dengan tulisan maupun perkataan.
h. Dakwah bi Lisan al-Haal
Dakwah bi Lisan al-Haal adalah satu metode dakwah dengan cara menyeru manusia kejalan Allah dengan perbuatan nyata yang sesuai dengan keadaan manusia tersebut. Dakwah ini lebih berorientasi kepada pengembangan masyarakat seperti pengembangan ekonomi, pendidikan maupun sosial. Dakwah difungsingan sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas hidup umat yang pada akhirnya membawa kepada perubahan sosial.
4.
Aplikasinya
Kepada Umat
Dakwah bil al-hikmah atau contoh yang
baik bisa direalisasikan dengan budi pekerti yang baik (akhlak karimah).
Kekuatan akhlak mulia dalam menarik simpati masyarakat untuk menerima dakwah
sangatlah besar. Telah banyak bukti sejarah yang membenarkan hal itu, mulai
sejak zaman Rasulullah Saw hingga zaman ini.
Kita ingat bagaimana Rasulullah Saw
tidak marah saat seorang kaum musyrik meludahi beliau setiap pergi ke masjid.
Suatu hari, ketika Rasulullah Saw pergi ke masjid, beliau merasakan keanehan
karena orang yang setiap saat meludahi beliau setiap akan pergi ke masjid tidak
ada. Sesampainya di masjid Rasulullah Saw menanyakan kepada para sahabat di
mana orang itu berada. Lalu Rasulullah Saw memperoleh jawaban bahwa orang yang
meludahi beliau jatuh sakit. Setelah mendengar jawaban itu, Rasulullah datang
membesuk orang tersebut dan mendoakan kesembuhan baginya. Akhirnya, orang
tersebut kemudian menyatakan diri sebagai Muslim.
Contoh lain keluhuran perilaku
Rasulullah adalah kisah seorang pengemis Yahudi buta di pojok pasar Madinah
yang selalu menjelek-jelekkan Rasulullah Saw. Setelah Rasulllah Saw meninggal
dunia, Abu Bakar ash-Shiddiq mengunjungi Aisyah, anaknya yang juga isteri
Rasulullah Saw. Sesampainya di rumah Aisyah, Abu Bakar bertanya kepada anaknya
apa sunnah Rasulullah yang belum dikerjakan olehnya. Aisyah menjawab bahwa
Rasulullah Saw setiap memberi makan pengemis Yahudi buta di pasar Madinah.
Abu Bakar pun bergegas menuju pasar
Madinah menemui orang Yahudi tersebut yang tak henti-hentinya menjelek-jelekkan
Rasulullah Saw. Namun, karena ingin mengukuti sunnah Rasulullah Saw, Abu Bakar
tetap memberi makan Yahudi buta tersebut dengan cara menyuapinya. Namun alangkah
kaget Abu Bakar karena saat menyuapi Yahudi tersebut berkata, “Siapa kamu?
Orang yang biasa menyuapiku makan tiap hari terlebih dahulu melembutkan makanan
sehingga mulutku tidak perlu mengunyah makanan”.
Kemudian Abu Bakar berkata kepada pengemis Yahudi buta itu bahwa orang yang biasa memberinya makan tiap hari telah tiada. Abu Bakar juga mengatakan bahwa orang yang biasa memberinya makan tiap hari adalah Rasulullah Saw. Betapa terkejutnya Yahudi tersebut mengetahui bahwa orang yang menyuapinya adalah Rasulullah Saw; orang yang setiap hari dijelek-jelekkannya. Akhirnya pengemis Yahudi buta itu masuk Islam.
Dua peristiwa di atas adalah sekelumit contoh bagaimana ampuhnya akhlak mulia menarik minat seseorang untuk hidup di bawah naungan ajaran Islam. Karena itu, dakwah bi al-hikmah patut dikedepankan sebagai metode dakwah.
Baca Juga://............
👉HAKIKAT METODE DAKWAH BI AL-HIKMAH
C. Kesimpulan
- Seorang pedagang yang bijak adalah
pedagang yang mengerti dengan
kebutuhan pasar, seorang da’i yag bijak adalah da’i yang memahami
kebutuhan umat.
- Dakwah bi al-Hikmah sudah terbukti keampuhannya, cara ini perlu
diperhatikan dan harus dilakukan agar tercapai kesuksesan dakwah.
- Kita perlu belajar dari masa lalu,
baik dari para Rasul-rasul sebelumnya, atau Nabi kita sendiri dan para shahabat dalam
penerapan metode dakwah bi al-hikmah
ini.
- Saat sekarang ini sudah banayak para da’i yang meninggalkan metode ini, tugas dan kewajiban kita untuk mengembalikan warisan yang sudah mulai hilang tersebut
Daftar Pustaka
Amin, Samsul Munir, Rekontruksi Pemikiran Dakwah Islam,
Jakarta, Amzah, 2008
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu, Jakarta: PT. Raja Grafinde Persada, 2004.
al-Baqi, M. Fuad, Al-Mu’jam al-Mufahras Li al-Fazh al-Qur’an al-Karim,
Lebanon-Beirut: Dar al-Ma’rifat, 1992
al-Bayani, M. Abu al-Fath: Al-Madghal Ila ‘Ilmudda’wah, Madinah,
Muassasah al-Risalah, tt.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, 1990.
Gunawan, Adi. Kamus Praktis Ilmiah Populer. Surabaya: Kartika, t.th
Hasanuddin, Hukum Dakwah, Jakarta;
Pedoman Ilmu Jaya, 1996.
http://quran.al-shia.com,
vendra22.wordpress.com/2008/04/25/metode-dakwah-
Mansyur, Mustafa: Fiqh Dakwah,
Jakarta, al-I’tishom Cahaya Umat, 2005
Munawir, A.W., Kamus al-Munawwir Arab Indonesia, Yogyakarta: Pondok Pesantren
al-Munawwir, 1997.
Munir:
Metode Dakwah, Jakarta:
Kencana, 2006
Reese William L., Dictionary of Philosiphy and Religion, Eastern and Western Thought.
New York: Humanity Books, 1996.
Suriasumantri, S., Jujun, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer,
Jakarta : Sinar Harapan, 2007
Salmadanis, Filsafat Dakwah, Jakarta: Surau, 2003
www.wikipedia
Indonesia, (dikutip Tgl 29 Oktober 2008)
http//armysyaz.multiply.com/journal/item/72),
(dikutip Tgl 29 Oktober 2008)
al-quran/ - 43k (dikutip Tgl 29 Oktober
2008)
[1]Salmadanis, Filsafat
Dakwah, Jakarta: Surau, 2003, Cet. Ke-II, h. 125. Lihat M. Fuad al-Baqi, Al-Mu’jam al-Mufahras Li al-Fazh al-Qur’an
al-Karim, (Lebanon-Beirut: Dar al-Ma’rifat, 1992), h. 271
[2]M. Munir: Metode
Dakwah, Jakarta: Kencana, 2006, Cet. Ke-2, h. 8
[3]Op. cit., h. 126
[4]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h.
115
[5]M. Abu al-Fath al-Bayani: Al-Madghal Ila ‘Ilmudda’wah, (Madinah, Muassasah al-Risalah), tt,
h. 244
[6]M. Munir; op. cit.,
h. 8
[7]A.W. Munawir, Kamus
al-Munawwir Arab Indonesia, (Yogyakarta: Pondok Pesantren al-Munawwir,
1997), Cet. Ke-IV, h. 287
[8]M. Munir; op. cit.,
h. 8, Lihat Ibnu Mandzur, Lizanul Arab,
12/141
[9]www.wikipedia Indonesia,
(dikutip Tgl 29 Oktober 2008)
[10]Ibid.
[11]Ibid.
[12]http//armysyaz.multiply.com/journal/item/72), (dikutip
Tgl 29 Oktober 2008)
[13]http://quran.al-shia.com,
vendra22.wordpress.com/2008/04/25/metode-dakwah-al-quran/ -
43k (dikutip Tgl 29 Oktober 2008)
[14]Lihat, Sa’ady Abu Habib,
al-Qonusul Fiqhi, h. 97
[15]Hasanuddin, Hukum
Dakwah,( Jakarta; Pedoman Ilmu Jaya, 1996), h. 35
[16]Salmadanis; op. cit.,
h. 124
[17]Salmadanis, op.cit.,
h. 127-128
[18]Adi Gunawan. Kamus
Praktis Ilmiah Populer. (Surabaya: Kartika, tt). H. 403
[19]Ibid.
[20]Ibid.
[21]Amsal Bakhtiar. Filsafat
Ilmu. (Jakarta: PT. Raja Grafinde Persada, 2004). H. 143
[22]Ibid., Dikutip dari: William L. Reese, Dictionary of Philosiphy and Religion, Eastern and Western Thought.
(New York: Humanity Books, 1996), h. 591
[23]Salmadanis: op. cit.,
h. 128
[24]Syaikh Mustafa Mansyur: Fiqh
Dakwah, (Jakarta, al-I’tishom Cahaya Umat, 2005). Cet. Ke-4, h. 108
[25] M. Munir; Metode Dakwah 102
[26] M. Munir 111
[27] Mahmud Yunus, Kamus
Arab Indonesia, h. 211
[28] Metode Dakwah,
155
[29] Ibid, .h. 156-157
Lihat Fiqhud Dakwah, h. 189
[30]Munir, op.cit. h.
195-196
0 Comment