HAKIKAT KEPEMIMPINAN UMAT
A.
Pendahuluan
Struktur dakwah yang terpenting bukan
terletak apda lembaga keulamaan, akan tetapi sangat ditentukan oleh lembaga
kepemimpinan yang mempunyai suatu system yang jela secara institusional. Struktur
dan system tersebut berada dalam al imamah
(lembaga kepemimpinan). Dalam bahasa
psikologi banyak orang mengira bahwa kepemimpinan itu merupakan bakat yang dibawa sejak lahir yang tak dapat
diperoleh melalui pendidikan, akan tetapi setelah dilakukan studi lebih jauh,
maka banyak ahli psikologi khususnya menyimpulkan bahwa leadership itu adalah
suatu corak dan ciri kemampuan manusia yang dapat diperoleh melalui pendidikan
dan latihan.[1]
Namun apa yang disebut kepemimpinan adalah sesuatu sifat dan cirri kemampuan
yang tak dapat berdiri sendiri, terlepas dari faktor-faktor situasi, lingkungan
kelompok manusia yang membutuhkan kepemimpinan, tugas dan sejumlah fungsi atau
jabatan yang dipangku, peranan yang harus dilakukan dan sebagainya.
Jadi mempelajari masalah kepemimpinan
sebenarnya harus juga mempelajari banyak faktor yang mempengaruhinya, tidak
begitu sederhana melainkan sangat kompleks menyangkut banyak aspek kehidupan
pribadi dan social. Kepemimpinan
dipandang sebagai hasil dari interaksi antara kepribadian yang bulat dari
kepemimpinan dengan situasi sosial yang dinamis dimana manusia hidup.
Untuk memikul tugas sebagai pemimpin
masing-masing manusia perlu memiliki kepemimpinan sesuai dengna yang dibutuhkan
dalam tugas masing-masing. Bagi setiap
individu tidaklah sama berat tanggungjawab yang harus dipikulnya, karena ada
perbedaan berat ringannya tugas serta kemampuan kepemimpinan bagi masing-masing individu. Tuhan tidak membebani tugas seseorang kecuali
menurut kemampuannya, baginya pahala sesuai dengan yang telah dikerjakan dan
dikenakan imbalan siksa menurut pelanggaran yang telah dilakukan.
Dengan demikian kepemimpinan seseorang
benar-benar diperlukan dalam segala usaha, diantaranya :
1.
Lapangan
hidup ekonomi
2.
Lapangan
hidup social (kemasyarakatan)
3.
Lapangan
hidup seni budaya
4.
Lapangan
hidup ilmu pengetahuan
5.
Lapangan
hidup keluarga
6.
Lapangan
hidup keagamaan
7.
Lapangan
hidup keolahragaan.
Namun, yang akan pemakalah uraikan dalam makalah ini terkait denga apa yang dimaksud dengan kepemimpinan, serta keharusan adanya pemimpin dalam persfektif Islam dan sains
B.
Pembahasan
1.
Pengertian
Pemimpin
Beberapa pendapat yang memberikan
defenisi kepemimpinan seperti Howard W. Hoyt menyatakan bahwa kepemimpinan adalah seni untuk
mempengaruhi tingkah laku manusia, yang mirip kecakapan mengatur orang
lain. [2] Jadi kepemimpinan menurut Hoyt dipandang sebagai abilitas yaitu
suatu kecakapan yang diperoleh berkat adanya belajar. Sedangkan sifat dan cirinya baru tampak
setelah dilaksanakan dalam proses mempengaruhi orang lain.
Sementara Filmore H. Sandford
memberikan pengertian kepemimpinan yang dikaitkan dengan kehidupan kelompok
manusia dimana norma-norma kebudayaan dan peranannya mempengaruhi individu
manusia (baik sebagai pemimpin maupun sebagai yang dipimpin), dan membawa
kepada cara-cara berfungsinya norma-norma dan peranan dimana kelompok harus
mengadakan penyesuaian diri kepadanya.
Sanford menekankan bahwa peranan dan
nroma-norma dalam masyarakat dimana kelompok-kelompok social didalamnya harus
mengaturnya adalah yang menentukan corak dan kepemimpinan seseorang.
Beberapa definisi
yang dikemukakan oleh para ahli lainnya sebagai berikut :
a. Koontz &
O’donnel, mendefinisikan kepemimpinan sebagai proses mempengaruhi sekelompok
orang sehingga mau bekerja dengan sungguh-sungguh untuk meraih tujuan
kelompoknya.
b. Wexley & Yuki
[1977], kepemimpinan mengandung arti mempengaruhi orang lain untuk lebih
berusaha mengarahkan tenaga, dalam tugasnya atau merubah tingkah laku mereka.
c. George R. Terry,
kepemimpinan adalah kegiatan mempengaruhi orang-orang untuk bersedia
berusaha mencapai tujuan bersama.
Definisi lain, para ahli kepemimpinan merumuskan definisi,
sebagai berikut: [1] Fiedler [1967], kepemimpinan pada dasarnya merupakan pola
hubungan antara individu-individu yang menggunakan wewenang dan pengaruhnya
terhadap kelompok orang agar bekerja bersama-sama untuk mencapai tujuan [2] John Pfiffner, kepemimpinan adalah
kemampuan mengkoordinasikan dan memotivasi orang-orang dan
kelompok untuk mencapai tujuan yang di kehendaki. [3] Davis [1977], mendefinisikan kepemimpinan
adalah kemampuan untuk mengajak orang lain mencapai tujuan yang sudah
ditentukan dengan penuh semangat . [4] Ott [1996], kepemimpinan dapat
didefinisikan sebagai proses hubungan antar pribadi yang di dalamnya
seseorang mempengaruhi sikap, kepercayaan, dan khususnya perilaku orang
lain. [5] Locke et.al. [1991], mendefinisikan kepemimpinan merupakan proses
membujuk orang lain untuk mengambil langkah menuju suatu sasaran
bersama Dari kelima definisi ini, para
ahli ada yang meninjau dari sudut pandang dari pola hubungan, kemampuan
mengkoordinasi, memotivasi, kemampuan
mengajak, membujuk dan mempengaruhi orang lain. [3]
Pendapat lain menyatakan kepemimpinan
adalah kemampuan seseorang mempengaruhi dan memotivasi orang lain untuk
melakukan sesuatu sesuai tujuan bersama. Kepemimpinan meliputi proses
mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku pengikut
untuk mencapai tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya.
Sedangkan kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain untuk mau
melakukan pap yang diinginkan pihak lainnya.”The art of influencing and
directing meaninsuch away to abatain their willing obedience, confidence,
respect, and loyal cooperation in order to accomplish the mission”.
Kepemimpinan adalah seni untuk mempengaruhidan menggerakkan orang – orang
sedemikian rupa untuk memperoleh kepatuhan, kepercayaan, respek, dan kerjasama
secara royal untuk menyelesaikan tugas. [4]
Kata kepemimpinan dalam bahasa Arab
diterjemahkan dengan al Imamah,
berasal dari kata imam yang artinya
ikutan bagi kaum, baik dalam kebaikan mapun dalam kesesatan. [5]
Dalam konteks agama imam adalah orang yang berdiri di depan jamaah dan
memimpin ibadah. Dalam konteks politik
berarti kepala Negara, dan lembaganya disebut al imamah.[6] Al
Imamah yang dimaksud disini adalah kepemimpinan setelah Nabi Muhammad,
untuk menjaga agama dan pemimpin keduniaan.
[7] Kata khalifah, Imamah dan Imarah secara
terminologi juga dikenal sebagai suatu konsep politik dalam Islam dengan
pengertian sama, hanya saja terminologi al
Imamah banyak dipergunakan oleh golongan Syi’ah.[8]
Secara historis dalam Islam gelar untuk kepala Negara
disebut khalifah, imam dan Amir dan jabatannya dikenal dengan
khalifah, Imamah dan Imarah, kesemua istilah tersebut
menunjukkan kepada satu pengertian, walaupun masa pertumbuhannya berbeda satu
sama lain. [9]
Al Imamah menurut Abdul Jabbar, secara etimologi adalah orang yang
berada didepan, apakah pantas menduduki
posisi itu atau tidak pantas. Pengertian
terminologinya adalah orang yang
mempunyai otoritas kepada masyarakat dan juga kepada urusan-urusan mereka. Oleh karenanya tidak ada kekuasaan yang
lebih tinggi dari kekuasaannya. Meskipun
kekuasaan Abdul Jabar menyangkut urusan-urusan masyarakat juga, akan
tetapi kekuasaan imam selalu lebih tinggi dari padanya. [10] pengertian di atas menunjukkan adanya lembaga
al imamah dalam urusan kenegaraan
untuk mencapai tujuannya, baik tujuan keduniaan juga tujuan agama yang menyatu
dalam diri seorang imam.
Ide Abdul Jabar dalam hal ini adalah imam mempunyai wewenang penuh dalam mengatur dan menentukan
urusan-urusan masyarakat dengan penguasa tunggal. Pengertian Imamah dalam pandangan Abdul Jabbar, bila diteliti lebih jauh
menurut padangan pakar lain tidak jauh berbeda dengan pendapat Rasyid Ridha
yang mengemukakan bahwa al imamah
adalah kepemimpinan Negara Islam yang meliputi kemaslahatan dunia dan
akhirat. Rasyid Ridha tidak
menyebutkan secara eksplisit sebagai pengganti atau wakil Rasulullah, hanya
menekankan sebagai jabatan kepala Negara yang bertanggungjawab atas kemajuan
agama dan politik Negara. [11]
Al Mawardi dalam hal ini menyebutkan bahwa al imamah dilembagakan untuk mengantikan
keNabian, guna melindungi agama dan mengatur dunia. [12] Selanjutnya al Mawardi menyatakan bahwa
khalifah atau al Imamah adalah
jabatan tertinggi dalam urusan agama dan dunia sebagai pengganti Rasulullah.
Imamah atau kepemimpinan Islam adalah
konsep yang tercantum dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, yang meliputi kehidupan
manusia dari pribadi, berdua, keluarga bahkan sampai umat manusia atau
kelompok. Konsep ini mencakup baik cara-cara memimpin maupun dipimpin demi
terlaksananya ajaran Islam untuk menjamin kehidupan yang lebih baik di dunia
dan akhirat sebagai tujuannya.
Kepemimpinan Islam, sudah merupakan
fitrah bagia setiap manusia yang sekaligus memotivasi kepemimpinan yang Islami.
Manusia di amanahi Allah untuk menjadi khalifah Allah [wakil Allah] di
muka bumi [Q.S.al-Baqarah:30], yang bertugas merealisasikan misi sucinya sebagai
pembawa rahmat bagi alam semesta. Sekaligus sebagai abdullah [hamba
Allah] yang senantiasa patuh dan terpanggil untuk mengabdikan segenap
dedikasinya di jalan Allah. Sabda
Rasulullah “setiap kamu adalah pemimpim dan tiap-tiap pemimpin dimintai pertanggungjawabannya
[responsibelitiy-nya]”. Manusia yang
diberi amanah dapat memelihara amanah tersebut dan Allah telah melengkapi
manusia dengan kemampuan konsepsional atau potensi [fitrah]
[Q.S.al-Baqarah:31], serta kehendak bebas untuk menggunakan dan memaksimal
potensi yang dimilikinya.
Konsep amanah yang diberikan
kepada manusia sebagai khalifal fil ardli menempati posisi senteral
dalam kepemimpinan Islam. Logislah bila konsep amanah kekhalifahan yang
diberikan kepada manusia menuntut terjalinannya hubungan atau interaksi yang
sebaik-baiknya antara manusia dengan pemberi amanah [Allah], yaitu: [1]
mengerjakan semua perintah Allah, [2] menjauhi semua larangan-Nya, [3] ridha [ikhlas]
menerima semua hukum-hukum atau ketentuan-Nya. Selain hubungan dengan pemberi
amanah [Allah], juga membangun hubungan baik dengan sesama manusia serta
lingkungan yang diamanahkan kepadanya [Q.S.Ali Imran:112]. Tuntutannya,
diperlukan kemampuan memimpin atau mengatur hubungan vertical manusia dengan
Sang Pemberi [Allah] amanah dan interaksi horizontal dengan sesamanya.
Jika kita memperhatikan teori-teori
tentang fungsi dan peran seorang pemimpin yang digagas dan dilontarkan oleh
pemikir-pemikir dari dunia Barat, maka kita akan hanya menemukan bahwa aspek
kepemimpinan itu sebagai sebuah konsep interaksi, relasi, proses otoritas
maupun kegiatan mempengaruhi, mengarahkan dan mengkoordinasi secara horizontal
semata. Konsep Islam, kepemimpinan sebagai sebuah konsep interaksi, relasi,
proses otoritas, kegiatan mempengaruhi, mengarahkan dan mengkoordinasi baik
secara horizontal maupun vertikal.
Kemudian, dalam teori-teori manajemen, fungsi pemimpin sebagai perencana dan
pengambil keputusan [planning and decision maker], pengorganisasian [organization],
kepemimpinan dan motivasi [leading and motivation], pengawasan [controlling]
dan lain-lain.
Dari definisi-definisi di atas, paling
tidak dapat ditarik kesimpulan yang sama, yaitu masalah kepemimpinan adalah
masalah sosial yang di dalamnya terjadi interaksi antara pihak yang
memimpin dengan pihak yang dipimpin untuk mencapai tujuan bersama, baik dengan
cara mempengaruhi, membujuk, memotivasi dan mengkoordinasi. Dari sini dapat dipahami bahwa tugas utama
seorang pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya tidak hanya terbatas pada
kemampuannya dalam melaksanakan program-program saja, tetapi lebih dari itu
yaitu pemimpin harus mempu melibatkan seluruh lapisan organisasinya, anggotanya
atau masyarakatnya untuk ikut berperan aktif sehingga mereka mampu memberikan
kontribusi yang posetif dalam usaha mencapai tujuan.
Dari pendapat tentang al imamah di atas
nampaknya tidak menjelaskan sejauhmana al
Imamah itu berfungsi sebagai pengganti Rasulullah, tapi yang jelas dapat
diapstikan bahwa khalifah atau al Imamah sebagai jabatan pengganti
keNabian untuk melindungi agama dan mengatur dunia, kedua kekuasaan itu tidak
dapat dipisahkan dari diri seorang imam.[13]
Pengertian al imam
menurut Abdul Jabbar merupakan jabatan tertinggi yang dipegang oleh seseorang
untuk mengaturmasalah keduniwian dan keukhrowian. Abdul Jabbar melihat dari sisi teologi,
sementara al Mawardi dan Maududi
menggunakan pendekatan Fiqhyah.
Sementara menurut mu’tazilah, semua tindakan Imam semuanya mengacu untuk mensucikan Tuhan dari syirik. Artinya, bukan pemerintahan Tuhan, tetapi al Imamah sebagai penterjemah aspirasi
Tuhan. Dalam pemerintahan secara
rasional, termasuk didalamnya aspek politik, seperti menerapkan atau
merealisasikan al amr bi al ma’ruf wa al
nahy al munkar, tidak bisa terlaksana kecuali adanya imam (pemimpin). [14] Bagi selainnya (disebut al sunni) imam hanya menjalankan syariat.
Kewajiban yang mereka terapkan bersifat syar’I, sedangkan mu’tazilah kewajiban yang
diterapkan bersifat aqli. Berbeda dengan
syiah. Baginya pengertian al imamah adalah orang yang menjadi penguasa
komunitasi pewaris Nabi Muhammad, dalam dirinya
memenuhi fungsi wilayah. [15] Kalau fungsi keNabiannya disebut nubuwwah, maka fungsi al imamah disebut ‘wilayah’. [16] Wilayah di sini tidak saja bermakna
kesucian semata, tetapi juga berfungsi sebagai penafsir dimensi esotetik wahyu
Tuhan. [17] Sebagai pewaris ajaran esoteric Nabi, Imam sebenarnya membawa cahaya Muhammad
dalam dirinya. Dengan cahaya ini pula
seorang imam seperti Nabi pula, yang
memiliki kemampuan untuk tidak melakukan kesesatan. Dengan kata lain, kesesatan adalah
konsekuensi logis dari cahaya Muhamamd dalam dirinya. Sebab cahaya itulah yang menjadi sumber
petunjuk dan pengetahuan.
Dengan demikian kepemimpinan (ledearship) baru dapat
diberikan bila telah berfungsi dalam proses interaksi antara pribadi seorang
pemimpin dengan lingkungan sosialnya yang bercorak dinamis.
Jadi, kepemimpianan dalam dakwah adalah sifat atau ciri
tingkah laku pemimpin yang mengandung kemampuan untuk mempengaruhi dan
mengarahkan orang seorang atau atau sekelompok orang guna mencapai tujuan
dakwah yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, pemimpin dakwah adalah orang
yang dapat menggerakkan orang lain yang ada disekitarnya dengan pengaruhnya
untuk mengikutinya dalam proses untuk mencapai tujuan dakwah.
Dengan demikian pemimpin dengan kepemimpinannya harus memiliki sifat dan ciri yang dinamis, artinya dapat mempengaruhi dan mengarahkan orang kearah satu tujuan, sehingga terciptalah suatu dinamika dikalangan pengikutnya yang berarah dan bertujuan .
2.
Syarat-syarat
pemimpin
Betapapun baiknya suatu organisasi
pemerintahan, politik dan ekonomi,tidak akan ada manfaatnya tanpa adanya
pemimpin yang memenuhi persyaratan untuk menjalankannya. Maka dalm menetapkan
kriteria Imam, Abdul Jabbar[18]
mengemukakan sebagai berikut :
a.
Harus
mempunyai ilmu tentang syara’, tapi tidak mesti mampu menghafal masing-masing
fiqih fuqaha’ akan tetapi cukup merujuk kepada pemikiran-pemikirannya dan mampu
menghubungkan dengan pengertian mereka . oleh karena itu perlu terlebih dahulu
mengetahui bahasa arab, sehingga lebih mudah untuk merajuk kepada laquran untuk
mengatakan sesuatu .
b.
Harus
adil dalam ilmu tauhid dan keadilan ilahi. Adil yang dimaksud disini adalah
menunjukkan suatu perbuatan bukan pelaku perbuatan, yaitu member hak-hak
seorang sesuai dengan kewajiban yang dilakukan.
c.
Mepunyai
sifat yang pantas dan terhindar dari sifat-sifat yang tidak layak baginya.
d.
Harus
piawai tentang Nabi Muhammad.
e.
Harus
lebih wara’.
f.
Konsisten
dengan tindakannya .
g.
Mempunyai
fisik yang prima .
h.
Mempunyai
jiwa yang mantap.
i.
Bertanggung
jawab dalam urusannya.
Disamping kriteria diatas ada beberapa
kriteria pokok yang mesti yang menjadi perhatian pokok terhadap pemimpin, yaitu
:
a.
Harus
mampu melaksanakan apa-apa yang diserahkan kepadanya dengan baik.
b.
Harus
mengetahui cara mengerjakan yang ditugaskan kepadanya.
c.
Harus
amanah, sehingga senang (tentram) hati orang.
d.
Didahulukan
orang yang berkelebihan.
e.
Harus
merdeka, berakal, dan beragama.
Apabila kriteria kepemimpinan sebagaimana yang disebut diatas dipenuhi maka kekuasaannya akan berjalan baik.
3.
Keharusan
Adanya Pemimpin Perspektif Islam dan Sains
Menyangkut dengan perlu adanya imam dalam prospektif Islam dan sains,
kelihatan tidak ada perbedaan pendapat dari berbagai kelompok dalam Islam,
hanya saja bagaimana wajibnya itu serta bagaimana jalan fikirannya untuk
menetapkan kewajiban adanya imam
terdapat variasi pemikiran.
Perspektif menurut Abdul Jabbar,
keharusan adanya imam sangat erat
kaitannya dengan faham keagamaan, kalaulah tidak ada hubungan imam dengan agama, maka Nabi tidak perlu
diutus.[19]
Berdasarkan hal itu pula tuhan dalam pandangan ini berkewajiban mengutus
rosul untuk membawa petunjuk bagi manusia.[20]
hal ini menunjukkan bahwa kehadiran Nabi perlu dipahami dengan
mempergunakan akal, karena kepemimpinan tersebut sudah terlaksana pada Nabi,
sehingga tidak terhalang lagi mengtahui perlu adanya imam. Dengan demikian wajib adanya kepemimpinan dalam Islam menurut
abdul jabbar hanya mempergunakan dalil aqli.[21]
Berdasarkan uraian di atas dapat
dikatakan, bahwa pikiran Abdul Jabbar berbeda dibandingkan dengan sunni dan
syi’ah. Walaupun sama-sama wajib mengatakan imam.
Bagi sunni, mendasarkan kewajiban adanya imam
dengan ijma’ umat. Hal ini adalah pengaruh dari peristiwa pertemuan di saqiqfah bani sa’idah. Sekalipun
berbagai kalangan terdapat perselisihan pendapat tentang siapa yang menjadi
khalifah namun mereka bersepakat bulat tentang perlu adanya imam.[22]
Bahkan mereka menguatkan lagi dalil ijma’ dengan menyebutkan beberapa ayat dan
hadis yang menjadi sandaran ijma’.[23]
Syi’ah mendasarkan kewajiban adanya imam dengan dali syara’dan aqli.
Menurutnya dunia tidak boleh kosong dari imam,
meskipun ia dalam kadaan tersembunyi, tidak peduli apakah manusia membenci atau
menyayangi, membela atau memerangi yang jelas imam menurut pandangan mereka tetap mempunyai eksisten disepanjang
zaman. Kemudian imam diangkat oleh Allah untuk dunia adalah hgal yang
sangat perlu, agar menjadi hujjah kepada hamba-hamba Allah. Sehingga mengetahui imam-imam serta percaya kepadanya adalah
syarat al-imam.[24]
Baca Juga;//................
👉HAKIKAT METODE DAKWAH BI AL-HIKMAH
👉HAKIKAT METODE DAKWAH
👉PERKEMBANGAN AKTIVITAS DAKWAH DALAM ALQUR’AN
👉KEBUTUHAN MANUSIA TERHADAP DAKWAH DAN FILSAFAT
👉HAKIKAT METODE DAKWAH MAUIZAH AL-HASANAH
👉PANDANGAN FILSAFAT DAKWAH TERHADAP ILMU PENGETAHUAN
👉HAKIKAT TUJUAN DAKWAH
👉Hakikat Metode Dakwah Mujadalah Billati Hiya Ahsan
👉HAKEKAT MEDIA/ ALAT DAKWAH
👉HAKIKAT DAN PESAN DAKWAH
👉HAKIKAT KEPEMIMPINAN UMAT
C.
Penutup
Kepemimpinan adalah sebuah keputusan
dan lebih merupakan hasil dari proses perubahan karakter atau tranformasi
internal dalam diri seseorang. Kepemimpinan bukanlah jabatan atau gelar,
melainkan sebuah kelahiran dari proses panjang perubahan dalam diri seseorang.
Ketika seseorang menemukan visi dan misi hidupnya, ketika terjadi kedamaian
dalam diri (inner peace) dan membentuk bangunan karakter yang kokoh, ketika
setiap ucapan dan tindakannya mulai memberikan pengaruh kepada lingkungannya,
dan ketika keberadaannya mendorong perubahan dalam organisasinya, pada saat
itulah seseorang lahir menjadi pemimpin sejati. Jadi pemimpin bukan sekedar
gelar atau jabatan yang diberikan dari luar melainkan sesuatu yang tumbuh dan
berkembang dari dalam diri seseorang. Kepemimpinan lahir dari proses internal
(leadership from the inside out).
Sehingga dalam dakwah adalah sifat atau ciri tingkah laku pemimpin yang
mengandung kemampuan untuk mempengaruhi dan mengarahkan orang seorang atau atau
sekelompok orang guna mencapai tujuan dakwah yang telah ditetapkan. Dengan kata
lain, pemimpin dakwah adalah orang yang dapat menggerakkan orang lain yang ada
disekitarnya dengan pengaruhnya untuk mengikutinya dalam proses untuk mencapai
tujuan dakwah
Daftar Pustaka
M. Arifin, Psikologi Dakwah: Suatu Pengantar Studi, Jakarta: Bumi Aksara, 2000
Ibnu Manzier dalam Salmadanis, Filsafat Dakwah, Jakarta: Surau, 2002
Salmadanis, Filsafat Dakwah, Jakarta: Surau, 2002
_______, Dai dan Kepemimpinan, Jakarta: TMF Press, 2004
Katsir, Ibnu,
Tafsir Ibnu Katsir, Bab VI, Juz 1
Mahfuzd, Ali,
Hidayah al-Mursyidin, Beirut: Dar
al Ma’arif, tt
Al Maraghi,
Ahmad Musthafa, Tafsir Al Maraghi Terjemah, Jilid 4, Semarang: Toha
Putra, 1993
Mulkhan,
Abdul Munir, Ideologisasi Gerakan Dakwah Episode Kehidupan M. Natsir dan
Azhar Basyir, Yogyakarta: SipPress, 1996, cet. ke-1,
An-Nabiry, Fathul Bari, Meniti
Dakwah Kenal Perjuangan Para Da’i, Jakarta : Sinar Grafika Offset, 2008
[1] M. Arifin, Psikologi
Dakwah : Suatu Pengantar Studi, (Jakarta : Bumi Aksara, 2000), h. 86
[2] Howard W. Hoyt dalam M. Arifin
[3]Universitas Islam Indonesia, Hakikat kepemimpinan, www.sanaky.com/materi
/pedoman%20handout/05.%20MODUL%20II%20KEPEMIMPINAN.rtf -, Modul, diakses tanggal 20 Januari
2009, h. 5
[4] http://emperordeva.wordpress.com/,
diakses tanggal 20 Januari 2009
[5] Ibnu Manzier dalam Salmadanis, Filsafat Dakwah, (Jakarta : Surau, 2002), h. 205
[6]Zakariya dalam
Salmadanis, Filsafat Dakwah, (Jakarta
: Surau, 2002), h. 206
[7] Abdul Hamid dalam Salmadanis, Ibid
[8] Muhammad Diya’ al-Din al-Rayes, Ibid
[9] Ibid
[10] Qadhi Abdul Jabbar, dalam Salmadanis, Ibid., h. 207
[11] Muhammad Rasyid Ridha, dalam Salmadanis, Ibid.
[12] Al Mawardi, dalam Salmadanis, Ibid.
[13] Maududdi, dalam Salmadanis, Ibid., h. 208
[14] Sayyed Husein Nashr, Ibid.,
h. 209
[15] Salmadanis, Filsafat
Dakwah, (Jakarta : Surau, 2002), h. 209
[16] Harun Abdul Mut’ah al Sa’di, dalam Salmadanis, Filsafat Dakwah, (Jakarta : Surau, 2002)
[17] Sayyed Hussein nashr, Op.cit.,
h. 209
[18] Abdul Jabbar, Lihat dalam Salmadanis, Dai dan Kepemimpinan, (Jakarta : TMF Press, 2004), h. 47-48
[19] Yousuf M. Laljee, dalam Salmadanis, Filsafat Dakwah, Op.cit., h. 210
[20] Ibid.
[21] Abdul Jabbar, Op.cit.,
h. 210
[22] Al-Syahrastani, dalam Salmadanis, Filsafat Dakwah, Op.cit.,
[23]Al Mawardi, Op.cit.,
h. 210
[24] Muhammad Kamil, Dalam Salmadanis, Filsafat Dakwah, Op.cit., h. 211
0 Comment